Warning! 21+ karena mengandung unsur sensitif seperti bunuh diri (suicide). Mohon pembaca bijak dalam memaknai tulisan ini. Tulisan ini tidak mengajak siapapun untuk bertindak ekstrim dan sejenisnya. Jika mengalami ‘kesulitan’, tolong segera mencari bantuan atau berbicaralah dengan saya.
Aku mengenalnmu sebagai
gadis yang mirip dengan kuncup bunga. Aku beberapa kali melihatmu mendongak ke
langit dan tersenyum pada matahari. Aku rasa aku mulai mencintainya di musim
panas, saat matahari bersinar lebih cerah dibanding musim lainnya. Jauh sebelum
bertemu denganmu, aku sudah menyukai musim panas. Aku sangat suka es serut di
musim panas, dan kau.
Aku tidak tau bunga apa
yang cocok untuk menggambarkanmu, bunga matahari terlalu cerah dan bunga mawar
terlalu dewasa untuk kita. Kau tersenyum pada siapapun tetapi hampir tidak
tertawa terhadap apapun. Orang-orang segan kepada kepribadianmu yang dewasa, tapi
itu membuatku bertanya-tanya ‘itukah kau yang sebenarnya?’
Aku muda dan berapi-api. Kau
adalah angin musim panas yang membuatku semakin berkobar. Setelah tekadku
bulat, aku menyapamu. Kau tersenyum dan aku tidak merasa terkesan, sebab itulah
yang kau lakukan pada semua orang. Jika aku kecewa padamu dan menyerah, aku
adalah pecundang. Jadi, setelah beberapa minggu menjadi tiba-tiba akrab
denganmu, kita duduk berhadapan di kedai es serut di seberang sekolah. Aku tidak
bilang apapun tentang perasaanku padamu, tapi aku tau pasti bahwa itu hanyalah
cinta sepihak.
Saat hari demi hari
berlalu begitu saja, dan musim gugur tiba. Matahari tak seterik musim kemarin. Aku
menjadi sedikit lebih mengenalmu: mata sayumu bukan karena kau sipit. Kau pandai
membuat orang tidak tertarik padamu, hingga tidak ada orang yang mengenalmu
dengan baik. Jika aku tidak melihatmu tersenyum di musim panas apakah kau akan lebih
kesepian dari sekarang?
Menurutmu, semua orang
bebas untuk menyimpan rahasia mereka masing-masing. Memaksa seseorang untuk berbicara
mirip dengan pencuri yang mengancam korbannya. Jadi, aku hanya mengamatimu dengan
penuh tanda tanya tanpa berani mengungkapkannya.
Hari-hari di sekolah tak tersisa
banyak, kelulusan akan segera tiba. Hari itu, aku ingin sedikit lebih lama
berbincang denganmu.
“Kau teman yang baik. Aku
yakin kau sangat menyayangiku, dan aku tidak perlu bukti apapun. Aku hanya
percaya kau menyayangiku. Aku sungguh berterima kasih atas itu. Kau yang
terbaik.”
Kau tersenyum seolah-olah
itu adalah musim panas.
“Aku sudah siap jika
harus mati sekarang, aku sudah bahagia punya teman yang sangat baik sepertimu.”
“Harusnya kau berharap
hidup panjang agar terus bersamaku.”
“Tidakkah itu terlalu
tamak? Lagi pula, mati hanyalah
kehilangan nyawa.”
Sesuai dengan wasiat yang
kau tulis di atas selembar kertas, kau tidak ingin memiliki makam agar tak
seorang pun bisa mengunjungi makammu. Orang-orang pasti berpikir, sampai mati
kau terus kesepian. Kau memaksa orang-orang untuk segera melupakanmu, tetapi
itu tidak akan berhasil padaku.
Aku masih sering
memikirkanmu. Dibandingkan larut dalam pikiran ‘kenapa kau memutuskan untuk menghilangkan
nyawa’, aku lebih memilih untuk terus mencintaimu. Aku melanjutkan hidup dan
menyimpanmu diam-diam dalam hatiku.