Bagaimana bisa
pria di sampingku tidur dengan begitu damainya? Tidakkah dia harusnya merasa
bimbang sama sepertiku? Kubelai rambutnya selembut mungkin, takut jika pria ini
terbangun. Aku bisa saja membenci pria ini, tetapi sedikitpun aku tak ingin
menyakitinya.
Jemariku mulai
beranjak dari rambut menuju hidung mancungnya, kemudian turun dan hinggap di
bibirnya yang mungil. Tuluskah setiap kata cinta yang terucap dari bibirnya? Apakah
saat ia menciumku kami memiliki perasaan yang sama?
Jeon Jungkook
bergeming kemudian membuka matanya dengan susah payah
“kau belum
tidur?” pria itu langsung mengangkat tangan kirinya. Mengajakku masuk ke dalam
pelukannya.
Aku hanya
menggeleng sambil menatap lembut wajahnya. Dalam keadaan seperti ini pun aku
masih dibuat terpesona olehnya. Aku menuruti perintahnya, membenamkan tubuhku dalam
pelukannya yang besar.
Hatiku nyeri. Aku
tak tau pasti sejak kapan pelukan ini terasa hampa. Hangat, tetapi tidak
menghangatkan hatiku. Kokoh, tetapi membimbangkan hatiku.
Aku membenamkan
wajahku ke dadanya yang bidang. Mencoba mencari tau apakah jika aku mencoba
lebih erat memeluknya, aku akan menekukan rasa hangat yang dulu? Jungkook yang
belum sepenuhnya terlelap membalas pelukan eratku.
Hatiku semakin
sakit karena tidak menemukan kehangatan yang dulu kurasakan. Tidak ada yang berbeda.
Hanya ada kehampaan dan kebimbangan yang terasa di dalam pelukannya. Aku mengendorkan
pelukanku dan menatap wajahnya. Aku belum menyerah. Aku mencoba mencium
bibirnya yang sedikit terbuka. Tetapi hasilnya tetap sama.
“Ada apa?”
tanya pemilik bibir itu lembut, tetapi terasa ada kebingungan di dalamnya.
Aku hanya
tersenyum, kemudian menggeleng. Aku kembali menenggelamkan diri dalam pelukannya.
Ia kembali memelukku erat. Rasanya aku tidak ingin menyerah. Tetapi bukankah
aku terlalu egois jika terus bertingkah kekanakan seperti ini?
Wajahku memanas
dan dadaku terasa sesak. Tidak, aku tidak boleh menangis. Jungkook tidak boleh
melihatku menangis. Mungkin sebentar lagi. Biarkan aku menunggu sebentar lagi. Mungkin
kehangatan yang menangkan itu akan datang kembali, nanti.
*
Aku tidak tau
sudah berapa lama aku terjaga. Pria yang tadi memelukku sudah membelakangiku
dan sudah tertidur lelap. Rasa yang kutunggu tak kunjung muncul. Apa ini sudah
menjadi akhir dari kita? Jadi kita berakhir seperti ini? Aku tidak siap, aku
bahkan tidak pernah membayangkan memiliki akhir jika bersamamu.
Aku ingin
terus berusaha untuk tetap bersamamu, Jungkook.
Aku bangkit dari
tidurku dan duduk di pinggiran kasur. Rasanya berat untuk beranjak dari ranjang
ini. Pria yang paling aku cintai terbaring di sana, dia bisa saja memelukku
malam ini dan malam-malam selanjutnya. Aku bisa saja terus menerus menjadi
orang bodoh yang menyedihkan agar bisa bersamamu. Tetapi bukankah kaupun juga
harus bahagia?
Dengan berat aku
beranjak dan berjalan ke arah meja kerjanya. Kutatap kursi di belakang meja itu. Dulu ia sering memangkuku di dana. Dia tidak
pernah marah saat aku mengganggunya bekerja. Kami bahkan tertawa lepas. Aku bebas
mencuri ciumannya saat ia tertawa dan sebaliknya. Bukankah saat itu kita sangat
bahagia? Apa tidak bisa kita terus menerus seperti itu? Apa tidak bisa jika aku
saja yang membuatmu bahagia?
Aku mengambil
pena kemudian menduduki kursi di belakang meja. Kubuka laci di bawah meja itu
dan mengambil selembar kertas. Kertas itu sudah ada di atas meja sekarang dan
aku mulai berfikir, apa yang pertama-tama harus aku tuliskan. Aku kembali menatap
pria yang tertidur lelap itu. Setelah ini aku pasti akan merindukannya setengah
mati.
Aku menarik
nafas panjang hingga dadaku terasa sesak, kemudian menghempaskannya.
“Kau tidur begitu damai, aku tidak tega
membangunkanmu.
Maafkan aku karena pergi dengan cara seperti
ini. Aku percaya jika dulu kau benar-benar mencintaiku. Aku juga mencintaimu. Sangat
mencintaimu. Hanya saja, aku tidak bisa terus berpura-pura bahwa kau mencintaiku
hingga saat ini. Aku bisa saja terus menerus menjadi si bodoh yang menyedihkan agar
terus bersamamu. Tetapi bukankah kita berdua pantas untuk menjadi lebih
bahagia? Meskipun aku tidak tau apa lagi yang membuatku bahagia selain dirimu.
Kerjarlah Kim Sohe, aku tau kau
mencintainya. Hiduplah dengan bahagia bersamanya. Jangan pernah mencariku lagi
karena itu hanya akan membuatku semakin terlihat menyedihkan. Kau harus hidup
bahagia, dengan atau tanpa diriku.
Aku memang kecewa dan marah. Aku benci
karena pada akhirnya bukan aku yang membahagiakanmu. Aku benci karena pada
akhirnya kita harus berakhir.
Jangan merasa bersalah, kumohon. Jaga
kesehatanmu. Kau harus hidup dengan baik dan bahagia.
Selamat tinggal.
Aku ingin mengungkapkan
betapa aku mencintaimu. Seandainya jika itu dapat membuat hatimu kembali
kepadaku. Tetapi sekarang apa gunanya? Itu hanya akan membuatmu semakin merasa
bersalah.
Air mataku
jatuh tak tertahan. Hatiku terasa sesak, tetapi ada sedikit perasaan lega. Lega
karena telah melepaskanmu. Lega kerena mampu melakukan sesuatu untuk
kebahagiaanmu. Aku berjalan perlahan ke
arah Jungkook. Kutatapi wajahnya sekali lagi. Tanpa sadar tanganku meraih dan
mengelus pipinya.
‘Aku mencintaimu’ bisikku dalam hati.
*
Belakangan Busan
terasa lebih dingin dari hari-hari sebelumnya. Musim gugur akan segera tiba. Aku
melirik jam tanganku. Aku harus segera menuju stasiun jika tidak ingin
ketinggalan kereta selanjutnya.
Di sepanjang
jalan daun-daun mulai berguguran. Mereka jatuh dengan indah hingga orang-orang
lupa bagaimana setiap yang jatuh itu sakit. Walau itu jatuh cinta sekalipun.
Aku merapatkan jaketku kemudian memasukkan kedua tanganku ke saku.
Aku berhenti melangkah.
Tatapanku tertuju pada seseorang di seberang jalan. Senyuman itu, sudah pasti
itu dia. Bahkan setelah sekian lama, aku masih terpesona dengan senyumnya. Hatiku
terasa hangat setiap kali melihatnya. Senyumnya kontras sekali dengan suasana
Busan hari ini. Aku ikut tersenyum, meskipun senyum itu ditujukan untuk wanita
mungil yang berdiri di sebelahnya.
Pria itu meraih
tangan wanita di sampingnya dan menggenggamnya erat. Wanita itu tersenyum. Mereka
terlihat bahagia.
Sadar dengan
keberadaanku, Jungkook menatapku kaget. Tetapi kemudian ia tersenyum. Senyum itu
begitu cerah. Lewat senyum itu aku tau bahwa ia telah hidup dengan bahagia. Dia
sudah melakukannya dengan benar. Aku menghembuskan nafas lega kemudian tersenyum
kepadanya.
Aku kembali
melangkahkan kakiku, melanjutkan perjalananku yang sempat terhenti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar