Halo teman-teman, aku rekomendasikan lagu Ending Scene-IU (versinya Jungkook juga boleh, silahkan sengarkan di Soundcloud-nya BTS)
Aku menatap diriku di depan
cermin. Aku kantung mataku terlihat menghitam, hari inipun aku masih kesulitan untuk tidur. Aku menatap jauh melalui jendela. Aku heran, mengapa semua terasa terus
berjalan sedangkan aku jauh tertinggal. Matahari terus bersinar, awan terus
berarak, dan hujan turun sesuka hatinya. Aku bersaha mengikuti mereka, tapi
rasanya aku masih terseok-seok.
Sudah satu bulan aku meninggalkan
Seoul, tetapi rasanya aku masih belum terbiasa dengan suasana di Busan. Seoul
terasa jauh lebih hidup sedangkan Busan terasa.... entahlah. Aku tidak benci
tinggal di sini, ada perasaan yang sulit kudeskripsikan tentang Busan.
Pikiranku kembali melayang ke
hari terakhir aku bertemu dengan Jeon Jungkook. Iya, baru sebulan aku tidak
bertemu dengan pria itu, tapi rasanya sudah lama sekali. Rasanya dadaku nyeri
karena sangat merindukan senyumnya.
“Jadi hari ini kita harus melakukan segalanya!” Ia meraih tanganku
dan menggenggamnya erat. “hari ini tidak
akan ku lepas.” Rasanya hatiku tersayat. Sejujurnya dibandingkan tersayat,
aku merasa sangat bahagia hingga aku merasa berdosa. Betepa egoisnya kau Cha
Chan-sol!
Setelah hari itu aku tidak bisa
menggenggam tangannya lagi.
Ah iya, hari ini aku harus
bertemu dengan dokterku untuk konseling. Aku harus segera berangkat. Melihat
botol-botol obat di atas meja membuatku bertanya-tanya, apa aku bisa sembuh?
Atau setidaknya lebih baik dari saat ini?
Aku tidak tau pasti sejak kapan
aku mulai terkena penyakit aneh ini. Aku terlalu terobsesi dengan kesempurnaan,
hingga aku sadar bahwa obsesiku sudah keterlaluan. Sepertinya sejak kecil aku
sudah merasakannya. Aku memberanikan diri untuk mengunjungi seorang psikolog
kira-kira 3 tahun lalu karena tidak tahan dengan kondisiku. Akhirnya setelah
sekian lama aku paham bahwa aku adalah salah satu dari penderita OCD (Obsessive Compulsive Disorder).
Selama bertahun-tahun aku mencoba
hidup senormal manusia pada umumnya. Setidaknya di depan orang-orang. Aku tidak
ingin orang-orang mengetahui penyakit ini. Aku hanya ingin menjalani hidupku
dengan normal, sesulit apapun itu. Meskipun nyatanya kehidupanku tidak bisa
senormal yang aku harapkan. Sejak kecil aku terobsesi untuk menjadi siswa yang
sempurna, meskipun tidak ada yang menuntutku untuk menjadi demikian. Aku
sungguh takut dengan nilai yang jelek, aku tak pernah berani mengerjakan
tugasku dengan sembarangan, aku takut jika aku tidak berusaha semaksimal yang
aku bisa. Ambisi tersebut membuat aku tidak begitu banyak memiliki waktu luang
untuk bermain.
Aku sangat suka membaca cerita-cerita
romantis di novel ataupun komik. Aku berharap masa remajaku bisa
seperti yang terjadi di novel-novel. Sepulang sekolah, ada pria tampan yang
menungguku di pagar sekolah dengan malu-malu. Mengulurkan tangannya supaya kami
bisa pulang bergandengan tangan. Nyatanya, aku terlalu sibuk dengan tugas,
ujian dan ulangan. Aku sungguh iri dengan teman-temanku yang melalikan
tugas-tugas mereka, mengerjakan tugas dan ujian mereka sekedarnya dan tetap
tertawa ceria. Andai aku bisa seperti mereka. Setiap obsesiku kambuh, aku
membenci diriku. Aku membenci diriku yang tidak bisa bertindak seperti orang
normal. Aku benci diriku yang penakut. Aku benci diriku yang tidak mampu
mengendalikan diriku ketika obsesiku kambuh. Aku sudah tidak tau berapa kali
aku menangis setiap OCD-ku kambuh hingga 3 tahun lalu aku sudah tidak kuat lagi
dan memutuskan untuk menemui seorang psikolog.
Mengapa baru 3 tahun lalu aku
menemui psikolog? Aku tidak ingin membuat siapapun khawatir kepadaku, terutama ayah dan ibuku. Rasanya mereka sudah cukup sulit mengurusi aku dan kakakku. Ayah dan ibuku
harus bekerja keras untuk membesarkan aku dan kakakku. Aku berasal dari keluarga
sederhana yang nyaris-nyaris bisa dikatakan miskin. Ibuku bekerja sebagai penjaga
toko di sebuah toko buah milik temannya. Sedangkan ayah hanya bekerja sebagai
supir truk di sebuah pabrik. Entah siapa yang mengajariku tetapi sejak kecil
aku tidak berani membuat orang tuaku kerepotan. Mungkin karena sejak kecil
kakaku tidak pernah meminta apapun kepada orangtuaku, akupun terdoktrin untuk
tidak boleh meminta hal-hal besar ataupun merepotkan mereka. Dulu setiap kali
kondisiku memburuk, aku akan menangis sendiri di tempat sepi. Pernah sekali aku
mencoba mengungkapkan kepada orang tuaku, sangkin bingungnya aku untuk
menjelaskan kondisiku kepada mereka, aku hanya menangis.
Beberapa tahun lalu aku mampu
menghasilkan uang sendiri dengan cara menyanyi di berbagai cafe. Setelah
memiliki cukup uang aku memberanikan diri untuk menemui psikolog. Setelah itu
aku mencoba memberitahu keluargaku. Seperti yang sudah kuduga, mereka sangat
mengkhawatirkanku. Tetapi aku selalu meyakinkan mereka bahwa aku baik-baik
saja. Penyakit itu tidak akan membuatku kesusahan. Meskipun kenyataannya
bertolak belakang.
Bernyanyi. Rasanya hal itu selalu
bisa menenangkanku, walau hanya sedikit. Bernyanyi juga yang membuatku bertemu
dengan pria bernama Jeon Jungkook. Hari itu seperti biasa, aku menyanyi di cafe
tempatku bekerja. Jungkook datang sambil merangkul pinggang seorang wanita.
Awalnya aku tidak begitu mempedulikan kehadiran mereka berdua. Mereka memilih
kursi di bagian pojok cafe. Karena Cafe tersebut sedang sepi, seringai gadis di
hadapannya menjadi sesuatu yang cukup mencolok. Itulah pertama kali aku melihat
Jungkook tersenyum. Senyum itu begitu indah, meskipun senyum itu bukan untukku.
Saat aku sedang terkesima dengan senyumannya, Jungkook menoleh ke arahku. Aku
tertangkap basah sedang memandanginya, aku harap dia tidak tau bahwa aku
terkesima dengannya. Jungkook tersenyum padaku, dan rasanya jantungku berhenti
berderak selama sedetik, kemudian berdetak cepat. Setelah itu aku Jungkook
tidak pernah kembali ke cafe tersebut dengan wanita itu. Ia berangkat seorang
diri.
Bagiku Jungkook adalah pria yang
punya senyuman paling cerah di dunia. Sialnya hingga saat ini aku masih
berpendapat demikian.
*
Aku sudah menyelesaikan sesi
konselingku. Di jalan pulang aku berpapasan dengan sepasang kekasih berseragam.
Mereka bergandengan tangan dan terlihat malu-malu. Aku tersenyum dan teringat
dengan impianku. Dan aku juga teringat dengan Jungkook.
Kira-kira dua bulan lalu Jungkook
menemuiku dan membawa dua pasang seragam sekolah.
“Aku rasa ini sesuai dengan ukuranmu, ini seragam sekolah terimut yang
aku temukan. Pakailah”
Aku yang kebingungan dengan
tingkahnya. “untuk apa?” tanyaku.
“Besok kan ulang tahunmu Chansol! Kau selalu bilang kau menyesal karena
tidak kecan ketika masih SMA. Jadi hari ini aku akan menjadikanmu anak SMA, dan
kau akan kencan denganku.” Aku harap waktu itu aku dapat menahan pipiku
yang memerah. Jantungku berdetak keras dan cepat, sampai-sampai aku takut
Jungkook mendengarnya.
“Hari ini aku akan melakukan apapun yang diinginkan Chansol.”
Jungkook menepati perkataannya.
Hari itu aku memintanya untuk pergi dan jangan menemuiku lagi.
Aku berhenti di salah satu cafe
dan memesan secangkir teh. Aku duduk dan mengeluarkan buku harianku. Dokterku
menyarankan untuk menulis buku harian untuk membantu menangani OCD-ku. Aku
mulai membuka lembar-demi lembar dan mencari lembar yang masih kosong. Rasanya
setiap lembar buku itu tertulis nama pria kesayanganku, Jungkook. Aku
mengeluarkan pulpennku dan mulai memikirkan apa yang ingin kutulis. Ah, rasanya
aku sangat ingin bertemu dan berbicara dengan Jungkook. Apakah Jungkook sudah
melupakanku? Padahal aku sama sekali tidak ingin melupakannya walau aku dadaku
nyeri setiap kali aku mengingatnya.
“Jungkook...” tanganku menuliskan nama itu begitu saja.
“bagaimana ini? hari inipun aku masih memikirkan dan merindukanmu. Aku
benci sekali denganmu, mengapa aku harus mencintaimu. Mengapa kau harus
mencintaiku? Aku sangat bahagia karena ternyata kau juga mencintaiku, sangkin
bahagianya rasanya aku ingin menciummu waktu itu.
Astaga.. maafkan aku yang sangat egois. Maafkan aku, waktu itu aku
dengan bahagianya menerima ajakan kencanmu. Maafkan aku hari itu dengan
serakahnya tidak ingin melepaskan tanganmu walau sedetikpun. Maafkan aku hari
itu dengan egoisnya aku tertawa dan menikmati kencan seragam kita. Maafkan aku
karena tersadar bahwa aku egois ketika matahari terbenam. Maafkan aku karena
tiba-tiba mengusirmu. Maafkan aku..
Jungkook, kuharapkan kau mendapatkan hidup yang bahagia. Kuharap kau
mendapatkan wanita yang lebih baik dibandingkan aku. Meskipun aku ingin sekali
menjadi wanita itu. Rasanya setiap hari aku ingin berangkat ke Seoul dan
menemuimu. Tapi kau harus mendapatkan wanita yang pantas untukmu. Kau pria
baik, kau tidak seharusnya mendapatkan wanita sepertiku.
Orang-orang akan menganggapku tidak waras, dan kau akan dianggap bodoh
karena mau bersama wanita sepertiku. Aku ini perempuan aneh Jungkook, aku
bahkan mengecek sampai tiga kali isi tasku saat berpindah tempat sangkin
takutnya aku jika ada barang yang tertinggal. Aku bisa menangis kebingungan
saat sedang mengerjakan pekerjaanku. Aku sangat takut jika hasil kerjaku tidak
sempurna, itu sebabnya aku berhenti dari perusahaan waktu itu. Maafkan aku yang
tidak bisa memberitahumu tentang kondisiku.
Kuharap aku dapat mengatakan padamu betapa aku sangat mencintaimu.
Jungkook, aku harap kau selalu bahagia sehingga senyumanmu dapat selalu mekar.
Semoga suatu saat aku bisa melihat senyumanmu lagi, meski dari jauh sekalipun.”
Tanpa sadar air mataku jatuh dan
membasahi buku harianku. Cepat-cepat aku menyeka air mataku agar tidak terlihat
mencolok diantara pengunjung lain. Aku menutup buku harianku. Kutarik nafas
panjang hingga dadaku terasa nyeri kemudian menghembuskannya. Sudah satu bulan
lebih aku menjadi pengangguran, tidak seharusnya aku menghabiskan waktuku
dengan menjadi anak cengeng begini.
Di saat Jungkook mulai sukses
sebagai seorang musisi di Seoul aku diterima di sebuah perusahaan rekaman di
Seoul. Karir Jungkook semakin sukses sedangkan keadaanku makin lama semakin
menyedihkan. Karena OCD-ku sempat bertambah parah aku memutuskan untuk berhenti
dari pekerjaanku di Seoul. Setelah menjadi pengangguran di Seoul aku merasa
tidak punya alasan untuk tetap tinggal di sana. Ditambah lagi Jungkook yang
tiba-tiba menyatakan perasaannya. Rasanya aku harus segera menyingkir dari
sana. Jungkook tidak seharusnya punya kekasih yang statusnya pengangguran. Sejujurnya,
untuk menjauhi Jungkooklah maka kembali ke di Busan.
Matahari masih bersinar cerah,
berbanding terbalik dengan suasana hatiku. Aku harus segera bangkit dan mulai
mencari pekerjaan. Aku tidak boleh salamanya menjadi pengangguran.
Aku melihat sebuah tulisan di
dekat kasir. Tertulis jika Cafe ini sedang membutuhkan penyanyi. Aku segera
menghampiri kasir untuk bertanya apakah lowongan itu masih tersedia.
*
Aku kembali ke Cafe yang
kukunjungi tadi siang. Aku segera mengunjungi menemui salah seorang pelayan di
sana.
“Apakah buku saya ditemukan?”
tanyaku tanpa dengan penuh harap.
“maaf” wajah pelayan tersebut
tampak khawatir untuk melanjutkan perkataanya. Mungkin karena ekspresiku yang
sangat berharap. “tapi kami tidak menemukan buku catatan anda.”
Begitu aku mendatangi kasir tadi
siang aku meninggalkan barang-barangku begitu saja karena sangkin semangatnya
aku dengan tawaran pekerjaan tersebut. Begitu kembali ke mejaku, aku tidak
menemukan buku catatanku di manapun. Aku bahkan sudah menggeledah seluruh
tempat duduk pengunjung dan tidak menemukannya. Anehnya yang hilang hanya buku
harianku saja dan tidak ada barang berharga lainnya yang hilang. Jika ini
adalah sebuah pencurian bagaimana aku akan melapor kepada polisi?
“oh, begitu... maaf sudah
merepotkan anda karena keteledoran saya” aku membungkuk dalam karena merasa
bersalah.
“tidak masalah, saya juga minta
maaf karena tidak mengawasi pengunjung dengan benar.”
“Ah iya, bagaimana dengan rekaman
CCTVnya?”
“Ah, maaf..” lagi-lagi ia
terlihat tidak enak. “tadi sore saya sudah menemui karyawan lain yang biasanya
mengecek CCTV, ternyata CCTV kami mengalami kerusakan, sehingga rekman hari ini
tidak tersimpan”
Aku tidak dapat menyembunyikan
kekecewaaanku. Tetapi mengingat usaha yang sudah dilakukan akibat
keteledoranku, aku merasa bersalah jika menunjukkan kekecewaanku padanya.
“ah, terimakasih banyak sudah
membantu saya. Maafkan saya yang teledor ini malah membuat anda kerepotan.”
“ah tidak, saya minta maaf karena
tidak bisa langsung mengecek CCTV tadi siang. Saya tidak paham cara kerja
komputer CCTV sehingga saya harus minta teman yang shift sore untuk
mengeceknya.”
“Ah, tidak apa-apa. Terimakasih
banyak!” aku membungkuk dalam sekali lagi.
“Apakah nona Cha sudah siap untuk
tampil perdana malam ini?” tanya pelayan itu dengan ramah.
“Ah iya, tentu saja” jawabku
bersemangat, meskipun sebenarnya aku lumayan panik dengan buku harianku.
Bagaimana jika buku harian tersebut dibaca orang lain? Itukan privasiku. Aku
mencoba fokus pada pekerjaanku, bagaimapun aku harus mendapatkan pekerjaan ini.
Aku tidak bisa selamanya menajdi pengangguran.
Aku mengeluarkan gitarku dan
menyambungkannya dengan amplifie di
belakangku. Meskipun penghasilan dengan cara menyanyi seperti ini kecil,
setidaknya pekerjaan ini membuatku nyaman. Aku hanya harus mencari caffe-caffe
lainnya dan mencoba melamar ke sana. Aku memulai pekerjaan baruku dengan
menyanyikan ‘Ending Scene’.
’Jadaero jal meogeo da
jinaganikka
(Pastikan kau makan dengan baik,
karena semuanya akan berlalu)
Yajeoncheoreom jamdo jal jage
doel geoya
(Kau akan dapat tertidur seperti
yang biasanya)
Jinsimeuro bilge
(Aku benar-benar serius)
Neoneun deo haengbokhal jagyeogi
isseo’
(Kau pantas menjadi lebih
bahagia)
Jantungku melewatkan satu detakannya. Jantungku berdebar hingga
suaraku bergetar. Aku hampir tidak mampu melanjutkan laguku. Seorang pria
melintas dari pintu masuk dan duduk di pojok. Rasanya seperti bertemu saat kami
bertemu pertama kali. Hanya saja kali ini ia datang sendiri.
Aku menatap Jungkook dan ia menatapku kemudian tersenyum. Senyum itu
sama seperti pertama kali aku melihatnya. Seketika rasanya hatiku menjadi
hangat seperti disinari matahari musim semi. Aku merasa bersalah karena terlalu
bahagia ia ada di hadapanku. Aku berkali-kali meliriknya, mematikan apakah aku
berhalusinasi.
Kita bertemu seperti mimpi yang aku impi-impikan, bolehkan aku berharap
lebih? Bukankah itu terlalu egois?
*
Aku mengemasi gitarku setelah
menyanyikan lagu terakhir. Jungkook masih duduk di sana. Aku segera mengemasi
gitarku. Aku merasakan ada seseorang yang mendekat. Wangi ini, pasti Jungkook.
Aku menarik nafas dalam dan menyiapkan diriku untuk menatap Jungkook.
‘Jangan terlihat terlalu bersemangat Chansol. Kau harus terlihat biasa’
“Chansol..”
Astaga.. suara itu. Aku rindu
sekali dengan suara itu.
“iya, Hai” aku berbalik. Berusaha
bersikap biasa walaupun aku sangat gugup dan tidak dapat menutupinya.
“Bagaimana..”
“Bagaimana aku bisa ada di sini?”
Jungkook langsung mengetahui isi pikiranku. “itu kan yang ingin kau tanyakan?”
Aku hanya mengangguk lemah.
“Chansol” nada bicaranya
terdengar serius dan tegas. “berhentilah lari dariku”
Tubuhku terasa lemah mendengar
kalimat itu. Lagi-lagi pria ini membuatku lemah, membuatku ingin jatuh ke
pelukannya dan tidak akan kulepas.
Untungnya akal sehatku segera
kembali, aku membuka mulutku setelah menemukan sebuah ide untuk menepis
perkataannya. Tetapi aku kalah cepat dengan Jungkook
“Aku sudah tau mengapa kau
pergi.”
Sekali lagi jantungku berhenti
berdetak sesaat. Apa sebenarnya yang ingin dikatakan pria ini?
“Jika kau ingin menyembunyikan
sesuatu harusnya kau bertindak lebih cerdas.” Nada bicaranya terdengar
seakan-akan meledekku.
“Aku pernah menemukan resep di
dekat tempat sampah, di apartemen lamamu.”
Astaga kapan pria ini menemukan
resep dokterku? Apakah dia curiga padaku. Aku hanya menunggu kata-kata
selanjutnya.
“Awalnya aku heran kenapa di sana
ada obat penenang yang biasa digunakan Suga, tetapi karena tidak inginmembuatmu
merasa tidak nyaman aku tidak menanyakan apapun.”
“itu bukan milikku” tepisku.
“tentu saja itu milikmu. Ada
namamu tertera di sana.” Jawab Jungkook cepat.
Habislah aku.
“Kau tiba-tiba menyuruhku pergi,
padahal aku kira kau bahagia bersamaku. Kau terlihat sangat bahagia saat kencan
menggunakan seragam denganku. Karena itu aku..”
“Nona Cha!” panggil pelayan yang
tadi membantuku. Aku selamat...
“Ah, iya.”
“Penampilan ada sangat memuaskan,
menejer kami ingin menemui anda.”
“Ah baiklah, dimana menejer
anda?” tanyaku cepat.
“Anda dapat menyelesaikan
pembicaraan anda dulu..”
“Ah tidak” ujarku cepat. “kami
sudah selesai kok”
Pelayan tadi terlihat sedikit
tidak enak kepada Jungkook. Aku bisa melihat ekspresi kecewa bercampur jengkel
di wajah Jungkook.
“kalau begitu mari ikut saya nona
Cha”
Aku mengangguk dan segera
mengikuti pelayan itu.
“Terimakasih atas bantuan anda
nona Kim!” ujar Jungkook kepada pelayan di depanku.
Apa maksudnya ini?
*
Aku mendapatkan pekerjaan baruku.
Menejer Cafe itu memintaku untuk datang setiap hari Jumat, Sabtu dan minggu dan
aku langsung menyanggupinya. Aku terbebas dari predikat pengangguran.
Terkejut melihat Jungkook masih
duduk di kursinya tadi. Aku ingin segera lari namun aku telah tertangkap basah
oleh Jungkook. Jungkook berjalan cepat ke arahku dan menarik tanganku. Aku
ingin meronta tetapi genggamannya kuat sekali dan tatapan tajamnya membuahku
takut dan memilih untuk mengikutinya.
Ia menarikku keluar dan menjauhi
cafe tersebut. Selama beberapa detik aku mengikuti langkah kakinya. Tidak ada
kata yang terucap diantara kami, hanya ada keheningan yang mencekam.
Jungkook berhenti tepat di bawah
sebuah lampu di pinggir taman. Akupun ikut berhenti. Berbalik dan tidak
melepaskan genggamannya.
“Maafkan aku” gumamnya lirih
“hari ini tidak akan ku lepas”
Sekali lagi aku mendengar kalimat
itu terucap dari bibirnya yang tipis. Bibir itu terlihat pucat.
“Aku tidak akan membiarkanmu
pergi lagi.”
Jungkook, kau membuat jantungku
berhenti berdetak lagi.
“Aku ke Busan mencarimu.” Ungkap Jungkook
terang-terangan. “Kau menyuruhku untuk tidak menemuimu lagi. Aku mengirim pesan
perminta maaf, tetapi tidak ada balasan. Aku kira kau semarah itu denganku,
sehingga aku harus minta maaf langsung kepadamu. Aku ke apartemenmu, tetapi ternyata
kau sudah pindah. Aku mencoba menemuimu di kantor, ternyata kau sudah berhenti
bekerja.”
Aku merasa bersalah kepada
Jungkook karena telah membuatnya khawatir. Harusnya dia tidak perlu
mengkhawatirkan aku. Harusnya dia melanjutkan hidupnya dengan bahagia.
“Aku mengkhawatirkanmu karena kau
tiba-tiba menghilang dan saat itu aku juga teringat dengan resep obat yang pernah
kutemukan. Sebenarnya aku ingin segara mencarimu ke Busan, tetapi aku takut kau
akan semakin marah padaku jika aku mengejar-ngejarmu. Tetapi aku sudah tidak
tahan lagi. Hari ini aku berangkat ke Busan untuk mencarimu.”
Jungkook menarik nafas
dalam-dalam dan menghempaskannya. Ia tersenyum jengkel bercampur frustasi.
“Lihat apa yang kau lakukan
padaku Chansol! Hari ini aku menjadi penguntit karena dirimu. Aku sudah berada di
depan rumahmu tetapi karena takut kau akan marah padaku, aku membatalkan
niatku.”
“Kau mengikutiku?!”
“Ya! Aku mengikutimu menemui
psikeater, aku mengikutimu ke cafe tadi. Aku melihatmu menangis dan aku yang
mencuri buku harianmu.”
Jungkook mengeluarkan sesuatu
dari saku mantelnya. Ah, benar saja. Ia memiliki buku harianku.
“CCTV di cafe itu tidak rusak. Aku
yang menyuruh nona Kim untuk berbohong padamu. Aku bilang aku akan
mengembalikannya.”
Matilah aku. Aku sudah
benar-benar tidak dapat mengatakan apapun pada pria ini. Dia sudah tau
penyakitku. Aku merasa malu. Aku menunduk dalam.
“Aku sudah membaca semuanya”
‘Ya tentu saja’ gumamku dalam hati.
“Seperti yang aku katakan, kau tidak
akan kulepas.”
Aku memberanikan diri untuk menatap
wajahnya, meskipun aku takut Jungkook menyadari wajahku yang memerah. Aku perlu
memastikan apakah orang ini serius dengan ucapannya.
“Ya benar begitu, Chansol. Tatap aku
baik-baik.” Mata hitamnya menatapku dalam-dalam. “Aku sudah tau mengapa kau
tiba-tiba menyuruhku pergi.” Jungkook meraih satu tanganku lagi dan menggenggamnya
erat. “Kau berusaha begitu keras selama ini Chansol. Berhentilah, kau tidak
perlu lari lagi. Aku tidak akan pergi ke kemana pun, meski kau mengusirku
berkali-kali.”
Wajahku memanas dan tanpa sadar
air mataku menetes. Jungkook cepat-cepat menyeka air mataku dan memelukku.
“hey, kau sedang menerima pernyataan
cinta. Mengapa kau membuatku seperti seorang pria jahat yang membuat pacarnya
menangis?”
Aku tersenyum di dalam
pelukannya.
“Aku tidak akan melihatmu sebagai
orang aneh seperti yang kau takutkan. Kau adalah Chansol-ku. Aku ingin memelukmu
saat kau merasa terpuruk. Aku tidak ingin lagi membiarkanmu terpuruk seorang
diri. Sudah cukup Chansol.”
Aku merasa egois karena merasa sangat
bahagia berada di pelukannya.
“kau tidak perlu merasa bersalah
karena mencintaiku.” Bagaimana orang ini bisa tau isi kepalaku?
“Karena aku tampan, aku bisa
mendapatkan gadis yang lebih cantik dan lebih seksi darimu.”
Ah orang ini... Aku membencimu
Jungkook. Aku tertawa di dalam pelukannya.
“Tetapi aku hanya ingin Chansol.
Aku hanya ingin Chansol entah bagaimanapun kondisinya.”
Aku mencoba melepaskan
pelukannya, supaya aku bisa menatapnya.
“Tidak!” seru Jungkook seraya
memelukku lebih erat. “Aku tidak akan membiarkanmu pergi lagi.”
Aku ingin tertawa melihat
sikapnya seperti anak kecil yang tidak ingin bonekanya diambil.
“Aku ingin menatapmu..” gumamku
dalam pelukannya.
“oh..” gumamnya. Ia melonggarkan
pelukannya dan menggenggam kedua tanganku. “Silahkan tatap aku sepuasmu Chansol.
Nikmati ketampanan Jeon Jungkook.”
Aku tersenyum menahan tawa kerena
tingkahnya yang menggemaskan.
“Kau yakin ingin bersamaku? Aku
ini sulit dimengerti dan sulit dikendalikan.” Aku menarik nafas dalam. “Seperti
yang kau katakan, kau bisa mendapatka wanita lain yang lebih baik dariku. Apa suatu
saat kau tidak akan menyesal karena memilihku?”
“Tidak akan.” Jawabnya tegas. “Jangan
mengkhawatirkan masa depan Chansol, karena di sana pasti ada aku yang akan
selalu mendampingimu.”
Entah sihir apa yang digunakan pria
ini hingga aku merasa tenang mendengarkan perkataannya. Rasanya seperti
mengonsumsi obat penenang, hanya saja obat penenang tidak membuatku tersenyum
sebahagia ini.
“Besok aku akan mencarikan
seragam sekolah lagi. Ayo kita kencan besok! Ah, rasanya besok terasa lama. Bagaimana
jika sekarang? Ayo cari seragam! Kita ulangi kencan yang waktu itu dan jangan
berani menolakku lagi!”
Aku kembali tersenyum menahan
tawa.
“Mana bisa aku kencan dengan wajah
bengkak begini.” Aku cemberut seolah-olah menyalahkan Jungkook karena telah
membuatku menangis. “tetapi besok memang terasa lama..” gumamku malu-malu.
“Sudah ditentukan!” ujar Jungkook
penuh semangat. “Kita akan kencan saat ini. Ayo kita cari tempat penyewaan kostum,
aku rasa masih ada yang buka.”
“jangan lepaskan aku..”entah
bagaimana kalimat itu terucap begitu saja.
“Tidak akan” Jungkook menggenggam
tanganku erat.
Aku tidak tau mana yang lebih
hangat. Perasaanku yang seperti musim semi atau tangan besar yang menggenggam
tanganku. Dan benar, hari itu dia tidak melepaskan genggamannya.
Kencan seragam terinspirasi dari Webtoon berjudul Between Us. Imut sekali ya kencan dengan seragam? :)