Rabu, 17 November 2021

Di Samping Kedai Kopi

 Toko Buku

Hari ini pun sama seperti tiga belas hari sebelumnya. Jumlah pengunjung toko hampir tidak ada. Dalam dua jam ini, Aka sudah tujuh belas kali memeriksa situs Toko Buku Aka. Belum ada pesanan buku yang masuk, sama seperti seminggu terakhir.

Sesekali Aka membalas beberapa pertanyaan calon pembeli mengenai ketersediaan buku. Kebanyakan dari mereka hanya menjadi calon tanpa pernah menjadi pembeli. Aka belum patah semangat, setidaknya selama tiga belas hari terakhir. Tepat sebelum hari ini.

Aka memandangi bola lampu, pendingin ruangan serta steker listrik yang terhubung dengan komputernya. Apakah biaya listrik bulan ini hanya akan menjadi kesia-siaan? Aka tidak perlu membayar uang sewa toko buku. Itu membuatnya sedikit lega dan berkecil hati. Bibinya yang dermawan, dengan suka rela memberikan Aka tempat untuk toko buku yang sudah lama ia cita-citakan. Ruangan kecil dengan sedikit halaman depan ini didapannya hanya dengan sebuah syarat: jangan sampai bangunan ini hancur. Cukup mudah bagi Aka untuk menjalankan syarat itu. Sangkin mudahnya Aka merasa dirinya benar-benar gagal.

“Padahal sudah tidak perlu membayar sewa toko, tapi mengapa sulit sekali menjual buku-buku ini?”

Aka hampir menangis ketika memikirkan dua hal yang sebenarnya tidak terlalu berkaitan itu. Modal yang ia pinjam dari ibunya entah kapan bisa kembali. Hutang budi kepada bibi semakin menjadi-jadi. Masa depan terasa suram sekali. Aka berjanji tidak akan makan lebih dari dua kali sehari. Ia harus lebih hemat lagi.

Telpon genggam Aka berbunyi. Ia memasang pengingat untuk menagih uang sewa kedai kopi di sebelah tokonya. Bangunan ini sebenarnya berbentuk tiga ruang yang berjejer. Ruang pertama adalah kedai kopi yang sepi sekali, lalu toko buku Aka yang tidak berbeda, serta ruangan terakhir yang dirubah bibi menjadi kamar kecil untuk Aka tinggali. Sesekali bibi juga tidur di kamar itu jika berkunjung. Tentu saja seluruh bangunan ini milik bibi yang baik hati. Tugas Aka hari ini adalah menagih uang sewa kedai kopi yang sudah lewat satu bulan. Belakangan ini Aka hampir setiap hari ke sana untuk menagih, tetapi si pemilik kedai selalu beralasan untuk menunda pembayaran. Jika Aka tidak bisa menghasilkan uang lewat toko bukunya, setidaknya Aka harus rajin menyetorkan uang sewa dari kedai kopi.

Setidaknya Aka harus menjadi gadis baik yang bertanggung jawab.

 

Kedai Kopi

Sebelum kedai ditutup, Kura selalu membersihkan kedai kopinya. Mulai dari membersihkan jendela hingga toilet, semua ia lakukan sendiri. Pemilik, barista, akuntan, sekaligus petugas kebersihan untuk kedainya sendiri sebenarnya tidak terlalu melelahkan. Mengingat betapa sedikit orang yang datang ke kedainya. Kura berniat untuk mempekerjakan seseorang di bagian kasir sekaligus kebersihan, tetapi niatnya sudah hilang. Belakangan ia tidak tenang karena usahanya yang nyaris gulung tikar. Ditambah lagi keponakan pemilik gedung hampir setiap hari menagihnya uang sewa.

Kura memutar otak untuk membayar uang sewa. Tidak ada harapan bank akan meminjamkannya uang untuk sebuah tempat usaha yang tidak jelas prospeknya. Mau menggadaikan harta berharga, tetapi semua sudah ia korbankan untuk membeli grinder, moka pot, cangkir, gelas, meja, kursi, dan lemari es. Ponselnya yang sudah ketinggalan jaman tidak akan menghasilkan apa-apa. Lagi pula ia butuh ponselnya untuk mendapatkan pesanan lewat daring. Walau itu hampir tidak pernah terjadi.

Terbitlah sebuah ide di kepalanya saat ia buang air. Ia akan membuka kedainya lebih lama. kopi adalah minuman yang diminum untuk menghilangkan kantuk. Orang-orang lembur di malam hari pasti ingin minum kopi. Begitulah pikir Kura, sehingga ia membuka tokonya hingga pukul empat pagi.

Pukul tujuh pagi, ia sudah kembali membuka tokonya. Orang lembur di malam hari dan harus bekerja di pagi hari pasti minum kopi. Begitulah pikir Kura, lagi. Pukul tujuh hingga empat pagi, begitulah selama dua minggu ini.

Ia hampir tidak pernah pulang ke rumah dan tidur di sofa kedai yang sempit. Mustahil untuk tidur terlentang sempurna. Lehernya pegal, kepalanya pusing, pikirannya sudah tidak jernih, tetapi semangatnya masih tersisa. Sedikit. Mungkin sedikit lagi habis.

Semangatnya semakin menipis ketika melihat tagihan listrik yang membengkak tanpa hasil apa-apa.

“Padahal sudah bekerja lebih keras, kenapa hampir tidak ada yang minum kopi di sini?”

Kura hampir menangis memikirkan usaha kerasnya yang percuma. Dia malu pada dirinya sendiri yang menyedihkan, tapi juga bercampur marah. Dia sudah mengorbankan segalanya demi kedai kopi yang didambakannya.

Ia mulai berfikir apa ia terlalu muda dan naif untuk menghasilkan uang dari hal yang ia suka. Apa ketulusannya ini hanya berakhir menjadi petaka?

Kepala kura pusing bukan main. Siapapun pasti akan begitu dengan pola kehidupan tidak masuk akal ini. Sebutir obat pereda nyeri mungkin cukup untuk membuatnya bertahan hari ini. setelah ia meminum segelas air, tubuhnya menjadi sedikit segar. Ia membulatkan tekat: aku akan berhenti jika aku benar-benar diusir dari tempat ini.

Jam dinding menunjukkan pukul sebelas pagi. Di jam ini jarang sekali ada pelanggan yang datang. sejujurnya tidak hanya di jam ini. Kura merebahkan kepanya di meja kasir sambil menutup mata. Ia hanya ingin beristirahat sebentar.

Tiba-tiba pintu kedainya terbuka. Kura segera meneggakan badannya walau kepalanya terasa berat.

“sial” umpat Kura dalam hati, sebab keponakan pemilik gedung datang kembali.

Rasanya Kura ingin pingsan saja.

“Selamat pagi” sapa Kura sambil tersenyum. Di hadapan Aka, senyum itu sangat menyebalkan. Seandainya ia tidak terlambat membayar uang sewa pasti Aka akan membalas senyumnya dengan tulus.

“Selamat pagi,” Sahut Aka dengan senyum seadanya.

“Aku ingin meminta uang sewa bulan Oktober” ujar Aka lugas. “oh iya, sekaligus bulan November. Sekarang kan sudah Desember.”

Kura merogoh kantong belakang jeansnya yang sudah pudar, bukan karena mengikuti tren tetapi karena termakan zaman. Celana itu sudah delapan tahun umurnya. Sambil mengelurkan dompet kulit imitasi yang sudah mengelupas dan cekung mengikuti bentuk bokong, Kura memohon maaf atas keterlambatannya. Ia memberikan beberapa lembar uang yang ia ambil dari tabungannya. Tidak ada lagi yang tersisa. Jika ada gadis nakal yang ingin memorotinya, maka gadis itu sedang sial.

Aka menerima uang itu dan menghitungnya. Aka ingin mengatakan bahwa uang sewa yang ia berikan jauh dari jumlah lunas. Ini hanya seperdelapannya. Sejujurnya Aka jengkel dan ingin berbicara lebih tegas dengan pria ini, tetapi ia mengurungkannya. Pria ini sangat pucat, matanya hitam berkantung, serta urat-urat merah di matanya terlihat jelas. Wajahnya kuyu dengan tulang pipi yang menonjol. Aka ingat minggu lalu pria ini menggunakan baju yang sama, tapi hari ini bajunya terlihat lebih longgar.

Tifus ya?” pikir Aka.

“Aku akan transfer sisanya”

Aka mengangguk kemudian pamit kembali ke toko bukunya. Ia merasa seperti seorang lintah darat setelah menerima uang itu. Menyebalkan, kenapa pria itu harus terlihat memprihatinkan?

“Anda bekerja sendirian?” tanya Aka.

“Iya, benar.”

“Kedai ini buka dari jam sepuluh pagi hingga delapan malam bukan?”

“Dulu begitu, sekarang dari kedai ini buka pukul tujuh pagi hingga empat pagi.”

Sinting.” Untunglah Aka mampu menahan diri hingga tidak mengucapkannya.

“Sejak kapan?” tanya Aka.

“Kira-kira dua minggu lalu”

benar, dia sinting.” Gumam Aka dalam hati.

“Hati-hati saat menutup toko ya. Cek alat-alat yang menggunakan listrik dengan baik. Jangan sampai terjadi kebakaran, bisa-bisa aku jadi gelandangan.”

Kura tersenyum walau tidak menganggap candaan itu lucu.

Kura membukakan pintu untuk Aka, kemudian ia kembali ke tempatnya dan merebahkan kepalanya. Yang tadinya hanya sakit kepala, sekarang bercampur dengan kesedihan dan putus asa. Sekarang Aka, gadis penagih uang sewa itu tau betapa menyedihkannya dia.

Kura lelah sakali. Ia ingin tidur, tapi bagaimana kalau ada pelanggan? Kura bahkan tak yakin akan ada yang datang hari ini. Seandainya memang tidak ada yang datang hari ini harusnya ia tidur saja. Seandainya dia bisa membaca masa depan, Kura pasti punya jam tidur yang lebih baik. Kepalanya terasa semakin pening.

Beberapa menit setelah Kura hampir tertidur, pintu kembali terbuka.

Baru kali ini Kura berharap lebih baik tidak ada pelanggan yang datang. Kura kembali menegakkan badannya sambil menatap ke arah pintu masuk. Di sana sudah ada Aka yang berdiri dengan sekaleng jus dan sebuah kantong berisi obat-obatan.

“Istirahat dan makan dengan benar. Kalau sakit mana bisa bekerja.”

Aka meletakkan jus dan kantong obat itu di atas meja kasir.

“Ini bukan obat terlarang kok, hanya vitaman.” Aka membuka kantong itu dan memperlihatkan isinya. “Bibi membawa banyak sekali setiap datang, nanti pasti akan dibawakan lagi.”

Ada kecanggungan sepersekian detik di antara mereka.  

“Aku akan kembali ke toko buku”

Kura spontan berterima kasih, “Lain kali silahkan minum di sini. Khusus untuk anda, gratis.”

Aka tersenyum jahil, “Tidak, saya lebih suka anda bayar uang sewa tepat waktu.”

Pertama kalinya dalam hari itu mereka berdua tertawa.

“Anda sudah berusaha dengan baik.” Ucap Aka setelah tawa mereka reda.

Ya, Kura yakin ia sudah berusaha dengan baik. Ia merasa lega.

“Terima kasih. Anda juga sudah berusaha dengan baik.”

Aka tidak merasa ia berusaha sebaik Kura. Apa benar ia sudah berusaha dengan baik?

Di depan pintu toko buku, Ara teringat bulan lalu ruangan ini kosong. Berbeda sekali dengan saat ini. Ia teringat dengan keragu-raguannya saat memutuskan membuka toko ini. Keraguan itu ada sampai sekarang, tetapi Ara terus bertahan. Ia terus bergerak hingga ruangan ini tertata dan dipenuhi buku. Orang yang ragu-ragu itu sekarang sudah menjadi sedikit lebih berani.

Ara membuka toko pintu sambil menyadari bahwa dia juga sudah berusaha dengan baik. Dia memutuskan berusaha dengan baik untuk seterusnya.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar