Selasa, 01 Mei 2012

Broken Window

Kadang dunia memang terasa sangat menyebalkan! Kau serasa ingin keluar dari bumi dan terbang ke bulan untuk meninggalkan hal menyebalkan itu. Tapi percayalah. Jika kau sudah terbiasa dengan hal-hal menyebalkan, suatu saat kau akan merindukannya. Ini kisahku..

Namaku Valerie voleny vorest, nama yang cukup aneh bukan? Mungkin sekarang kalian belum tau seberapa kesalnya aku mendapat nama itu. Baiklah, akan aku ceritakan nanti. Usiaku 14, bagiku itu bukan usia kanak-kanak lagi, tapi entah kenapa banyak orang yang menilai bahwa tingkah lakuku sama seperti anak berumur 7 tahun! Sungguh mengesalkan bukan?

Ok, kita mulai dari namaku.
Aku baru saja pindah dari Dublin ke Sligo karena ayah harus pindah tugas. Sumapah! Aku menentang hal ini. Aku tidak mau pindah ke kota yang sama sekali belum pernah aku kunjungi. sudah pasti aku tak punya teman di sana, dan aku harus kehilangan teman-temanku di Dublin. Teman-temanku memang tidak bisa di bilang sempurna, namun aku sangat senang bersama mereka. Tak ada teman-temanku, artinya tak akan ada lagi mencuri apel nyonya Palm. Padahal di dalam kulkasku, ada banyak sekali apel. Tapi entah kenapa, rasa apel hasil pencurian memiliki rasa yang berbeda. Ada kenikmatan sendiri dari apel hasil curian.


Setengah mati aku membujuk ayah agar membatalkan niatnya untuk pindah ke Sligo. Namun apa daya, ia tetap pada tujuannya. Dengan berberat hati, kami terpaksa pindah ke kota menyebalkan ini!

Menurutku, pindah ke sini sekarang sangat tanggung, karena tahun depan aku akan masuk SMA! Kenapa kami harus pindah sekarang? Kenapa tidak tahun depan saja agar aku punya waktu lebih banyak bersama teman-teman gilaku!

Kupasang wajah merengut pada hari pertama di sekolah baru, Hironimus Junior High School. Sepertinya aku datang terlalu pagi, padahal aku ingin datang pada saat bel berbunyi sehingga aku tidak harus berdiam diri sendirian seperti orang bodoh di sekolah ini.

Aku berjalan mencari kelasku sambil memutar-mutar kepalaku mencari tulisan ‘3rd Grade’. Sumpah! Aku terlihat seperti orang kampungan saat ini! Akhirnya kutemukan juga ruang kelasku. Sebuah pintu putih berukuran 3m x 1m dengan sebuah papan kecil bertuliskan ‘3rd Grade’di atasnya. Berakhirlah masa ‘kampungan’-ku. 

Aku masuk ke ruangan itu dan sebisa mungkin tidak memandang mata penghuni kelas itu. Aku berjalan sambil merundukkan kepala mencari bangku kosong. Ada yang kosong di bagian tengah belakang kelas, aku segera menuju ke sana.

Aku meletakkan tasku di atas bangku itu dan bersiap-siap mendaratkan pantatku di bangku itu juga.
“Murid baru?” aku masih berdiri, dan segera berbalik kea rah sumber suara yang bertanya itu.
“iya” jawabku singkat.
“Dari mana asalmu?”
“Dari rahim ibuku pastinya!” jawabku asal-asalan.
“Maksudku dari kota apa otak kacang polong..” hey! Apa kau bilang? Otak kacang polong?! Kau kira aku sebodoh itu?! Ah, sudahlah.. aku baru di sini dan aku tidak mau rebut di hari pertamaku di sekolah ini.
“Dublin” jawabku sambil menahan emosi.
“oh. Siapa namamu?”
“Valerie voleny vorest” oh… kapankah bocah berhidung besar ini selesai mewawancaraiku?! aku memang malas berbicara dengan siapapun saat ini. Tapi, berhubung aku murid baru, aku tak mau membuat mereka mengecapku ‘Kuper’,’sombong’, ‘aneh’, dan yang lainnya.
“hah? Aneh sekali namamu? Valerie voleny vorest, apa nama panggilanmu? Apa dari nama tengahmu, voley? Haha pantas kepalamu bulat sempurna seperti bola voley! Dan nama belakangmu, Forest hahahaha kamu berasal dari hutan ya? Hahaha” ia tertawa terbahak-bahak menghina namaku. Ingin sekali kupatahkan hidungnya yang besar itu dan menendang bokongnya hingga ia tidur tertelungkup di atas kasurnya. Ingat vely, ini hari pertamamu di sekolah dan jangan buat masalah. Aku berusaha mengingatkan diriku sendiri.
“nama belakangku Vorest dengan huruf ‘V’ bukan dengan huruf ‘F’” aku sesabar mungkin menghadapi orang gila ini.
“tapi tetap saja namamu aneh! Hahaha” dia masih saja menertawakan namaku. Aku menjadi semakin geram, dan aku menatapnya sinis. Tiba-tiba mataku melihat sebuah buku yang terletak di atas meja tempat orang gila ini duduk. Tertulis ‘Marcus Michael Patrick Feehily’ di sana. Aku menemukan sesuatu yang tepat untuknya.
“namamu juga aneh, nama Marcus-mu itu pasti punya kepanjangan yaitu Marcusuar! Hahaha” aku menertawai namanya. Haha sekarang siapa yang menang!
“tidak lucu” ia tidak bereaksi dan menunjukkan wajah tanpa ekspresi. Aku seakan kalah telak dengan bocah gila ini. Karena kepalaku sudah terasa sangat panas dan hendak meletus, aku segera duduk di bangkuku dan tidak memperdulikan bocah gila itu lagi.

Untungnya tak lama kemudian bel berbunyi dan pelajaran segera di mulai. Di awal pelajaran aku di minta untuk memperkenalkan diri di depan kelas dan pelajaran dilanjutkan seperti biasa.

Sepanjang pelajaran berlangsung, tak sedikitpun materi yang di jelaskan oleh Mr.Brown masuk ke otakku. Mungkin ucapan bocah gila itu benar. ‘Otakku hanya sebesar kacang polong’.
***

Akhirnya, selesai juga pelajaran membosankan di sekolah. Ku banting tasku ke lantai dan memanting tubuhku ke ranjang. Badanku terasa sangat letih, padahal hanya setengah hari aku belajar di sekolah. Semilir angin masuk ke dalam kamarku melalui jendela kamarku. Argh.. anginya kurang kencang. Aku beranjak dari kasur dan duduk di jendela. Sekarang anginnya terasa cukup buatku.

Angin sepoi sepoi ini cukup membuat mataku terasa berat. Perlahan-lahan mataku semakin sipit namun aku masih sadar. Di seberang sana, aku seperti melihat sosok yang kukenal. Kufokuskan mataku pada objek tersebut. Hidung besar, tubuh tinggi, dan berambut legam. Astaga! Itu bocah gila yang duduk di sampingku! Sedang apa dia di sini?

Bocah gila itu berjalan masuk ke dalam rumah yang tepat berada di depan rumahku. Tunggu! Jangan bilang dia adalah tetanggaku! Selama aku pindah ke sini, aku belum pernah melihat dia di sekitar sini. Ah! Bisa gila aku bertetangga dengan orang gila seperti dia. Hobi mencemooh orang dan tidak tau sopan santun. 

Aku beranjak dari jendela ke depan cermin. Ku pandangi diriku sendiri di depan cermin. Kenapa bocah gila itu bilang kepalaku seperi bola voley? Kepalaku tidak sebulat itu, dan lagi pula aku memiliki wajah lonjong bukan bulat. Ah bodoh! Untuk apa aku pikirkan.
***

Ibuku hobi memsak, sedangkan aku hobi melahap masakannya. Malam ini ibuku sedikit aneh. Kami hanya hidup bertiga di rumah ini tapi ia memasak 3 loyang bolu coklat andalannya. Apa mungkin 1 orang menghabiskan satu Loyang?
“ma, ini tidak kebanyakan?” tanyaku heran
“tentu tidak sayang”
“tapi kita hanya bertiga dan siapa yang akan menghabiskan 3 loyang besar ini?”
“bukan kita yang akan menghabiskannya, tapi tetangga depan dan kiri kanan kita”
“hah?! Jadi, ma bagianku?”
“maaf sayang, ibu membeli bahannya pas-pasan. Jadi bagianmu tidak ada untuk kali ini. Lain kali ibu akan buatkan untukmu”
“huh! Padahal aku sudah sabar menunggu bolu coklat itu!”
“iya. Lain kali mama bikinkan” aku langsung memasang wajah cemberut, dan sepertinya mama tidak terlalu menghiraukanku. Ia malah menyuruhku untuk mengantarkan kue itu ke rumah tetangga. Dan itu artinya aku harus mengantarkan kue itu ke rumah si bocah gila. Ah! Sungguh sial bertubi-tibu! Kapan akhir dari semua ini?!
“Tolong antarkan ya sayang” mama tersenyum semanis mungkin saat aku hendak mengantarkan bolu-bolu ini ke rumah tetangga. Coba saja tidak ada rumah bocah gila, mungkin sekarang aku sedang menikmati nikmatnya bolu coklat! Aku tetap merengut dan tidak menghiraukan mama, aku langsung melenggang pergi.

Pertama-tama aku mengntarkan kue ini pada tetangga kiri dan kanan, biarlah rumah bocah gila belakangan. Tetangga kiri dan kanan cukup ramah, bahkan mereka mengajakku untuk makan malam bersama. Namun tentu saja ku tolak, aku lebih suk makan di rumah sendiri di bandingkan rumah orang.

Dan akhirnya tiba juga aku pada tujuan terakhir, rumah si bocah gila. Huft… aku menarik nafas dalam-dalam untuk menyiapkan diri. Setelah siap, kutekan bel yang terletak di samping pintu. Tak lama kemudian pintu terbuka. Dan sosok yang paling tidak inginku lihat lah yang membukakan pintu, siapa lagi kalau bukan si bocah gila!
“Hah? Kamu Voley kan? Voley Forest, si anak hutan?” kurang ajar benar, bocah gila ini. Aku datang baik-baik dengan tujuan ingin memberikan bolu coklat nikmat andalan ibuku , ia malah mencemoohku.
“Hentikan memanggilku dengan sebutan Voley Forest, si anak hutan! Aku punya nama panggilan yang pastinya bukan Voley! Panggil aku Valy! Dan satu lagi, nama belakangku bukan Forest tapi Vorest!” celotehku panjang lebar.
“Namun itu terdengar sama di telingaku” jawabnya dengan wajah tak bersalah, semakin geram aku di buatnya! Ingin sekali kulemparkan Loyang kue ini ke wajahnya!
“Terserahmu MARCUSUAR! Aku hanya ingin mengantarkan ini!” aku segera menyerahkan Bolu coklat itu padanya.
“Ini bukan racun kan?” tanyanya dengan tatapan menyelidik
“argh!! Untuk apa aku meracunimu Bocah MARCUSUAR GILA!” jawabku dengan emosi
“Hey Hutan! Panggil aku Mark!” balasnya sengit.
“Mark?? Nama yang terlalu bagus untukmu dan lagipula untuk apa aku memanggilmu begitu. Kau lebih cocok di panggil marcusuar! Apa kau tidak pernah bercermin? Lihat apa perbedaan hidungmu dengan marcusuar! Tidak ada! Hidungmu sama besar dengan Marcusuar! Hanya saja Marcusuar berisi lampu sedangkan hidungmu berisi tai hidung!” aku sungguh kesal pada bocah gila ini. Aku tersenyum senang setelah dapat mencaci si Marcusuar.
“Jaga ucapanmu Hutan! Lihat kelakuan dan penampilanmu! Rambutmu kusut dan tingkahmu sama seperti orang hutan yang tidak tahu sopan santun!”
“hey! Siapa yang tidak tahu sopan santun! Kamu yang mencaciku duluan!” balasku penuh emosi.
“Memang cocok namamu hutan, karena kau sama seperti tarzan!”
“Hidung besar!”
“tarzan!”
“Hidung Besar!”
“Tarzan!”
“Ah, sudahlah! Lebih baik aku pergi dari sini. Untuk apa aku melayani si hidung Marcusuar!”
“ya! Dan lebih baik kau pergi dari tadi TARZAN!”
“Hidung besar sialan!”
“Terima Kasih Kuenya, TARZAN!” ‘blam’ lalu pintu rumah itu tertutup. Itu sungguh membuatku kesal! Kacang polong yang berada di dalam kepalaku tentu sudah matang sekarang! Dengan langkah penuh emosi aku meninggalkan tempat aku berdiri tadi.
Di pinggir jalan, aku menemukan sebuah batu kerikil yang cukup besar. “Aha!” gumamku sambil tersenyum bak iblis. Kuambil batu itu dari atas tanah dan kulirik rumah yang baru saja kutinggalkan. Kulemparkan Baru itu ke salah satu jendela yang berada di rumah itu.
“Prang!” tepat sasaran! Batu itu pas mengenai jendela, dan kacanya pecah. Terdengar suara kegaduhan dari dalam sana. Akupun berjalan pulang sambil tersenyum puas.
***

Hari-hari berikutnya adalah perag bagi aku dan si bocah gila. Setiap kali bertemu dengannya, tatapan sinis dan saling hina tak bisa di hindari. Bahkan aku pernah menamparnya karena menghinaku di depan umum.
“Dasar wanita Tarzan yang hanya berotak sebesar kacang polong!”
“terserah apa katamu, MARCUSUAR!”
“Lihat mulutmu! Berlepotan dengan saus dan serpihan roti! Oh, tentu saja! Kau kan terbiasa tinggal di hutan dan tak pernah sarapan pagi dengan roti isi dan burger! Dasar Tarzan rakus!”
“apa Katamu! Coba ucapkan sekali lagi!”
“Tarzan Rakus!” ‘plak’ aku mendaratkan sebuah tamparan di pipi kirinya. Aku tersenyum penuh kemenangan karena berhasil menamparnya. Banyak murid yang tertawa melihat bagaimana ekspresi si hidung besar setelah kutampar. Aku semakin puas melihatnya.

Aku tahu ia ingin sekali membalasku. Ia mengangkat tangannya dan bersiap-siap menamparku. Tapi aku tahu ia tak akan sanggup menamparku di depan banyak orang. Apa kata orang jika seorang pria menampar wanita? Sungguh tak pantas! Aku berkecak pinggang penuh kemenangan sambil menunggu reaksinya.

Ia mengacungkan jari telunjuknya ke arahku sambil menatapku tajam, seakan tatapannya adalah pedang berapi yang siap menikamku.
“Aku akan Membalas semua ini Vorest!” ucapnya dingin dengan bercampur kemarahan
“Oh silahkan HIDUNG BESAR!”

Ia segera pegi dari hadapanku, lalu tawapun meledak setelah itu. Semuanya menertawakan bagaimana ekspresi Bocah gila itu. Betapa malunya dia saat ini. Hahahaha kasihan sekali si hidung marcusuar..
Ah iya! Apa benar ada noda saus dan serpihan roti di mulutku. Aku segera mengelap mulutku dan ternyata benar! Aku cepat-cepat membersihkannya
***

Setelah sampai di rumahpun, hatiku masih berteriak menggebu-gebu sangkin senangnya di sekolah tadi. Bahkan sampai malam tiba, aku masih merasa kesenangan. Kuputar lagu PYT-MJ sambil menari-nari kegirangan.

Di tengah-tengah kegiranganku, aku langsung melopat ketika kaget manghampiriku.
“Prang!” suara kaca kamarku yang pecah akibat sesuatu membenturnya. Ku dekati kaca jendela itu dan melihat batu kerikil tergeletak tak jauh dari jendela. Aku langsung melihat ke luar jendela. Aku bisa melihat dengan jelas bayangan Si Hidung besar berlari menuju rumahnya. Oh,, jadi kau ingin perang hidung besar? Baiklah, akan ku layani!

Kaca jendelaku pecah, malam ini aku terpaksa merasakan dinginya angin malam yang masuk dari jendela itu sebelum ia di perbaiki besok. AWAS KAU MARCUSUAR!
***

Setiap seminggu sekali di rumah kediaman Feehily dan Vorest, pasti ada saja jendela yang pecah. Bahkan mungkin, lebih baik kami menyiapkan stok kaca sendiri di rumah. Untungnya orangtuaku dan si hidung besar tidak tahu siapa pelaku ini semua.

Sore ini, aku memang memiliki waktu luang. Dan sudah ku putuskan untuk melakukan sebuah kegiatan di waktu luang ini. Aku memanjat pohon yang ada di dekat rumahku dan menjaci rantinya yang berbentuk huruf Y. di tengah-tengah asiknya mencari ranting, lagi-lagi suara si bodoh datang!
“haha… Ada tarzan sedang manjat pohon rubanya!”
“diam kau Hidung Marcusuar!”
“ya.. mungkin tarzan tidak ingin di ganggu, tarzan ingin konsentrasi memanjat pohon! Dada Tarzan!” lalu ia pergi. Hahaha kau belum tau nasib buruk apa yang akan menimpamu HIDUNG MARCUSUAR!

Setelah mendapatkan ranting yang sesuai, aku mengikatkan dua bagian ujungnya dengan karet ban, dan jadilah ketapel. Lalu ku kumpulkan kerikil dengan ukuran sedang. Setelah selesai, akupun melaksanakan misiku.

Aku berkeliaran di sekitar rumah keluarga Feehily, lalu mengeker sasaran yang akan di hancurkan oleh peluru ketapelku. Kutarik karet ketapel dan ‘Prang!’ sebuah kaca telah pecah dan kuulangi berkali kali hingga nyaris seluruh kaca jendela di rumah itu pecah.
“Prak!” kekeranku salah, batu kerikilku malah mengenai sebuah pot bunga dan alhasil pot itu pecah berbelah di atas tanah. Mrs.Feehily dan Si hidung besar keluar saat keributan itu terjadi. Mereka sempat ternganga melihat rumah cantik mereka sekarang dengan kaca jendela yang sudah hancur.

Mrs.Feehily semakin kaget ketika melihat bunga yang berada di pot bunga kesayangannya sudah tak berbentuk di atas tanah. Mrs.Feehily tak sebodoh anaknya, ia segera mencari pelaku pengerusakan rumahnya. Di tengah perjalananku ingin bersembunyi di rumah, Mrs.Feehily meneriakkan namaku. Matilah aku!

Aku terpaksa berhenti berlari dan berbalik arah. Ketapel yang berada di tanganku sudah cukup menjadi bukti bahwa akulah pelaku pengerusakan ini. Ia segera menghampiriku dengan si bocah gila mengekor di belakangnya.
“Apa maksudmu dengan semua ini?” Tanya Mrs.Feehily sinis. Jelas ia sangat marah! Hamper semua kaca jendela rumahnya hancur kubuat.
“Aku.. aku ingin balas dendam” jawabku jujur.
“Dendam? Apa kesalahan kami padamu?”
“Mark! Dia yang memulai ini semua! Ia menghinaku terus menerus!”
“Tapi dia yang pertama kali melempar batu ke jendela kita!” Mark berusaha membela dirinya.
“Tapi..”
“Ada apa ini?” Tanya mama yang terheran dengan keributan di depan rumahnya.
“Mrs.Vorest saya rasa putrid anda sudah keterlaluan. Lihat rumah saya, seluruh kaca jendelanya nyaris pecah semua dan itu semua ulah putrid anda” mama terkatub mendengar ucapan Mrs.Feehily dan menatpku lurus.
“benarkah itu Valy?” Tanya mama memastikan, aku hanya dapat mengangguk namun aku segera member penjelasan
“Tapi aku tidak akan begitu jika Mark tidak menggangguku terlebih dahulu!”
“hah?! Aku? Hey kamu yang pertama kali menyerangku dengan kerikil!”
“tapi itu tidak akan terjadi jika kau bersikap baik dan tidak mencemoohku!”
“sudah! Tak akan selesai jika kalian adu mulut begini! Begini sja, Mrs.Vorest tolong didik putrid anda dengan baik dan jangan biarkan ia bersikap liar seperti ini”
“apa?! Liar katamu?! Putiku bukan gadis liar! Dia tidak akan begitu jika tidak ada sebabnya! Kau kira putriku gila sehingga ia melakukan ini tanpa sebab!?” mama semakin panas saat aku di katakana liar
“lalu apa namanya jika seorang puti kecil bisa menghancurkan rumah orang!”
“ia hanya mengancurkan kaca jendelamu bukan rumahmu!”

Adu mulutpun tak dapat di hindarkan. Jujur, aku mulai takut jika melihat orang dewasa adu mulut. Aku dan si hidung besar terdiam dengan kejadian ini. Namun aku sadar! Dia bukan penyelesaiannya. Aku mencoba menghentikan ibuku.
“ma… sudah..”
“Diam kau! Ini karena ulahmu juga!” bentak mamaku. Aku menjadi tak berkutik, aku tak tau harus apa. Aku tak diam dan membiarkan ini terus berlanjut, tapi aku juga tidak bisa berbicara atau mama akan semakin memarahiku.
“hey ada apa ini?” syukurlah! Papa beserta Mr.Feehily datang. Mereka mencoba melerai adu mulut kedua wanita ini. Papa menyuruhku untuk masuk ke dalam, begitu juga dengan si marcusuar. Aku sangat bersyukur karena papa berhasil membawa mama masuk ke rumah.
***

Aku masih terduduk di atas kasur, aku tak menyangka ini semua akan terjadi. Ini hanya berawal dari ejekan kenak-kanakan kami namun berbuntut pada permusuhan mama dan Mrs.Feehily. sungguh tak pernah aku bayangkan sebelumnya.
‘krek’ pintu kamarku terbuka. Aku melohat sosok papa masuk ke dalam kamarku.
“pa..” aku menyambutnya
“Valy, bisa kau jelaskan apa yang terjadi? Apa ini buntut dari ketidak sukaanmu kita pindah ke sligo?”
“bukan pa!” aku segera membantahnya dan menjelaskan semuanya dari awal. Aku besyukur memiliki papa yang bijak saperiti papaku ini. Dan papa bisa mengerti keadaanku, Thanks Papa..
***

Aku berangkat ke sekolah seperti biasa. Perasaanku juga terasa jauh lebih baik sekarang. Selama ada papa yang mengerti aku, aku percaya semuanya akan baik-baik saja. Dan seperti biasa pula, pelajaran yang dijelaskan panjang lebar oleh Mr.Brown tak kunjung masuk ke dalam otakku yang besarnya hanya sebesar kacang polong.

Untungnya bel sekolah berbunyi dan pelajaran membosankan ini berakhir. Aku segera berdiri dari bangkuku dan ingin segera keluar dari kelas yang sumpek ini.
Aku hendak melangkahkan kakiku namun si hidung besar berdiri di depanku dan menghalangi jalanku.
“awas!” usirku.
“Ini semua karena kamu!” ia malah membentakku
“apa maksudmu?”
“coba saja jika kemarin kamu tidak melempari kaca rumahku dengan kerikil, pasti mama dan papa tidak akan bertengkar seperti sekarang!” enak saja si tolol ini menyalahkanku, ini juga kesalahannya! Siapa suruh memancing kemarahanku.
“Hey! Ini salahmu! Siapa suruh mengejekku pertama kali!”
“asal kau tau, kau itu pembawa sial!” heh? Kurang ajar sekali bocah ini! Sesudah meledekku sekarang malah menyalahkan dan mengataiku pembawa sial
“apa kau bilang, ucapkan sekali lagi!”
“Pembawa sial!” ‘Bug’ kuayunkan tinjuku ke rahang si bocah gila, dan ia tersungkur sambil memegangi rahangnya di lantai. Ia bangkit dan mendorongku hingga aku kurang keseimbangan dan terjatuh ke pelakang. Kepalaku membentur tembok yang ada di belakangku. Seketika itu pula pandanganku gelap semua dan aku tak mendengar apa-apa lagi.
***

Aku membuka mataku perlahan-lahan. Seingatku, tadi aku berada di ruang kelas, tapi kenapa sekarang aku berada di kamarku? Papa langsung menghampiriku dan mama hanya terdiam di samping tempat tidurku, tanpa ekspresi.
“kamu sadar juga akhirnya” seru papa.
“pa…” aku berusaha untuk bangkit agar dapat duduk, tak ada yang membantuku untuk duduk. Susah payah aku melakukannya sendiri.
“Bagagaimana keadaanmu?” Tanya papa
“pusing”
“Siapa suruh memukul anak orang!” seru mama sinis
“tapi ma..”
“sudahlah.. papa lelah mendengarkan perdebatan setiap harinya. Kemarin Mrs.Feehily dan mama berdebat akibat ulahmu bahkan mereka sampai bertengkar, dan sekarang mereka mengkhawatirkan Mark akibat ulahmu!”
“tapi itu bukan salahku. Mark yang mencari perkara denganku, lagi pula aku memukul rahangnya tidak dengan sekuat tenaga jadi pasti akan baik-baik saja.”
“Sudah! Papa lelah dengan sikapmu Valy! Papa tau sedari awal kamu tidak suka kalau kita pindah ke Sligo! Dan karena kamu tidak pernah senang berada di sini, papa sudah mengurus surat pindahmu kembali ke Dublin!” aku terkejut dengan ucapan papa. Sejauh itukah pikiran papa? Apa sungguhan yang barusan keluar dari mulutnya?
“papa.. apa papa sung..”
“papa sungguh-sungguh Valy. Papa rasa inilah jalan terbaik supaya kamu tidak bertingkah lagi”
“kapan aku akan pindah?”
“Besok”
“hah?! Secepat itu? Bagaimana dengan ujian akhirku?”
“kau akan ujian akhir di sana, papa sudah atur semuanya”
“huft.. terserah papa saja..”  

Sakit memang rasanya, di saat aku baru saja sadar bukan perhatian yang aku dapatkan namun tatapan tanpak ekspresi yang seolah-olah menganggap ini semua kesalahanku. Aku tidak akan begitu jika si hidung besar itu tidak memulainya duluan..

Ah sudahlah.. mungkin dengan membuat aku dan si marcusuar berjauhan, semuanya dapat menjadi lebih baik.. lagipula aku bahagia tidak akan melihat wajah gila itu lagi..
***

Beginilah aku sekarang. Sudah 3 tahun aku berada di Dublin dan selama itu pula aku tidak kembali ke Sligo. Untuk apa aku kembali ke sana jika mama dan papa sering mengunjungiku di sini, lagipula aku sudah membulatkan tekad untuk tidak akan melihat wajah si hidung besar yang membuatku mendapat nasib buruk.

Di sini hidupku tentram, aman dan nyaman. Tak ada jendela pecah dan ejekan bertubi-tubi. Aku juga lebih focus dalam pelajaran. Sebentar lagi aku akan masuk perguruan tinggi dan semoga saja aku lulus. Lagipula, sekarang otakku tak sekecil kacang polong lagi.

Aku memandang jauh ke luar jendela. Udara musim dingin memang sangat dingin hingga tak ada orang yang terlihat berada di luar sana. Pikiranku kembali melayang pada kejadian beberapa tahun lalu, saat jendelaku pecah akibat lemparan batu kerikil. Ini bukan yang pertama kalinya aku merasa seperti ini. Kerap kali aku mengingat kejadian itu, bahkan aku seperti rindu pada keca jendela yang pecah setiap minggunya. Aneh memang, tapi mungkin itu karena aku selalu mendengar suara kaca pecah setiap minggunya dan sekarang tidak. Seperti ada bagian yang hilang dari hatiku. Ah bodohnya rindu pada kaca pecah!

‘tok..tok..tok..’ seseorang mengetuk pintu apartemku. Ini adalah flat murah yang sengaja kupilih karena jaraknya paling dekat dengan sekolahku. Kadang aku agak was-was tinggal di sini, karena satpam yang berjaga di flat ini hanya 1 orang. Bayangkan 1 orang menjaga 20 lantai! Mungkin itu sebabnya mengapa harga apatemen ini begitu murah.

Dengan hati-hati kuintip dulu siapa tamu yang datang. Sepertinya aku tidak mengenal orang ini. Aku semakin was-was, namun ia terus mengetuk pintunya. Entah kenapa hati kecilku memaksaku untuk membuka pintu ini. Akupun membukanya begitu saja.

Betapa kagetnya aku melihat sosok yang ada di depanku. Wajahnya pucat bagaikan mayat, bahkan ada beberapa titik di wajahnya yang terlihat membiru. Aku yakin orang ini kedinginan. Wajar saja, suhu di luar seperti di dalam kulkas! Kita bisa menjadi es batu jika berlama-lama berada di luar.

Aku langsung menarik orang itu masuk ke dalam karena sangkin tak tega melihat dia yang sudah sangat kedinginan dan nyaris membeku. Aku segera menaikkan suhu pemanas.
“Voley..” panggil orang itu. Ah Tuhan! Aku ingat hanya dia yang memanggilku begitu! Si bocah gila 3 tahun yang lalu! Beginikah bentuknya sekarang? Badanya besar sekali! Terakhir kulihat kami masih sama tinggi namun sekarang, aku hanya sedadanya. Matanya masih biru, alisanya dan panjang, bibir bawahnya tebal, dan pastinya hidungnya yang besar. Wajahnya tak berubah. Dialah si Marcusuar.
“panggil aku Valy, Marcusuar!” aku kembali sini pasanya setelah mengingat betapa ia telah membuatku repot dan kesal.

Inilah efek dari udara dingin, aku harus bolak balik ke WC untuk buang air. Sekembalinya aku dari WC, aku mandapati sosok besar tadi terkapar di atas kasur dengan damainya. Sesaat aku sempat kaget, apakah dia pingsan atau bahkan mati! Aku segera menepuk-nepuk wajahnya, dan ia bergerak.
“Perbaiki posisi tidurmu” ia bergerak dan memperbaiki posisi tidurnya dari telungkup dengantangan terhimpit menjadi tengkurap. Huft.. untungnya dia tidak apa-apa.. kalau sampai dia mati di sini, bisa repot aku!

Kusentuh jeket yang dikenakannya. Jaketnya basah, pasti ada salju yang menempel saat ia masuk ke sini. Aku bingung sendiri bagaimana cara melepaskan jaketnya. Aku mencoba melepanya namun ia terbangun, walaupun hanya setengah sadar.
“Leoaskan jaketmu dulu.. jaketmu basah” lalu ia menurut dan melepaskan jaketnya. Aku menarik dua lapis selimut untuk menyelimutinya. Namun, aku belum beranjak dari sampingnya.

Aku masih sangat kesal pada pria yang ada di hadapanku pada saat ini, namun rasa prihatinku jauh lebih besar daripada kekesalan itu. Toh kalau dia mati di sini aku juga yang repot! Mataku tak bisa lepas dan terus memandangi wajah nyenyaknya yang pucat. Syukurlah biru-biru di wajahnya tak terlihat lagi. Lalu apa tujuan si gila ini datang ke sini?

Perlahan-lahan tanganku menyentuh dan mengusap wajah pucat itu. Dingin sekali!  Kugosokkan kedua tanganku agar telapak tanganku terasa lebih hangat lalu kutempelkan pada wajahnya. Aku terus mengulanginya, aku akan berhenti apabila dia sudah tidak sedingin salmon beku lagi!
“valy..” aku terkejut mendengar suara itu. Suara itu berasal dari bibir pucatnya. Aku terdiam dan menatapnya dalam-dalam.
“Valy.. I’m sorry..”

Aku tercekat mendengarnya. Itukah yang ada di pikirannya? Atau itukah yang ada di hatinya? Atau jangan-jangan ia datang ke sini hanya untuk meminta maaf padaku?

Aku tak tau bisa memaafkannya atau tidak.. dia terlalu membuatku kesal.

Aku hendak beranjak dari tempat tidur. Namun mataku masih ingin menatap sosok damai lemah ini. Apa yang terjadi pada wajahnya? Seingatku wajahnya dulu sungguh menyebalkan! Mengapa sekarang aku begitu menikmati wajahnya.

Perlahan-lahan kudekatkan wajahku dengan wajahnya, kupenjamkan mataku lalu kukecup keningnya lembut. Hatiku sedang melakukan demonstrasi besar-besaran hingga akhirnya aku kalah dan tak bisa melawan hatiku. Aku tersenyum hangat, walaupun ia tidak melihatnya. “ya, aku maafkan” dan itupun entah dia dengar atau tidak. Lalu aku benar-benar beranjak dari kasur dan duduk di meja belajarku.

Sebegitu mudahkah aku memaafkannya? Padahal tadi aku masih sangat kesal padanya..

Jatah kasurku sudah di ambil oleh Mark, hmm pertama kalinya aku memanggil dia dengan nama aslinya! Hey, tadi dia juga memanggil nama panggilan asliku! Itu yang pertama kalinya. Aku membaca buku-buku pelajaranku, lagipula aku belum terlalu mengantuk..
***

Aku mengusapngusap mataku dan meregangkan otot-ototku yang kaku lalu menguap selebar-lebarnya. Untung tak ada lalat di sini, kalau ada mundkin sudah tersedot dan masuk ke dalam mulutku. Aku merasakan bahwa pundak dan leherku terasa pegal akibat tidur di meja belajar.

Kupandangi sosok yang masih tertidur pulas di atas kasur. Sepertinya dia benar-benar lelah. Aku melihat jam dinding yang berada di belakangku. Jam menunjukkan pukul 6 am. Sejak aku pindah ke Dublin aku sudah terbiasa bangun pukul 6. Aku mencuci wajahku dan menyiapkan sarapan, kalau-kalau si Marcusuar bangun dan kelaparan.

Kira-kira satu jam berlalu dan sarapan sudah siap, aku kembali ke kamar dengan membawa sarapan. Mark masih tidur di atas kasur. Namun, aku sedikit kawatir kalau dia belum makan dari tadi malam. Aku putuskan untuk membangunkannya.

Baru saja aku duduk di atas kasur, ia sudah membuka matanya. Sepertinya dia sudah puas dengan tidurnya.
“Morning..” sapaku padanya.
“Morning..”
“sudah kuat atau masih mau di kasur?”
“aku sudah kuat” lalu ia duduk di atas kasur.
“ini sarapanmu” aku menyodorkan sarapan padanya.
“thanks” aku hanya tersenyum membalasnya.
“eh, di mana tas ku?” tanyanya padaku.
“mana kutahu, memangnya kamu bawa barang ke sini?” tanyaku balik
“iya, sebuah ransel” lalu aku segera pergi ke depan pintu flatku. Dan benar dugaanku! Tasnya masih berada di luar. Aku mengangkat tas itu ke dalam.
“tasmu aman!” seruku ketika masuk ke kamar.
“di mana dia?”
“di ruang depan.”

Aku terkaget melihat seberapa besar nafsu makan si marcusuar. Aku baru saja meninggalkannya sebentar namun sarapan yang kubuat sudah habis di lahapnya.
“mau nambah?” tawarku
“Nggak! Aku ke sini bukan untuk makan!”
“lalu?”
“aku..” dia menarik nafas panjang, seakan kalimat berikutnya begitu sulit diucapkan. Aku bersabar menunggu kata-tanya.
“Aku.. aku ingin meminta maaf..” Bingo! Tebakanku benar!
“untuk?”
“Semua hal mengesalkan yang aku lakukan padamu. Aku tahu ini semua salahku. Aku tak menyangka hanya dengan kejahilan-kejahilanku padamu akan membuat semuanya serunyam ini. Kau dipindahkan ke Dubli, ibu kita bertengkar, dan ayah kita yang pusing melihatnya.”

Akhirnya! si hidung besar mengakui kesalahannya setelah sekian lama selalu menyalahkanku atas segalanya!
“Aku senang berada di sini, dari awal aku tak suka pindah ke Sligo”
“tapi tidak dengan kau di cap sebagai anak bandel”
“sudahlah, aku memang bandel sejak kecil”
“namun orang-orang tidak mengecapmu begitu sebelumnya”
“oh sudahlah. Mama masih bertengkar dengan mamamu?” aku berusaha mengalihkan pembicaraan. Sebenarnya pindah kesini tidak seenak yang aku ucapkan. Di sini aku kesepian! Dan itu akibat ulahnya. Bukan! Ini tak sepenuhnya kesalahan Mark. Aku juga bersalah! Seandainya aku tidak melempari jendela keluarga Feehily pasti tak begini.
“Walau tak seganas dulu, mereka belum saling bicara. Bahkan tak jarang mereka saling sindir”
“Oh, siapa sekarang yang terlihat seperti anak kecil”
“haha, mereka memang terkadang seperti anak kecil!” aku tertawa membayangkan dua wanita paruh baya itu saling sindir. Wah.. pasti pedas seperti cabai!
“Kau mau tau kenapa aku selalu mengganggumu?” dia menawarkan diri untuk menjelaskan alasan ia memnggangguku!
“ya! Kenapa kau selalu mengejekku?!” aku memasang wajah cemberutku persis seperti 3 tahun lalu saat ia menggangguku. Ia tertawa melihat ekspresiku, sepertinya ia tertawa bukan hanya karena ekspresiku..
“karena aku tertarik padamu” hah? Apa maksudnya dengan tertarik?!
“pertama kali kau menginjakkan kaki di kelas, bagiku kaulah gadis tercantik yang pernah aku temui”
Bisa kurasakan wajahku memanas sekarang. Aku tak berani menatap wajahnya karena sudah pasti wajahku sudah memerah!
“ya, aku suka padamu dan itu sebabnya aku selalu mencari cara untuk menarik perhatianmu” betapa jujurnya si hidung besar ini. Aku tersanjung dengan seluruh pernyataannya yang sudah membuatku salah tingkah!
“apa sampai sekarang kau masih mencintaiku?” astaga! Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutku! Mark langsung menatapku heran kemudian tersenyum menahan tawa. Bodoh! Ini namanya mempermalukan diri sendiri!
“Tidak. Begitu banyak wanita cantik di Sligo. Bukan hanya cantik, tapi sexy, pintar, manis, anggun, lembut, …………”
“ya ya ya!” aku segera memotong criteria wanita Sligo itu. Jelas sekali ia ingin membedakan dengan sikapku yang liar. Sialan!
“Tapi kenapa kau bilang aku pembawa sial? Kau masih ingatkan? Waktu aku memukul rahangmu”
“ya aku ingat”
“bisa kau jelaskan itu?”
“tentu, semenjak kedatanganmu ke Sligo, pikiranku selalu di penuhi denganmu dan membuat aku semakin sering mengganggumu. Seandainya kamu tidak pernah pindah ke Sligo, aku pasti tidak akan seperti itu”
“kau menyalahkanku?!”
“aku belum selesai bicara. Lalu di puncak kau melempari kaca jendela rumahku, papa kewalahan untuk meredakan emosi mama hingga akhirnya mereka bertengkar. Dengan keadaan rumah yang sedang perang dingin itu, aku merasa tersiksa hingga aku menyalahkanmu. Aku sadar, bahwa dulu aku adalah bocah egois yang tolol”
“ya benar! Kau memang bocah egois yang tolol!” Mark tersenyum padaku, seakan membawa suasana 3 tahun lalu ke sini. Aku tak bisa bohong, aku rindu dengan suasana 3 tahun lalu, dan sekarang dia membawa suasana itu lewat senyumnya!
“Maafkan aku.. Apa kau mau memaafkanku?” matanya begitu memohon. Aih!! Tolong jangan keluarkan mata itu karena aku tak akan bisa menolaknya! Jangan Tanya kenapa, karena aku sendiri juga tidak tahu!
“haruskah aku memaafkanmu?” oh, untunglah aku masih bisa mengatur gengsiku.
“Tolonglah, aku tak bisa menahan rasa bersalah ini lebih lama lagi! 3 tahun aku bertahan dalam keadaan ini dan aku sudah tak kuat lagi!”
Jadi hanya karena ini ia rela nyaris menjadi salmon beku?!
“Please..” dia memohon dengan amat teramat sangat dan hamper membuatku tertawa karena tingkah bodohnya. Tak aku sangka orang seperti dia akan melakukan hal bodoh ini!
“jika itu artinya menraktirku seharian penuh akan kumaafkan”

Merekah sebuah senyuman di sana. Sungguh indah bagaikan bunga musim semi. Kunikmati senyum yang menakjubkan itu hingga akhirnya ia bangkit dan memelukku erat-erat.
“Makasih…” bisiknya di tengah peluk dadakannya, dan aku hanya tersenyum bahagia
***

Untunglah hari ini adalah sabtu, sehingga tak ada pelajaran di sekolah. Siang ini, demi melunaskan janjinya, kami berdua keluar berkeliling kota. Tentu tidak berkeliling saja! Lihat saja nanti, bangkrut kau kubuat Feehily!
“Mark, Kita ke took kue yang di sana ya!” Mark menatapku dalam akhirnya ia membuka mulutnya.
“ini pertama kalinya kau memanggilku begitu”
“hah kau mau kupanggil hidung besar lagi? Ayo ke sana, aku sudah nggak sabar!” seraya menarik tangannya menuju took kue di seberang jalan.

Setelah masuk ke toko itu, langsung saja kuambil semua kue yang ingin kumakan. Setelah memilih-milih, kuletakkan seluruh kue pilihanku di atas meja kasir. Penjaga kasir itu menelan ludah saat melihat kue-kue itu berada di depannya.
“Akan mengadakan pesta ya?” Tanya penjaga kasir itu
“Tidak” jawabku sekenanya sambil tak sabar menunggu si penjaga kasir mengemas kue-kue itu.

1 box besar berisi kue itu di tenteng sepanjang jalan menuju kursi taman oleh Mark. Hehe dia menjadi babuku hari ini.
“Nah, mana kue-ku Mark?” aku meminta kue yang dari tadi dia tenteng sepanjang jalan.
“nih” seraya memberikan box besar itu padaku. Tanpa banyak basa-basi, langsung saja kulahap kue-kue itu.
“kamu yakin bisa menghabiskan seluruh kue itu?” Tanya mark heran dengan nafsu makanku.
“bukan aku yang akan menghabiskan kue ini, tapi kita!” aku menawarkan kue di dalam box itu padanya.


Cukup mengagetkan memang, 1 box besar berisi kue itu ludes kami lahap. Betapa besarnya nafsu makan kami, atau begaimana besarnya muatan perut kami.
“Kenyang!” seru Mark seraya memegang perut dengan kedua tanganya.
“aku juga, aku tidak akan makan lagi untuk hari ini! Mark, aku ingin jaket baru, dress, syal, kemeja, kaos…”
“ayo kita ke toko baju!”potongnya seraya berdiri dan menarik tanganku agar aku bergerak.
***

Betapa senangnya aku hari ini. Membuat penjaga kasir tecengang, membuat toko baju gaduh, membuat orang-orang di sepanjang jalan terheran dengan tingkah kami, pokoknya semua aku suka! Kami sedang berjalan menuju flatku karena hari sudah mulai gelap dan udara semakin dingin.
“Kalau boleh jujur, aku sering berharap agar kaca jendela rumahku pecah” ucap Mark di tengah-tengah perjalanan pulang.
“kenapa?” tanyaku heran
“Entah kenapa aku merasa rindu dengan kaca jendela yang pecah setiap minggunya oleh ulahmu” aku tertawa mendengar pernyataan Mark.
“Aku juga kadang begitu”
“Kau juga rindu pada kaca jendela pecah?” tanyanya tak percaya, namun aku mengangguk dan iapun ikut tertawa.

Akhirnya sampai juga kami di flatku. Udara hangat segera menyelimuti tubuh kami yang kedinginan. Kami berbincang-bincang, bahkan tertawa bagai orang gila hingga larut malam. Aku tak ingin bertanya kapan Mark akan pulang ke Sligo. Karena aku tak mau dia pulang! Entah bagaimana bisa begini, aku tak mau dia pergi meninggalkanku.

Aku menguap selebar-lebarnya ketika jam dinding telah menunjukkan pukul 1 am. Mataku mulai terasa berat ingin tidur.
“Kau sudah sangat mengantuk, sebaiknya cepat tidur”
“Nggak ah..”
“tenang saja. Aku tidak akan berbuat yang tidak-tidak padamu”
Hey! Bukan itu maksudku! Aku masih ingin di sini dan menghabiskan waktu bersamamu!
“jauh sekali pikiranmu, aku bahkan tak berfikiran sejauh itu!”
“haha tidurlah…”
“tapi, kau tidur di mana?”
“gampang, di mana tempatmu tidur tadi malam maka di sana pula aku akan tidur”
“tapi..”
“tidurlah..”

Akupun menurut dan merebahkan diriku di atas kasur dengan di selubungi selimut tebal yang begitu hangat. Ya, masih ada hari esok untuk bersama dia. Mark beranjak dari kasurku dan duduk di atas meja belajarku. Terserah dia mau tidur di mana! Aku ngantuk sekali!

Hanya memerlukan waktu sebentar hingga akhirnya aku berangkat ke negri mimpi. Namun mimpi kali ini terasa begitu nyata. Sesuatu yang lembut mengelus pipiku, lalu sebuah kecupan hangat seakan hinggap di keningku.

Eh, tapi sepertinya ada kecupan yang agak dingin di jidatku. Tunggu ini bukan seperti kecupan! Ada sesuatu yang berada di atas wajahku!

Aku segera terbangun dari tidurku. Kudapati wajahku dengan selembar kertas yang berisolasi di jidatku. Kulepaskan kertas itu dari jedatku dan melihat isinya. Pandanganku belum begitu focus. Samar-samar ku baca kertas itu..

 Dear Valy,
Maaf jika surat ini sedikit aneh Karena aku menempelkannya di jidatmu. Aku takut jika aku letakkan di tempat lain nanti kau tak melihat surat ini. Biar bagaimanapun, aku ingin agar kau membaca surat ini.
Kau taukan bahwa liburan belum tiba, dan aku tidak bisa berlama-lama di sini atau aku akan membuat mama kawatir. Aku harus segera kembali ke kehidupanku di Sligo. Sekali lagi terima kasih karena sudah memaafkanku dan menerimaku di sini. Aku sangat bahagia berada di sini, dan kalau bisa ku tak ingin pulang. Hanya saja, mau bagaimana lagi. Aku harus pulang.
Kau ingatkan mengapa 3 tahun lalu aku selalu mengganggumu. Ya, itu karena aku selalu ingin mendapatkan perhatianmu dan aku sadar bahwa aku juga mencintaimu. Aku yakin kau tau itu. Mungkin ini tak penting bagimu untuk kau ketahui, tapi ini sangat penting bagiku untuk kau ketahui. Aku bilang bahwa aku tidak mencintaimu lagi, kau ingat bukan? Tapi itu bohong! Alasanku ke sini dan nyaris menjadi manusia balok es karena aku tak dapat menahan rasa rindu ini lebih lama lagi. Dan karena rasa rindu itulah aku di kejar-kejar oleh rasa bersalah. Seandainya dulu aku tak memancing emosimu, pasti kamu masih berada di Sligo dan menjadi tetanggaku.
Aku hanya ingin kau tahu, sejak 3 tahun lalu perasaan yang aku rasakan padamu tak pernah berubah! Tak peduli seberapa jauh jarak antara kita. Sedekat apapun aku denganmu, rasa rindu tetap berada bersamaku. Namun, dapat bertemu denganmu sudah cukup bagiku, aku harus bersyukur. Aku tahu bahwa aku adalah pengecut yang tak berani mengungkapkan isi hatinya secara langsung. Aku terlalu penakut untuk melawan diriku sendiri.
Maaf jika aku tidak berpamitan denganmu terlebih dulu, aku tak tega membangunkanmu yang masih tertidur pulas. Lagipula aku tak sanggung harus mengucapkan kata-kata perpisahan padamu, karena aku memang tak pernah ingin berpisah darimu.
Terimakasih sudah membaca surat Bodoh yang berisi pengakuan ini. Love you Valy.
                                                                                           The loser
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                           Marcusuar

Astaga! Dia pergi! Dia pergi meninggalkanku! Padahal aku kira hari ini ia masih akan bersamaku. Aku masih ingin menghabisakan waktuku bersamanya. Aku belum ingin berpisah! Uh, Marcusuar sialan!
Tak dapat kutahan, air mataku jatuh dan membasahi surat itu. Kuharap ini hanya mimpi.
“Auwh!” sakit! Aku mencubil lenganku dan rasanya sakit. Ini bukan mimpi….
***

Kubasuh wajahku dan menatap wajahku sendiri di cermin.

Sebegitu kehilangankah aku dengan kepergiannya?

Aku keluar dari kamar mandi dan menatapi meja belajarku. Tadi malam Mark masih duduk di sana namun pagi ini di sudah tak di sana lagi. Padahal aku berharap saat aku bangun di masih tertidur di sini.

Kutarik nafas dalam-dalam untuk mengendalikan emosiku. Aku putuskan keluar untuk menyegarkan otakku.

Sepenjang jalan ayang aku lewati,aku hanya terdiam sambil menatap jauh ke depan. Pikiranku melayang pada Mark. Ia mencintaiku, harusnya dia jawab jujur saat kutanya! Aku terus berjalan tak tentu arah hingga akhirnya aku merasa letih namun otakku tak kunjung segar. Aku merasa ini sia-sia lalu aku kembali ke flat.

Kubuka mantelku hingga aku hanya menggunakan kaos dan celana panjang. Aku duduk di tengah-tengah kasur dengan masih termenung. Aku teringat kemarin saat ia kedinginann dan dengan nyenyaknya tidur di kasurku. Tidurnya begitu nyenyak dengan wajah yang sangat damai. Aku ingin menikmati wajah itu lagi. Aku manarik nafas dalam berkali-kali..
“Prang!!” sesuatu menghantam kaca jendelaku hingga pecah dan membuyarkan lamunanku. Aku segera beranjak dari kasur menuju jendelaku yang pecah.
“Maaf Valy, aku tak sengaja menendangnya. Akan aku perbaiki nanti” Frank meminta maaf padaku. dia memang bertugas membersihkan kaca di sini sekali sebulan. Aku tak menggubris permintaan maafnya. Aku justru terdiam memndangi pecahan kaca tersebut. Pecahan kaca ini seperti membawaku pada kejadian 3 tahun lalu saat pertama kalinya kaca kamarku pecah. Tidak! Aku tak dapat menahannya lagi! Aku merindukan apa yang dia lakukan padaku!  Aku sadar! Aku sangat sadar!

Aku mencintainya juga!
“terima kasih Frank!” Frank heran dengan kata-kataku. Namun aku segera pergi dari sana dan berlari keluar dari flatku menuju stasiun.

Aku tak sempat mengambil matelku, dan sekarang aku kedinginan! Tapi rasa ini bukan apa-apa di bandingkan dengan rasa rinduku padanya! Sekarang aku rasakan bagaimana rasa rindumu padaku Mark. Aku melihat jam yang ada di stasiun, pukul 4.45 pm. Bagus! Masih ada 15 menit lagi sebelum bis terakhir berangkat!

Aku segera ke loket dan memesan tiket. Aku sempat ketakutan jika tiketnya sudah habis terjual. Ternyata Tuhan sangat baik padaku, ia menyisakan sebuah tiket agar aku bisa berangkat ke Sligo. Thanks God!

Aku segeranaik ke dalam bis. Perjalanan di dalam bis terasa sangat lama. Setiap detik yang aku lewati, bagaikan setahun rasanya. Ditengah perjalanan mataku terasa berat, aku memang kurang tidur tadi malam. Tanpa dapat kutahan lagi, akupun tertidur di dalam bis yang mengangkutku.
*
“Mark, aku juga mencintaimu!”
“tapi.. sepertinya kita tak bisa bersatu”
“kenapa?”
“mama pasti tak akan merestui kita”

Aku teringat dengan perang antara mamaku dan mamanya yang sampai sekarang belum kunjung selesai. Bagaimana jika mereka tidak memperbolehkan kami bersama? Ini kesalahan kami. Kami yang membuat ini semua terjadi…
“Maaf nona, Kita sudah sampai dan semua penumpang sudah turun” seseorang membangunkanku yang baru saja mampir ke negri mimpi.  Sebisa cepat mungkin aku mengembalikan kesadaranku.
“Thanks” aku segera turun dari bisa itu.

Tak ada taksi yang lewat dari tadi, sialan! Untunglah jarak rumahku dan stasiun bis hanya berjarak 100 meter. Aku memeluk tubuhku sendiri. Begitu dingin di luar sini.. lagi-lagi kurasakan penderitaanmu Mark!

Aku terus berjalan dan berjalan padahal seluruh tubuhku sudah menggil kedinginan. Sudah 3 tahun aku tidak menginjakkan kaki di kota ini dan semoga saja aku tidak tersesat. Memang banyak yang berbeda dari kota ini setalah 3 tahun kutinggalkan, untungnya aku masih ingat jalan-jalan besar yang biasa aku lalui untuk sampai ke rumah.


Dari persimpangan ini, kulihat rumah bercat putih dengan rumah bercat cream di depannya. Kaca kendela rumah putih itu sudah tak ada yang pecah lagi. Terakhir kali aku melihatnya kaca jendel rumah itu masih luluh lantak akibat ulahku.

Dengan langkah bergetar aku menuju rumah putih itu. Sekarang aku sudah berdiri di depannya.

Aku teringat dengan perkataannya, “Terkadang aku berharap kaca jendelaku pecah”.Kutemukan sebuah batu kerikil yang cukup besar di dekat tempatku berdiri. Kuraih batu itu dan melemparkannya ke kaca jendela paling kanan rumah itu.
“Prang!”Ini persis sekali dengan kejadian 3 tahun lalu saat aku mengantar bolu coklat ke rumahnya.
“Auh!” terdengar kegaduhan kecil dari dalam sana.

Seorang wanita paruh baya segera keluar rumah dan mencari sumber suara itu, diikuti dengan pria paruh baya di belakangnya. ‘Ah, kenapa haru mereka yang pertama kali keluar! Harusnya kan Mark!’ gerutuku dalam hati.

Dua orang itu sadar akan keberadaanku di depan halaman rumah mereka. Merek menatapku heran. Mereka seakan mengingat-ngingat siapa aku.

Tak lama kemudia sosok pemuda tingging berambut hitam keluar dari pintu rumah dan terpaku menatapku. Aku tahu dia terkejut dengan kedatanganku. Dari raut wajahnya sepertinya ia berkata ‘Kenapa dia bisa sampai di sini?’

Pria itu segera berlari menghampiriku. Aku segera memeluknya erat-erat, begitu pula dengannya. Ia juga memelukku erat.
“Valy, badanmu dingin sekali” ia makin mendekapku hangat
“keinginanmu terkabul, kaca jendelamu pecah” seruku dengan tawa yang tak terdengar lagi.
“Ayo masuk sebelum kamu membeku” ia mengajakku untuk masuk ke dalam namun kutolak.
“tidak!”
“ayolah Valy, kau akan mati jika terlalu lama di sini” ia masih berusaha membujukku
“Tidak! Aku tidak akan masuk! Aku tidak akan masuk sebelum kau nyatakan cintamu padaku!”
Aku tahu Mark sangat kaget dengan ucapanku, bahkan ia terdiam mendengar ucapanku.
“Valy.. tapi..”
“atau aku tidak akan masuk!” ancamku. Ia menghela nafas panjang..
“Valy.. aku…” aku menjadi kesal sendri! Apa susahnya Berkata ‘Valy! Aku cinta padamu!’. Ingin rasanya kutempelengi bocah gila di depanku.
“Valy, I love you.. I have loved you since 3 years ago and now I want you to know that”
Akhirnya kau ucapkan juga kata-kata itu.. itu yang ingin ku dengar dari bibirmu Mark.
“And I love you too Mark” suaraku nyaris tak terdengar tapi aku yakin ia dapat medengarnya. Ia langsung memelukku erat dan mengecup kepalaku. Hangat sekali pelukanya. Aku sudah merasa lega.. sekujur tubuhku terasa lemah, dingin di tubuhku sudah tak terasa lagi, semuanya berubah menjadi gelap, dan aku tak mendengar apa-apa..
***

Aku membuka mataku dan berusaha melihat sekelilingku. Samar-samar aku melihat seorang wanita duduk di sampingku dengan seorang pria di samping wanita itu. Merkalah mama dan papa. Di sudut ruangan ada dua orang laki-laki dan seorang wanita yang sedang menatapku. Itu Mark serta mama dan papanya.

Aku sendiri tak tahu bagaimana ini bisa terjadi. Keluarga Feehily dan Vorest berkumpul dalam satu ruangan yang sama. Yang megagetkan kedua ibu kami ada di sini!
“Ma, ini kamarku kan?” aku bertanya pada mama yang berada di sampingku.
“iya sayang, mama merubah dekorasi kamarmu saat kau pergi” pantas saja ada yang berbeda!
Mark datang mendekatiku, aku mencoba untuk duduk dan mama segera membantuku.
“Bagaimana keadaanmu?” mark bertanya dengan wajah khawatir
“jauh lebih baik, kukira aku sudah di surga tadi” mark tertawa kecil mendengarnya.
“aku belum rela kalau kamu ke sana secepat ini. Kita baru saja bersatu” Mark menarikku ke dalam pelukkannya. Ini membuatku sedikit malu, karena aku tak pernah begini di depan orang tuaku.
“Tapi.. Kita tidak akan di perbolehkan bersatu..” bisikku di tengah-tengah peluknya. Aku teringat akan mempiku di bus saat perjalanan kemarin.
“ siapa yang tidak memperbolehkan?”
“mamamu dan mamaku” Mark terkekeh mendengar jawabanku. Akupu  menatapnya heran.
“kenapa kamu tertawa?”
“karena mereka mengizinkan kita” aku langsung mengeluarkan mata tak percayaku. Aku mamandang lekat mama yang berada di sampingku..
“ma..” mama langsung mengagguk mengerti maksudku. Senyum di wajahku langsung merekah. Aku menatap Mrs.Feehily di pojok sana. Ia tersenyum padaku! Senyum kebahagiaan langsung terlukis di wajahku. Kukecup Mark yang masih memelukku dan sempat membuatnya kaget, lalu aku bermanja-manja dalam pelukannya.

Permasalahan masa kecil kami yang begitu konyol cukup berimbas hingga kami besar. Aku sungguh bersyukur karena kami dapat mengembalikannya seperti semula. Aku sendiri tak menyangka ini berjalan menjadi lebih mudah.

Kini wanira keluarga Feehily dan Vorest kembali akur. Bahkan tak jarang mereka berkebun, memasak, dan melakukan kegiatan lainnya bersama. Kepala keluarga Feehily dan Vorestpun tak pusing lagi melihat tingkah istri mereka. Mereka sangat lega, akhirnya perang 2 wanita paruh baya itu berakhir.

Bagaimana dengan aku dan Mark? Kami melanjutkan kuliah di Universitas yang sama, menjalani aktifitas yang sama, dan menghadapi masalah bersama-sama. Ya, kami melewati semuanya bersama-sama. Dan aku harap tak aka nada yang membuat kami terpisah lagi..