Senin, 19 April 2021

Loneliest

Warning! 21+ karena mengandung unsur sensitif seperti bunuh diri (suicide). Mohon pembaca bijak dalam memaknai tulisan ini. Tulisan ini tidak mengajak siapapun untuk bertindak ekstrim dan sejenisnya. Jika mengalami ‘kesulitan’, tolong segera mencari bantuan atau berbicaralah dengan saya. 

 

 

 

Aku mengenalnmu sebagai gadis yang mirip dengan kuncup bunga. Aku beberapa kali melihatmu mendongak ke langit dan tersenyum pada matahari. Aku rasa aku mulai mencintainya di musim panas, saat matahari bersinar lebih cerah dibanding musim lainnya. Jauh sebelum bertemu denganmu, aku sudah menyukai musim panas. Aku sangat suka es serut di musim panas, dan kau.

Aku tidak tau bunga apa yang cocok untuk menggambarkanmu, bunga matahari terlalu cerah dan bunga mawar terlalu dewasa untuk kita. Kau tersenyum pada siapapun tetapi hampir tidak tertawa terhadap apapun. Orang-orang segan kepada kepribadianmu yang dewasa, tapi itu membuatku bertanya-tanya ‘itukah kau yang sebenarnya?’

Aku muda dan berapi-api. Kau adalah angin musim panas yang membuatku semakin berkobar. Setelah tekadku bulat, aku menyapamu. Kau tersenyum dan aku tidak merasa terkesan, sebab itulah yang kau lakukan pada semua orang. Jika aku kecewa padamu dan menyerah, aku adalah pecundang. Jadi, setelah beberapa minggu menjadi tiba-tiba akrab denganmu, kita duduk berhadapan di kedai es serut di seberang sekolah. Aku tidak bilang apapun tentang perasaanku padamu, tapi aku tau pasti bahwa itu hanyalah cinta sepihak.

Saat hari demi hari berlalu begitu saja, dan musim gugur tiba. Matahari tak seterik musim kemarin. Aku menjadi sedikit lebih mengenalmu: mata sayumu bukan karena kau sipit. Kau pandai membuat orang tidak tertarik padamu, hingga tidak ada orang yang mengenalmu dengan baik. Jika aku tidak melihatmu tersenyum di musim panas apakah kau akan lebih kesepian dari sekarang?

Menurutmu, semua orang bebas untuk menyimpan rahasia mereka masing-masing. Memaksa seseorang untuk berbicara mirip dengan pencuri yang mengancam korbannya. Jadi, aku hanya mengamatimu dengan penuh tanda tanya tanpa berani mengungkapkannya.

Hari-hari di sekolah tak tersisa banyak, kelulusan akan segera tiba. Hari itu, aku ingin sedikit lebih lama berbincang denganmu.

“Kau teman yang baik. Aku yakin kau sangat menyayangiku, dan aku tidak perlu bukti apapun. Aku hanya percaya kau menyayangiku. Aku sungguh berterima kasih atas itu. Kau yang terbaik.”

Kau tersenyum seolah-olah itu adalah musim panas.

“Aku sudah siap jika harus mati sekarang, aku sudah bahagia punya teman yang sangat baik sepertimu.”

“Harusnya kau berharap hidup panjang agar terus bersamaku.”

“Tidakkah itu terlalu tamak? Lagi pula, mati hanyalah kehilangan nyawa.

Sesuai dengan wasiat yang kau tulis di atas selembar kertas, kau tidak ingin memiliki makam agar tak seorang pun bisa mengunjungi makammu. Orang-orang pasti berpikir, sampai mati kau terus kesepian. Kau memaksa orang-orang untuk segera melupakanmu, tetapi itu tidak akan berhasil padaku.

Aku masih sering memikirkanmu. Dibandingkan larut dalam pikiran ‘kenapa kau memutuskan untuk menghilangkan nyawa’, aku lebih memilih untuk terus mencintaimu. Aku melanjutkan hidup dan menyimpanmu  diam-diam dalam hatiku.