Minggu, 24 Mei 2020

Eight


Suatu hari, di bawah langit sore yang jingga, kita akan bertemu lagi bukan?
Itu adalah kalimat terakhir dari novel yang baru selesai kubaca. Kalimat itu penuh harap itu membuatku ikut berharap; semoga mereka dapat bertemu lagi.  Entah itu di bawah langit yang jingga, kelam ataupun biru tak berawan. Ada rasa sesak yang kurasakan setelah membaca novel itu, sebab aku sangat mengerti; tidak semua harapan harus terwujud.
Es di dalam minumanku sudah mencair. Susu Vanila itu pasti sudah hambar. Aku larut terlalu lama dalam novel menyebalkan itu. Bisa kusimpulkan bahwa penulisnya adalah manusia yang kejam.
Perhatianku teralihkan oleh dua remaja di meja seberang. Keduanya masih menggenakan seragam sekolah.  Mereka saling berhadapan tetapi lebih banyak diam dibandingkan berbincang. Apa mereka pasangan baru? Apa ini kencan pertama mereka? Aku yakin mereka sepasang kekasih atau paling tidak salah satu di antaranya sedang berusaha merayu. Tatapan malu-malu yang bersemu itu terlalu jelas. Aku ikut menahan senyum melihat mereka.  Aku tidak punya kisah semanis itu saat seusia mereka, jadi anggaplah aku sedikit iri.
Aku bukan siswa yang cerdas ketika sekolah, sehingga aku lebih banyak menghabiskan waktuku untuk belajar. Aku tidak memiliki banyak teman, karena aku tidak pandai berteman. Sejujurnya aku tidak suka belajar, tetapi aku tidak punya pilihan lain. Aku merasa tidak punya masa depan jika aku tidak diterima di perguruan tinggi.  
Aku tidak menonjol di bidang apapun. Aku merasa tidak ada yang spesial dengan diriku ataupun kehidupanku. Aku yakin tidak banyak teman-teman seangkatan yang ingat denganku. Itu bukan masalah. Aku tidak terlalu berharap mereka mengingatku.
Harapanku waktu itu hanyalah diterima di perguruang tinggi. Tetapi suatu hari kudapati diriku memiliki harapan lainnya , dan dari hari ke hari aku semakin tamak dalam berharap.
Aku berharap ia tidak marah padaku ketika aku sering kali tertangkap basah sedang menatap matanya. Itu adalah harapan pertamaku. Awalnya aku hanya tertarik karena mata itu terlihat tajam, dingin dan mengintimidasi. Tetapi aku juga mendapati bahwa tatapan itu sarat akan kesepian. Jika benar ia kesepian, bolehkah aku tau apa yang membuatnya kesepian? Itu adalah harapan keduaku.
Laki-laki itu tidak menghiraukan keberadaanku meskipun kami berada di kelas yang sama. Tetapi itu pula yang dilakukannya kepada semua orang di kelas bahkan seluruh sekolah. Kami berdua semacam alien; tidak berteman, tidak ingin berteman, dan jangan anggap kami sebagai teman.  Aku merasa bahwa kami sama. Mungkin karena itulah aku berharap kami dapat berteman. Itu adalah harapanku yang ketiga.
Dia adalah siswa pindahan dari kota lain. Dia jarang berbicara, tetapi aku pernah mendengarnya berbicara beberapa kali. Dia berbicara dengan dialeg daerah selatan. Karena dia jarang berbicara atau rasa ketertarikanku yang tinggi, aku ingin mengenalnya lebih dalam. Itu harapanku yang keempat.
Aku terbiasa ke perpustakaan kota seusai sekolah. Aku tidak bisa belajar di rumah karena kedua adikku sangat berisik. Perpustakaan kota tidak terlalu jauh dari sekolah, hanya butuh berjalan kaki sekitar 15 menit. Tepat dua bangunan sebelum perpustakaan kota, berdiri sebuah kedai es krim kecil. Aku sering mampir membeli satu atau dua scoop eskrim vanila sebelum masuk ke perpustakaan.  Dinginnya es krim mampu mencairkan otakku yang beku, setidaknya begitulah menurutku.
Hari itu, setelah aku menerima dua scoop es krim dari penjaga kasir aku tidak sengaja bertemu dengan laki-laki itu. Aku hanya melihatnya sekilas kemudian membuang muka ke arah lain. Aku rasa kami tidak sedekat itu untuk berbincang-bincang atau sekedar basa-basi. Kami bahkan tidak pernah berbicara sebelumnya. Aku memilih tempat duduk di pojok belakang, sedangkan laki-laki itu duduk di pojok depan. Dia menghabiskan es krimnya sambil menatap ke luar jendela. Entah apa yang menarik di luar sana. Aku rasa apa yang sedang dia pikirkan jauh lebih menarik dari pada apa objek yang sedang ditatapnya.  
Aku masih ingin lebih lama di sini, tapi setumpuk tugas di dalam tasku seolah meronta-ronta meminta segera dikerjakan. Sebelum aku berdiri, kutatap laki-laki itu sekali lagi. Bibirnya kecil dan jarang tersenyum. Apa kira-kira yang membuatnya tersenyum? Matanya berkantung dan gelap. Apa dia kurang tidur? Atau dia kesulitan tidur? Aku menghentikan berbagai pertanyaan di dalam kepalaku, kemudian meraih tasku dan berjalan menuju pintu keluar. Aku berjalan dan mengarahkan pandanganku ke arah yang berlawanan dari tempat duduknya. Kontak mata hanya akan membuat suasana semakin canggung.
Setelah meloloskan diri dari pintu kedai, aku menarik nafas panjang. Aku berusaha untuk berhenti memikirkan laki-laki itu dan mulai menyibukkan pikiranku seputar tugas yang harus kukerjakan. Aku melangkah menuju perpustakaan kota.
Aku memilih duduk menghadap jendela dan mulai membuka buku. Suasana perpustakaan yang sepi bertolak belakang dengan pikiranku. Kepalaku masih dipenuhi dengan laki-laki bermata dingin itu. Apa yang dia lakukan setelah keluar dari kedai itu? Apa dia akan mengerjakan tugas juga? Apa dia kesulitan mengerjakan tugas?  Ah, sepertinya dia cukup pintar.
Aku mencoba mengalihkan pikiranku dan mulai membaca soal-soal di buku. Ah, ini sulit. Aku lebih suka memikirkan laki-laki itu dibanding mengerjakan tugas ini. Tidak, tetaplah waras, kerjakan tugas ini dan masuklah ke perguruan tinggi. Apakah dia juga ingin melanjutkan ke perguruan tinggi? Ah, ada apa denganku. Kenapa semuanya harus jadi berkaitan dengan laki-laki itu.
“Keberatan aku duduk di sini?”
Aku mendongak pada sosok yang berdiri di hadapanku. Wajahnya datar, tatapannya tegas dan dingin. Siapa yang berani bilang tidak padanya.
Aku mengangguk. Jantungku berdegup kencang. Aku mencoba menghilangkan laki-laki itu dari pikiranku tapi dia malah berada di hadapanku sekarang. Menarik kursi di hadapanku dan mulai membuka buku. Sepertinya aku hari ini aku akan kesulitan mengerjakan tugasku.
Apa yang membuatnya harus duduk di hadapanku? Bukankah tadi kami berpura-pura tidak kenal di kedai es krim? Aku meliriknya sekilas. Tidak ada kemarahan di wajahnya walaupun ekspresinya selalu dingin. Sepertinya dia tidak berniat buruk atau semacamnya kepadaku.
“Ducan. Kita satu kelas. Ingat?”
Dia tak menatapku dan sibuk membolak-balik halaman bukunya.  Aku menjawab “Ya” sambil mengangguk. Padahal Ducan sama sekali tak melirikku.
Akhirnya tercipta sebuah percakapan di antara kami. Walaupun sedikit dan canggung, aku merasa senang. Mungkin kecanggungan akan menjadi awal bagi kamu untuk lebih dekat. Itulah harapanku yang kelima.
“Apa ada yang tidak kau mengerti?”
Ada. Banyak. Aku tidak mengerti sama sekali tentangmu.
Aku tersadar, sejak tadi aku hanya membolak balik halaman buku di pangkuanku. Belum sempat aku menjawab pertanyaannya, Ducan sudah meningalkan tempat duduknya. Mataku tak dapat lepas darinya ketika di berjalan mendekat ke arahku. Ia menarik satu kursi di sebalahku.
“Yang mana?” seraya meraih buku di pangkuanku dan meletakkannya di atas meja.
Aku tidak mampu berfikir ketika sepasang iris hijau itu menatapku. Dia tidak tersenyum, tetapi aku merasakan mata yang dingin itu berubah hangat. Dengan jarak sedekat ini aku dapat melihat tahi lalat kecil di pelipisnya serta bekas luka kecil di dekat kelopak matanya. Dia manis dan hangat.
Aku menunjuk nomor soal secara acak. Aku tidak mampu berfikir. Rasanya selama Ducan berada di sekitarku, aku tidak bisa mengerjakan soal manapun. Dia mengambil alih atensiku seluruhnya tanpa menyisakan sedikitpun. Dia mulai menjelaskan cara mengerjakan soal yang tadi kutunjuk. Aku tidak paham sedikitpun tentang apa yang dia katakan. Aku menikmati suaranya yang berat. Sesekali ia menoleh ke arahku, memastikan bahwa aku tidak kebingungan. Aku hanya mengangguk-angguk tanpa paham sedikitpun. Aku berharap waktu berhenti atau setidaknya berjalan lebih lambat. Itulah harapan keenamku.
Ducan menatap jauh ke luar jendela saat kami baru saja menyelesaikan soal ke delapan. Langit sudah seutuhnya berubah kelam. Waktu tidak berhenti ataupun berjalan lambat. Aku terlalu menikmati dan mulai tamak.
Kami mengemasi buku-buku di atas meja untuk bersiap pulang. Tentu saja aku mengemasi barang-barangku dengan berat hati. Ducan memintaku meminjamkannya salah satu buku catatanku. Aku memberikannya dan mengemasi barangku yang lainnya. Aku kira dia akan meminjamnya hingga besok, tetapi hanya selang beberapa menit dia mengembalikan catatanku. Aku tidak bertanya lebih lanjut. Kami memang tidak banyak berbicara, tetapi hari ini aku senang bisa mendengar Ducan berbicara lebih banyak. Dan semua yang dia ucapkan itu, untukku.
Aku dan Ducan berjalan pulang bersama. Di tengah perjalanan kami, kuketahui bahwa rumahnya berlawanan dengan rumahku, tetapi dia tetap bersikeras untuk mengantarku. Tidak, dia tidak bersikeras. Dia hanya mengatakan ‘tidak masalah’ dengan tatapan dingin. Aku tidak berani menolak dan sejujurnya hatiku bersorak karena bisa sedikit lebih lama bersama Ducan.
Kami berjalan berdampingan dan tak banyak bicara. Sesekali aku menunduk atau mengarahkan wajahku menjauh dari Ducan dan tersenyum. Wajah manis di bawah remang lampu jalan ini tidak mungkin akan ku lupakan. Aku menjadi sedikit lebih tamak dan berharap ini akan terulang. Itu adalah harapan keketujuhku.
Hari-hari setelah itu aku sama sekali tidak melihat Ducan. Dia menghilang. Sayup-sayup kudengar dari bangku belakangku bahwa Ducan mengalami kecelakaan satu hari setelah kami bertemu. Seorang pengendara mabuk menabraknya hingga nyaris tewas. Pengemudi itu tewas di tempat. Ducan dibawa ke rumah sakit yang lebih besar di kota lain. Setelah itu Ducan tidak pernah kembali dan orang-orang tidak membicarakannya lagi.
Dibandingkan khawatir aku lebih merasakan kehilangan. Aku selalu membawa buku catatanku ke manapun. Itu adalah buku catatan yang pernah dipinjam Ducan selama beberapa menit di perpustakaan. Aku yakin beberapa menit itu digunakannya untuk menyelipkan secarik kertas di antara halamannya. Aku melihat tulisan di secarik kertas itu sehari setelah pertemuan terakhir kami. Ducan meninggalkan sebuah pesan untukku.
Kau manis. Kuharap kau selalu bahagia.  
Singkat dan lugas, aku yakin itu Ducan. Kuanggap itu sebagai surat cinta. Orang-orang bilang cinta pertama tidak pernah berhasil. Aku tidak peduli. Aku ingin bertemu sekali lagi dengan Ducan suatu hari nanti. Itu adalah harapanku yang kedelapan.

Sepasang kekasih di depanku sudah mengalami kemajuan. Mereka mulai tertawa bersama dan sesekali si laki-laki mengacak-acak rambut kekasihnya dengan gemas. Aku yang tidak ingin semakin iri dengan pasangan muda itu beranjak dari tempat dudukku.
Pada dasarnya manusia itu tamak. Mereka mengharapkan banyak hal bahkan hingga tak jarang mereka lupa dengan apa yang mereka harapkan. Harapan adalah salah satu yang membuat manusia menjadi hidup. Harapan bisa jadi terwujud ataupun tidak. Tetapi terlepas dari itu semua, kebahagiaan manusia ada di tangan mereka sendiri. Ingin berlarut dalam kekecewaan atau melanjutkan dan memulai harapan baru.  
Langkahku terhenti ketika seorang bocah kecil tersandung di hadapanku. Kulihat lututnya merah dan sedikit berdarah. Dia menangis melihat darahnya yang tak seberapa. Aku segera meraih bocah itu dan menggendongnya.
“Ayah!” bocah itu meraung  sambil memanggil ayahnya. Kudegar langkah kaki yang semakin dekat denganku. Aku berbalik dan anak itu langsung mengulurkan tangannya kepada pria di depanku. Dengan sigap pria itu meraih bocah kecilnya.
Anak itu sudah berada di gendongan ayahnya dan tangisnya mulai mereda. Aku memperhatikan lekat-lekat wajah pria di hadapanku ketika ia hendak mengucapkan terima kasih.
Iris hijau itu terlihat hangat saat ini. Tahi lalat di pelipis, bekas luka di kelopak mata, dan ada beberapa bekas di bagian lain. Tetapi aku yakin, dia pria yang meninggalkan secarik kertas di buku catatanku.
Aku mendapati dia menunjukkan wajah sama terkejutnya denganku. Aku yakin dia mengenaliku. Sepuluh tahun adalah waktu yang lama, tapi aku yakin dia masih mengenaliku.
“Mama!” Aku sedikit kaget dengan gadis kecil yang tiba-tiba memeluk pinggangku dari belakang. Tubuh kecilnya membuatku sedikit menunduk, kemudian kuacak surainya dengan gemas. Aku menoleh ke belakang kemudian tersenyum pada William, suamiku.  
Kualihkan kembali atensiku pada Ducan. Kami berdua tersenyum. Hari ini, di bawah langit jingga kami bertemu kembali. Aku lega, bahwa kami berdua bahagia.



Terima kasih kepada IU dan Suga atas lagu Eightnya, serta lagu Haruman (Just One Day)-BTS. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar