“Kepada para pemenang silahkan
naik ke atas panggung”
Aku hanya duduk di kursiku. Nama timku tidak disebutkan. Aku sudah menduga, dan aku sudah menyiapkan diriku. Kenapa dadaku
tetap terasa nyeri?
Aku mencoba menjaga ekspresiku
dan bertepuk tangan, sama seperti orang-orang di sekitarku. Ini bukan kekalahan
pertamaku. Aku bahkan tak pernah memenangkan apapun. Kenapa aku tetap tidak
terbiasa. Apa aku kurang keras pada diriku sendiri? Atau memang aku tidak
berbakat?
Teman-temanku setidaknya memiliki
suatu keahlian. Awalnya aku kira aku juga begitu. Aku hanya perlu melihat
diriku sendiri dan menemukan apa keahlianku. Semakin kudalami ternyata aku
malah tersesat. Aku tidak tau harus berjalan ke arah mana. Berjalan ke arah
manapun tidak menjanjikan kepastian yang aku inginkan.
Ah, lihat itu. Betapa sumringah
senyum seorang pemenang. Setidaknya aku ingin sekali saja memegang sebuah tropi
kemenangan. Aku terlalu sering mengalami kekalahan hingga rasanya aku
benar-benar malu. Aku malu pada diriku yang tidak mampu tetapi selalu keras
kepala untuk mencoba. Apa aku terlalu tidak tau diri?
Sewaktu kecil aku ingin sekali
menjadi penari balet. Aku tinggal di daerah terpencil. Tidak ada kursus balet
di sana. Aku melampiaskannya dengan berlatih senam lantai. Aku tau dua hal itu
berbeda. Aku hanya merasa bahagia setiap melakukannya. Seiring berjalannya
waktu, aku bosan dan berhenti melakukannya.
Saat remaja aku mulai tertarik
dengan piano. Di kota itu, tak ada seorang pun yang memiliki piano. Aku mendapatkan
sebuah keyboard bekas keluaran lama, tetapi aku tetap menyebutnya piano. Bagiku
mereka sama saja. Toh aku tidak pernah melihat bagaimana bentuk piano
sungguhan, jadi aku tidak bisa membandingkan mereka.
Aku berlatih hampir setiap hari. Rasanya
menyenangkan sekali ketika memainkan sebuah lagu yang kusuka. Aku melupakan
hari-hari berat yang kulalui di sekolah. Tidak memiliki teman itu cukup berat
buatku, meskipun itu sudah terjadi dari dulu.
Ibu dan ayah jarang memujiku
terang-terangan, tetapi nampaknya mereka cukup bangga padaku. Aku mulai mendapat
pujian dari beberapa orang, itu membuatku semangat untuk terus berlatih. Suatu waktu
aku mendapatkan diriku tidak memiliki perkembangan. Rasanya permainanku tidak
sebagus seorang teman yang kukenal. Aku berusaha untuk tidak berkecil hati dan
tetap berlatih.
Suatu hari aku mampu membuat lagu
pertamaku. Aku sangat bangga. Ibu bahkan menyimpan rekaman lagu itu hingga
sekarang. Aku senang sekali. Aku berlatih membuat beberapa lagu setelah itu.
Kurasa, lagu-lagu yang kutulis
tidak cukup bagus. Mereka terdengar terlalu biasa bagiku, tidak ada yang
menarik. Aku tidak puas. Aku mulai berkecil hati, dan lama kelamaan semakin
jarang menulis lagu.
Aku sibuk belajar saat kusadari
nilai-nilaiku tidak sebagus teman-teman yang lain. Meskipun aku belajar dengan
giat, aku tidak menjadi siswa terbaik di kelas. Aku tak masalah dengan itu,
setidaknya teman-teman dan guruku menganggapku siswa yang cerdas. Aku senang
dianggap demikian. Itu artinya kecerdasanku diakui.
Aku tidak suka belajar, tetapi
aku tetap memaksakan diri. Aku harus tetap menjadi si cerdas yang diakui. Itu sulit.
Semakin lama aku semakin terpuruk, sebab perlahan-lahan aku tertinggal. Siswa lain
berada di depanku. Merekalah yang memegang predikat ‘si cerdas yang diakui’
sekarang.
Aku memutar otak. Apa yang harus
aku lakukan agar aku diakui? Aku mulai berfikir, mungkin saja aku memang tidak terlalu
baik di bidang akademik. Aku mulai menggeluti bidang lainnya. Aku mendaftarkan
diri pada lomba menulis puisi. Aku kalah. Aku sedih, tentu saja. Mungkin itu
sebuah permulaan, jadi aku tidak terlalu merasa itu sebuah masalah. Aku mulai
mendaftarkan diri di berbagai kompetisi. Tak satu pun dapat kumenangkan.
Hari ini aku kembali merasakan
kekalahan. Aku menoleh ke kiri kananku, raut wajah teman satu band-ku sama kecewanya denganku. Aku hampir
menangis, tetapi kutahan sekuat tenaga. Aku tidak ingin terlihat lebih
menyedihkan lagi.
Aku berpisah dengan teman-temanku
dan memutuskan untuk pulang sendiri. Aku merasa tidak dapat melakukan apa-apa,
dengan kata lain aku adalah ‘si tidak berguna’. Aku tidak cukup baik memainkan
pianoku, aku tidak cukup pandai menulis lagu, aku tidak mahir menulis karya sastra, aku tidak si
cerdas di sekolah, sekalipun aku
menyukai musik aku tidak punya musikalitas yang baik, dan aku tidak mungkin
menjadi seorang balerina. Aku, si tidak berguna yang menyedihkan.
“hei jelek!”
Aku menoleh. Ah benar. Satu lagi,
aku juga jelek.
“kau kalah lagi?”
Aku tidak menjawab. Kurasa wajahku
sudah cukup untuk menjawab pertanyaannya. Wajahku ini adalah wajah pecundang.
“Aku yakin satu scoop es krim vanila tidak cukup untuk
seorang pekerja keras sepertimu.”
Laki-laki itu meraih tanganku.
“tapi aku tidak punya cukup uang
untuk membelikanmu hal lainnya”
Aku mulai berjalan mengikutinya,
tanganku masih dalam genggamannya.
Pekerja keras ya? Apa benar aku sudah
berusaha sekeras itu? Nyatanya yang kutemui hanyalah kegagalan.
“Kau tau? Ada hal-hal yang harus
kita pelajari sumur hidup.”
“maksudmu aku akan berhasil setelah
aku mati?”
“ah bukan” laki-laki itu berbalik
kemudian mengacak-acak rambutku. “kurasa kau memang tidak cukup pintar.”
Memang, batinku. Ia kembali
menyeretku.
“Jangan terlalu memaksakan diri. Lakukan
saja hal yang sungguh-sungguh kau sukai. Kau mungkin kebingungan tentang apa
yang sebenarnya kau sukai sekarang. Tapi itu bukan masalah, kau masih punya
waktu. Jangan terburu-buru. Oh! Dan satu lagi. Jangan bandingkan dirimu dengan
orang lain. Kau sering sekali melakukan itu!”
Aku menatap bahu tinggi di
hadapanku. Laki-laki ini cukup jarang berbicara serius denganku. Tapi aku tidak
yakin dia memahami perasaanku sekarang.
Tiba-tiba langkahnya terhenti,
aku pun ikut berhenti. Ia berbalik dan kami saling bertatapan.
“Kau tidak semenyedihakan itu.”
Bagaimana dia tau pikiranku? Cenayang?
Atau dia hanya berusaha menghiburku, meski dia sudah tau betapa menyedihkannya
diriku.
“Berhentilah menganggap dirimu
menyedihkan. Memang apa untungnya jika kau terus menganggap dirimu seperti itu?”
Aku tidak menjawabnya. Apa yang
dikatakannya benar. Meskipun aku juga tidak pantas menganggap diriku hebat.
“Kau tidak perlu membuktikan
apapun pada orang lain. Berhentilah menyiksa diri sendiri dan berbahagialah. Lakukanlah
hal-hal yang kau sukai, jadi mulai sekarang kau hanya harus fokus mencari hal
yang kau suka dan pelajari itu. Mengerti?”
Aku ragu, apakah hal yang kusukai
akan sekaligus menjadi hal yang aku kuasai. Aku terlalu sering gagal hingga
segan berpikir untuk sebuah keberhasilan. Rasanya terlalu sombong.
“Apa aku bisa?”
“entahlah.” Pria itu mengankat
bahunya sekilas. “tetapi melihat kau adalah seorang pekerja keras, aku rasa kau
bisa. Kau punya waktu seumur hidup untuk mempelajarinya. Selama kita hidup, kita
memang harus terus berusaha.”
Aku mulai memikirkan perkataannya.
Aku mulai bertanya-tanya, apakah selama ini aku sudah melakukakn hal-hal yang
sungguh aku sukai, atau aku hanya terjebak dalam pembuktian agar diakui. Apa yang
benar-benar aku sukai?
“ngomong-ngomong, kau memenangkan
sesuatu hari ini.”
Aku menatapnya dengan wajah tak
mengerti.
“Hatiku” jawabnya singkat dan samar,
kemudian mengalihkan pandangannya ke tembok tinggi di samping kami. Tidak ada
apa-apa di sana. Aku bisa melihat telinganya berubah merah.
“karena kau memenangkan hatiku,
sebagai hadiah aku akan menjadi kekasihmu dan anggaplah ini sebagai kencan
pertama. Bagaimana?”
Aku menahan senyum. Aku bahkan
tidak mendaftarkan diri, bagaimana bisa aku menang? Mungkin karena sejak awal
hidup ini bukanlah kompetisi. Sekalipun, manusia selalu berusaha untuk menjadi
pemenang.
“Aku rasa kegelisahan dan kesepian itu ada bersamamu sepanjang hidupmu. Aku memberikan makna yang dalam dan pemikiran tentang bagaimana menemukan jalan untuk melewatinya, tapi itu adalah sesuatu yang perlu kita pelajari selamanya,”-Suga (m.dreamers.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar