Minggu, 07 Juli 2013

Little piece of Finnian Egan (Unseen)

Judulnya aneh kan? :v ya sama aneh sama ceritanya..

Finn: 18 Tahun
Ally: 8

dinikmati sajalah! pake micin biar lebih nikmat :v


Kehidupan seorang Kian Egan sudah pasti mewah. Aku tidak akan mengelak dari hal itu, aku sudah merasakan kemewahan itu sendiri. Memiliki sebuah rak lemari besar yang isinya hanya ensiklopedi kuda sudah pasti adalah barang mewah. Orang bodoh mana yang mau menghabiskan uang untuk ensiklopedi kuda? Apakah ayahku bodoh? Tidak juga. Siapa yang bilang menghabiskan uang untuk ensiklopedi kuda itu bodoh? Oh ya, aku tadi aku baru saja mengucapkannya.

Ayahku punya beberapa mobil mewah, beberapa diantaranya tidak terlalu sering dipakai. Dia tidak punya jadwa pakai untuk mobil-mobil itu. Ia hanya mengendarai apa yang sedang ia inginkan. Berdasarkan pengamatanku, sedan hitam di dalam garasi adalah favoritnya. Karena hampir setiap hari ia memakainya.

Kami punya halam yang sangat luas di belakang. Cukup luas untuk bermain bola kaki, karena kami menggunakannya sebagai arena pacu kuda. Kami punya istal yang dipenuhi dengan kuda-kuda koleksi Ci. Ok, aku juga sering menunggangi mereka, tapi tidak sesering Ci yang menungganginya sesering sarapan pagi. Bukankah Dad takut kuda? Oh, ketakutannya memberikan dispensasi untuk yang satu ini. Dia sangat mencintai Ci dan Ci sangat mencintai kuda. Jadi, tidak ada salahnya berkorban setiap hari dengan melihat kuda mengunyah rumput di halaman belakang. Aku selalu tertawa melihat ekpresi dada saat melihat kuda.

Yang sedang kencan dengan hewan berkaki empat itu Ci. Dia mengelus-ngelus Snowy dan memperlakukannya seperti kekasihnya. Semakin bertambahnya usia, kegilaan Ci terhadap kuda semakin bisa dikendalikan. Dulu saat masih kecil, dia senang sekali memeluk kuda sampai-sampai Maa harus turun tangan agar ia segera melepasnya. Seberapa sulit melepasnya? Aku lebih memilih menggendong kuda daripada menyuruh Ci melepaskan pelukannya. Hebatnya, Maa harus melakukan itu hampir setiap hari.

Aku memiliki adik laki-laki yang mempunyai cita-cita tinggi, ingin menjadi seperti Dad. Itu sebabnya ia bernyanyi 24 jam dalam 365 hari. Atau 366 hari saat tahun kabisat. Kuakui dia memiliki suara yang bagus, apalagi ayah selalu melatih vokalnya. Tapi aku benci sekali saat ia menyanyikan Love Story-andy Williams saat aku sedang belajar untuk ujian. Lagu itu membuatku tidak bisa berfikir dan harus menutup telinga rapat-rapat! Dia punya selera yang bagus dalam music, hanya saja, menurutku sebagian kecil dari seleranya itu payah! Bayangkan, dia penggemar Elvis Presley!

Nah, Gadis kecil kurus pucat itu adikku. Dulu rambutnya tidak sama seperti rambutku (rambut kami sama pendeknya). Dulu dia memiliki rambut coklat panjang yang bergelombang, setelah berusia tujuh tahun ia memutuskan untuk memangkas habis rambutnya. Tidak terlalu habis, ia menyisakan sedikit, yang pastinya bukan tempat untuk melekatkan jepitan. Dia anti pada jepitan, apalagi yang berwarna pink cerah dengan renda-renda yang imut. Dulu saat ia lahir, ia adalah gadis kecil manis yang periang dan sedikit menyebalkan. Setelah beranjak besar, aku ragu Maa telah melahirkan anak perempuan atau justru perempuan jadi-jadian. Dia tidak punya Barbie tapi memiliki Optimus Prime di kamarnya! Dilemarinya hanya ada celana Jeans dan jangan harap akan menemukan rok mini apalagi rok kembang berpita dan berenda. Aku sangat berharap agar dia tidak menjadi penggemar Elvis Presley seperti Kelly.

Ah! Aku harus pergi sebelum Ally mencuri kentang gorengku lagi!

*

Aku bangun di pagi hari dengan semangat seadanya. Matahari selalu bersinar dengan penuh semangat, itu sebabnya ia tidak pernah terlambat untuk terbit. Tapi aku bukan matahari. Seandainya hari ini libur.. Aku lebih memilih menghabiskan hari di rumah dibandingkan sekolah yang membosankan. Entah sejak kapan aku menganggap sekolah adalah hal yang membosankan, tapi aku akan tetap melakukan apapun yang harus aku lakukan. Membuka mata, menguap lebar, kemudan pergi kekamar mandi dan menyikat gigi.

Aku menyukai waktu sarapan karena aku selalu kelaparan di pagi hari. Dan di saat sarapan pula aku bisa mengganggu adik kecilku yang manis. Oh! Dia manis meskipun menyebalkan, itu sebabnya aku senang memeluk sambil menggendongnya, meskipun ia selalu meronta dan minta diturunkan. Atau yang lebih parah, ia akan menggigit. Tenang, dia bukan kanibal. Pada saat itu aku akan yakin pada Charles Darwin bahwa nenek moyang manusia adalah moyet, karena Ally menggigitku seperti seekor moyet gila. Satu gigitannya masih membekas di bahuku.

Nah, saat-saat setelah sarapan adalah yang aku benci. Perjalanan ke sekolah yang membosankan, karena aku hanya akan melihat mobil berceceran di sepanjang jalan, belum lagi jaraknya jauh! Kemudian setelah sampai di sekolah, aku hanya akan menemui manusia-manusia membosankan yang berkutat dengan buku-buku tebal. Kacamata tidak pernah lepas dari mata mereka, dan karena mereka, aku selalu mengikuti tren bentuk kacamata.

Aku merasa seperti Einstein karena berhasil masuk ke dalam sekolah yang berisi anak-anak berotak cerdas yang menurutku mengerikan. Mengapa kubilang mengerikan? Mereka tidak pernah berhitung dengan kalkulator! Bagaimana jika semua orang sama mengerikannya dengan mereka? Pabrik pembuat kalkulator akan guling tikar!

Bayangkan lagi, sekolah ini hanya menerima empat puluh siswa dalam setahun. Jadi, sudah pasti persaingannya ketat sekali. Yang tidak bisa aku bayangkan adalah, aku diterima. oh, bisa saja sekolah jenius ini dipimpin oleh seorang idiot. Bagaimana bisa dia membiarkanku masuk ke dalam sekolah mengerikan ini? Aku masih ingat bagaimana senangnya Dad saat mengetahui bahwa aku diterima. Kami makan kerang sampai muntah waktu itu.

Beberapa mengira, aku bisa diterima karena aku seorang Egan. Mengesalkan memang, tapi aku percaya seiring dengan berlalunya waktu maka mereka akan melupakannya.Tapi, ternyata mereka bukan nenek-nenek ubanan yang pikun! Misalkan saat ulangan nilaiku tinggi, maka mereka akan mengira ‘Semua terjadi karena dia Egan.’ Misalkan aku mendapat peringkat yang lumayan di kelas, maka ‘Semua terjadi karena dia Egan.’ Mengesalkan sekali. Jadi apapun yang terjadi padaku saat ini ‘Semua terjadi karena dia Egan.’ Mereka, para penghuni di sini menganggap ‘Semua terjadi karena dia Egan.’ Tidak peduli apapun usahaku untuk meyakinkan mereka, tetap saja mereka berpegang teguh pada ‘Semua terjadi karena dia Egan.’ Dan karena ‘Semua terjadi karena dia Egan.’ mereka menjauhiku.

Memang tidak semua, beberapa sama sekali tidak memusingkan hal itu. Mereka sudah terlalu pusing dengan Delta, Alpa, Gama, Omega, dan teman-temannya. Sebagian lain yang tidak memusingkan ‘Semua terjadi karena dia Egan.’  adalah kalangan wanita, yang sudah pasti aku tidak ingin bergaul dengan mereka. Ok, kadang aku ngobrol bersama mereka, tapi tidak sering kok.

Jangan kira semua wanita di sini tidak memusingkan ‘Semua terjadi karena dia Egan.’ Karena banyak juga di antara wanita yang setuju dengan ‘Semua terjadi karena dia Egan.’ Bisa kita hentikan kalimat itu? Aku sudah cukup muak mendengarnya.

Yang paling menyakitkan adalah, sahabat masa kecilku dulu, Matheo, yang duduk sebangku denganku, menginap di kamarku, kemana-mana bersamaku, dan bahkan pernah makan satu piring denganku, sekarang menjauhimu hanya karena ‘Semua terjadi karena dia Egan.’ Argh!! Dan yang ini juga cukup menyakitkan. Gadis incaranku, yang walaupun berkacamata namun tetap terlihat manis, juga beranggapan ‘Semua terjadi karena dia Egan.’ Bagaimana aku bisa mencintai gadis yang memandangku dengan cara begitu. Aku putuskan untuk tidak memikirkannya namun tetap saja aku memikirkannya, entah kenapa.

Aku masih ingat dengan jelas kejadian dua tahun lalu. Bukan kejadian hebat, hanya saja aku tidak bisa melukapannya begitu saja. Mungkin ini tidak penting tapi aku tetap ingin berkoar tentang hal ini. Saat itu hasil ujian kami dibagikan. Aku tidak percaya pada hasil ujian itu sama sekali karena aku mendapat nilai tertinggi. Harusnya aku senang jika mengetahui hal itu, namun jika kamu berada di posisi sepertiku,kamu akan berharap mendapat nilai yang sedikit lebih rendah dari itu. Aku tidak mau ‘Semua terjadi karena dia Egan.’ akan menjadi bahan pembicaraan hangat di kelas ini. Pada saat itulah, gadis yang aku sukai, namanya Scarlett, berkata “Well, nama Egan itu berlaku di mana-mana, bukan?” dengan sinisnya. Aku cukup kaget, namun  aku hanya akan bersikap biasa. Itu bukan pertama kalinya aku mendengar ia berbicara seperti itu. Aku berharap Matheo, sahabatku yang duduk di sampingku akan membuatku merasa lebih baik. Entah dengan kata-kata atau hanya sebuah senyuman. Namun yang kudapatkan adalah, kami hanya bertatapan sepersekian detik sebelum ia membuang muka dan pindah dari tempat duduknya untuk menjauh dariku. Itu bukan pertama kalinya Matheo mengecewakanku, namun itulah yang paling kukecewakan dari Matheo. Dia sama seperti yang lainnya, berpegang teguh pada ‘Semua terjadi karena dia Egan.’

Setelah itu beberapa gadis mengucapkan selamat padaku dan memuji-mujiku. Aku menghargai mereka, walaupun itu sama sekali tidak membantuku. Aku masih merasa kecewa dan sedih, dua orang sekaligus menendang dan mencekikku hari ini. Aku ingin segera pulang, bertemu keluargaku di rumah. Dan berharap seseorang bisa menghiburku di sana.

Aku kecewa pada diriku sendiri. Kenapa mereka tidak bisa menerimaku yang seorang Egan ini? Kenapa mereka tidak melihatku dari sisi aku hanya laki-laki delapan belas tahun biasa?  Mereka tidak akan mendengarkanku saat aku bicara, mereka tidak akan melihatku meski aku ada di depan mata mereka. Aku merasa seperti bayangan, sesuatu yang tidak perlu mereka lihat meskipun aku ada di sekitar mereka.

Karena pikiran itu, beberapa kali (dulu) saat ulangan aku sama sekali tidak membuka buku pelajaranku dan ikut menonton Angry Beaver bersama Ally. Aku membiarkan diriku terisi dengan ilmu apa adanya dan mendapat nilai apa adanya juga. Aku ingat dengan telpon misterius yang aku terima saat itu. Beberapa kali ada yang menelpon ke rumah, dan saat aku mengangkatnya, tidak ada suara apa-apa di sebrang sana. Pada malam harinya Ally berlari dengan berisik ke kamarku, kemudian dia berseru, “Barusan ada telpon untukmu, dia bilang jangan lupa belajar untuk ulangan besok.”

Aku memandangi Ally lekat-lekat, siapa tau dia berbohong dengan ucapannya. Dia malah melihatku dengan tatapan aneh karena aku hanya memandanginya. “Dari siapa?” tanyaku. Karena aku tidak yakin ada yang benar-benar peduli padaku seperti itu. Kecuali para gadis yang mengincarku, aku sama sekali tidak berharap itu mereka.

“Aku tidak tau, dia tidak menyebutkan namanya.” Ally mengangkat bahunya. “Tapi itu suara perempuan. Ah, harusnya kau tau siapa! Dia pasti pacarmu!” Tuduh Ally. Kemudian ia menggodaku untuk berperang dengannya, dan kami akhirnya berperang dan berhasil menghancurkan kamar.

“Finn!! Turunkan aku!!” Aku menggendongnya di atas bahuku, kemudian ia memukul-mukul kepalaku.

“Tidak mau!” Ia meronta-ronta minta diturunkan dan aku berusaha memeganginya agar ia tidak terjatuh dan membentur lantai.

“Finn, kau ingat kan sebentar lagi ada Dany Phantom?” Ia mencoba mengalihkan agar aku segera menurunkannya. Namun aku tidak sebodoh yang ia pikirkan.

“Oh iya! Ayo kita nonton!” Aku berlari dengan Ally masih berada di bahuku, sambil meronta dan memukuli kepalaku pastinya.

Jadi, malam itu aku sama sekali tidak mematuhi perintah telpon itu. Dan lagi-lagi aku mendapatkan nilai seadanya. Aku lega karena prestasiku menurun dan mereka tidak mengungkit-ngungkit apapun soal ‘Semua terjadi karena dia Egan.’ Namun saat aku melihat wajah Mamma dan Dad yang kecewa dan kaget dengan prestasiku, percayalah itu lebih menyakitkan dari pada ‘Semua terjadi karena dia Egan.’ Mereka bertanya-tanya apa yang membuatku seperti ini, dan aku tidak menjawab dengan alasan yang sebenarnya. Mereka menasehatiku dan aku merasa bahwa mereka juga menyalahkan diri mereka sendiri karena kurang memperhatikanku. Padahal aku sama sekali tidak pernah kekurangan perhatian dari mereka. Aku meminta maaf, mereka hanya mengangguk dengan senyuman meskipun aku tau mereka kecewa padaku. Mereka menekankan padaku bahwa mereka sama sekali tidak kecewa padaku, namun aku merasa telah emngecewakan mereka. Aku merasa sangat buruk waktu itu.

Aku memutuskan untuk melakukan apa yang seharusnya aku lakukan. Aku tidak akan peduli lagi dengan ‘Semua terjadi karena dia Egan.’  meskipun itu sulit. Aku belajar seperi yang seharusnya dan aku bisa mengembalikan keadaan seperti semuala, lengkap dengan sindiran-sindiran yang terlontar untukku seperti biasanya. Awalnya itu terasa sangat sulit dan menyakitkan, namun lama-kelamaan aku terbiasa dan sadar bahwa aku sudah melakukan yang benar. Matheo meninggalkanku karena dia tidak menyayangiku lagi seperti ia menyayangiku dulu, dan aku harus terima itu karena seseorang memeiliki hak untuk berubah, meskipun ia tidak punya hak untuk membuatku kecewa. Tapi aku bisa terima, semua orang di dunia tentu pernah mengecewakan orang lain. Dan Scarlet, gadis yang kucintai namun ia menggubrisku hanya dengan sindiran, aku harus bisa terima itu, dia berhak mengatakan apapun dan aku tidak berhak mengaturnya. Namun aku sadar, aku juga punya hak. Hak untuk mengaguminya walau dia tidak perlu mengetahuinya.  

*

Hari ini Mamma bersama Dad pergi ke Dublin, ada kerabat yang menikah di sana. Dia tidak mengajak Aku, Kelly ataupun Ally. Tentu saja mereka tidak mengajak Ci yang terlalu sibuk dengan kerangka tubuh manusia, buku-buku tebal, stetoskop, dan apapun yang ada di kampusnya. Mungkin besok atau lusa Maa dan Dad akan pulang.

Maa mempercayakan tugas mengasuk Kelly dan Ally padaku, karena Ci sudah pasti akan sangat sibuk dengan kuliah semester akhirnya. Pagi ini saja Ci sudah pergi entah kemana dan aku yakin ia akan pulang malam, seperti biasanya. Aku tidak akan berpikir macam-macam pada orang seperti Ci. Yang ada di pikirannya hanya tulang manusia, pembuluh darah, denyut jantung, virus ini, bakteri itu, dan hal-hal membosankan lainnya. Aku bahkan tidak pernah melihatnya menggandeng seorang perempuan, apa dia benar-benar akan menikah dengan stetoskop?!

Hari ini Sabtu , tidak ada sekolah dan kami punya jadwal kosong yang panjang. Tidak perlu pergi kemana-mana kedengarannya cukup membosankan. Tapi tidak begitu jika kau punya rumah dan halaman yang luas! Kelly sibuk menyelesaikan lagunya yang tertunta. Entah sudah berapa lagu yang dibuat anak itu, tapi satupun belum ada yang dipublikasikan. Dad bilang lagu-lagu itu harus diperbaiki lagi. Kedengarannya kejam bukan? Tapi aku setuju dengan Dad karena dia membuat lagu yang lambatnya setengah mati seperti siput! Tapi aku kagum saat ia berhasil membuat lagu bergenre RnB dengan tempo berubah-ubah, lirik yang unik, bahkan ia telah menyiapkan komposisi untuk lagu itu. Genius! Namun Dad masih mempertimbangkannya. Lihat Kelly, seharusnya kau jauh-jauh dari lagu membosankan itu.

Aku tidak perlu mengkhawatirkan Kelly, dia sudah besar dan dapat mengatur dirinya sendiri. Dan nona kecil yang tidak bisa diam ini sebenarnya tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Dia bisa urus diri sendiri atau jika aku mengurusi urusannya ia akan berkata “Finn, aku bukan bayi!” dengan suara kecilnya yang melengking. Jadi sebaiknya aku diamkan saja gadis kecil ini dan membiarkannya melakukan apapun yang ia suka kecuali mengiris lehernya degan pisau. Aku yakin dia tidak sebodoh itu.

Aku memilih untuk bermalas-malasan di atas sofa dengan selimut kecil. Hari libur adalah saat aku beristirahat dari segala kesibukan , kebosanan, dan hal-hal lain yang membuatku lelah. Tidak bertemu dengan orang-orang yang mengacuhkan atau menyindirku sudah sangat membuatku bahagia. Aku katakana bahwa aku sudah terbiasa dengan keadaan itu, namun bukan berarti aku menjadi mahluk tidak berperasaan. Aku masih merasa sedih namun aku bisa mengendalikan diriku sendiri.

Kupasang Headphoneku ke kepala dan lagu Don’t stop me now-Queen mengalun di kepalaku. Aku mengingat-ngingat apa yang harus aku lakukan berdasarkan pesan Maa yang panjang lebar. Sebenarnya 90% yang dikatakannya adalah kekhawatiran dan sisanya adalah apa yang wajib aku lakukan; mengantar Ally ke sekolahnya pada pukul enam pagi karena mereka akan bertamasya di festival kerang di Galway. Maa tidak memberikanku tugas yang sulit lagipula ada Nany Rosie di rumah.

Diantara suara Freddie Mercury yang bernyanyi-nyanyi di kepalaku, aku mendangar suara batuk. Setauku tidak ada bagian batuk-batuk di lagu ini. Aku melepas headphone ku dan tetap mendengar suara batuk. Kepalaku menoleh kiri kanan mencari sumber suara itu. Aku menoleh ke belakang dan mendapati Ally basah kuyup sambil memeluk dirinya sendiri. Permainan apa yang dimainkannya?

“Ally?!” Aku segera menghampirinya.

*

Ally sudah berada di atas kasurnya, sepertinya dia tidak apa-apa setelah diguyur hujam musim gugur yang dingin. Aneh-aneh saja mainan anak satu itu. Memberikan Snowey makanan tambahan karena ahkir-akhir ini snowy kelihatan kurus. Berkali-kali ia keluar masuk rumah untuk mengambil sayuran dalam kulkas sambil hujan-hujanan. Aku sudah menyuruhnya mandi dan ia sudah menyantap sup buatan Nany Rosie. Semoga saja ia benar-benar tidak apa-apa.

Aku harus tidur cepat malam ini, atau aku akan membatalkan tamasya Ally ke festival Tiram besok.

*

“Ally..” sambil menguap aku menggoncang-goncang tubuh adik kecilku. Aku masih mengantuk sekali, semakin cepat aku mengantar Ally maka semakin cepat aku kembali ke tempat tiur. Ally masih tertidur dengan pulasnya. Aku menepuk-nepuk pipinya, dan berharap ia akan segera bangun. Mataku melek semelek-meleknya saat merasakan wajahnya yang hangat. Ini lebih hangat dari yang biasanya. Ally menggeliat kemudian ia membuka matanya yang kelihatan masih sangat mengantuk.

“Jam berapa sekarang?” Suaranya terdengar parau.

“Hampir setengah enam. Badanmu panas All.” Aku menyentuh keningnya dan masih merasakan suhu tubuhnya yang tinggi. Aku segera membuka laci di samping kasurnya untuk mencari thermometer. Ally segera gusar saat aku mengobrak-abrik lacinya.

“Finn, aku tidak apa-apa. Jadi bisa kita berangkat sekarang?” Aku mengerti ke mana jalan pikiran bocah satu ini.

“Tidak sebelum aku mengecek suhu badanmu. Buka mulut!” Perintahku. Ally mengatup mulutnya, sama sekali tidak mau diperiksa karena ketakutan tamasyanya akan dibatalkan jika ia terbukti benar-benar sakit. “Baiklah, kalau begitu kau tidak akan kemana-mana hari ini.”

“Baiklah!” Ally membuka mulutnya. Cairan di dalam thermometer itu naik dari permukaannya semula, kemudian berhenti di angka empat puluh.

“Kau benar-benar sakit, sebaiknya kau beristirahat.” Aku bisa melihat wajah kecewa Ally saat aku mengucapkan kata-kata itu. “Ayolah, kita bisa ke sana tahun depan. Bersama Maa dan juga Dad. Tentu Kelly dan Ci juga ikut. Kalau mau kau bisa mengajak nany Rosie.”

“Finn aku ingin pergi..” Ally memohon dengan wajah sedihnya. Aku tidak ingin mengecewakan adikku ini tapi aku juga tidak boleh membiarkannya pergi tanpa pengawasanku saat keadaannya seperti ini. “Finn…” Ally menarik-narik tanganku sambil memasang wajah memelas. “Aku ingin sekali pergi..”

“Kau benar-benar ingin pergi?”

“Ya iyalah! Aku mau makan kerang di sana!”

“Kita bisa minta nany Rosie masak kerang untuk makan siang.” Bujukku, berharap ia tidak akan keberatan

“Tidak mau! Aku mau kerang yang ada di festival!” Ah, bocah satu ini! Sudah sakit-sakitan seperti ini masih saja berbicara keras-keras padaku.

“Kan tidak ada bedanya dengan yang dibuat nany Rosie!”

“Tentu berbeda! Ayolah Finn, biarkan aku pergi..” Aku benar-benar bingung, entah apa yang akan Maa lakukan saat berada di posisi seperti ini. Apa aku harus menelpon Maa? Lalu membuatnya khawatir, tidak akan!

“Baiklah,” Aku sudah membuat keputusan. “Kau boleh pergi.”

“YES!!!” Seru Ally dengan suara parau.

“Aku akan ikut denganmu, sekarang tukar bajumu.”

“APA?! Finn! Dengar, aku bukan bayi!”  Aku beranjak dari kamarnya sebelum dia berhasil membujukku dan mengabulkan keinginannya lagi. Sekarang aku harus ikut berkemas dan membawa persediaan tisu lebih banyak.

*

Sepanjang perjalanan menuju sekolah, Ally tidak berbicara sepatah katapun padaku padahal aku duduk di sampingnya. Ia hanya memandang keluar sambil bersin sesekali.  Supir pribadi yang mengantar kamipun tidak banyak komentar, jadi perjalanan kami hanya ditemani dengan diam. Setelah sampai di sekolahpun Ally sama sekali tidak menegurku, sepertinya dia benar-benar sudah menyerah untuk membujukku tidak usah ikut. Aku meminta ijin kepada pembimbing mereka apakah aku boleh ikut atau tidak dan menjelaskan alasan mengapa aku ikut. Mereka mengerti dan kebetulan masih ada satu tempat kosong di bus ketiga. Aku berterima kasih kepada mereka kemudian kami (Aku dan Ally) masuk ke dalam bus. Aku duduk tepat di sebelahnya dan dia langsung membuang muka ke luar. Aku hanya geleng-geleng kepala dengan sedikit kesal. Apa dia kira aku senang harus membuntutinya sepanjang hari? Aku bahkan sudah berhayal dapat tidur di atas kasur lagi kalau bukan karena dia.

Seorang anak laki-laki, berambut pirang keriting berdiri di atas kursinya dan menghadap ke belakang. Dia duduk di depan kami jadi sudah pasti dia sedang menatap kami. Aku hanya  memandangnya dengan tatapan datar setengah mengantuk. Entar ada perlu apa anak satu ini dengan Ally.

“Ally membawa Baby Sitter! Haha Dasar bayi!” Aku marah besar saat dia mengatakan aku Baby Sitter. Apa aku bapai rok dan celemek dan berwajah seorang Baby sitter? Apalagi bocah kribo ini memancing emosiku di saat yang tidak tepat. Aku sedang mengantuk dan dia seperti tupai yang menggangu raja hutan.

“Dia bukan Baby sitterku!” Bentak Ally. Namun anak kribo itu terus menertawainya dan itu membuat telingaku panas.

“Hadap ke depan sebelum kau menyesal.” Dengan suara beratku yang terdengar garang. Dia menatap wajahku yang kelihatan tidak senang denganya. Ia menelan ludah ketakutan kemudian kembali menghadap ke depan dan duduk di bangkunya.

“Pengecut!” Gumam Ally kesal sekaligus puas. “Lain kali jangan ikut campur. Aku bisa mengatasinya sendiri kok!” Ally kembali membuang muka ke luar. Ah, anak ini!

*

Di tengah-tengah perjalanan Ally tertidur sama seperti anak-anak lain yang kelihatan kelelahan. Aku menyentuh keningnya untuk memeriksa suhu badannya. Aku mendesah lega karena sepertinya dia tidak bertambah panas. Semoga saja obat yang diberikan Nany bekerja dengan baik di tubuhnya. Aku merasa temperature di dalam bis ini terlalu dingin, karena aku merasa sedikit kedinginan. Tiba-tiba Ally bersandar ke arahku, masih terlelap tidur. Aku melihat wajahnya yang tertidur pulas, sangat lucu. Aku tersenyum melihatnya dan melupakan kekesalanku padanya. Aku merangkulnya dan berharap dia tidak kedinginan.

*

Kami sampai di Galway saat Festival sedang berlangsung. Kawasan pinggir pantai itu penuh dengan orang-orang yang berjualan kerang dan tiram. Aku bisa mencium bau amisnya dari sini. Karena ini acara festifal tahunan yang banyak sekali dikunjungi wisatawan, pembing mereka menekankan untuk tidak berpisah dari rombongan. Agar tidak terlalu berdesak-desakan, mereka membaginya menjadi beberapa kelompok. Tentu saja aku satu kelompok bersama Ally dan menjadi yang paling tinggi di antara bocah-bocah ingusan ini.

Aku menggenggam tangan Ally agar ia tidak terpisah dariku namun ia mengibaskannya, sama sekali tidak mau digandeng. Aku tetap memaksanya untuk menggandeng tanganku. Aku geli pada diriku sendiri, sejak kapan aku berjiwa keibuan seperti ini? Akhirnya Ally menyerah dan kami bergandengan tangan selama berkeliling.

“Finn! Lihat Tiram yang di sana. Kerang itu dimasak dengan cara apa?” Ally menunjuk pada kios yang berjarak beberapa meter dari kami.

“Aku tidak tau, tapi sepertinya tidak enak. Kau tidak cium baunya yang amis?”

“Aku mau coba, ayo kita ke sana!” Ally menarik –narik tanganku.

“Kamu dengar kan, kita tidak boleh pisah dari rombongan?”

“Ayolah, kita tidak akan hilang. Kan aku bersamamu” Jawab Ally penuh semangat.

“Ternyata kau senang aku ikut. Tapi bersamaku bukan jaminan kita tidak akan hilang.”

“Kau kan tinggi sekali, jadi mudah dikelali. Ayo kita ke sana!”

*

Kami benar-benar berpisah dari rombongan. Tapi itu bukan masalah karena aku tidak lupa jalan kembali. Sekalipun lupa, pasti mereka akan mencari kami. Mereka tidak mungkin meninggalkan kami. Aku duduk di pinggir pantai bersama Ally, di atas batu-batuan yang bisa kami jadikan sebagai tempat duduk. Ally itu sinting! Dia benar-benar membeli tiram busuk itu, tapi sampai sekarang dia masih belum memakannya. Aku yakin dia pasti harus piker seribu kali sebelum memakannya. Ia memandang jijik kerang di depannya, berkali-kali ia menelan air ludah dan ia tidak kunjung menelan makanan busuk itu.

“Kalau tidak mau dimakan kenapa dibeli?” Gerutuku. Bukan karena kesal dengan tingkahnya, tapi aku kesal dengan bau amisnya yang membuatku ingin muntah.

“Siapa bilang aku tidak mau makan. Aku tidak sepertimu finn, yang tidak berani mencoba tiram ini.” Ia berusaha memancingku.

“Aku tidak mau mati konyol karena memakan tiram itu.”

“Jadi kau kira mereka menjual racun. Haha Kau penakut sekali!” Dia menertawaiku sambil menunjukkan ekspresi mencemoohku.

“Aku berani memakannya!” Seruku tidak mau kalah.

“Oh ya? Coba makan!”

“Kenapa harus aku yang makan pertama kali? Kau kan yang beli!” Aku mencoba mengelak. Biarpun tidak bisa mengelak setidaknya bisa megulur waktu untuk tidak memakan tiram busuk itu.

“Baiklah, kita makan bersamaan. Itu cukup adil bukan?” Aku ingin menginterupsinya namun ia melanjutkan kata-katanya “Kau keberatan? Ah, kau benar-benar takut rupanya”

“Siapa bilang aku takut! Jangan banyak bicara, ayo makan kerangnya!”

Kami mengambil tiram itu dan dalam hitungan ketiga kami sama-sama memasukkannya ke dalam mulut. Aku mengunyahnya sambil menutup mulut! Rasanya menggelikan, menjijikkan dan sangat tidak enak. Mereka licin di lidah, seperti tidak di masak dan baunya sangat amis hingga di dalam mulut, seperti tiram basi! Aku hampir memuntahkannya namun melihat Ally tidak bereaksi apa-apa dengan tiramnya aku berusaha segera menelannya. Sayangnya, sangkin menjijikkannya tiram ini aku tidak bisa menelannya.

“Hueeekkkk!!” kami sama-sama memuntakan tiram itu. Kami membuang tiram yang tersisa dan segera mencari air minum. WEKKKK!! TIDAK ADA TIRAM LAGI!

*

Rasanya aku ingin sikat gigi dan kumu-kumur setelah memakan tiram mengerikan itu. Sayangnya kami tidak bisa melakukan itu di sini. Kami tidak membawa sikat gigi karena kami tidak bermalam dan sebentar lagi kami akan pulang. Entah sudah berapa permen coklat yang aku dan Ally habiskan untuk mengusir amis di mulut kami. Aku jijik sekali mengingat tiram itu apalagi saat mengingat dia pernah ada di mulutku.

“Di mana James?” Seru salah seorang pembimbing. “Apa dia tersesat di dalam keramaian? Aduh, aku kan sudah mengingatkan ntuk tidak berpisah dari rombongan!” Ia mulai menggerutu sambil berjalan mondar-mandir. Aku tidak sepenuhnya menyalahkan anak bernama James itu, menurutku wajar saja jika anak kecil seperti dia tersesat di dalam sana. Anak kecil sangat mudah tertarik pada hal-hal sepele.

“Siapa James?” Tanyaku pada Ally yang masih mengunyah-nguyah permen coklatnya. Beruntung di sekitar sini masih ada orang waras yang menual makanan selain kerang dan tiram.

“Anak laki-laki pirang yang mengejekku tadi.” Jawabnya datar. Apalagi anak seperti si kribo itu, wajar saja kalau anak lasak seperti dia bisa hilang.

“Baiklah, kita berpencar untuk mencari bocah itu.” Pembimbing itu berbicara dengan pembimbing lainnya. Mereka memutuskan untuk berpencar dan menbagi-bagian yang akan mereka telusuri.

“Permisi nona.” Aku tiba-tiba muncul di tengah pembicaraan mereka. “Bolehkan aku ikut membantu? Aku juga salah satu yang dewasa di bis ini, jadi sebaiknya aku ikut membantu.”

*

Mencari anak kecil di antara kerumunan orang dewasa yang membeli kerang itu hampir sama sulitnya dengan mencari jarum di tumpukan jerami. Untungnya dia memiliki ciri-ciri khusus yang sangatku ingat, rambut sarang lebah pirangnya. Aku memasang mataku baik-baik, mengamati dengan detil tiap objek yang aku lihat. Apakah dia kecil? Kurus? Berambut kribo kacau balau berwarna pirang dan punya bercak merah-merah di pipinya?

Aku menutup hidung saat melewati kios yang tadi kami singgahi. Mencium baunya saja sudah membuatku mual dan mengingat kejadian menjijikan tadi. Ingin rasanya aku segera minggat dari tempat itu. Namun aku melihat apa yang aku cari di samping tempat itu. Sosok kecil pirang itu jongkok sambil menangis. Aku berfikir apa hidungnya sudah rusak karena bau ini, mengapa dia bisa tahan berlama-lama di sana?

“Kudapatkan kau!” aku menarik lengannya dan dia menatapku masih dengan menangis. Namun kemudian ia menatapku dengan tatapan lega. “Ayo menjauh dari tiram basi ini.” Mungkin suaraku terlalu besar meskipun di tengah-tengah kerumunan seperti ini. Penjaga kios itu menatapku tajam.

*

Alanna menertawakan James yang habis menangis. Ia tegelak-gelak hingga james memerah dan ingin menangis lagi karena malu. Aku segera menghentikannya sebelum James menangis lagi. Aku sedang tidak ingin mendengar tangisan melengking anak kecil. Bau amis yang menempel padaku sudah cukup membuatku kesal.

“Beruntung aku membawa Finn, kalau tidak, mungkin kau akan ketinggalan di sini dan menjadi bocah tiram busuk seumur hidup!”

Di sepanjang perjalanan dengan malu-malu James berbicara padaku. Menanyakan pertanyaan ringan dan kemudian aku sadar bahwa sebenarnya dia adalah anak yang baik. Hanya saja senang sekali mencari perhatian, terlihat sekai dari cara ia memamerkan jam tangannya, keberaniannya berpisah dari rombongan yang membuat semua orang kebakaran jenggot, dan entah apa lagi. Aku menyadari Alanna sudah tertidup pulas sambil bersandar padaku. Aku kembali merangkulnya. Dia terlihat lelah. Hari ini memang melelahkan.  Aku menyentuh kening Alanna, kemudian aku mendesah lega. Suhu tubuhnya turun. Padahal aku lupa memberikan obatnya siang ini.

“Hasyuu!!” Suara bersinku. Kemudian aku menyadari hidungku berlendir. Ah, visrusmu berpindah Ally!

*

Setelah pulang dari Galway, aku semakin sering bersin dan lender di hidungku semakin banyak. Aku meyakinkan Maa bahwa aku baik-baik saja, hanya hidungku yang belum terbiasa dengan musim gugur. Padahal aku yakin sekali ini virus yang ditularkan Ally. Aku bersyukur karena tidak sampai terserang demam. Karena demam itu menyebalkan! Badanku nyeri-nyeri dan aku tidak boleh melakukan apapun selain tidur di atas kasur seperti mayat.

Pagi ini aku terbagun dengan sebuah kejutan. Mungkin tidak terlalu penting namun aku sedikit menyukainya. Ok, mungkin banyak. Aku membuka mataku yang masih sengat berat kemudian menguap lebar. Siap tidak siap pagi sudah tiba dan aku harus bangun. Aku terkejut saat melihat siapa di sampingku atau lebih tepatnya siapa yang berada di dalam pelukanku. Ally masih tertidur pulas sambil menggenggam kaosku. Aku tersenyum melihatnya. Sulit sekali dipercaya ternyata nona kecil ini bisa bertingkah seperti ini. Jika aku tidak ingat akan waktu, aku pasti tidak akan beranjak dari sini. Aku melepaskan genggamannya perlahan, tidak ingin membangunkannya. Kemudian aku membiarkannya tetap tertidur selama aku mandi.

*

Gadis itu menyelinap ke kamar kakaknya di tengah malam buta. Semua orang di rumah sudah tidur kecuali dia. Dia memperhatikan akhir-akhir ini Finn sangat sering bersin, dan Alanna yakin bahwa Finn tertular darinya. Ia berjalan mendekati ranjang Finnian kemudian duduk di sampingnya. Ia berdoa agar Finn tidak akan demam seperti dirinya. Karena ia berfikir, biar bagaimanapun ia harus bertanggung jawab, maka ia melakukan hal yang Finn lakukan saat ia demam di dalam bis. Ia ikut naik ke atas kasur Finn dan memeluknya, berharap Finn tidak akan kedinginan meskipun Finn sudah punya selimut di kasurnya.

*

Saat ini hasil ujian kami dibagikan. Aku percaya pada hasil ujian ini,aku mendapat nilai tertinggi. Well, aku belajar keras untuk mendapatkannya. Aku senang sekali mengetahui hal itu. Kali ini aku sama sekali tidak mengharapkan nilai yang lebih rendah.

Aku tidak peduli pada ‘Semua terjadi karena dia Egan.’ akan menjadi bahan pembicaraan hangat di kelas ini. Dan saat inigadis yang aku sukai, namanya Scarlett, berkata “Well, nama Egan itu berlaku di mana-mana, bukan?” dengan sinisnya. Aku cukup kaget, namun  aku hanya akan bersikap biasa. Itu bukan pertama kalinya aku mendengar ia berbicara seperti itu. Aku tidak berharap Matheo akan menghiburku kali ini. Entah dengan kata-kata atau hanya sebuah senyuman.

Aku menghampiri gadis itu, bertahun-tahun aku membiarkannya namun kali ini aku yakin aku harus angkat bicara. Aku tidak boleh selalu bertingkah tidak tau dan mengabaikannya. Dia harus tau apa yang aku rasakan saat ia menyindirku, sekalipun dia tidak mau tau.

“Dalam contoh apa nama Egan berlaku?” Aku tersenyum menanggapinya, kemudian duduk di atas mejanya. Kebetulan saat ini Mr.Grape telah meninggalkan kelas untuk makan siang. Dia hanya diam bahkan tidak menatap mataku. Aku masih menunggu jawabannya.

“Seperti hasil ujianmu itu, kau bisa lihat sendiri.” Jawabnya sinis dengan tidak memandangku.  Aku menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya aku kesal setiap kali ia berbicara tentang aku tapi aku selalu tidak bisa mengeluarkan kekesalanku. Aku yakin sekarang saatnya.

“Aku pantas mendapatkannya karena hasil kerja kerasku. Selama ini aku berusaha membuktikannya tapi tidak ada yang mau melihatnya. Apa kau tau bagaimana rasanya saat seseorang menyindir tentang kerja kerasmu? Mungkin belum, itu sebabnya dengan mudah kau melakukannya padaku. Dengar, dengan berapa kalipun kau menyindirku, itu tidak akan merubah kenyataaan. Aku mendapatkan apa yang aku dapatkan atas kerja kerasku. Bukan dari nama Egan atau ayahku. Jadi, kapanpun setelah ini kau masih menyindir soal nama belakangku. Aku tidak akan peduli. Permisi.”

Aku meninggalkannya yang mamtung dengan ucapanku yang dingin, namun tidak membentak-bentak karena aku sadar dengan siapa lawan bicaraku. Ia hanya seorang wanita, yang aku cintai dan tidak mungkin bisa aku marahi. Mengerikan. Seandainya dia laki-laki dan aku tidak menyukainya, mungkin habis dia!

“Tunggu!” Seseorang menarik lenganku. Seperti suara yang aku kenal. Aku berbalik ke belakang. “Jadi sekarang kau marah padaku?” Wajahnya sangat merah. Bukan hanya wajahnya! Matanya juga ikut memerah.

Aku hanya dia menatapnya, dengan wajah dingin karena aku baru saja menegurnya. Aku tidak bilang aku memarahinya, aku hanya memberi tau. Hanya saja aku ingin terlihat sedikit angkuh di matanya.

“Baiklah, sekarang kau marah padaku.” Suaranya mulai bergetar. Aku tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Apa benar hanya dengan teguran yang halus, mungkin tidak terlalu halus ia menangis seperti ini? Betapa cengeng wanita ini?! “Aku hanya ingin kau mengetahui apa yang ingin aku sampaikan dari dulu.” Ia masih memegang tanganku, dan aku hanya membiarkannya. Kapan lagi tagannya akan menyentuh tanganku?!

“Sebenarnya, aku sama sekali tidak peduli dengan mana belakangmu. Entah itu Egan atau bukan! Aku hanya peduli kau itu Finn! Laki-laki tinggi yang kurus setengah mati.” Baiklah, setelah ini aku akan minum obat penggemuk. “Aku selalu menyindir nama belakangmu , karena aku berharap dengan begitu orang lain akan berfikiran jelek padamu. Termasuk gadis-gadis menggelikan yang mengejarmu! Aku berharap mereka akan berhenti mendekatimu! Dan kamu tidak akan melihat pada mereka.” Dia mungusap kasar air matanya dan melepaskan tangannya dariku. Aku bisa mendengar nafasnya yang tidak beraturan.

“Aku ingin kau melihatku! Hanya padaku! Karena aku marah saat mereka mendekatimu. Dan aku marah karena kamu tidak pernah melihat padaku! Padahal aku adalah orang yang selalu memperhatikanmu dan mencari perhatianmu. Kamu tau siapa penelpon misterius yang menelponmu? Itu aku! Karena aku mengkhawatirkanmu. Dan aku tidak bermaksud membuatmu menjadi seperti itu.”

Aku membatu mendengarkan ucapannya. Inikah kejujuran yang selama ini tersimpan di dalam sebuah kejahatan dan kekejaman? Indah sekali, meskipun harus menggunakan air mata. Apa aku harus menumpahkan kejujuranku juga?

“Kau bukan salah satu dari mereka yang mengabaikanku karena aku Egan?” Tanyaku dengan nada tidak percaya di sana. Siapa yang akan percaya jika berada di posisiku saat ini?!

“Aku tidak peduli pada mereka! Yang kupedulikan saat ini adalah kau! Dan kau juga alasanku menjadi salah satu dari mereka.”

Aku menatapnya lekat-lekat. Aku sudah membuat bidadari ini menangis, mungkin tidak sepenuhnya kesalahanku. Namun aku sedikit merasa bersalah melihatnya menangis. Aku menghapus air matanya dan ia terpaku menatapku. Aku hanya tersenyum padanya, dan mamutuskan untuk menumpahkan kejujuran seperti yang baru saja di lakukannya.

“Seandainya kau tau sejak kapan aku aku menyayangimu…”




Maaf nih buat mamaknya Finn.. aku tau ini nggak memuaskan L MAAAPPP!!!! Maap atas alaynya, atas gajenya, dan lelucon yang sebenernya nggak lucu  -_- nggak sesuai pesenannya si emak, maaf ya.. Finn!! Dah jangan pacaran, sama mamakmu sana!

Kamis, 04 Juli 2013

Alanna-5:Apa yang sebenarnya terjadi?

Aku butuh udara segar, dan berkeliling kota Dublin yang padat bukanlah pilihan yang tepat. Jadi, kuputuskan untuk menjelajahi apartemen pencakar langitku. Mereka punya lima puluh lantai dan aku tinggal di lantai lima belas.  Beberapa jam yang lalu aku mengetahui Mr.Greene tinggal beberapa lantai di di atas kepalaku, lantai dua puluh delapan.

Meskipun pemerintah Dublin telah membeli sebagian kecil tanah penduduk dan menjadikannya kawasan hijau, tetap saja pusat kota seperti letak apatemenku berada, sangat padat dengan penduduk dan kendaraan bermesin mereka. Sebenarnya aku ingin memiliki apartemen di pinggir kota yang lebih tentram, tapi kampusku berada di tengah kota. Aku tidak mau membuang waktu berjam-jam terjebak d iantara tumpukan mobil yang membuatku tidak bisa bergerak ke mana-mana.

Aku menaiki lift dan menuju lantai paling tinggi di gedung ini. Di lantai lima belas, sebenarnya banyak yang bisa aku lihat, seperti: Perempatan yang padat, taman kecil yang dipenuhi anak-anak, kios-kios pinggir jalan, dan masih banyak lagi. Hanya saja aku ingin angin yang lebih kencang dari pada angin di lantai lima belas dan bangunan-bangunan yang terlihat lebih kecil dari pada yang biasa kulihat. Dan disinilah aku sekarang. Berdiri di ujung lantai lima puluh dan memandang jauh ke sekitar. Aku merasa seperti raksasa di film Jack and The Giant Slayer, semua yang kulihat sangat kecil! Anginnya kencang, memaksa rambut pendekku menari-nari akibat terpaannya, aku terpaksa agak memicingkan mata saat mereka datang.

Aku memandang ke bawah, maksudku, benar-benar ke bawah. Ini menyeramkan! Berapa jauh jarak tanah yang biasa aku injak dengan tempatku berdiri sekarang?! Aku tidak mengerti bagaimana bisa ada manusia yang terjun dari ketinggian hanya untuk bunuh diri? Apa mereka tidak ketakutan dengan ketinggian yang mereka lihat? Apa mereka tidak ketakutan dengan bagaimana bentuk mereka saat mendarat di bawah. Mereka akan hancur berkececeran seperti pai yang diinjak. Aku ngeri membayangkannya dan memandang ke objek lain, yang lebih menyenangkan.

Sebentar lagi matahari terbenam. Langit sudah berubah warna menjadi keemasan. Biasanya di sore seperti ini aku sudah berada di rumah, memeriksa menu makan malam kemudian malas-malasan di atas sofa. Aku  bisa melakukan hal itu di sini, tapi yang kuinginkan bukan itu. Aku ingin mendengar kebisingan rumah yang biasanya aku benci. Aneh juga merindukan hal yang dibenci, tapi itulah yang terjadi sekarang. Aku ingin beberapa hal menyebalkan di rumah juga ada di sini termasuk Finn, karena dia salah satu yang paling menyebalkan. Mungkin Finn tidak akan semenyebalkan yang dulu, payah! Sebentar lagi dia akan menjadi ayah. Sulit dipercaya bukan? Orang yang dulu sering mencuri permen coklatmu, melemparkan bantal ke wajahmu, mencubiti lenganmu hingga balu, mencoreti wajahmu dengan spidol saat kamu tidur (dan sulit sekali menghilangkannya!),orang yang paling ingin kamu gigitin (mungkin ini berlebihan), orang yang tingkahnya sama seperti anak kecil berusia tujuh tahun yang berkumis, sebentar lagi akan menjadi ayah?! Aku akan menertawainya saat ia berkata “Oh, ternyata kau ngompol, nak!” dengan seruan lembut khas seorang ayah. Aku khawatir jika dia masih Finn yang sama dan berkata “Oh Man! Kau ngompol! Pantas baumu aneh!” sambil berwajah jijik. Tidak, aku yakin dia akan berubah dan aku harus senang dengan itu. Lindsay sedang mengandung, calon Finn junior (kalau dia laki-laki) itu sudah berumur tiga bulan di dalam perut ibunya.

Huft.. sepi sekali di sini. Seandainya angin yang menerpaku bisa menerbangkanku ke rumah. Ah tapi tidak, terimakasih. Ini terlalu tinggi untuk terbang, aku bukan Superman. Seandainya aku memiliki teman untuk di ajak bicara saat ini, di antara semua tetanggaku yang tidak kukenal.  Ah, aku ingin ke lantai dua puluh delapan, aku ingin melihat keadaan di sana, atau kemungkinan yang lebih menguntungkan, aku bertemu Mr.Greene dan bisa ngobrol sebentar dengannya. Sepertinya dia orang yang ramah. Setidaknya aku memiliki suatu pekerjaan untuk dilakukan sekalipun itu tidak penting. Yang terpenting aku memiliki sesuatu untuk dilakukan. Kenapa aku tidak membersihkan kamarku? Tidak, aku lebih tertarik untuk melihat apartemen Mr.Greene.

*

Ingat, aku hanya ingin melihat keadaan di lantai dua puluh delapan, jadi aku urungkan niatku untuk memencet bel apartemen nomor 188A, milik Mr.Greene. Seperti yang aku lihat di lantai manapun di gedung ini, semuanya terlihat sama. Termasuk susunan tempat sampah di depannya.  Dengan papan nomor di depan pintunya yang bercorak not balok, aku putuskan bahwa Mr.Greene memang benar-benar seorang penggila music. Aku berbalik dan melihat tempat sampah di depanku, yang memang seharusnya berada di situ.

Mataku tertuju pada amplop putih yang tergeletak di samping tempat sampah. Dari tempat ia tergeletak, sepertinya dia memang salah satu penghuni tempat sampah yang gagal di masukkan ke dalam. Amplop putih itu sedikit terbuka hingga aku bisa melihat corak berwarna biru di dalamnya. Sepertinya bukan surat yang ditulis dengan tangan, karena aku mlihat beberapa huruf yang tercetak besar. Aku mengambil surat itu, hanya untuk menghambat waktuku kembali ke apartemenku sendiri. Aku akan melakukan apa saja asal tidak segera kembali ke apartemen sunyi tanpa bunyi itu.

Aku membuka amplop putih itu dan mengeluarkan isinya. Kertas di dalamnya cukup tebal dengan ukiran-ukiran berwarna biru muda dan tua di pinggirnya. Aku membaca bagian depannya dan menyimpulkan bahwa itu adalah undangan pernikahan. Entah antara siapa dan siapa, lalu aku membalik ke halaman selanjutnya. Tertulis nama calon pengantin di sana: Harpen Montes dan Valery Hans. Di samping halaman itu, aku bisa melihat wajah kedua calon pengantin itu, saling merangkul satu sama lain. Aku tidak mengenal mereka tetapi aku seperti pernah melihat wajah calon pengantin wanitanya. Aku mencoba mengingat-ngingat untuk mengulur waktuku sebelum pulang. Semakin lama aku semakin yakin aku pernah melihat orang ini, tapi entah di mana. Ah ya! Wanita ini mirip seperti wanita yang ada di dalam foto! Dia mirip sekali dengan istri Mr.Greene. Dia seperti versi Mrs.Greene beberapa tahun lebih tua. Bagaimana bisa di dunia ini ada orang-orang berwajah sama? Kembar? Entahlah.

“Praang!!” Aku mendengar kegaduhan di balikku, aku yakin itu berasal dari dalam apartemen di belakangku.

“Praaang!!” Sepertinya sesuatu susuatu menghantam pintu apartemen ini. Aku mendekati pintu itu dan mendengar bantingan-bantingan keras dari dalam. Aku mengetuk-ngetuk pintu itu dengan panic, entah apa yang terjadi di dalam. Kemudian aku memanggil-manggil Mr.Greene dan tidak ada jawaban selain bunyi benda jatuh yang tak henti-henti.

“Mr.Greene!” Panggilku lebih keras. Masih sama, tidak ada jawaban dan kegaduhan it uterus berlanjut. Aku memutar kenop pintu itu dengan harapan pintu itu akan terbuka dan terpujilah Tuhan! Karena ternyata pintu itu tidak dikunci!

“Mr.Greene!” Seruku sambil membuka pintu itu dengan panic. Aku menjadi lebih panic saat sebuah vas bunga melayang ke arahku. Itu tepat terjadi saat aku mendongak setelah membuat celah di pintu itu. Jarak vas itu hanya beberapa meter dariku sebelum benar-benar mengenaiku. Aku segera berbalik dan menutup pintu itu.

“Praaang!” sepertinya vas itu mengantuk pintu dan bukan kepalaku. Aku menarik nafas lega. Ini aneh sakali! Apa yang sedang terjadi. Aku tidak memikirkan aka nada vas terbang lagi ke arahku, yang kupikirkan hanya aku harus masuk ke dalam dan mengetahui apa yang sedang terjadi. Aku tidak mendengar kegaduhan lagi. Aku segera memutar knop pintu itu lagi, dan memaukkan kepalaku ke dalam apartemen itu.

Aku bisa melihat Mr.Greene duduk dengan lemah di atas karpet di depan pintu. Matanya merah dan dia kelihatan tidak berdaya sebelum akhirnya ia terbaring tak sadarkan diri. Aku menahan nafas saat melihatnya.  Aku segera berlari menghampirinya, memperhatikan keadaannya kemudian menggoncang-goncang tubuhnya. Ia tidak bergerak. Kemudian aku menepuk-nepuk wajahnya dan dia sama sekali tak bergeming. Aku mencium bau alcohol yang kuat, sepertinya berasal dari Mr.Greene. kemudian aku sadari bahwa rumah ini berbau alcohol. Aku memperhatikah keadaan sekitar yang sangat berantakan. Entah benda apa saja yang pecah, hancur dan tidak berbentuk yang berceceran di atas karpet dan lantai. Dengan ini aku putuskan bahwa Mr.Greene mabuk dan melakukan semua kekacauan ini.

*

Aku menemukan beberapa botol whiskey kosong, tumpah dan pecah di dapur. Sepertinya itulah yang diminum Mr.Greene. Aku membereskan mereka sambil menunggu Mr.Greene sadar. Karena dia sadar lama sekali, akhirnya aku sudah benar-benar membersihkan seluruh rumahnya. Aku menemukan foto yang tadi sore kulihat, foto Mr.Greene dan istrinya, tergeletak di samping meja makan. Aku duduk di atas sofa, kelelahan setelah membersihakan rumah ini. Sambil mengamatifoto itu dan Mr.Greene yang tidur di atas sofa di depanku. Beruntng dia cukup kurus, sehingga aku mampu menyeretnya ke atas sofa. Aku tidak yakin bisa menyeretnya hingga ke amar tidur. Aku tidak memanggil dokter. Sepertinya itu tidak perlu karena dia hanya mabuk dan sebentar lagi akan sadar dengan kepala seperti habis di tending. Aku juga tidak meminta pertolongan orang lain. Aku menghargai privasi Mr.Greene, dan tidak ingin membuat orang lain berfikiran negative saat melihatnya. Aku yakin dia pria yang baik, hanya saja dia sedang melakukan sesuatu yang salah. Aku selalu mengira dia pria yang baik sejak pertama kali aku berbicara dengannya.

“Angh..” Erang pria di depanku itu. Aku mengalihkan pandanganku dari foto kepadanya. Dia mengerang lagi, sepertinya dia akan sadar.

“Ja..ngan..la..ku..kan..itu..” Itu hanya sebuah rintihan tersendat-sendat tapi aku bisa mendengar dan mengingatnya dengan baik. Aku semakin yakin ada yang tidak beres dengan pria ini. Aku berharap dia akan segera bangun dan mau menceritakan apa yang terjadi. Setetes air mata jatuh dari matanya yang tertutup. Ia tidak mengerang lagi. Dan sepertinya ia akan tertidur untuk waktu yang lama. Aku terjebak di sini, dengan orang mabuk yang penuh tanda tanya. Setidaknya aku memiliki sesuatu untuk difikirkan, apa yang terjadi dengan Mr.Greene. aku hanya memiliki petunjuk ‘Jangan lakukan itu.’ Entah apa maksud kalimat itu. Aku kembali memandangi foto yang kupegang, dan otakku masih memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi.

*

Entah sudah berapa kali aku menguap. Pria itu tidak kunjung bangun dan aku sudah sangat bosan menunggu dan memikikan apa yang sedang terjadi. Aku mengubah posisi dudukku lagi. Apa dia akan bangun besok pagi? Apa aku harus di sini sampai pagi? Ayolah, aku juga punya kehidupan sendiri. Sekarang aku terdengar seperti squidward.

Entah sudah berapa kali pria ini mengerang dalam tidurnya, atau mungkin pingsannya. Beberapa kalimat tersebut dari dalam mulutnya, dan aku mengingat semuanya. ‘Maafkan aku’ entah apa yang perlu dimaafkan. ‘Jangan nikahi dia.’ Setelah mendengar kalimat itu, aku semakin memeras otakku memikirkan kemungkinan yang terjadi.  Kemudian aku sadar. Bodoh juga aku baru sadar sekarang. Mr.Greene sendirian di sini. Tanpa istri atau mungkin anaknya jika ia punya. Barang-barang di sini, terlalu sedikit jika istrinya memang benar-benar tinggal di sini. Aku tidak memeriksa lemari pakaiannya, masuk ke kamarnyapun tidak! Maksudku, wanita biasanya memiliki barang-barang untuk di letakkan di seluruh belokan rumah, dan aku tidak menemukan barang-barang khas wanita di sekitar sini. Mungkin istrinya memang tidak tinggal di sini. Jadi, istrinya mungkin tidak sedang pergi ke luar.

Apa pria ini sedang bermimpi? Apakah igauan dari mimpinya itu memang benar-benar sedang terjadi padanya? Aku akan sangat kecewa jika ternyata igauannya itu hanya beberapa mimpi aneh yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan apa yang terjadi. Mungkin sebaiknya aku menorah dan membiarkan ia menyelesaikan masalahnya sendiri. Lagipula aku hanya orang luar yang baru-baru ini erkenalan dengannya.

“Va..le..ry..” Aku terhenyak mendengar nama itu. Aku tidak mendengar suara lain selain suara itu yang mengalun berulang-ulang di kepalaku. ‘Valery’ tentu aku ingat di mana aku pernah melihat nama itu. Aku tidak mungkin salah dengar, atau lebih tepatnya aku tidak ingin menganggap diriku salah dengar. Aku segera mengingat-ngingat di mana aku letakkan kertas yang tadi kupegang. Terakhir aku memegangga sebelum aku menyeret Mr.Greene ke atas sofa. Aku segera berlari ke meja kecil di pojok ruangan dan menemkan kertas, atau yang lebih tepatnya undangan pernihakan itu di sana.

Aku membaca kembali kertas itu dan kemudian mematung dalam diam. Benar. Wanita di dalam undangan ini, memang bernama Valery, dan dia sangat mirip dengan Mrs.Greene yang hanya aku lihat melalui foto. Tapi aku sudah sangat mengenal wajahnya setelah berjam-jam mengamati foto itu.  Aku teringat dengan kata-kata Mr.Greene tadi sore ‘Aku memang sudah pernah menikah.’ Dia memakai kata ‘pernah’ di sana.  Bukankah pernikahan itu berlangsung selamanya? Jadi seharusnya dia tidak menggunakan kata ‘pernah’.

Aku mulai menyimpulkan. Entah itu kesimpulan yang benar atau salah. Perempuan di dalam foto dan perempuan di dalam kertas lusuh ini adalah wanita yang sama. Jadi, wanita ini akan menikahi pria bernama Harpen pada tanggal… aku membalik kertas itu, mencari tanggal pernikahannya. Tanggal 17 Juli, yang artinya hanya beberapa hari lagi.

Tapi, bagaimana bisa?! Itu memang hanya kemungkinan, tapi aku menganggap kemungkinan itu adalah apa yang benar-benar terjadi. Aku memang tidak mengetahui apa-apa tentang Mrs.Greene, bahkan aku hanya mengetahui sedikit tentang Mr.Greene. Tapi itu tidak membuatku berfikir bahwa dugaanku itu salah.

Aku memandangi Mr.Greene yang terbaring lemah. Pada saat ini aku seperti merasakan apa yang mungkin Mr.Greene rasakan. Apa yang kamu rasakan saat melihat orang yang kamu cintai akan menikah dengan orang lain. Aku mungkin akan melakukan hal yang sama: menegak Whiskey sampai aku tidak bisa merasakan apa-apa, melampiaskan kemarahan, kekecewaan, dan kesedihan dengan menghancurkan apapun yang bisa aku hancurkan. Dadaku sesak membayangkannya bahkan nyaris aku menangis membayangkannya.

Oh Ally!! Film apa yang kamu tonton hingga bisa membuat kesimpulan begitu? Itu hanya kemungkinan anehmu. Pikirkan, mungkin yang terjadi tidak seburuk itu. Tapi, aku ketakutan jika yang sebenarnya terjadi lebih buruk dari itu.