Senin, 18 Mei 2020

Perjalanan Satu Scoop Es Krim


“Kepada para pemenang silahkan naik ke atas panggung”
Aku hanya duduk di kursiku. Nama timku tidak disebutkan. Aku sudah menduga, dan aku sudah menyiapkan diriku. Kenapa dadaku tetap terasa nyeri?
Aku mencoba menjaga ekspresiku dan bertepuk tangan, sama seperti orang-orang di sekitarku. Ini bukan kekalahan pertamaku. Aku bahkan tak pernah memenangkan apapun. Kenapa aku tetap tidak terbiasa. Apa aku kurang keras pada diriku sendiri? Atau memang aku tidak berbakat?
Teman-temanku setidaknya memiliki suatu keahlian. Awalnya aku kira aku juga begitu. Aku hanya perlu melihat diriku sendiri dan menemukan apa keahlianku. Semakin kudalami ternyata aku malah tersesat. Aku tidak tau harus berjalan ke arah mana. Berjalan ke arah manapun tidak menjanjikan kepastian yang aku inginkan.
Ah, lihat itu. Betapa sumringah senyum seorang pemenang. Setidaknya aku ingin sekali saja memegang sebuah tropi kemenangan. Aku terlalu sering mengalami kekalahan hingga rasanya aku benar-benar malu. Aku malu pada diriku yang tidak mampu tetapi selalu keras kepala untuk mencoba. Apa aku terlalu tidak tau diri?
Sewaktu kecil aku ingin sekali menjadi penari balet. Aku tinggal di daerah terpencil. Tidak ada kursus balet di sana. Aku melampiaskannya dengan berlatih senam lantai. Aku tau dua hal itu berbeda. Aku hanya merasa bahagia setiap melakukannya. Seiring berjalannya waktu, aku bosan dan berhenti melakukannya.
Saat remaja aku mulai tertarik dengan piano. Di kota itu, tak ada seorang pun yang memiliki piano. Aku mendapatkan sebuah keyboard bekas keluaran lama, tetapi aku tetap menyebutnya piano. Bagiku mereka sama saja. Toh aku tidak pernah melihat bagaimana bentuk piano sungguhan, jadi aku tidak bisa membandingkan mereka.  
Aku berlatih hampir setiap hari. Rasanya menyenangkan sekali ketika memainkan sebuah lagu yang kusuka. Aku melupakan hari-hari berat yang kulalui di sekolah. Tidak memiliki teman itu cukup berat buatku, meskipun itu sudah terjadi dari dulu.   
Ibu dan ayah jarang memujiku terang-terangan, tetapi nampaknya mereka cukup bangga padaku. Aku mulai mendapat pujian dari beberapa orang, itu membuatku semangat untuk terus berlatih. Suatu waktu aku mendapatkan diriku tidak memiliki perkembangan. Rasanya permainanku tidak sebagus seorang teman yang kukenal. Aku berusaha untuk tidak berkecil hati dan tetap berlatih.
Suatu hari aku mampu membuat lagu pertamaku. Aku sangat bangga. Ibu bahkan menyimpan rekaman lagu itu hingga sekarang. Aku senang sekali. Aku berlatih membuat beberapa lagu setelah itu.
Kurasa, lagu-lagu yang kutulis tidak cukup bagus. Mereka terdengar terlalu biasa bagiku, tidak ada yang menarik. Aku tidak puas. Aku mulai berkecil hati, dan lama kelamaan semakin jarang menulis lagu.
Aku sibuk belajar saat kusadari nilai-nilaiku tidak sebagus teman-teman yang lain. Meskipun aku belajar dengan giat, aku tidak menjadi siswa terbaik di kelas. Aku tak masalah dengan itu, setidaknya teman-teman dan guruku menganggapku siswa yang cerdas. Aku senang dianggap demikian. Itu artinya kecerdasanku diakui.
Aku tidak suka belajar, tetapi aku tetap memaksakan diri. Aku harus tetap menjadi si cerdas yang diakui. Itu sulit. Semakin lama aku semakin terpuruk, sebab perlahan-lahan aku tertinggal. Siswa lain berada di depanku. Merekalah yang memegang predikat ‘si cerdas yang diakui’ sekarang.
Aku memutar otak. Apa yang harus aku lakukan agar aku diakui? Aku mulai berfikir, mungkin saja aku memang tidak terlalu baik di bidang akademik. Aku mulai menggeluti bidang lainnya. Aku mendaftarkan diri pada lomba menulis puisi. Aku kalah. Aku sedih, tentu saja. Mungkin itu sebuah permulaan, jadi aku tidak terlalu merasa itu sebuah masalah. Aku mulai mendaftarkan diri di berbagai kompetisi. Tak satu pun dapat kumenangkan.
Hari ini aku kembali merasakan kekalahan. Aku menoleh ke kiri kananku, raut wajah teman satu band-ku sama kecewanya denganku. Aku hampir menangis, tetapi kutahan sekuat tenaga. Aku tidak ingin terlihat lebih menyedihkan lagi.
Aku berpisah dengan teman-temanku dan memutuskan untuk pulang sendiri. Aku merasa tidak dapat melakukan apa-apa, dengan kata lain aku adalah ‘si tidak berguna’. Aku tidak cukup baik memainkan pianoku, aku tidak cukup pandai menulis lagu, aku tidak  mahir menulis karya sastra, aku tidak si cerdas di sekolah,  sekalipun aku menyukai musik aku tidak punya musikalitas yang baik, dan aku tidak mungkin menjadi seorang balerina. Aku, si tidak berguna yang menyedihkan.
“hei jelek!”
Aku menoleh. Ah benar. Satu lagi, aku juga jelek.
“kau kalah lagi?”
Aku tidak menjawab. Kurasa wajahku sudah cukup untuk menjawab pertanyaannya. Wajahku ini adalah wajah pecundang.
“Aku yakin satu scoop es krim vanila tidak cukup untuk seorang pekerja keras sepertimu.”
Laki-laki itu meraih tanganku.
“tapi aku tidak punya cukup uang untuk membelikanmu hal lainnya”
Aku mulai berjalan mengikutinya, tanganku masih dalam genggamannya.
Pekerja keras ya? Apa benar aku sudah berusaha sekeras itu? Nyatanya yang kutemui hanyalah kegagalan.
“Kau tau? Ada hal-hal yang harus kita pelajari sumur hidup.”
“maksudmu aku akan berhasil setelah aku mati?”
“ah bukan” laki-laki itu berbalik kemudian mengacak-acak rambutku. “kurasa kau memang tidak cukup pintar.”
Memang, batinku.  Ia kembali menyeretku.
“Jangan terlalu memaksakan diri. Lakukan saja hal yang sungguh-sungguh kau sukai. Kau mungkin kebingungan tentang apa yang sebenarnya kau sukai sekarang. Tapi itu bukan masalah, kau masih punya waktu. Jangan terburu-buru. Oh! Dan satu lagi. Jangan bandingkan dirimu dengan orang lain. Kau sering sekali melakukan itu!”
Aku menatap bahu tinggi di hadapanku. Laki-laki ini cukup jarang berbicara serius denganku. Tapi aku tidak yakin dia memahami perasaanku sekarang.
Tiba-tiba langkahnya terhenti, aku pun ikut berhenti. Ia berbalik dan kami saling bertatapan.
“Kau tidak semenyedihakan itu.”
Bagaimana dia tau pikiranku? Cenayang? Atau dia hanya berusaha menghiburku, meski dia sudah tau betapa menyedihkannya diriku.
“Berhentilah menganggap dirimu menyedihkan. Memang apa untungnya jika kau terus menganggap dirimu seperti itu?”
Aku tidak menjawabnya. Apa yang dikatakannya benar. Meskipun aku juga tidak pantas menganggap diriku hebat.
“Kau tidak perlu membuktikan apapun pada orang lain. Berhentilah menyiksa diri sendiri dan berbahagialah. Lakukanlah hal-hal yang kau sukai, jadi mulai sekarang kau hanya harus fokus mencari hal yang kau suka dan pelajari itu. Mengerti?”
Aku ragu, apakah hal yang kusukai akan sekaligus menjadi hal yang aku kuasai. Aku terlalu sering gagal hingga segan berpikir untuk sebuah keberhasilan. Rasanya terlalu sombong.
“Apa aku bisa?”
“entahlah.” Pria itu mengankat bahunya sekilas. “tetapi melihat kau adalah seorang pekerja keras, aku rasa kau bisa. Kau punya waktu seumur hidup untuk mempelajarinya. Selama kita hidup, kita memang harus terus berusaha.”
Aku mulai memikirkan perkataannya. Aku mulai bertanya-tanya, apakah selama ini aku sudah melakukakn hal-hal yang sungguh aku sukai, atau aku hanya terjebak dalam pembuktian agar diakui. Apa yang benar-benar aku sukai?
“ngomong-ngomong, kau memenangkan sesuatu hari ini.”
Aku menatapnya dengan wajah tak mengerti.
“Hatiku” jawabnya singkat dan samar, kemudian mengalihkan pandangannya ke tembok tinggi di samping kami. Tidak ada apa-apa di sana. Aku bisa melihat telinganya berubah merah.
“karena kau memenangkan hatiku, sebagai hadiah aku akan menjadi kekasihmu dan anggaplah ini sebagai kencan pertama. Bagaimana?”
Aku menahan senyum. Aku bahkan tidak mendaftarkan diri, bagaimana bisa aku menang? Mungkin karena sejak awal hidup ini bukanlah kompetisi. Sekalipun, manusia selalu berusaha untuk menjadi pemenang.







“Aku rasa kegelisahan dan kesepian itu ada bersamamu sepanjang hidupmu. Aku memberikan makna yang dalam dan pemikiran tentang bagaimana menemukan jalan untuk melewatinya, tapi itu adalah sesuatu yang perlu kita pelajari selamanya,”-Suga (m.dreamers.id)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar