Waktu itu hujan ketika aku melihatnmu melintas di seberag
jalan. Kau terlihat sedikit berbeda dengan orang-orang diselilingku. Entahlah,
mungkin karena kau terlihat manis. Ah, aku masih ingat bagaimana rambut keemasan
itu terguyur rintik-rintik hujan. Wajahnya putih pucat, perawakannya tinggi,
dan dari seberang ini aku tau warna matanya sebiru laut. Mantelmu sedikit
basah, waktu itu kau ingin merapikan ikatan pada mantelmu kemudian kau sempat
melihat ke arahku. Ya jelas sekali waktu itu aku tertangkap sedang mengamatimu.
Harusnya hari itu aku tidak usah membuang wajahku. Seandainya hari itu aku
berjalan ke arahmu setidaknya, aku mengenalmu beberapa hari lebih banyak
dibandingkan saat ini.
Beberapa hari setelah itu hujan tiba-tiba turun di
tengah-tengah perjalananku pulang. Untungnya aku lupa membawa payungku. Aku menepi
dan berteduh di sebuah kedai kopi. Waktu itu aku memesan Piccolo namun pria tua
yang menjaga kedai itu malah membuatkanku espresso. Aku tidak begitu menyukai
espresso, dan kemudian kau sudah berdiri di sebelahku.
“Aku ingin espresso, Allejandro.” Kau menoleh ke arahku sebentar, “Aku tidak yakin nona ini akan menikmati espresso, biar aku ambil espresso ini dan kau buatkan piccolo untuknya”. Sepertinya kau mendengarkan percakanku dengan pria yang ternyata bernama Allejandro ini.
“Aku ingin espresso, Allejandro.” Kau menoleh ke arahku sebentar, “Aku tidak yakin nona ini akan menikmati espresso, biar aku ambil espresso ini dan kau buatkan piccolo untuknya”. Sepertinya kau mendengarkan percakanku dengan pria yang ternyata bernama Allejandro ini.
“Dia memang agak tuli.” Bisikmu ketika Allejandro membuatkan
Piccoloku. “Tapi apapun yang ia buat terasa enak, itu sebabnya aku tidak pernah
keberatan ketika ia membuatkan pesanan yang salah untukku.”
“Ah, terimakasih banyak. Aku baru pertama kali ke kedai ini.”
Entah bagaimana kita bisa duduk saling berhadapan di bangku
kedai itu. Kita berbicara begitu akrab, seperti teman lama. Kau berbicara
dengan penuh percaya diri dan kenyamanan, tapi tidak membuatmu terkesan seperti
pria genit. Mungkin kau orang pertama yang bisa seakrab itu denganku di kota
kecil yang baru saja kutinggali.
“Ini Cappucinomu, nona” ujar Allejandro sambil meletakkan cangkir
di meja kami.
Aku hanya tersenyum. Berkat hujan dan Allejandro, aku
beruntung hari itu.
Tak lama setelah itu, aku beberapa kali mampir ke toko bunga
tempatmu bekerja. Toko bunga itu berada tepat di samping kedai kopi milik
Allejandro. Kadang aku sengaja mampir ketika jam istirahatmu dan kau tidak pernah
terlihat keberatan atas kedatanganku, seperti aku tidak pernah keberatan ketika
Allejanro mebawakan pesnanan yang salah keapdaku. Dia benar, apapun yang dibuat
Allejandro terasa nikmat.
Aku benar-benar menikmati percakapan dengamu. Aku mengagumi
cara pandangmu, cara berfikirmu, dan aku benar-benar menikmati pancaran matamu
yang jujur dan tulus ketika berbicara. Ah, Muriel. Aku tidak tau sejak kapan,
tapi aku yakin, aku pasti sudah jatuh cinta denganmu.
“Scarlet, sepertinya kau harus membawa beberapa buah bunga
matahari dariku.”
“kenapa?” tanyaku heran.
“Kau mirip bunga matahari, setiap aku melihat bunga matahari
aku langsung mengingatmu.”
“bagaimana bisa aku mirip dengan bunga matahari?”
Aku ingat bagaimana binar matamu ketika mengucapkan “Aku
begitu menyukai bunga matahari sejak dulu, dan aku rasa aku juga begitu menyukaimu.
Rasanya seperti aku sudah menyukaimu sejak dulu sampai-sampai aku tak sabar
ingin mengungkapkannya.”
Beberapa bulan kemudian, terbangun dalam pelukanmu adalah
hal yang kualami setiap pagi. Kau tak pernah beranjak dari kasur tanpa
menciumku terlebih dulu. Kau selalu menciumku sebelum mematikan lampu dan memelukku
sampai aku tertidur. Kau suka bangun pagi kemudian membeli beberapa bahan
makanan untuk sarapan, mengganti bunga di vas, atau hanya sekedar melihatku
masih tertidur pulas.
Bagaimana bisa aku tidur tanpamu di sampingku ranjang yang
luas itu? Aku masih bisa mencium wangimu di sprei dan bantal ini. Tetapi hatiku
sakit karena tidak menemukanmu di sisiku. Hatiku hancur mengetahui bahwa aku
tidak akan bisa memelukmu lagi. Aku kadang berbohong dengan diriku sendiri, aku
menutup mata dan membuat bayangan seolah-olah kau masih ada di sini.
Di hari badanmu dipenuhi perban dan selang aku tak kuasa
berharap agar kau dapat terus bertahan. Aku tak kuasa membayangkan rasa sakit
yang harus terus menerus kau hadapi. Aku ingin kau kembali, memelukku, menciumku,
berjalan denganmu kemanapun itu. Aku berharap dikala hujan sore itu aku segera
menemuimu, berkata bahwa kita memang ditakdirkan bersama.
Hari di mana kau pergi membuatku sedikit lega. Setidaknya aku
tidak melihatmu menderita lagi. Tetapi hatiku selalu hancur ketika tidak
menemukanmu di saat aku benar-benar merindukanmu.
Hari ini hujan kembali turun. Rasanya seperti hari di mana
aku pertama kali melihatmu. Aku menatap ke seberang jalan tempat di mana dulu
kau berdiri. Aku ingat warna mantel yang kau gunakan, bagaimana rambutmu basah terpercik air hujan, dan mata sebiru laut itu ketika menatapku.
Kemudian aku menyadari, sebetulnya kemana kau pergi Maurel? Rasanya
kau ada di setiap sudut tempat yang pernah kita lewati. Di seberang jalan itu,
di kedai kopi Allejandro, bahkan rasanya sekarang kau sedang memelukku. Ah,
rasanya aku benar-benar jatuh cinta padamu. Kau tak pernah benar-benar pergi
Mauriel. Kau masih ada di hatiku yang paling dalam, dan akan selalu begitu.