Senin, 21 Oktober 2019

Under The Smile


Bagaimana bisa pria di sampingku tidur dengan begitu damainya? Tidakkah dia harusnya merasa bimbang sama sepertiku? Kubelai rambutnya selembut mungkin, takut jika pria ini terbangun. Aku bisa saja membenci pria ini, tetapi sedikitpun aku tak ingin menyakitinya.  
Jemariku mulai beranjak dari rambut menuju hidung mancungnya, kemudian turun dan hinggap di bibirnya yang mungil. Tuluskah setiap kata cinta yang terucap dari bibirnya? Apakah saat ia menciumku kami memiliki perasaan yang sama?
Jeon Jungkook bergeming kemudian membuka matanya dengan susah payah
“kau belum tidur?” pria itu langsung mengangkat tangan kirinya. Mengajakku masuk ke dalam pelukannya.
Aku hanya menggeleng sambil menatap lembut wajahnya. Dalam keadaan seperti ini pun aku masih dibuat terpesona olehnya. Aku menuruti perintahnya, membenamkan tubuhku dalam pelukannya yang besar.
Hatiku nyeri. Aku tak tau pasti sejak kapan pelukan ini terasa hampa. Hangat, tetapi tidak menghangatkan hatiku. Kokoh, tetapi membimbangkan hatiku.
Aku membenamkan wajahku ke dadanya yang bidang. Mencoba mencari tau apakah jika aku mencoba lebih erat memeluknya, aku akan menekukan rasa hangat yang dulu? Jungkook yang belum sepenuhnya terlelap membalas pelukan eratku.
Hatiku semakin sakit karena tidak menemukan kehangatan yang dulu kurasakan. Tidak ada yang berbeda. Hanya ada kehampaan dan kebimbangan yang terasa di dalam pelukannya. Aku mengendorkan pelukanku dan menatap wajahnya. Aku belum menyerah. Aku mencoba mencium bibirnya yang sedikit terbuka. Tetapi hasilnya tetap sama.
“Ada apa?” tanya pemilik bibir itu lembut, tetapi terasa ada kebingungan di dalamnya.
Aku hanya tersenyum, kemudian menggeleng. Aku kembali menenggelamkan diri dalam pelukannya. Ia kembali memelukku erat. Rasanya aku tidak ingin menyerah. Tetapi bukankah aku terlalu egois jika terus bertingkah kekanakan seperti ini?
Wajahku memanas dan dadaku terasa sesak. Tidak, aku tidak boleh menangis. Jungkook tidak boleh melihatku menangis. Mungkin sebentar lagi. Biarkan aku menunggu sebentar lagi. Mungkin kehangatan yang menangkan itu akan datang kembali, nanti.
*
Aku tidak tau sudah berapa lama aku terjaga. Pria yang tadi memelukku sudah membelakangiku dan sudah tertidur lelap. Rasa yang kutunggu tak kunjung muncul. Apa ini sudah menjadi akhir dari kita? Jadi kita berakhir seperti ini? Aku tidak siap, aku bahkan tidak pernah membayangkan memiliki akhir jika bersamamu.
Aku ingin terus berusaha untuk tetap bersamamu, Jungkook.
Aku bangkit dari tidurku dan duduk di pinggiran kasur. Rasanya berat untuk beranjak dari ranjang ini. Pria yang paling aku cintai terbaring di sana, dia bisa saja memelukku malam ini dan malam-malam selanjutnya. Aku bisa saja terus menerus menjadi orang bodoh yang menyedihkan agar bisa bersamamu. Tetapi bukankah kaupun juga harus bahagia?
Dengan berat aku beranjak dan berjalan ke arah meja kerjanya.  Kutatap kursi di belakang meja itu.  Dulu ia sering memangkuku di dana. Dia tidak pernah marah saat aku mengganggunya bekerja. Kami bahkan tertawa lepas. Aku bebas mencuri ciumannya saat ia tertawa dan sebaliknya. Bukankah saat itu kita sangat bahagia? Apa tidak bisa kita terus menerus seperti itu? Apa tidak bisa jika aku saja yang membuatmu bahagia?
Aku mengambil pena kemudian menduduki kursi di belakang meja. Kubuka laci di bawah meja itu dan mengambil selembar kertas. Kertas itu sudah ada di atas meja sekarang dan aku mulai berfikir, apa yang pertama-tama harus aku tuliskan. Aku kembali menatap pria yang tertidur lelap itu. Setelah ini aku pasti akan merindukannya setengah mati.
Aku menarik nafas panjang hingga dadaku terasa sesak, kemudian menghempaskannya.

“Kau tidur begitu damai, aku tidak tega membangunkanmu.
Maafkan aku karena pergi dengan cara seperti ini. Aku percaya jika dulu kau benar-benar mencintaiku. Aku juga mencintaimu. Sangat mencintaimu. Hanya saja, aku tidak bisa terus berpura-pura bahwa kau mencintaiku hingga saat ini. Aku bisa saja terus menerus menjadi si bodoh yang menyedihkan agar terus bersamamu. Tetapi bukankah kita berdua pantas untuk menjadi lebih bahagia? Meskipun aku tidak tau apa lagi yang membuatku bahagia selain dirimu.
Kerjarlah Kim Sohe, aku tau kau mencintainya. Hiduplah dengan bahagia bersamanya. Jangan pernah mencariku lagi karena itu hanya akan membuatku semakin terlihat menyedihkan. Kau harus hidup bahagia, dengan atau tanpa diriku.
Aku memang kecewa dan marah. Aku benci karena pada akhirnya bukan aku yang membahagiakanmu. Aku benci karena pada akhirnya kita harus berakhir.
Jangan merasa bersalah, kumohon. Jaga kesehatanmu. Kau harus hidup dengan baik dan bahagia.
Selamat tinggal.

Aku ingin mengungkapkan betapa aku mencintaimu. Seandainya jika itu dapat membuat hatimu kembali kepadaku. Tetapi sekarang apa gunanya? Itu hanya akan membuatmu semakin merasa bersalah.
Air mataku jatuh tak tertahan. Hatiku terasa sesak, tetapi ada sedikit perasaan lega. Lega karena telah melepaskanmu. Lega kerena mampu melakukan sesuatu untuk kebahagiaanmu.  Aku berjalan perlahan ke arah Jungkook. Kutatapi wajahnya sekali lagi. Tanpa sadar tanganku meraih dan mengelus pipinya.
‘Aku mencintaimu’ bisikku dalam hati.
*
Belakangan Busan terasa lebih dingin dari hari-hari sebelumnya. Musim gugur akan segera tiba. Aku melirik jam tanganku. Aku harus segera menuju stasiun jika tidak ingin ketinggalan kereta selanjutnya.
Di sepanjang jalan daun-daun mulai berguguran. Mereka jatuh dengan indah hingga orang-orang lupa bagaimana setiap yang jatuh itu sakit. Walau itu jatuh cinta sekalipun. Aku merapatkan jaketku kemudian memasukkan kedua tanganku ke saku.
Aku berhenti melangkah. Tatapanku tertuju pada seseorang di seberang jalan. Senyuman itu, sudah pasti itu dia. Bahkan setelah sekian lama, aku masih terpesona dengan senyumnya. Hatiku terasa hangat setiap kali melihatnya. Senyumnya kontras sekali dengan suasana Busan hari ini. Aku ikut tersenyum, meskipun senyum itu ditujukan untuk wanita mungil yang berdiri di sebelahnya.
Pria itu meraih tangan wanita di sampingnya dan menggenggamnya erat. Wanita itu tersenyum. Mereka terlihat bahagia.
Sadar dengan keberadaanku, Jungkook menatapku kaget. Tetapi kemudian ia tersenyum. Senyum itu begitu cerah. Lewat senyum itu aku tau bahwa ia telah hidup dengan bahagia. Dia sudah melakukannya dengan benar. Aku menghembuskan nafas lega kemudian tersenyum kepadanya.
Aku kembali melangkahkan kakiku, melanjutkan perjalananku yang sempat terhenti.

Sabtu, 19 Oktober 2019

Di Bawah Langit

Halo teman-teman, aku rekomendasikan lagu Ending Scene-IU (versinya Jungkook juga boleh, silahkan sengarkan di Soundcloud-nya BTS)


Aku menatap diriku di depan cermin. Aku kantung mataku terlihat menghitam, hari inipun aku masih kesulitan untuk tidur. Aku menatap jauh melalui jendela. Aku heran, mengapa semua terasa terus berjalan sedangkan aku jauh tertinggal. Matahari terus bersinar, awan terus berarak, dan hujan turun sesuka hatinya. Aku bersaha mengikuti mereka, tapi rasanya aku masih terseok-seok.
Sudah satu bulan aku meninggalkan Seoul, tetapi rasanya aku masih belum terbiasa dengan suasana di Busan. Seoul terasa jauh lebih hidup sedangkan Busan terasa.... entahlah. Aku tidak benci tinggal di sini, ada perasaan yang sulit kudeskripsikan tentang Busan.
Pikiranku kembali melayang ke hari terakhir aku bertemu dengan Jeon Jungkook. Iya, baru sebulan aku tidak bertemu dengan pria itu, tapi rasanya sudah lama sekali. Rasanya dadaku nyeri karena sangat merindukan senyumnya.
“Jadi hari ini kita harus melakukan segalanya!” Ia meraih tanganku dan menggenggamnya erat. “hari ini tidak akan ku lepas.” Rasanya hatiku tersayat. Sejujurnya dibandingkan tersayat, aku merasa sangat bahagia hingga aku merasa berdosa. Betepa egoisnya kau Cha Chan-sol!
Setelah hari itu aku tidak bisa menggenggam tangannya lagi.
Ah iya, hari ini aku harus bertemu dengan dokterku untuk konseling. Aku harus segera berangkat. Melihat botol-botol obat di atas meja membuatku bertanya-tanya, apa aku bisa sembuh? Atau setidaknya lebih baik dari saat ini?
Aku tidak tau pasti sejak kapan aku mulai terkena penyakit aneh ini. Aku terlalu terobsesi dengan kesempurnaan, hingga aku sadar bahwa obsesiku sudah keterlaluan. Sepertinya sejak kecil aku sudah merasakannya. Aku memberanikan diri untuk mengunjungi seorang psikolog kira-kira 3 tahun lalu karena tidak tahan dengan kondisiku. Akhirnya setelah sekian lama aku paham bahwa aku adalah salah satu dari penderita OCD (Obsessive Compulsive Disorder).
Selama bertahun-tahun aku mencoba hidup senormal manusia pada umumnya. Setidaknya di depan orang-orang. Aku tidak ingin orang-orang mengetahui penyakit ini. Aku hanya ingin menjalani hidupku dengan normal, sesulit apapun itu. Meskipun nyatanya kehidupanku tidak bisa senormal yang aku harapkan. Sejak kecil aku terobsesi untuk menjadi siswa yang sempurna, meskipun tidak ada yang menuntutku untuk menjadi demikian. Aku sungguh takut dengan nilai yang jelek, aku tak pernah berani mengerjakan tugasku dengan sembarangan, aku takut jika aku tidak berusaha semaksimal yang aku bisa. Ambisi tersebut membuat aku tidak begitu banyak memiliki waktu luang untuk bermain.
Aku sangat suka membaca cerita-cerita romantis di novel ataupun komik. Aku berharap masa remajaku bisa seperti yang terjadi di novel-novel. Sepulang sekolah, ada pria tampan yang menungguku di pagar sekolah dengan malu-malu. Mengulurkan tangannya supaya kami bisa pulang bergandengan tangan. Nyatanya, aku terlalu sibuk dengan tugas, ujian dan ulangan. Aku sungguh iri dengan teman-temanku yang melalikan tugas-tugas mereka, mengerjakan tugas dan ujian mereka sekedarnya dan tetap tertawa ceria. Andai aku bisa seperti mereka. Setiap obsesiku kambuh, aku membenci diriku. Aku membenci diriku yang tidak bisa bertindak seperti orang normal. Aku benci diriku yang penakut. Aku benci diriku yang tidak mampu mengendalikan diriku ketika obsesiku kambuh. Aku sudah tidak tau berapa kali aku menangis setiap OCD-ku kambuh hingga 3 tahun lalu aku sudah tidak kuat lagi dan memutuskan untuk menemui seorang psikolog.
Mengapa baru 3 tahun lalu aku menemui psikolog? Aku tidak ingin membuat siapapun khawatir kepadaku, terutama ayah dan ibuku. Rasanya mereka sudah cukup sulit mengurusi aku dan kakakku. Ayah dan ibuku harus bekerja keras untuk membesarkan aku dan kakakku. Aku berasal dari keluarga sederhana yang nyaris-nyaris bisa dikatakan miskin. Ibuku bekerja sebagai penjaga toko di sebuah toko buah milik temannya. Sedangkan ayah hanya bekerja sebagai supir truk di sebuah pabrik. Entah siapa yang mengajariku tetapi sejak kecil aku tidak berani membuat orang tuaku kerepotan. Mungkin karena sejak kecil kakaku tidak pernah meminta apapun kepada orangtuaku, akupun terdoktrin untuk tidak boleh meminta hal-hal besar ataupun merepotkan mereka. Dulu setiap kali kondisiku memburuk, aku akan menangis sendiri di tempat sepi. Pernah sekali aku mencoba mengungkapkan kepada orang tuaku, sangkin bingungnya aku untuk menjelaskan kondisiku kepada mereka, aku hanya menangis.
Beberapa tahun lalu aku mampu menghasilkan uang sendiri dengan cara menyanyi di berbagai cafe. Setelah memiliki cukup uang aku memberanikan diri untuk menemui psikolog. Setelah itu aku mencoba memberitahu keluargaku. Seperti yang sudah kuduga, mereka sangat mengkhawatirkanku. Tetapi aku selalu meyakinkan mereka bahwa aku baik-baik saja. Penyakit itu tidak akan membuatku kesusahan. Meskipun kenyataannya bertolak belakang.
Bernyanyi. Rasanya hal itu selalu bisa menenangkanku, walau hanya sedikit. Bernyanyi juga yang membuatku bertemu dengan pria bernama Jeon Jungkook. Hari itu seperti biasa, aku menyanyi di cafe tempatku bekerja. Jungkook datang sambil merangkul pinggang seorang wanita. Awalnya aku tidak begitu mempedulikan kehadiran mereka berdua. Mereka memilih kursi di bagian pojok cafe. Karena Cafe tersebut sedang sepi, seringai gadis di hadapannya menjadi sesuatu yang cukup mencolok. Itulah pertama kali aku melihat Jungkook tersenyum. Senyum itu begitu indah, meskipun senyum itu bukan untukku. Saat aku sedang terkesima dengan senyumannya, Jungkook menoleh ke arahku. Aku tertangkap basah sedang memandanginya, aku harap dia tidak tau bahwa aku terkesima dengannya. Jungkook tersenyum padaku, dan rasanya jantungku berhenti berderak selama sedetik, kemudian berdetak cepat. Setelah itu aku Jungkook tidak pernah kembali ke cafe tersebut dengan wanita itu. Ia berangkat seorang diri.
Bagiku Jungkook adalah pria yang punya senyuman paling cerah di dunia. Sialnya hingga saat ini aku masih berpendapat demikian.

*

Aku sudah menyelesaikan sesi konselingku. Di jalan pulang aku berpapasan dengan sepasang kekasih berseragam. Mereka bergandengan tangan dan terlihat malu-malu. Aku tersenyum dan teringat dengan impianku. Dan aku juga teringat dengan Jungkook.
Kira-kira dua bulan lalu Jungkook menemuiku dan membawa dua pasang seragam sekolah.
“Aku rasa ini sesuai dengan ukuranmu, ini seragam sekolah terimut yang aku temukan. Pakailah”
Aku yang kebingungan dengan tingkahnya. “untuk apa?” tanyaku.
“Besok kan ulang tahunmu Chansol! Kau selalu bilang kau menyesal karena tidak kecan ketika masih SMA. Jadi hari ini aku akan menjadikanmu anak SMA, dan kau akan kencan denganku.” Aku harap waktu itu aku dapat menahan pipiku yang memerah. Jantungku berdetak keras dan cepat, sampai-sampai aku takut Jungkook mendengarnya.
“Hari ini aku akan melakukan apapun yang diinginkan Chansol.”
Jungkook menepati perkataannya. Hari itu aku memintanya untuk pergi dan jangan menemuiku lagi.
Aku berhenti di salah satu cafe dan memesan secangkir teh. Aku duduk dan mengeluarkan buku harianku. Dokterku menyarankan untuk menulis buku harian untuk membantu menangani OCD-ku. Aku mulai membuka lembar-demi lembar dan mencari lembar yang masih kosong. Rasanya setiap lembar buku itu tertulis nama pria kesayanganku, Jungkook. Aku mengeluarkan pulpennku dan mulai memikirkan apa yang ingin kutulis. Ah, rasanya aku sangat ingin bertemu dan berbicara dengan Jungkook. Apakah Jungkook sudah melupakanku? Padahal aku sama sekali tidak ingin melupakannya walau aku dadaku nyeri setiap kali aku mengingatnya.
“Jungkook...” tanganku menuliskan nama itu begitu saja.
“bagaimana ini? hari inipun aku masih memikirkan dan merindukanmu. Aku benci sekali denganmu, mengapa aku harus mencintaimu. Mengapa kau harus mencintaiku? Aku sangat bahagia karena ternyata kau juga mencintaiku, sangkin bahagianya rasanya aku ingin menciummu waktu itu.
Astaga.. maafkan aku yang sangat egois. Maafkan aku, waktu itu aku dengan bahagianya menerima ajakan kencanmu. Maafkan aku hari itu dengan serakahnya tidak ingin melepaskan tanganmu walau sedetikpun. Maafkan aku hari itu dengan egoisnya aku tertawa dan menikmati kencan seragam kita. Maafkan aku karena tersadar bahwa aku egois ketika matahari terbenam. Maafkan aku karena tiba-tiba mengusirmu. Maafkan aku..
Jungkook, kuharapkan kau mendapatkan hidup yang bahagia. Kuharap kau mendapatkan wanita yang lebih baik dibandingkan aku. Meskipun aku ingin sekali menjadi wanita itu. Rasanya setiap hari aku ingin berangkat ke Seoul dan menemuimu. Tapi kau harus mendapatkan wanita yang pantas untukmu. Kau pria baik, kau tidak seharusnya mendapatkan wanita sepertiku.
Orang-orang akan menganggapku tidak waras, dan kau akan dianggap bodoh karena mau bersama wanita sepertiku. Aku ini perempuan aneh Jungkook, aku bahkan mengecek sampai tiga kali isi tasku saat berpindah tempat sangkin takutnya aku jika ada barang yang tertinggal. Aku bisa menangis kebingungan saat sedang mengerjakan pekerjaanku. Aku sangat takut jika hasil kerjaku tidak sempurna, itu sebabnya aku berhenti dari perusahaan waktu itu. Maafkan aku yang tidak bisa memberitahumu tentang kondisiku.
Kuharap aku dapat mengatakan padamu betapa aku sangat mencintaimu. Jungkook, aku harap kau selalu bahagia sehingga senyumanmu dapat selalu mekar. Semoga suatu saat aku bisa melihat senyumanmu lagi, meski dari jauh sekalipun.”
Tanpa sadar air mataku jatuh dan membasahi buku harianku. Cepat-cepat aku menyeka air mataku agar tidak terlihat mencolok diantara pengunjung lain. Aku menutup buku harianku. Kutarik nafas panjang hingga dadaku terasa nyeri kemudian menghembuskannya. Sudah satu bulan lebih aku menjadi pengangguran, tidak seharusnya aku menghabiskan waktuku dengan menjadi anak cengeng begini.
Di saat Jungkook mulai sukses sebagai seorang musisi di Seoul aku diterima di sebuah perusahaan rekaman di Seoul. Karir Jungkook semakin sukses sedangkan keadaanku makin lama semakin menyedihkan. Karena OCD-ku sempat bertambah parah aku memutuskan untuk berhenti dari pekerjaanku di Seoul. Setelah menjadi pengangguran di Seoul aku merasa tidak punya alasan untuk tetap tinggal di sana. Ditambah lagi Jungkook yang tiba-tiba menyatakan perasaannya. Rasanya aku harus segera menyingkir dari sana. Jungkook tidak seharusnya punya kekasih yang statusnya pengangguran. Sejujurnya, untuk menjauhi Jungkooklah maka kembali ke di Busan.
Matahari masih bersinar cerah, berbanding terbalik dengan suasana hatiku. Aku harus segera bangkit dan mulai mencari pekerjaan. Aku tidak boleh salamanya menjadi pengangguran.
Aku melihat sebuah tulisan di dekat kasir. Tertulis jika Cafe ini sedang membutuhkan penyanyi. Aku segera menghampiri kasir untuk bertanya apakah lowongan itu masih tersedia.

*

Aku kembali ke Cafe yang kukunjungi tadi siang. Aku segera mengunjungi menemui salah seorang pelayan di sana.
“Apakah buku saya ditemukan?” tanyaku tanpa dengan penuh harap.
“maaf” wajah pelayan tersebut tampak khawatir untuk melanjutkan perkataanya. Mungkin karena ekspresiku yang sangat berharap. “tapi kami tidak menemukan buku catatan anda.”
Begitu aku mendatangi kasir tadi siang aku meninggalkan barang-barangku begitu saja karena sangkin semangatnya aku dengan tawaran pekerjaan tersebut. Begitu kembali ke mejaku, aku tidak menemukan buku catatanku di manapun. Aku bahkan sudah menggeledah seluruh tempat duduk pengunjung dan tidak menemukannya. Anehnya yang hilang hanya buku harianku saja dan tidak ada barang berharga lainnya yang hilang. Jika ini adalah sebuah pencurian bagaimana aku akan melapor kepada polisi?
“oh, begitu... maaf sudah merepotkan anda karena keteledoran saya” aku membungkuk dalam karena merasa bersalah.
“tidak masalah, saya juga minta maaf karena tidak mengawasi pengunjung dengan benar.”
“Ah iya, bagaimana dengan rekaman CCTVnya?”
“Ah, maaf..” lagi-lagi ia terlihat tidak enak. “tadi sore saya sudah menemui karyawan lain yang biasanya mengecek CCTV, ternyata CCTV kami mengalami kerusakan, sehingga rekman hari ini tidak tersimpan”
Aku tidak dapat menyembunyikan kekecewaaanku. Tetapi mengingat usaha yang sudah dilakukan akibat keteledoranku, aku merasa bersalah jika menunjukkan kekecewaanku padanya.
“ah, terimakasih banyak sudah membantu saya. Maafkan saya yang teledor ini malah membuat anda kerepotan.”
“ah tidak, saya minta maaf karena tidak bisa langsung mengecek CCTV tadi siang. Saya tidak paham cara kerja komputer CCTV sehingga saya harus minta teman yang shift sore untuk mengeceknya.”
“Ah, tidak apa-apa. Terimakasih banyak!” aku membungkuk dalam sekali lagi.
“Apakah nona Cha sudah siap untuk tampil perdana malam ini?” tanya pelayan itu dengan ramah.
“Ah iya, tentu saja” jawabku bersemangat, meskipun sebenarnya aku lumayan panik dengan buku harianku. Bagaimana jika buku harian tersebut dibaca orang lain? Itukan privasiku. Aku mencoba fokus pada pekerjaanku, bagaimapun aku harus mendapatkan pekerjaan ini. Aku tidak bisa selamanya menajdi pengangguran.
Aku mengeluarkan gitarku dan menyambungkannya dengan amplifie di belakangku. Meskipun penghasilan dengan cara menyanyi seperti ini kecil, setidaknya pekerjaan ini membuatku nyaman. Aku hanya harus mencari caffe-caffe lainnya dan mencoba melamar ke sana. Aku memulai pekerjaan baruku dengan menyanyikan ‘Ending Scene’.
’Jadaero jal meogeo da jinaganikka
(Pastikan kau makan dengan baik, karena semuanya akan berlalu)
Yajeoncheoreom jamdo jal jage doel geoya
(Kau akan dapat tertidur seperti yang biasanya)
Jinsimeuro bilge
(Aku benar-benar serius)
Neoneun deo haengbokhal jagyeogi isseo’
(Kau pantas menjadi lebih bahagia)

Jantungku melewatkan satu detakannya. Jantungku berdebar hingga suaraku bergetar. Aku hampir tidak mampu melanjutkan laguku. Seorang pria melintas dari pintu masuk dan duduk di pojok. Rasanya seperti bertemu saat kami bertemu pertama kali. Hanya saja kali ini ia datang sendiri.

Aku menatap Jungkook dan ia menatapku kemudian tersenyum. Senyum itu sama seperti pertama kali aku melihatnya. Seketika rasanya hatiku menjadi hangat seperti disinari matahari musim semi. Aku merasa bersalah karena terlalu bahagia ia ada di hadapanku. Aku berkali-kali meliriknya, mematikan apakah aku berhalusinasi.  

Kita bertemu seperti mimpi yang aku impi-impikan, bolehkan aku berharap lebih? Bukankah itu terlalu egois?

*

Aku mengemasi gitarku setelah menyanyikan lagu terakhir. Jungkook masih duduk di sana. Aku segera mengemasi gitarku. Aku merasakan ada seseorang yang mendekat. Wangi ini, pasti Jungkook. Aku menarik nafas dalam dan menyiapkan diriku untuk menatap Jungkook.
‘Jangan terlihat terlalu bersemangat Chansol. Kau harus terlihat biasa’
“Chansol..”
Astaga.. suara itu. Aku rindu sekali dengan suara itu.
“iya, Hai” aku berbalik. Berusaha bersikap biasa walaupun aku sangat gugup dan tidak dapat menutupinya. “Bagaimana..”
“Bagaimana aku bisa ada di sini?” Jungkook langsung mengetahui isi pikiranku. “itu kan yang ingin kau tanyakan?”
Aku hanya mengangguk lemah.
“Chansol” nada bicaranya terdengar serius dan tegas. “berhentilah lari dariku”
Tubuhku terasa lemah mendengar kalimat itu. Lagi-lagi pria ini membuatku lemah, membuatku ingin jatuh ke pelukannya dan tidak akan kulepas.
Untungnya akal sehatku segera kembali, aku membuka mulutku setelah menemukan sebuah ide untuk menepis perkataannya. Tetapi aku kalah cepat dengan Jungkook
“Aku sudah tau mengapa kau pergi.”
Sekali lagi jantungku berhenti berdetak sesaat. Apa sebenarnya yang ingin dikatakan pria ini?
“Jika kau ingin menyembunyikan sesuatu harusnya kau bertindak lebih cerdas.” Nada bicaranya terdengar seakan-akan meledekku.
“Aku pernah menemukan resep di dekat tempat sampah, di apartemen lamamu.”
Astaga kapan pria ini menemukan resep dokterku? Apakah dia curiga padaku. Aku hanya menunggu kata-kata selanjutnya.
“Awalnya aku heran kenapa di sana ada obat penenang yang biasa digunakan Suga, tetapi karena tidak inginmembuatmu merasa tidak nyaman aku tidak menanyakan apapun.”
“itu bukan milikku” tepisku.
“tentu saja itu milikmu. Ada namamu tertera di sana.” Jawab Jungkook cepat.
Habislah aku.
“Kau tiba-tiba menyuruhku pergi, padahal aku kira kau bahagia bersamaku. Kau terlihat sangat bahagia saat kencan menggunakan seragam denganku. Karena itu aku..”
“Nona Cha!” panggil pelayan yang tadi membantuku. Aku selamat...
“Ah, iya.”
“Penampilan ada sangat memuaskan, menejer kami ingin menemui anda.”
“Ah baiklah, dimana menejer anda?” tanyaku cepat.
“Anda dapat menyelesaikan pembicaraan anda dulu..”
“Ah tidak” ujarku cepat. “kami sudah selesai kok”
Pelayan tadi terlihat sedikit tidak enak kepada Jungkook. Aku bisa melihat ekspresi kecewa bercampur jengkel di wajah Jungkook.
“kalau begitu mari ikut saya nona Cha”
Aku mengangguk dan segera mengikuti pelayan itu.
“Terimakasih atas bantuan anda nona Kim!” ujar Jungkook kepada pelayan di depanku.
Apa maksudnya ini?

*

Aku mendapatkan pekerjaan baruku. Menejer Cafe itu memintaku untuk datang setiap hari Jumat, Sabtu dan minggu dan aku langsung menyanggupinya. Aku terbebas dari predikat pengangguran.
Terkejut melihat Jungkook masih duduk di kursinya tadi. Aku ingin segera lari namun aku telah tertangkap basah oleh Jungkook. Jungkook berjalan cepat ke arahku dan menarik tanganku. Aku ingin meronta tetapi genggamannya kuat sekali dan tatapan tajamnya membuahku takut dan memilih untuk mengikutinya.
Ia menarikku keluar dan menjauhi cafe tersebut. Selama beberapa detik aku mengikuti langkah kakinya. Tidak ada kata yang terucap diantara kami, hanya ada keheningan yang mencekam.
Jungkook berhenti tepat di bawah sebuah lampu di pinggir taman. Akupun ikut berhenti. Berbalik dan tidak melepaskan genggamannya.
“Maafkan aku” gumamnya lirih “hari ini tidak akan ku lepas”
Sekali lagi aku mendengar kalimat itu terucap dari bibirnya yang tipis. Bibir itu terlihat pucat.
“Aku tidak akan membiarkanmu pergi lagi.”  
Jungkook, kau membuat jantungku berhenti berdetak lagi.
“Aku ke Busan mencarimu.” Ungkap Jungkook terang-terangan. “Kau menyuruhku untuk tidak menemuimu lagi. Aku mengirim pesan perminta maaf, tetapi tidak ada balasan. Aku kira kau semarah itu denganku, sehingga aku harus minta maaf langsung kepadamu. Aku ke apartemenmu, tetapi ternyata kau sudah pindah. Aku mencoba menemuimu di kantor, ternyata kau sudah berhenti bekerja.”
Aku merasa bersalah kepada Jungkook karena telah membuatnya khawatir. Harusnya dia tidak perlu mengkhawatirkan aku. Harusnya dia melanjutkan hidupnya dengan bahagia.
“Aku mengkhawatirkanmu karena kau tiba-tiba menghilang dan saat itu aku juga teringat dengan resep obat yang pernah kutemukan. Sebenarnya aku ingin segara mencarimu ke Busan, tetapi aku takut kau akan semakin marah padaku jika aku mengejar-ngejarmu. Tetapi aku sudah tidak tahan lagi. Hari ini aku berangkat ke Busan untuk mencarimu.”
Jungkook menarik nafas dalam-dalam dan menghempaskannya. Ia tersenyum jengkel bercampur frustasi.
“Lihat apa yang kau lakukan padaku Chansol! Hari ini aku menjadi penguntit karena dirimu. Aku sudah berada di depan rumahmu tetapi karena takut kau akan marah padaku, aku membatalkan niatku.”
“Kau mengikutiku?!”
“Ya! Aku mengikutimu menemui psikeater, aku mengikutimu ke cafe tadi. Aku melihatmu menangis dan aku yang mencuri buku harianmu.”
Jungkook mengeluarkan sesuatu dari saku mantelnya. Ah, benar saja. Ia memiliki buku harianku.
“CCTV di cafe itu tidak rusak. Aku yang menyuruh nona Kim untuk berbohong padamu. Aku bilang aku akan mengembalikannya.”
Matilah aku. Aku sudah benar-benar tidak dapat mengatakan apapun pada pria ini. Dia sudah tau penyakitku. Aku merasa malu. Aku menunduk dalam.
“Aku sudah membaca semuanya”
‘Ya tentu saja’ gumamku dalam hati.
“Seperti yang aku katakan, kau tidak akan kulepas.”
Aku memberanikan diri untuk menatap wajahnya, meskipun aku takut Jungkook menyadari wajahku yang memerah. Aku perlu memastikan apakah orang ini serius dengan ucapannya.
“Ya benar begitu, Chansol. Tatap aku baik-baik.” Mata hitamnya menatapku dalam-dalam. “Aku sudah tau mengapa kau tiba-tiba menyuruhku pergi.” Jungkook meraih satu tanganku lagi dan menggenggamnya erat. “Kau berusaha begitu keras selama ini Chansol. Berhentilah, kau tidak perlu lari lagi. Aku tidak akan pergi ke kemana pun, meski kau mengusirku berkali-kali.”
Wajahku memanas dan tanpa sadar air mataku menetes. Jungkook cepat-cepat menyeka air mataku dan memelukku.
“hey, kau sedang menerima pernyataan cinta. Mengapa kau membuatku seperti seorang pria jahat yang membuat pacarnya menangis?”
Aku tersenyum di dalam pelukannya.
“Aku tidak akan melihatmu sebagai orang aneh seperti yang kau takutkan. Kau adalah Chansol-ku. Aku ingin memelukmu saat kau merasa terpuruk. Aku tidak ingin lagi membiarkanmu terpuruk seorang diri. Sudah cukup Chansol.”
Aku merasa egois karena merasa sangat bahagia berada di pelukannya.
“kau tidak perlu merasa bersalah karena mencintaiku.” Bagaimana orang ini bisa tau isi kepalaku?
“Karena aku tampan, aku bisa mendapatkan gadis yang lebih cantik dan lebih seksi darimu.”
Ah orang ini... Aku membencimu Jungkook. Aku tertawa di dalam pelukannya.
“Tetapi aku hanya ingin Chansol. Aku hanya ingin Chansol entah bagaimanapun kondisinya.”
Aku mencoba melepaskan pelukannya, supaya aku bisa menatapnya.
“Tidak!” seru Jungkook seraya memelukku lebih erat. “Aku tidak akan membiarkanmu pergi lagi.”
Aku ingin tertawa melihat sikapnya seperti anak kecil yang tidak ingin bonekanya diambil.
“Aku ingin menatapmu..” gumamku dalam pelukannya.
“oh..” gumamnya. Ia melonggarkan pelukannya dan menggenggam kedua tanganku. “Silahkan tatap aku sepuasmu Chansol. Nikmati ketampanan Jeon Jungkook.”
Aku tersenyum menahan tawa kerena tingkahnya yang menggemaskan.
“Kau yakin ingin bersamaku? Aku ini sulit dimengerti dan sulit dikendalikan.” Aku menarik nafas dalam. “Seperti yang kau katakan, kau bisa mendapatka wanita lain yang lebih baik dariku. Apa suatu saat kau tidak akan menyesal karena memilihku?”
“Tidak akan.” Jawabnya tegas. “Jangan mengkhawatirkan masa depan Chansol, karena di sana pasti ada aku yang akan selalu mendampingimu.”
Entah sihir apa yang digunakan pria ini hingga aku merasa tenang mendengarkan perkataannya. Rasanya seperti mengonsumsi obat penenang, hanya saja obat penenang tidak membuatku tersenyum sebahagia ini.
“Besok aku akan mencarikan seragam sekolah lagi. Ayo kita kencan besok! Ah, rasanya besok terasa lama. Bagaimana jika sekarang? Ayo cari seragam! Kita ulangi kencan yang waktu itu dan jangan berani menolakku lagi!”
Aku kembali tersenyum menahan tawa.
“Mana bisa aku kencan dengan wajah bengkak begini.” Aku cemberut seolah-olah menyalahkan Jungkook karena telah membuatku menangis. “tetapi besok memang terasa lama..” gumamku malu-malu.
“Sudah ditentukan!” ujar Jungkook penuh semangat. “Kita akan kencan saat ini. Ayo kita cari tempat penyewaan kostum, aku rasa masih ada yang buka.”
“jangan lepaskan aku..”entah bagaimana kalimat itu terucap begitu saja.
“Tidak akan” Jungkook menggenggam tanganku erat.
Aku tidak tau mana yang lebih hangat. Perasaanku yang seperti musim semi atau tangan besar yang menggenggam tanganku. Dan benar, hari itu dia tidak melepaskan genggamannya.



Kencan seragam terinspirasi dari Webtoon berjudul Between Us. Imut sekali ya kencan dengan seragam? :)