Selasa, 13 November 2018

Laut dan Bunga Matahari


Waktu itu hujan ketika aku melihatnmu melintas di seberag jalan. Kau terlihat sedikit berbeda dengan orang-orang diselilingku. Entahlah, mungkin karena kau terlihat manis. Ah, aku masih ingat bagaimana rambut keemasan itu terguyur rintik-rintik hujan. Wajahnya putih pucat, perawakannya tinggi, dan dari seberang ini aku tau warna matanya sebiru laut. Mantelmu sedikit basah, waktu itu kau ingin merapikan ikatan pada mantelmu kemudian kau sempat melihat ke arahku. Ya jelas sekali waktu itu aku tertangkap sedang mengamatimu. Harusnya hari itu aku tidak usah membuang wajahku. Seandainya hari itu aku berjalan ke arahmu setidaknya, aku mengenalmu beberapa hari lebih banyak dibandingkan saat ini. 

Beberapa hari setelah itu hujan tiba-tiba turun di tengah-tengah perjalananku pulang. Untungnya aku lupa membawa payungku. Aku menepi dan berteduh di sebuah kedai kopi. Waktu itu aku memesan Piccolo namun pria tua yang menjaga kedai itu malah membuatkanku espresso. Aku tidak begitu menyukai espresso, dan kemudian kau sudah berdiri di sebelahku.
“Aku ingin espresso, Allejandro.” Kau menoleh ke arahku sebentar, “Aku tidak yakin nona ini akan menikmati espresso, biar aku ambil espresso ini dan kau buatkan piccolo untuknya”. Sepertinya kau mendengarkan percakanku dengan pria yang ternyata bernama Allejandro ini.

“Dia memang agak tuli.” Bisikmu ketika Allejandro membuatkan Piccoloku. “Tapi apapun yang ia buat terasa enak, itu sebabnya aku tidak pernah keberatan ketika ia membuatkan pesanan yang salah untukku.”
“Ah, terimakasih banyak. Aku baru pertama kali ke kedai ini.”
Entah bagaimana kita bisa duduk saling berhadapan di bangku kedai itu. Kita berbicara begitu akrab, seperti teman lama. Kau berbicara dengan penuh percaya diri dan kenyamanan, tapi tidak membuatmu terkesan seperti pria genit. Mungkin kau orang pertama yang bisa seakrab itu denganku di kota kecil yang baru saja kutinggali.
“Ini Cappucinomu, nona” ujar Allejandro sambil meletakkan cangkir di meja kami.
Aku hanya tersenyum. Berkat hujan dan Allejandro, aku beruntung hari itu. 
Tak lama setelah itu, aku beberapa kali mampir ke toko bunga tempatmu bekerja. Toko bunga itu berada tepat di samping kedai kopi milik Allejandro. Kadang aku sengaja mampir ketika jam istirahatmu dan kau tidak pernah terlihat keberatan atas kedatanganku, seperti aku tidak pernah keberatan ketika Allejanro mebawakan pesnanan yang salah keapdaku. Dia benar, apapun yang dibuat Allejandro terasa nikmat.  

Aku benar-benar menikmati percakapan dengamu. Aku mengagumi cara pandangmu, cara berfikirmu, dan aku benar-benar menikmati pancaran matamu yang jujur dan tulus ketika berbicara. Ah, Muriel. Aku tidak tau sejak kapan, tapi aku yakin, aku pasti sudah jatuh cinta denganmu.
“Scarlet, sepertinya kau harus membawa beberapa buah bunga matahari dariku.”
“kenapa?” tanyaku heran.
“Kau mirip bunga matahari, setiap aku melihat bunga matahari aku langsung mengingatmu.”
“bagaimana bisa aku mirip dengan bunga matahari?”
Aku ingat bagaimana binar matamu ketika mengucapkan “Aku begitu menyukai bunga matahari sejak dulu, dan aku rasa aku juga begitu menyukaimu. Rasanya seperti aku sudah menyukaimu sejak dulu sampai-sampai aku tak sabar ingin mengungkapkannya.”

Beberapa bulan kemudian, terbangun dalam pelukanmu adalah hal yang kualami setiap pagi. Kau tak pernah beranjak dari kasur tanpa menciumku terlebih dulu. Kau selalu menciumku sebelum mematikan lampu dan memelukku sampai aku tertidur. Kau suka bangun pagi kemudian membeli beberapa bahan makanan untuk sarapan, mengganti bunga di vas, atau hanya sekedar melihatku masih tertidur pulas.

Bagaimana bisa aku tidur tanpamu di sampingku ranjang yang luas itu? Aku masih bisa mencium wangimu di sprei dan bantal ini. Tetapi hatiku sakit karena tidak menemukanmu di sisiku. Hatiku hancur mengetahui bahwa aku tidak akan bisa memelukmu lagi. Aku kadang berbohong dengan diriku sendiri, aku menutup mata dan membuat bayangan seolah-olah kau masih ada di sini.

Di hari badanmu dipenuhi perban dan selang aku tak kuasa berharap agar kau dapat terus bertahan. Aku tak kuasa membayangkan rasa sakit yang harus terus menerus kau hadapi. Aku ingin kau kembali, memelukku, menciumku, berjalan denganmu kemanapun itu. Aku berharap dikala hujan sore itu aku segera menemuimu, berkata bahwa kita memang ditakdirkan bersama.

Hari di mana kau pergi membuatku sedikit lega. Setidaknya aku tidak melihatmu menderita lagi. Tetapi hatiku selalu hancur ketika tidak menemukanmu di saat aku benar-benar merindukanmu.

Hari ini hujan kembali turun. Rasanya seperti hari di mana aku pertama kali melihatmu. Aku menatap ke seberang jalan tempat di mana dulu kau berdiri. Aku ingat warna mantel yang kau gunakan, bagaimana rambutmu basah terpercik air hujan, dan mata sebiru laut itu ketika menatapku.

Kemudian aku menyadari, sebetulnya kemana kau pergi Maurel? Rasanya kau ada di setiap sudut tempat yang pernah kita lewati. Di seberang jalan itu, di kedai kopi Allejandro, bahkan rasanya sekarang kau sedang memelukku. Ah, rasanya aku benar-benar jatuh cinta padamu. Kau tak pernah benar-benar pergi Mauriel. Kau masih ada di hatiku yang paling dalam, dan akan selalu begitu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar