Suatu hari, di bawah langit sore yang
jingga, kita akan bertemu lagi bukan?
Itu
adalah kalimat terakhir dari novel yang baru selesai kubaca. Kalimat itu penuh
harap itu membuatku ikut berharap; semoga mereka dapat bertemu lagi. Entah itu di bawah langit yang jingga, kelam
ataupun biru tak berawan. Ada rasa sesak yang kurasakan setelah membaca novel
itu, sebab aku sangat mengerti; tidak semua harapan harus terwujud.
Es
di dalam minumanku sudah mencair. Susu Vanila itu pasti sudah hambar. Aku larut
terlalu lama dalam novel menyebalkan itu. Bisa kusimpulkan bahwa penulisnya
adalah manusia yang kejam.
Perhatianku
teralihkan oleh dua remaja di meja seberang. Keduanya masih menggenakan seragam
sekolah. Mereka saling berhadapan tetapi
lebih banyak diam dibandingkan berbincang. Apa mereka pasangan baru? Apa ini
kencan pertama mereka? Aku yakin mereka sepasang kekasih atau paling tidak
salah satu di antaranya sedang berusaha merayu. Tatapan malu-malu yang bersemu
itu terlalu jelas. Aku ikut menahan senyum melihat mereka. Aku tidak punya kisah semanis itu saat seusia
mereka, jadi anggaplah aku sedikit iri.
Aku
bukan siswa yang cerdas ketika sekolah, sehingga aku lebih banyak menghabiskan
waktuku untuk belajar. Aku tidak memiliki banyak teman, karena aku tidak pandai
berteman. Sejujurnya aku tidak suka belajar, tetapi aku tidak punya pilihan
lain. Aku merasa tidak punya masa depan jika aku tidak diterima di perguruan
tinggi.
Aku
tidak menonjol di bidang apapun. Aku merasa tidak ada yang spesial dengan
diriku ataupun kehidupanku. Aku yakin tidak banyak teman-teman seangkatan yang
ingat denganku. Itu bukan masalah. Aku tidak terlalu berharap mereka
mengingatku.
Harapanku
waktu itu hanyalah diterima di perguruang tinggi. Tetapi suatu hari kudapati
diriku memiliki harapan lainnya , dan dari hari ke hari aku semakin tamak dalam
berharap.
Aku
berharap ia tidak marah padaku ketika aku sering kali tertangkap basah sedang
menatap matanya. Itu adalah harapan pertamaku. Awalnya aku hanya tertarik
karena mata itu terlihat tajam, dingin dan mengintimidasi. Tetapi aku juga
mendapati bahwa tatapan itu sarat akan kesepian. Jika benar ia kesepian,
bolehkah aku tau apa yang membuatnya kesepian? Itu adalah harapan keduaku.
Laki-laki
itu tidak menghiraukan keberadaanku meskipun kami berada di kelas yang sama. Tetapi
itu pula yang dilakukannya kepada semua orang di kelas bahkan seluruh sekolah. Kami
berdua semacam alien; tidak berteman, tidak ingin berteman, dan jangan anggap
kami sebagai teman. Aku merasa bahwa
kami sama. Mungkin karena itulah aku berharap kami dapat berteman. Itu adalah
harapanku yang ketiga.
Dia
adalah siswa pindahan dari kota lain. Dia jarang berbicara, tetapi aku pernah
mendengarnya berbicara beberapa kali. Dia berbicara dengan dialeg daerah
selatan. Karena dia jarang berbicara atau rasa ketertarikanku yang tinggi, aku
ingin mengenalnya lebih dalam. Itu harapanku yang keempat.
Aku
terbiasa ke perpustakaan kota seusai sekolah. Aku tidak bisa belajar di rumah
karena kedua adikku sangat berisik. Perpustakaan kota tidak terlalu jauh dari
sekolah, hanya butuh berjalan kaki sekitar 15 menit. Tepat dua bangunan sebelum
perpustakaan kota, berdiri sebuah kedai es krim kecil. Aku sering mampir membeli
satu atau dua scoop eskrim vanila sebelum masuk ke perpustakaan. Dinginnya es krim mampu mencairkan otakku yang
beku, setidaknya begitulah menurutku.
Hari
itu, setelah aku menerima dua scoop es krim dari penjaga kasir aku tidak
sengaja bertemu dengan laki-laki itu. Aku hanya melihatnya sekilas kemudian
membuang muka ke arah lain. Aku rasa kami tidak sedekat itu untuk
berbincang-bincang atau sekedar basa-basi. Kami bahkan tidak pernah berbicara
sebelumnya. Aku memilih tempat duduk di pojok belakang, sedangkan laki-laki itu
duduk di pojok depan. Dia menghabiskan es krimnya sambil menatap ke luar
jendela. Entah apa yang menarik di luar sana. Aku rasa apa yang sedang dia
pikirkan jauh lebih menarik dari pada apa objek yang sedang ditatapnya.
Aku
masih ingin lebih lama di sini, tapi setumpuk tugas di dalam tasku seolah meronta-ronta
meminta segera dikerjakan. Sebelum aku berdiri, kutatap laki-laki itu sekali
lagi. Bibirnya kecil dan jarang tersenyum. Apa kira-kira yang membuatnya
tersenyum? Matanya berkantung dan gelap. Apa dia kurang tidur? Atau dia
kesulitan tidur? Aku menghentikan berbagai pertanyaan di dalam kepalaku,
kemudian meraih tasku dan berjalan menuju pintu keluar. Aku berjalan dan
mengarahkan pandanganku ke arah yang berlawanan dari tempat duduknya. Kontak mata
hanya akan membuat suasana semakin canggung.
Setelah
meloloskan diri dari pintu kedai, aku menarik nafas panjang. Aku berusaha untuk
berhenti memikirkan laki-laki itu dan mulai menyibukkan pikiranku seputar tugas
yang harus kukerjakan. Aku melangkah menuju perpustakaan kota.
Aku
memilih duduk menghadap jendela dan mulai membuka buku. Suasana perpustakaan
yang sepi bertolak belakang dengan pikiranku. Kepalaku masih dipenuhi dengan laki-laki
bermata dingin itu. Apa yang dia lakukan setelah keluar dari kedai itu? Apa dia
akan mengerjakan tugas juga? Apa dia kesulitan mengerjakan tugas? Ah, sepertinya dia cukup pintar.
Aku
mencoba mengalihkan pikiranku dan mulai membaca soal-soal di buku. Ah, ini
sulit. Aku lebih suka memikirkan laki-laki itu dibanding mengerjakan tugas ini.
Tidak, tetaplah waras, kerjakan tugas ini dan masuklah ke perguruan tinggi.
Apakah dia juga ingin melanjutkan ke perguruan tinggi? Ah, ada apa denganku. Kenapa
semuanya harus jadi berkaitan dengan laki-laki itu.
“Keberatan
aku duduk di sini?”
Aku
mendongak pada sosok yang berdiri di hadapanku. Wajahnya datar, tatapannya tegas
dan dingin. Siapa yang berani bilang tidak padanya.
Aku
mengangguk. Jantungku berdegup kencang. Aku mencoba menghilangkan laki-laki itu
dari pikiranku tapi dia malah berada di hadapanku sekarang. Menarik kursi di
hadapanku dan mulai membuka buku. Sepertinya aku hari ini aku akan kesulitan
mengerjakan tugasku.
Apa
yang membuatnya harus duduk di hadapanku? Bukankah tadi kami berpura-pura tidak
kenal di kedai es krim? Aku meliriknya sekilas. Tidak ada kemarahan di wajahnya
walaupun ekspresinya selalu dingin. Sepertinya dia tidak berniat buruk atau
semacamnya kepadaku.
“Ducan.
Kita satu kelas. Ingat?”
Dia
tak menatapku dan sibuk membolak-balik halaman bukunya. Aku menjawab “Ya” sambil mengangguk. Padahal Ducan
sama sekali tak melirikku.
Akhirnya
tercipta sebuah percakapan di antara kami. Walaupun sedikit dan canggung, aku
merasa senang. Mungkin kecanggungan akan menjadi awal bagi kamu untuk lebih
dekat. Itulah harapanku yang kelima.
“Apa
ada yang tidak kau mengerti?”
Ada. Banyak. Aku tidak mengerti sama
sekali tentangmu.
Aku
tersadar, sejak tadi aku hanya membolak balik halaman buku di pangkuanku. Belum
sempat aku menjawab pertanyaannya, Ducan sudah meningalkan tempat duduknya. Mataku
tak dapat lepas darinya ketika di berjalan mendekat ke arahku. Ia menarik satu
kursi di sebalahku.
“Yang
mana?” seraya meraih buku di pangkuanku dan meletakkannya di atas meja.
Aku
tidak mampu berfikir ketika sepasang iris hijau itu menatapku. Dia tidak
tersenyum, tetapi aku merasakan mata yang dingin itu berubah hangat. Dengan
jarak sedekat ini aku dapat melihat tahi lalat kecil di pelipisnya serta bekas
luka kecil di dekat kelopak matanya. Dia manis dan hangat.
Aku
menunjuk nomor soal secara acak. Aku tidak mampu berfikir. Rasanya selama Ducan
berada di sekitarku, aku tidak bisa mengerjakan soal manapun. Dia mengambil
alih atensiku seluruhnya tanpa menyisakan sedikitpun. Dia mulai menjelaskan cara
mengerjakan soal yang tadi kutunjuk. Aku tidak paham sedikitpun tentang apa
yang dia katakan. Aku menikmati suaranya yang berat. Sesekali ia menoleh ke
arahku, memastikan bahwa aku tidak kebingungan. Aku hanya mengangguk-angguk
tanpa paham sedikitpun. Aku berharap waktu berhenti atau setidaknya berjalan
lebih lambat. Itulah harapan keenamku.
Ducan
menatap jauh ke luar jendela saat kami baru saja menyelesaikan soal ke delapan.
Langit sudah seutuhnya berubah kelam. Waktu tidak berhenti ataupun berjalan
lambat. Aku terlalu menikmati dan mulai tamak.
Kami
mengemasi buku-buku di atas meja untuk bersiap pulang. Tentu saja aku mengemasi
barang-barangku dengan berat hati. Ducan memintaku meminjamkannya salah satu
buku catatanku. Aku memberikannya dan mengemasi barangku yang lainnya. Aku kira
dia akan meminjamnya hingga besok, tetapi hanya selang beberapa menit dia
mengembalikan catatanku. Aku tidak bertanya lebih lanjut. Kami memang tidak
banyak berbicara, tetapi hari ini aku senang bisa mendengar Ducan berbicara lebih
banyak. Dan semua yang dia ucapkan itu, untukku.
Aku
dan Ducan berjalan pulang bersama. Di tengah perjalanan kami, kuketahui bahwa
rumahnya berlawanan dengan rumahku, tetapi dia tetap bersikeras untuk
mengantarku. Tidak, dia tidak bersikeras. Dia hanya mengatakan ‘tidak masalah’
dengan tatapan dingin. Aku tidak berani menolak dan sejujurnya hatiku bersorak
karena bisa sedikit lebih lama bersama Ducan.
Kami
berjalan berdampingan dan tak banyak bicara. Sesekali aku menunduk atau
mengarahkan wajahku menjauh dari Ducan dan tersenyum. Wajah manis di bawah
remang lampu jalan ini tidak mungkin akan ku lupakan. Aku menjadi sedikit lebih
tamak dan berharap ini akan terulang. Itu adalah harapan keketujuhku.
Hari-hari
setelah itu aku sama sekali tidak melihat Ducan. Dia menghilang. Sayup-sayup
kudengar dari bangku belakangku bahwa Ducan mengalami kecelakaan satu hari
setelah kami bertemu. Seorang pengendara mabuk menabraknya hingga nyaris tewas.
Pengemudi itu tewas di tempat. Ducan dibawa ke rumah sakit yang lebih besar di
kota lain. Setelah itu Ducan tidak pernah kembali dan orang-orang tidak
membicarakannya lagi.
Dibandingkan
khawatir aku lebih merasakan kehilangan. Aku selalu membawa buku catatanku ke
manapun. Itu adalah buku catatan yang pernah dipinjam Ducan selama beberapa
menit di perpustakaan. Aku yakin beberapa menit itu digunakannya untuk
menyelipkan secarik kertas di antara halamannya. Aku melihat tulisan di secarik
kertas itu sehari setelah pertemuan terakhir kami. Ducan meninggalkan sebuah
pesan untukku.
Kau manis. Kuharap kau selalu bahagia.
Singkat
dan lugas, aku yakin itu Ducan. Kuanggap itu sebagai surat cinta. Orang-orang
bilang cinta pertama tidak pernah berhasil. Aku tidak peduli. Aku ingin bertemu
sekali lagi dengan Ducan suatu hari nanti. Itu adalah harapanku yang kedelapan.
Sepasang
kekasih di depanku sudah mengalami kemajuan. Mereka mulai tertawa bersama dan
sesekali si laki-laki mengacak-acak rambut kekasihnya dengan gemas. Aku yang
tidak ingin semakin iri dengan pasangan muda itu beranjak dari tempat dudukku.
Pada
dasarnya manusia itu tamak. Mereka mengharapkan banyak hal bahkan hingga tak
jarang mereka lupa dengan apa yang mereka harapkan. Harapan adalah salah satu
yang membuat manusia menjadi hidup. Harapan bisa jadi terwujud ataupun tidak. Tetapi
terlepas dari itu semua, kebahagiaan manusia ada di tangan mereka sendiri. Ingin
berlarut dalam kekecewaan atau melanjutkan dan memulai harapan baru.
Langkahku
terhenti ketika seorang bocah kecil tersandung di hadapanku. Kulihat lututnya merah
dan sedikit berdarah. Dia menangis melihat darahnya yang tak seberapa. Aku
segera meraih bocah itu dan menggendongnya.
“Ayah!”
bocah itu meraung sambil memanggil
ayahnya. Kudegar langkah kaki yang semakin dekat denganku. Aku berbalik dan
anak itu langsung mengulurkan tangannya kepada pria di depanku. Dengan sigap
pria itu meraih bocah kecilnya.
Anak
itu sudah berada di gendongan ayahnya dan tangisnya mulai mereda. Aku memperhatikan
lekat-lekat wajah pria di hadapanku ketika ia hendak mengucapkan terima kasih.
Iris
hijau itu terlihat hangat saat ini. Tahi lalat di pelipis, bekas luka di
kelopak mata, dan ada beberapa bekas di bagian lain. Tetapi aku yakin, dia pria
yang meninggalkan secarik kertas di buku catatanku.
Aku
mendapati dia menunjukkan wajah sama terkejutnya denganku. Aku yakin dia
mengenaliku. Sepuluh tahun adalah waktu yang lama, tapi aku yakin dia masih
mengenaliku.
“Mama!”
Aku sedikit kaget dengan gadis kecil yang tiba-tiba memeluk pinggangku dari
belakang. Tubuh kecilnya membuatku sedikit menunduk, kemudian kuacak surainya
dengan gemas. Aku menoleh ke belakang kemudian tersenyum pada William, suamiku.
Kualihkan
kembali atensiku pada Ducan. Kami berdua tersenyum. Hari ini, di bawah langit
jingga kami bertemu kembali. Aku lega, bahwa kami berdua bahagia.
Terima kasih kepada IU dan Suga atas lagu Eightnya, serta lagu Haruman (Just One Day)-BTS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar