Minggu, 26 April 2020

Vanilla Cookies 1 (Teh Tanpa Gula)


Semalaman Scarlet terjaga. Efek kafein, esai dan mungkin juga Kim Taehyung. Pria itu mengucapkan “Sampai jumpai jumpa lagi” di akhir percakapan. Entah pria itu benar-benar ingin bertemu kembali atau sekedar basa-basi. Scarlet tidak berharap akan bertemu dengan Taehyung lagi. Sekalipun mereka bertemu, Scarlet harap Taehyung tidak mengungkit-ngungkit masa lalu mereka. Atau mungkin lebih baik Taehyung menganggapnya sebagai orang asing saja. Ah, bukankah sesungguhnya mereka layak disebut dua orang asing?
Bertemu dengan Kim Taehyung dewasa membuatnya kembali mengingat Kim Taehyung lugu yang sangat belia. Dunianya yang runtuh dan meninggalkan rasa pahit seolah terlupakan ketika Tehyung remaja bersamanya. Taehyung pernah menjadi gula dalam kopi kehidupannya.
Scarlet tidak menyukai kopi, tetapi tetap meminumnya di saat-saat tertentu. Kadang rasa bukan menjadi sesuatu yang harus dipertimbangkan. Seperti meminum obat. Pahit bukan masalah ketika keinginan untuk sembuh lebih besar dibanding rasa pahit itu sendiri.
Tiga menit lalu, secangkir teh di hadapan gadis pirang itu masih menghasilkan asap tipis. Tidak ada keinginan untuk meniup teh hangat itu. Tidak ada alasan untuk segera menyesap teh tanpa gula tersebut. Teh tawar bukanlah kesukaan Scarlet. Ia hanya tidak ingin mengonsumsi gula berlebih. Semua kue di kedai ini manis dan Scarlet tidak punya pilihan lain sebab ia belum mengisi perutnya dengan apapun sejak pagi. Terimakasih kepada esai sialan itu.
“Scarlet!”
Scarlet tak lagi menatap cangkir teh di hadapannya dan menoleh pada sosok yang memanggilnya. Terkejut, tetapi sebisa mungkin ia bersikap tenang.  Menutup-nutupi, itu keahlian Scarlet. Ya, bertemu Kim Taehyung lagi tidak ada di rencana hidupnya.
Bibirnya membentuk sebuah senyum tipis, sebagai balasan kepada lelaki di hadapannya.
“Kau sendiri? Boleh aku duduk di sini?” kursi di depan Scarlet yang Kim Taehyung maksud. Scarlet mengangguk, belum menemukan ide untuk kabur dari Kim Taehyung. Setidaknya dia harus kabur dengan cara yang elegan, atau natural setidaknya.
“Ini kedai langgananmu?”
Scarlet menggeleng. “Hanya sesekali, karena kampusku di seberang sana”
Pria itu mengangguk sambil melemparkan pandangan ke seberang jalan. Padahal Taehyung sudah melihat bangunan kampus itu sebelum tiba di kedai ini.
“Penginapanku di sekitar sini” ujar Taehyung, takut jika dirinya dituduh stalker atau sejenisnya. “aku hanya ingin jalan-jalan dan tidak sengaja melihatmu.”
Scarlet mengangguk dengan  masih menyunggingkan senyum tipis, kemudian keduanya hening. Tidak tau bagaimana cara memulai sebuah konversasi. Apa layak jika Taehyung memperlakukannya sebagai teman lama mengingat mereka tidak berakhir dengan baik-baik saja. Tetapi bertingkah sebagai orang asing pun rasanya tak pantas. Gadis ini pernah singgah dan membahagiakannya.
“Aku tau ini terasa canggung” Taehyung mengulum bibir bawahnya sedangkan Scarlet hanya menatap lantai, walau tak ada apapun di sana.
“Aku rasa, aku paham mengapa kau pergi waktu itu” sambung Kim Taehyung.

*

Makin hari Scarlet makin menganggap dongeng-dongeng yang ia dengar dulu hanyalah bualan. Tentang setiap pangeran dan putri yang selalu bersama dan berbahagia selamanya. Mereka hanya perlu melawan beberapa orang jahat kemudian berbahagia.
Scarlet tak tau apa yang harus ia lawan agar ia mampu bahagia. Waktu itu Scarlet kecil tidak begitu paham apa yang terjadi. Ayah dan ibunya jarang bicara berdua, tetapi tak ada juga suara; piring yang dibanting, umpatan yang memekakkan telinga, ataupun suara jeritan tangis. Sang ayah hanya mengecup Scarlet, begitu juga dengan ibunya. Dua orang itu, entah sejak kapan tak saling memberi kecupan atau pelukan. Scarlet tidak menyadari apapun pada awalnya.
Suatu malam, sepasang mata kecil Scarlet perlahan-lahan terbuka. Kesadarannya perlahan-lahan terkumpul, kemudian dengan langkah terseok-seok hampir tersandung berjalan ke kamar mandi. Gadis dua belas tahun itu merasa terlalu tua untuk ngompol di kasur.
Samar-samar Scarlet mendengar suara sesegukan. Awalnya Scarlet agak ngeri mendengar suara tangisan di malam hari, tetapi sebuah suara lain yang ia kenal masuk ke dalam rungunya. Terdengar samar, tetapi Scarlet yakin jika pemilik suara itu adalah ayahnya. Scarlet agak tenang karena ternyata ayahnya belum terlelap. Jika tangisan itu suara makhluk yang bukan manusia, Scarlet hanya perlu berteriak maka ayah pasti akan menyelamatkannya. Selalu begitu, ayah akan menyelamatkannya dari apapun; teman-temannya yang jahat di sekolah, anjing kakek Tom yang suka mengejar orang, ataupun bunga tidur yang membuat putri kecilnya ketakutan.
Scarlet berjalan mendekati pintu tinggi di hadapannya. Kesadarannya sudah terkumpul sepenuhnya. Awalnya Scarlet ingin langsung membuka pintu itu ketika ia yakin suara tangisan tadi adalah milik ibunya.
“Bagaimana dengan Scarlet?”
Scarlet mengurungkan niatnya untuk menarik gagang pintu yang hampir diraihnya. Scarlet tidak salah dengar. Ia yakin namanya disebut.
“Aku, sampai kapanpun adalah ayahnya. Tidak akan berubah.”
Walaupun samar, tetapi gadis itu yakin ayahnya mengucapkan kalimat itu dengan mantap.
Isakan ibunya belum berhenti. Susah payah wanita itu berusaha untuk kembali bicara.
“Bagaimana denganku?” ia mencoba mengendalikan tangisnya, berusaha agar pria di hadapannya dapat mendengar ucapannya dengan jelas. “Aku mencintaimu”
Scarlet hanya mendengar suara sesegukan ibunya selama beberapa saat. Scarlet masih belum paham apa yang sebenarnya terjadi. Apa saja yang sudah ia lewatkan selama tertidur tadi?
“Maaf” Scarlet kembali menaruh atensinya, menunggu apa yang selanjutnya akan ia dengar.
“karna pada akhirnya hanya tersisa kau yang mencintaiku, tanpa aku yang mampu mencintaimu lagi.”
Mungkin sejak saat itu Scarlet mulai menyangsikan seluruh kisah cinta abadi yang ia dengar, sebab; bahkan dalam mencintai pun seseorang bisa menyerah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar