Kamis, 20 Desember 2012

Secret Photographer 1

  “scar! Bangun sayang.. ini sudah pagi” teriak Papa sambil mengetuk-ngetuk pintu kamarku. “iya, Papa..  aku bangun” jawabku asal-asalan sambil menguap lebar. Maklumlah, tadi malam aku tidur larut. Apa lagi yang membuatku tidur larut kalau bukan sibuk dengan lagu-lagu yang kurasa bagus. Aku suka sekali pada musik dan bagiku music is my life. Karena musik juga aku jadi seperti sekarang.
     Dulu, aku hanyalah anak panti asuhan ingusan yang tak punya sanak saudara. Menurut cerita dari suster di panti asuhan, seorang pria muda membawaku ke panti asuhan saat aku masih sangat kecil. Pria muda itu mengaku bahwa aku adalah korban yang selamat dalam sebuah kecelakaan maut. Hanya itu yang aku tau.
     Aku kadang iri melihat anak-anak yang melintas di jalan raya dengan menggandeng ayah dan ibu mereka. Di dalam hatiku bertanya-tanya ‘bagaimana rasanya punya orang tua?’. Bahkan aku pernah bertanya pada seorang anak yang melintas di depan panti asuhan bagaimana rasanya punya orang tua.

“hey kamu!” panggilku pada seorang anak yang tengah melintas di pinggir jalan
“aku?” tanya anak itu balik.
 “iya kamu.” Lalu anak itu berjalan mendekatiku
“kenapa kamu memanggilku”
“aku mau tanya, bagaimana rasanya punya orang tua?” tanyaku dengan wajah lugu.
“enak sekali, mereka selalu memberikan apa yang aku mau.”
“wah,, enaknya..”
“tentu saja. Memang kamu tidak punya orang tua?” tanya anak itu polos. Aku hanya menggeleng menjawab pertanyaannya.
“mike, ayo pulang. Ayah pasti sudah sampai di rumah” Panggil ibu dari anak itu. Anak itu langsung lari ke arah ibunya. Betapa  enaknya memiliki orang tua..

     Mungkin karena masih kecil sehingga aku belum mengerti kenapa aku tidak punya orang tua dan aku bertanya pada salah seorang suster, yaitu suster Maria.
“Suster, kenapa Scarlet tidak punya mama Papa?” terlukis tanda tanya besar di wajahku.
“mama Papanya Scarlet sudah di panggil Tuhan, sayang” jawab Suster itu singkat.
“maksudnya di panggil Tuhan apa suster?”
“Tuhan itu sayang pada mama dan Papa Scarlet, karena Tuhan sayang  pada Papa dan mama Scarlet jadi Tuhan memanggil mama dan Papa Scarlet untuk tinggal bersama dengan-Nya. Suatu saat nanti, kita juga akan di panggil Tuhan.” Suster Maria tersenyum seraya mengusap-ngusap rambutku.
“oh, Tuhan sayang sama mama Papanya Scarlet ya.. kalau nanti Scarlet juga di panggil Tuhan apa Scarlet bisa bertemu Papa dan mama?”
“mungkin iya, yang terpenting sekarang Scarlet harus rajin berdoa untuk mama dan Papa. Doakan mereka senang bersama Tuhan.”
“iya, suster.”
      Aku sungguh ingat percakapan itu. Pertanyaan-pertanyaan yang keluar dari mulutku begitu polos. Dan sekarang aku sudah mengerti maksud dari ucapan suster Maria. Dan semenjak percakapan itu aku merasa lebih baik karena aku tau mama dan Papa ada bersama Tuhan yang akan selalu menjaga mereka.
      Sampai pada suatu hari seorang pria datang ke panti asuhan. Siapa sangka pria itu adalah Mark feehily! Aku saja bingung mengapa pria ini ingin mengadopsi anak, padahal aku tau dia belum menikah.  Mungkin karena ia ingin punya anak seperti gosip-gosip yang beredar, pikirku.
      Memang cukup aneh. seorang yang belum menikah tapi ingin mempunyai seorang anak. Ah.. tapi begitulah manusia. Sulit ditebak!
      Ya Tuhan, apa mungkin dia akan mengadopsiku? Kalau di pikir-pikir sepertinya tidak. Karena ia pasti akan mengadopsi anak-anak yang berusia kira 5 tahun. Jika ia mengadopsi anak yang berusia 12 tahun sepertiku, aku tidak terlihat seperti anaknya melainkan seperti Adiknya! Setelah aku berfikiran seperti itu aku tak berani berharap lagi, karena itu seperti mustahil untukku.
      Untuk menghilangkan kesedihanku, seperti biasa ku nyanyikan lagu kesukaanku sekaligus lagu yang membuatku jatuh cinta pada Westlife.
“An empty street
And empty house
A hole inside my heart
I’m all alone
The rooms are getting smaller
I wonder how
I wonder why
I wonder where they are
The days we had
The songs we sang together
oh yeah
and oh my love
i’m holding on forever
reaching for a love that seems so far..”
      Tiba-tiba pria itu mendekatiku dan bertanya “kamu suka westlife ya?”. Spontan ku jawab “ya”. “kamu suka lagu itu?” tanyanya lagi. “iya”jawabku singkat sangkin groginya. “Kita nyanyikan bagian reffnya sama-sama yuk!” ajak pria itu. Ya ampun, aku gugup sekali! yang mengajakku bernyanyi bukan anak-anak panti asuhan ataupun suster melainkan bintang idolaku sejak kecil. Walaupun aku memang masih kecil. Karena aku merasa ‘rugi juga’ kalau di tolak aku menyetujui tawarannya dan kamipun bernyanyi bersama.
“so i say a little prayer
And hope my dreams Will take me there
Where the skies are blue to see you once again my love
Over seas from coast to coast
Find the place i love the most
Where the fields are green
To see you once again
my love”
“suaramu bagus lho..” pria itu memujiku. “terimakasih” balasku singkat. Senang sekali rasanya hatiku di puji sang bintang idola. Aku sadar bahwa sekarang pipiku sudah merah, tersipu malu.  “kamu manis sekali....” ujarnya sambil mencubit kedua pipiku. Aku hanya tersenyum dengan tingkahnya.
“kamu mau jadi anakku?”tanyanya. astaga! Apa aku sedang bermimpi?? Bintang idola yang sangat kukagumi memintaku untuk menjadi anaknya! Bagaimana aku bisa menolak!? Dengan mantap aku menjawab “iya, aku mau”. Dia tersenyum mendengar jawabanku.
     Dan begini lah aku sekarang, tinggal bersama Papa yang sebenarnya adalah idolaku. Aku sudah tinggal bersama Papa selama 2 tahun. Dan menurutku Papa adalah orang yang penyayang, pengertian, sabar dan baik hati. Aku senang sekali tinggal bersama Papa walaupun dia sibuk tapi dia tak lupa memberikan perhatian untukku. dan hal itu yang membuatku samakin sayang padanya.
     Akhir-akhir ini Papa sering bertanya padaku seperti apa mama yang aku inginkan. Aku hanya menjawab “Aku mau mama yang dapat membuat Papa bahagia.” Setelah mendengar jawaban itu ia hanya tersenyum. Kurasa Papa sedang dekat dengan seorang wanita saat ini. Aku
“Papa” panggilku
“iya, sayang?”
“Papa punya pacar ya?” tanyaku menyelidik tanpa basa-basi. Papa tersenyum dan tertawa mendengar pertanyaanku. Pipinya berubah merah dan berusaha menahan senyum.
“tuh kan Papa senyum! pasti punya kan.. ayo mengaku!” paksaku sambil mencubit lengan Papaku.
“hahaha.. kamu tau dari mana?” tanyanya dengan tawa campur ringis..
“Jelas aku tahu!.. itu sebabnya Papa sering bertanya  tentang calon mama... benar kan Papa punya Pacar?? Ayo ngaku! Kalau tidak mau ngaku,cubit makin keras lagi lho” ancamku dengan wajah sangar bin manis.
“iya! Papa memang sedang dekat dengan seorang wanita”
“sedang deket atau sudah jadian?” tanyaku menggoda
“duh.. anak kecil sepertimu pinter menebak ya.. iya, Papa sudah jadian dengan dia..”
“yippiii!!!!” aku melompat dan langsung memeluk Papaku yang imut ini.. “cieee Papa.. hahaha” godaku. “scarlet!” Papa berusaha membuatku berhenti menggodanya.
“kalau begitu, sebentar lagi rumah kita akan bertambah ramai dong.. lalu aku punya adik, ye!! Ada yang bisa ku ajak main.”
“waduh, kamu sudah berfikir sampai disitu? Kami kan masih pacaran. . Papa belum melamarnya sayang...”
“kalau gitu segera lamar dong Papa..”
“sayang,tidak segampang itu melamarnya.. Papa rasa dia belum siap untuk itu..”
“loh?? memang kenapa?”
“perasaan Papa berkata dia belum siap..”
“wah, kalau soal perasaan aku  memang tidak tahu apa-apa.. itu sih terserah Papa kapan Papa mau melamarnya. Tapi, Papa harus secepatnya memperkenalkan wanita itu padaku. Aku sudah penasaran sekali bagimana rupanya pacar Papaku yang satu ini.”
“haha... nanti Papa ajak main ke rumah deh..”
“janji ya?”
“iya, sayang”
“ye!!! Love you dad” ku cium pipi kanan Papa
“love you too, sweety”
***
      Sore yang cerah di Sligo, dengan matahari masih bersinar dengan terang sehingga membuatku ingin bersantai di halaman belakang. Kurebahkan diriku di atas ayunan gantung yang di pasang di antara 2 pohon rindang.  Sejuknya udara di sini membuatku hampir tertidur. Mendengar bunyi, bell aku segera beranjak dari ayunan dan segera berlari ke depan.
      Setelah membuka pintu, ternyata Papa yang pulang. “sesuai dengan janji Papa..” ujarnya. “makdusnya, pa?” tanyaku bingung. Ternyata Papa membawa pacarnya sesuai dengan janjinya.
“ini kenalin, tante Alicia Vinburg.” Papa memperkenalkan wanita itu padaku
“aku Scarlet, salma kenal” ujarku sambil mengulurkan tangan
“salam kenal juga. Mark, ini anakmu kan? Manis sekali ya..” ujar wanita itu.
“ya, dia memang manis.. oh iya Scarlet, ini Will.”
“hay, aku William handorn. Panggil aja Will.” Ujar lelaki di sebelah wanita itu sambil mengulurkan tangan.
“Scarlet,” ujarku sambil bersalaman dengannya
“Ayo masuk, kita ngobrol di dalam” ajak Papa
     Papa dan tante Alicia masuk bersama, sedangkan aku dan Will seakan sengaja masuk belakangan agar tidak mengganggu pasangan itu. “ayo masuk” ajakku setelah Papa masuk bersama Alicia (males nulis ‘tante’nya -_-). Papa dan Alicia duduk di sofa depan televisi. Karena tak mau mengganggu kemesraan mereka aku dan Will pergi ke belakang.Kami duduk di halaman belakang. Padahal niat papa adalah mengenalkan wanita itu padaku. Tapi... ya sudahlah.. apa yang lebih penting dari pada kebahagiaan papa??
     Will meletakan tasnya dengan sangat hati-hati, seakan isi di dalam tasnya itu adalah benda rapuh yang sangat berharga.
“Will, apa isi tasmu? sepertinya kamu sayang sekali dengan benda di dalamnya?”
“isinya kamera..”
“kamu sayang sekali dengan kamera itu?”
“iya, katena kakak susah payah membelikannya untukku. kakak membelikannya karena dia tau  hobiku yaitu jeprat-jepret. Dan tak jarang hasilnya lumayan bagus. Kadang aku iseng-iseng ikut lomba fotografi, dan belum pernah mendapat juara.”
“jangan menyerah, kekalahan itu kan kemenangan yang tertunda. Kamu hanya perlu belajar lagi.”
“iya, ngomong-ngomong hobimu apa?”
“tidak terlalu spesial kok.. membaca komik atau novel, bernyanyi, bermain gitar, dan piano”
“kamu suka musik?”
“iya, siapa yang tidak suka musik?”
“haha entahlah..  dan cita-citamu?”
“entahlah, penyanyi mungkin atau komposer atau seorang pencipta lagu.. aku tak tau pasti. Kamu?”
“fotografer”
“keren! sepertinya kurang enak kalau kita ngobrol tanpa cemilan. Oh iya dua lagi hobiku ngemil dan berhayal hehe.. aku ambil cemilan dulu ya”
      Aku masuk ke dalam dan mengambil beberapa cemilan dan minuman soda.  Aku berjalan menuju halaman belakang dan saat aku membuka pintu belakang sebuah cahaya menyorot wajahku. Ternyata Will yang sedang coba jeprat-jepret dengan aku sebagai modelnya. karena sedang tidak berpose tentu saja aku tidak percaya diri jika fotoku di simpan.
“Will, kamu apaan sih.. jeptret-jepret sembarangan.. pasti hasilnya jelek. Aku malu tau!”
“siapa bilang hasilnya jelek. Liat tuh, baguskan.. posenya natural, nggak di buat-buat, tanpa make up lagi” ujar Will sambil menunjukan hasil jepretannya.
“mukaku aneh tau kalau posenya seperti itu. Pokoknya hapus!”
“tidak mau ”
“hapus tidak?! Kalau tidak mau aku hapus sendiri gimanapun caranya.”
“iya iya, nanti ku hapus.”
“janji ya?”
“iya.” Mendengar Will telah berjanji akan menghapus foto itu aku merasa sedikit lega. Dan aku penasaran bagaimana dua sejoli itu di dalam.
“Will, Papa dan Alice di dalam gimana ya?”
“tidak tau, kamu penasaran?”
“iya..”
“aku juga, intip yuk!”
“eh, tidak boleh begitu.. itu namanya tidak sopan kalau ngintip. Tapi, yuk kita intipin”
“lah... tadi katanya tidak boleh, katanya tidak sopan tapi mau ngintip juga. memang cepet banget berubah pikirannya.”
“tidak apa-apa lah.. yuk! sudah penasaran nih”
     Aku berjalan di depan sedangkan Will mengekor. Kami berjalan dengan pelan dan tanpa menimbulkan suara persis seperti maling. Setelah sampai di dekat belakang sofa yang mereka duduki kamipun melaksanakan misi ‘mengintip’ kami. Mereka duduk sangat dekat dan kepala Alice berada di pundak Papa. Wah, mereka mesra sekali... momen seperti ini tidak boleh di ganggu. Saat sedang asik memandangi mereka aku teringat Will, lalu aku mihatnya yang sedang berada di belakangku. Siapa sangka ternyata dia sedang memotret kemesraan Papa dan Alice.
“Will, kamu ngapain sih...” tanyaku denangan suara kecil sekecil-kecilnya
“motret momen berharga ini”
“kamu sadar tidak sih kalau kamu bisa mengganggu momen berharga ini dengan blitz dan suara pada kameramu?”
“aku tidak sebodoh itu.. blitz dan suaranya udah aku matikan.”
“huft... untung deh.. aaaauu!” kepalaku terantuk lemari hias tempat persembunyian kami saat aku hendak melihat Papa dan Alice lagi. Tentu saja kegaduhan itu mengacaukan suasana mesra mereka. Aduh Scar... kenapa kamu bodoh sekali sampai bisa menabrak lemari di saat romantis ini berlangsung...
“Scarlet kamu kenapa sayang?” tanya Papa kawatir sekaligus kaget.
“tidak apa-apa kok.. tadi aku berjalan ke sini karena kurang hati-hati aku nambrak lemari pa..”
“kamu sih Scar.. kalau jalan hati-hati dong.. tadi kan sudah aku ingatin..” ujar Will untuk membantu usahaku berbohong. Makasih Will...
“iya deh.. lain kali aku lebih hati-hati. Aku ke atas dulu ya pa ngobatin bendol di kepalaku. Oh iya Will kamu ikut juga ya.. aku punya beberapa poster keren, mungkin kamu bisa memberi komentar dengan poster-poster itu.”
“iya.. “
     Aku langsung berlari ke atas dangan Will mengikutiku dari belakang. Kami langsung masuk ke kamarku. Segera kucari obat untuk bejol di kepalaku.
“hampir aja tadi kita ketauan ngintip.. untung kamu bantuin aku Will.. makasih ya”
“tidak perlu bilang makasih, soalnya ini kan ideku juga ngajak kamu ngintip.”
“ya sudah lah..”
“Scar..”
“apa?” jawabku sambil mengoleskan salep di kepalaku
“aku jadi punya rencana untuk mengenang masa-masa romantis Mark dan Alice..”
“bagimana caranya?”
“kita potret saja kemesraan mereka, udah pasti jumlah fotonya akan banyak. Lali kita kumpulkan foto-toto itu dalam satu album dan berurutan berdasarkan waktu kejadian. Kita buat itu sebagai hadiah pernikahan mereka. Dan kita berikan album itu pada pernikahan mereka.”
“boleh juga .. tapi, yang aku kawatirkan apa mereka akan menikah atau tidak.. kalau tidak, kan sia-sia.”
“iya sih.. tapi setauku Alice sayang sekali pada Papamu. karena dia pernah bercerita padaku tentang impiannya menikah dengar Papamu.”
“Jadi Alice juga ingin menikah dengan Papa?”
“maksudmu dengan ‘juga’ itu apa?”
“Papa pernah bilang kalau dia ingin melamar Alice tapi dia takut Alice belum siap. Dan ternyata keduanya mempunyai keinginan yang sama.”
“Alice bercerita ia ingin memasak setiap hari untuk Mark, membangunkan Mark setiap pagi, Mengasuh anak bersama Mark, pokoknya semua tentang Mark. Kalau sudah begini aku yakin jika mereka akan menikah, kalau menurutmu gimana Scar?”
“aku juga yakin begitu. Ok, aku setuju dengan misi ini!”
“bagus, sekarang ayo kita jalankan misi kita. Pertama-tama kita harus memotret kemesraan mereka saat ini. Kamar kamu berhadapan dengan sofa mereka kan?”
“iya, kalau mau memotret bisa dari sini, tapi kamu harus tiarap untung memotretnya jika tidak ingin ketahuan dengan Papa.”
“ok”
     Tanpa ragu Will merayap keluar kamar dan memotret mereka. Kami mendapatkan foto yang sangat bagus. Tangan kiri Papa berapa di pundak Alice dan kepala Alice berada di bahu Papa. Dengan wajah Papa sedang menatap Alice lembut.
“gimana hasilnya, Scar?”
“ya ampun, it’s so sweet. sampai iri liat mereka.”
“hahaha.. berarti kita baru mendapatkan 2 foto. Kita harus mendapatkan yang selanjutnya.”
“iya” jawabku sambil masih menatap hasil jepretan Will
    Inilah kami dengan misi mengabadikan kenangan indah Papa dan Alice. Meskipun terlihat aneh namun ini ide yang sangat briliant. Kami akan berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan jepretan-jepretan lainnya. We are secret Photographers!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar