By: Malika Tazkia Byrne
Lima laki – laki kecil yang pemberani itu menyusuri hutan. Begitu asiknya mereka berjalan, sampai mereka tidak menyadari ada sepasang mata yang mengikuti perjalanan mereka. Sepasang mata itu milik sesosok makhluk yang bertengger diatas pohon. Sepasang mata yang selalu mengawasi gerak– gerik mereka.
Kian menggerakkan tungkainya dengan pasti. Ia berjalan paling depan mendahului empat kawannya. Perasaan aneh menghantuinya. Perasaan yang belum ia rasakan selama menghadapi pertempuran besar ini. perasaan yang sangat aneh. Bukan perasaan takut, sedih, ataupun bahagia. Namun tergaris kuat pada benaknya.
Langkah kakinya kemudian melambat. Ia berbalik badan dan menatap empat sosok didepannya dengan alis terangkat.
“Apa kalian merasakan sesuatu?”tanyanya.
“Ya.”Jawab Mark cepat.
Kian menatap sepupunya dengan kedua iris azure yang melebar.
“Aku…” Mark menatap Kian tajam. “Ngantuk.”
Hening.
“Bukan itu maksudku, Fatso!!” ujar Kian.“Aku sempat kaget. Kupikir kau merasakan perasaan yang sama denganku.”
Secercah sinar putih dari ranting sebuah pohon mengambil alih fokus lima anak itu. Sinar itu aneh, terlihat kecil namun memiliki kekuatan menarik tatapan mereka. Bagaikan batu magnesian yang menarik benda logam. Kemudian sinar itu meredup, namun tetap berpendar indah. Bersamaan dengan redupnya sinar itu, suara isak tangis yang terdengar tipis menjelajah masuk kedalam tiap telinga mereka. Mereka menangkap sesosok tubuh kecil tengah berdiri di salah satu ranting pohon. Sosok itu terlihat familiar.
“Aku tahu kalian pasti sudah melupakanku.” Bulir-bulir airmata tak hentinya menghujani wajah yang sangat kecil itu. “Tapi aku tidak bisa berhenti menangis jika mengingat apa yang terjadi pada kerajaan Eoghan…”
Lima anak itu berusaha mengenali sosok itu.
“Menyedihkan…” ucap sosok itu lagi.
Ia tampak berpendar, indah, dan kecil. Seperti sesosok peri.
Peri?
“Kau…” Nicky memicingkan matanya, memastikan. “Prinzigle?”
“Hah?! P…” Mark melebarkan iris kembarnya. “Peri di sampul buku itu? Kenapa kau bisa keluar dari sana? Bukankah kau penjaga buku itu?”
“Ya, aku tidak bisa keluar dari sana.” Ucap Prinzigle. “Jika buku Mhantroufhucio tidak habis terbakar.”
Kata-kata itu membuat lima anak itu terdiam dengan wajah pucat.
“Terbakar?” gumam Brian.
“Pangeran Kian, kerajaanmu telah dihancurkan seorang wanita jahat. Kemudian Mhantroufhucio habis terbakar. Aku baru sekali mengalami hal semengerikan itu.” Prinzigle mengepakkan sayapnya dan terbang turun dari ranting pohon. Ia berhenti didepan wajah Kian. “Tapi, Gryft Amaziqueto bukan penulis ataupun penyihir biasa. Dan aku juga bukan peri penjaga biasa. Jika buku itu lenyap, aku akan bebas. Bukan hanya itu. Walau buku itu lenyap, aku hafal semua isi buku itu.”
“Kau bilang kerajaan Eoghan hancur?!”Kian tidak bisa menahan rasa yang menohok dadanya. Iris kebiruan itu menampakkan ketakutan dan kebencian yang luar biasa. “Bagaimana dengan adikku? Mariellendly… Nanny Mary? Dan yang lainnya…”
“Adikmu baik-baik saja. Ia hanya ketakutan. Banyak yang terluka. Beberapa tewas.” Jawab Prinzigle jujur. “Aku bisa ada disini karena aku hafal semua isi Mhantroufhucio dan menerapkan segala sihir yang kubisa. Aku akan membantu kalian.”
Prinzigle menatap Kian lekat-lekat.
“Memoretinentia.”Ucapnya sambil mengangkat jemarinya mendekati kepala Kian. Kian melihat ada cahaya kebiruan yang memancar dari jemari mungil itu Prinzigle kemudian melebarkan matanya, terlihat terkejut.
“Aku membaca pikiranmu.” Prinzigle bergerak menjauh dari Kian. “Aku sudah tahu semua yang terjadi. Menyedihkan…”
Kian mengepalkan tinjunya. Sungguh ia tidak pernah merasa semuak itu. Kerajaan Eoghan tempatnya bertahta, tempat kelahirannya, tempat ia menghabiskan detik demi detik waktunya. Dengan mudah tangan jahat mengotori keindahan tempat itu. Sorot matanya menajam. Ia tidak rela ada yang menyakiti adiknya, teman-temannya, rakyat-rakyatnya…
“Kita hancurkan mereka…” Desis Kian.
“Hmmm…ternyata benar apa yang dikatakan tuan Gryft.” Prinzigle tersenyum. “Ia berkata suatu saat nanti, akan ada lima anak pemberani yang membuatku merinding. Tiga pangeran, dua orang biasa. Aku yakin itu adalah kalian.”
Lagi-lagi Prinzigle melirik Kian dari sudut matanya.
“Dan ada salah satu pangeran dari mereka yang memimpin pasukan.”
Kian balas menatap peri kecil itu. Pangeran yang memimpin pasukan? Apakah kata-kata itu ditujukan padanya?
“Protectoscutum.”Ucap Prinzigle pelan.
Tiba-tiba saja cahaya warna-warni berdatangan dari segala penjuru. Iris kembar mereka melebar menyaksikan partikel-partikel warna yang menari-nari, berputar, saling menyapa satu sama lain, kemudian bersatu dalam pusaran yang terpecah menjadi pecahan cahaya yang mengelilingi lima sosok itu.
“A, apa ini Prinzigle?” tanya Shane takjub. “Cahaya yang sungguh indah.”
“Itu adalah kepingan perasaan dari setiap orang yang mencintai kalian. Hidup ataupun mati. Aku memanggil perasaan cinta itu untuk melindungi kalian. Mantra tadi adalah tameng. Dengan ini kalian tidak perlu takut.”
Prinzigle terbang agak lebih tinggi, jemarinya mengarah kepada lima sosok didepannya. Ia tersenyum lembut, penuh dengan kepercayaan.
“Ini yang terakhir.” Ucapnya. “Sclopetauirtute.”
Bersamaan dengan senyum Prinzigle yang melebar, lima cahaya turun kehadapan lima sosok itu. Nicky menatap sebuah bola perak yang muncul secara ajaib kehadapannya. Disentuhnya bola itu, kemudian bola itu berubah bentuk menjadi sebuah panah kokoh keperakan yang sangat indah. Di salah satu sisi panah itu terukir nama ‘Nicholas Bernardough Byrne’. Kedua iris Azurenya menatap takjub, senyumnya merekah.
Sepertinya hal yang sama terjadi pada empat kawannya.
Mark menggenggam erat sebuah tombak perak bertahtakan permata kebiruan pada sisi atasnya, Brian menatap lurus kearah Flail yang dilapisi perak dengan duri yang mencuat tajam berwarna kemerahan yang memancarkan cahaya terang, Shane mengambil kapak tajam bergagang panjang yang penuh dengan ukiran indah yang ujungnya mengkilap, menunjukkan cahaya berpendar pada setiap partikelnya.
Kian perlahan menggerakkan jemarinya, meraih sebuah pedang perak besar yang sangat indah. Benda itu seakan seperti déjà vu yang pernah dilihatnya. Ia sentuh pegangannya, dan mendadak ia merasakan perasaan familiar, menjalar hingga ke nadi dan jantungnya, mengalir pada tiap tetes darah yang mengalir didalam tubuhnya. Ia bentuk sebuah senyum penuh keberanian seraya menatap salah satu sisi pedang itu.
‘Kianleaghly Eoghan’
Nama itu terukir indah disana. Seakan menghantarkan kepercayaan lewat cahaya yang terpantul pada ukiran nama itu. Ia masih tersenyum, kedua iris azure miliknya menatap yakin, ia gerakkan kepalanya, menatap orang-orang disekelilingnya. Kemudian ia arahkan sorot mata indah kebiruan itu pada sinar kecil berpendar diatasnya.
Prinzigle tersenyum.
“Pergilah…senjata itu muncul dari dalam hati kalian, dari aliran darah kalian, dari setiap detak jantung kalian, hati kalian. Kalian yang menciptakannya dari niat suci didalam tiap batin kalian. Kalian memilikinya.” Katanya lembut. “Pergilah, selamatkan semuanya.”
Kian mengangguk, kemudian menatap empat kawannya.
“Ayo, guys.” Senyumnya terukir jelas pada wajah rupawannya.
***
Cattleya bersandar pada sebuah pohon besar yang sebagian dahannya telah hangus. Nafasnya tersengal, ia gerakkan sayapnya menyentuh luka-luka yang muncul akibat pertempuran ini. Ia meyakinkan dirinya bahwa ia adalah Fengarimulofia yang kuat. Ia bisa menghancurkan kejahatan yang menimpa keluarganya.
Namun rasa letih tak bisa dibendungnya lagi. Ia melirik sosok-sosok yang bisa disebutnya adik. Para pangeran kerajaan Eoghan yang gagah berani. Tatapan mereka belum meredup, mereka berdiri kokoh, menggenggam pedang dan perisai mereka dengan erat. Mereka tidak menyerah. Tidak akan pernah menyerah. Bukan hanya mereka. Tapi seluruh pasukan mereka yang hadir disana.
Para Sungeopelia masih menampakkan sayap-sayap mereka yang dimahkotai api. Sorot kejahatan tercermin begitu jelas pada iris mereka yang tajam. Seekor Sungeopelia menukik kearah Cattleya dengan yakin. Ia mendarat dengan suara berisik yang ditimbulkan cakarnya. Ia menatap Cattleya dengan paruh yang mengatup.
“Gadis malang.” Ucapnya. “Kau ditinggalkan ibumu, kemudian akan mati mengenaskan disini. padahal kau sangat cantik dan berpotensi. Itu yang dikatakan suamiku, Finnick Odair.”
“Diam kau.” Cattleya menatapnya dingin. “Kau yang akan mati.”
“Hahahahahahaha!” Elize tertawa dengan paruhnya yang seakan menusuk langit, matanya penuh kobaran api memuakkan, ia tampak seperti wanita gila, walaupun didalam sosok Sungeopelianya. Ia mengangkat sayapnya, menuding Cattleya.
“Kau bisa apa, sayang?” seringainya. “Coba katakan padaku apa yang bisa dilakukan gadis malang yang tinggal sendiri didalam Ztomfist Forest karena diasingkan ibunya sendiri?! Katakan padaku apa yang bisa kau lakukan dengan hati yang masih dipenuhi luka itu? Hatimu terluka kan sayang? Terluka dan tidak bisa mengering lagi…”
“DIAM!!” Cattleya menerjang tubuh Elize dengan sorot mata yang menajam. Ia gerakkan cakarnya yang kuat dan ia benamkan pada wajah Elize. Jeritan penuh rasa sakit terlontar dari paruh Elize. Bahkan ia tidak bisa mengendalikan api yang bisa membakar dalam sekejap. “Kau tahu apa hah?! Kau tidak tahu apa-apa. Jadi tutup mulutmu!!”
Elize mengepakkan sayapnya membabi buta. Cattleya tidak melepaskannya. Senyum simpul terlukis pada wajah cantiknya.
“Aku bisa menghancurkanmu. Jangan remehkan aku.” Katanya lagi. “Kau sudah melukai hati ibu dan adik-adikku. Dan walaupun aku tidak bisa menghancurkan suamimu…aku tahu ia akan datang.”
Cattleya mencabik wajah Elize.
“Adikku.” Ucapnya. “Aku tahu Kian akan datang.”
***
Kelopak mata Ratu Patricia perlahan terbuka.
Pemandangan istana kerajaan Feehilian terlihat tidak familiar dimatanya. Namun ia menatap lembut pada tiap-tiap tembok kamar tempatnya tertidur. Barusan ia bermimpi. Mimpi yang tidak menyisakan rasa sesak. Mimpi yang mengukir sebuah senyuman diwajahnya. Mimpi yang tidak membuatnya terbangun dengan dipenuhi keringat.
Mimpi indah.
Ia memindahkan posisinya yang barusan terbaring dan duduk dengan perlahan. Senyum tak lepas darinya. Ia memejamkan matanya, merasakan dalam-dalam setiap makna dalam bunga tidurnya.
“My Son…” bisiknya. “Kian…”
Bisikan itu seakan diantarkan angin kepada Kian. Saat itu lima anak pemberani telah sampai pada ujung lubang kematian. Mereka menatap Ztomfist Forest yang porak-poranda, terlihat mengerikan pada setiap sudutnya. Mark tidak membiarkan tubuhnya gemetar lagi. ia kerahkan seluruh keberanian dari dalam hatinya. Lalu perlahan diraihnya jemari sepupunya, dan digenggamnya.
“Kita bisa melakukannya.” Bisiknya, hampir tertelan suara yang ditimbulkan pertempuran. “Aku percaya padamu, aku percaya pada semuanya.”
Kian tersenyum menatap sepupunya. Kemudian iris kembarnya menatap Nicky, Brian, dan yang terakhir, tatapannya terpaku pada Shane.
Shane tersenyum menyambut sorot matanya.
Kian berlari menerobos semak-semak, mengelilingi beberapa pohon yang tumbang. Diikuti keempat kawannya yang berlari kencang menuju beberapa para Sungeopelia yang menyadari kehadiran mereka.
“MAJU!!!”
Seruan lantang itu, seakan membelah langit, menggema dan menyusup halus pada tiap-tiap hati suci yang berpijak disana.
Mereka berani.
Itulah yang mereka pegang.
***
TBC
Lima laki – laki kecil yang pemberani itu menyusuri hutan. Begitu asiknya mereka berjalan, sampai mereka tidak menyadari ada sepasang mata yang mengikuti perjalanan mereka. Sepasang mata itu milik sesosok makhluk yang bertengger diatas pohon. Sepasang mata yang selalu mengawasi gerak– gerik mereka.
Kian menggerakkan tungkainya dengan pasti. Ia berjalan paling depan mendahului empat kawannya. Perasaan aneh menghantuinya. Perasaan yang belum ia rasakan selama menghadapi pertempuran besar ini. perasaan yang sangat aneh. Bukan perasaan takut, sedih, ataupun bahagia. Namun tergaris kuat pada benaknya.
Langkah kakinya kemudian melambat. Ia berbalik badan dan menatap empat sosok didepannya dengan alis terangkat.
“Apa kalian merasakan sesuatu?”tanyanya.
“Ya.”Jawab Mark cepat.
Kian menatap sepupunya dengan kedua iris azure yang melebar.
“Aku…” Mark menatap Kian tajam. “Ngantuk.”
Hening.
“Bukan itu maksudku, Fatso!!” ujar Kian.“Aku sempat kaget. Kupikir kau merasakan perasaan yang sama denganku.”
Secercah sinar putih dari ranting sebuah pohon mengambil alih fokus lima anak itu. Sinar itu aneh, terlihat kecil namun memiliki kekuatan menarik tatapan mereka. Bagaikan batu magnesian yang menarik benda logam. Kemudian sinar itu meredup, namun tetap berpendar indah. Bersamaan dengan redupnya sinar itu, suara isak tangis yang terdengar tipis menjelajah masuk kedalam tiap telinga mereka. Mereka menangkap sesosok tubuh kecil tengah berdiri di salah satu ranting pohon. Sosok itu terlihat familiar.
“Aku tahu kalian pasti sudah melupakanku.” Bulir-bulir airmata tak hentinya menghujani wajah yang sangat kecil itu. “Tapi aku tidak bisa berhenti menangis jika mengingat apa yang terjadi pada kerajaan Eoghan…”
Lima anak itu berusaha mengenali sosok itu.
“Menyedihkan…” ucap sosok itu lagi.
Ia tampak berpendar, indah, dan kecil. Seperti sesosok peri.
Peri?
“Kau…” Nicky memicingkan matanya, memastikan. “Prinzigle?”
“Hah?! P…” Mark melebarkan iris kembarnya. “Peri di sampul buku itu? Kenapa kau bisa keluar dari sana? Bukankah kau penjaga buku itu?”
“Ya, aku tidak bisa keluar dari sana.” Ucap Prinzigle. “Jika buku Mhantroufhucio tidak habis terbakar.”
Kata-kata itu membuat lima anak itu terdiam dengan wajah pucat.
“Terbakar?” gumam Brian.
“Pangeran Kian, kerajaanmu telah dihancurkan seorang wanita jahat. Kemudian Mhantroufhucio habis terbakar. Aku baru sekali mengalami hal semengerikan itu.” Prinzigle mengepakkan sayapnya dan terbang turun dari ranting pohon. Ia berhenti didepan wajah Kian. “Tapi, Gryft Amaziqueto bukan penulis ataupun penyihir biasa. Dan aku juga bukan peri penjaga biasa. Jika buku itu lenyap, aku akan bebas. Bukan hanya itu. Walau buku itu lenyap, aku hafal semua isi buku itu.”
“Kau bilang kerajaan Eoghan hancur?!”Kian tidak bisa menahan rasa yang menohok dadanya. Iris kebiruan itu menampakkan ketakutan dan kebencian yang luar biasa. “Bagaimana dengan adikku? Mariellendly… Nanny Mary? Dan yang lainnya…”
“Adikmu baik-baik saja. Ia hanya ketakutan. Banyak yang terluka. Beberapa tewas.” Jawab Prinzigle jujur. “Aku bisa ada disini karena aku hafal semua isi Mhantroufhucio dan menerapkan segala sihir yang kubisa. Aku akan membantu kalian.”
Prinzigle menatap Kian lekat-lekat.
“Memoretinentia.”Ucapnya sambil mengangkat jemarinya mendekati kepala Kian. Kian melihat ada cahaya kebiruan yang memancar dari jemari mungil itu Prinzigle kemudian melebarkan matanya, terlihat terkejut.
“Aku membaca pikiranmu.” Prinzigle bergerak menjauh dari Kian. “Aku sudah tahu semua yang terjadi. Menyedihkan…”
Kian mengepalkan tinjunya. Sungguh ia tidak pernah merasa semuak itu. Kerajaan Eoghan tempatnya bertahta, tempat kelahirannya, tempat ia menghabiskan detik demi detik waktunya. Dengan mudah tangan jahat mengotori keindahan tempat itu. Sorot matanya menajam. Ia tidak rela ada yang menyakiti adiknya, teman-temannya, rakyat-rakyatnya…
“Kita hancurkan mereka…” Desis Kian.
“Hmmm…ternyata benar apa yang dikatakan tuan Gryft.” Prinzigle tersenyum. “Ia berkata suatu saat nanti, akan ada lima anak pemberani yang membuatku merinding. Tiga pangeran, dua orang biasa. Aku yakin itu adalah kalian.”
Lagi-lagi Prinzigle melirik Kian dari sudut matanya.
“Dan ada salah satu pangeran dari mereka yang memimpin pasukan.”
Kian balas menatap peri kecil itu. Pangeran yang memimpin pasukan? Apakah kata-kata itu ditujukan padanya?
“Protectoscutum.”Ucap Prinzigle pelan.
Tiba-tiba saja cahaya warna-warni berdatangan dari segala penjuru. Iris kembar mereka melebar menyaksikan partikel-partikel warna yang menari-nari, berputar, saling menyapa satu sama lain, kemudian bersatu dalam pusaran yang terpecah menjadi pecahan cahaya yang mengelilingi lima sosok itu.
“A, apa ini Prinzigle?” tanya Shane takjub. “Cahaya yang sungguh indah.”
“Itu adalah kepingan perasaan dari setiap orang yang mencintai kalian. Hidup ataupun mati. Aku memanggil perasaan cinta itu untuk melindungi kalian. Mantra tadi adalah tameng. Dengan ini kalian tidak perlu takut.”
Prinzigle terbang agak lebih tinggi, jemarinya mengarah kepada lima sosok didepannya. Ia tersenyum lembut, penuh dengan kepercayaan.
“Ini yang terakhir.” Ucapnya. “Sclopetauirtute.”
Bersamaan dengan senyum Prinzigle yang melebar, lima cahaya turun kehadapan lima sosok itu. Nicky menatap sebuah bola perak yang muncul secara ajaib kehadapannya. Disentuhnya bola itu, kemudian bola itu berubah bentuk menjadi sebuah panah kokoh keperakan yang sangat indah. Di salah satu sisi panah itu terukir nama ‘Nicholas Bernardough Byrne’. Kedua iris Azurenya menatap takjub, senyumnya merekah.
Sepertinya hal yang sama terjadi pada empat kawannya.
Mark menggenggam erat sebuah tombak perak bertahtakan permata kebiruan pada sisi atasnya, Brian menatap lurus kearah Flail yang dilapisi perak dengan duri yang mencuat tajam berwarna kemerahan yang memancarkan cahaya terang, Shane mengambil kapak tajam bergagang panjang yang penuh dengan ukiran indah yang ujungnya mengkilap, menunjukkan cahaya berpendar pada setiap partikelnya.
Kian perlahan menggerakkan jemarinya, meraih sebuah pedang perak besar yang sangat indah. Benda itu seakan seperti déjà vu yang pernah dilihatnya. Ia sentuh pegangannya, dan mendadak ia merasakan perasaan familiar, menjalar hingga ke nadi dan jantungnya, mengalir pada tiap tetes darah yang mengalir didalam tubuhnya. Ia bentuk sebuah senyum penuh keberanian seraya menatap salah satu sisi pedang itu.
‘Kianleaghly Eoghan’
Nama itu terukir indah disana. Seakan menghantarkan kepercayaan lewat cahaya yang terpantul pada ukiran nama itu. Ia masih tersenyum, kedua iris azure miliknya menatap yakin, ia gerakkan kepalanya, menatap orang-orang disekelilingnya. Kemudian ia arahkan sorot mata indah kebiruan itu pada sinar kecil berpendar diatasnya.
Prinzigle tersenyum.
“Pergilah…senjata itu muncul dari dalam hati kalian, dari aliran darah kalian, dari setiap detak jantung kalian, hati kalian. Kalian yang menciptakannya dari niat suci didalam tiap batin kalian. Kalian memilikinya.” Katanya lembut. “Pergilah, selamatkan semuanya.”
Kian mengangguk, kemudian menatap empat kawannya.
“Ayo, guys.” Senyumnya terukir jelas pada wajah rupawannya.
***
Cattleya bersandar pada sebuah pohon besar yang sebagian dahannya telah hangus. Nafasnya tersengal, ia gerakkan sayapnya menyentuh luka-luka yang muncul akibat pertempuran ini. Ia meyakinkan dirinya bahwa ia adalah Fengarimulofia yang kuat. Ia bisa menghancurkan kejahatan yang menimpa keluarganya.
Namun rasa letih tak bisa dibendungnya lagi. Ia melirik sosok-sosok yang bisa disebutnya adik. Para pangeran kerajaan Eoghan yang gagah berani. Tatapan mereka belum meredup, mereka berdiri kokoh, menggenggam pedang dan perisai mereka dengan erat. Mereka tidak menyerah. Tidak akan pernah menyerah. Bukan hanya mereka. Tapi seluruh pasukan mereka yang hadir disana.
Para Sungeopelia masih menampakkan sayap-sayap mereka yang dimahkotai api. Sorot kejahatan tercermin begitu jelas pada iris mereka yang tajam. Seekor Sungeopelia menukik kearah Cattleya dengan yakin. Ia mendarat dengan suara berisik yang ditimbulkan cakarnya. Ia menatap Cattleya dengan paruh yang mengatup.
“Gadis malang.” Ucapnya. “Kau ditinggalkan ibumu, kemudian akan mati mengenaskan disini. padahal kau sangat cantik dan berpotensi. Itu yang dikatakan suamiku, Finnick Odair.”
“Diam kau.” Cattleya menatapnya dingin. “Kau yang akan mati.”
“Hahahahahahaha!” Elize tertawa dengan paruhnya yang seakan menusuk langit, matanya penuh kobaran api memuakkan, ia tampak seperti wanita gila, walaupun didalam sosok Sungeopelianya. Ia mengangkat sayapnya, menuding Cattleya.
“Kau bisa apa, sayang?” seringainya. “Coba katakan padaku apa yang bisa dilakukan gadis malang yang tinggal sendiri didalam Ztomfist Forest karena diasingkan ibunya sendiri?! Katakan padaku apa yang bisa kau lakukan dengan hati yang masih dipenuhi luka itu? Hatimu terluka kan sayang? Terluka dan tidak bisa mengering lagi…”
“DIAM!!” Cattleya menerjang tubuh Elize dengan sorot mata yang menajam. Ia gerakkan cakarnya yang kuat dan ia benamkan pada wajah Elize. Jeritan penuh rasa sakit terlontar dari paruh Elize. Bahkan ia tidak bisa mengendalikan api yang bisa membakar dalam sekejap. “Kau tahu apa hah?! Kau tidak tahu apa-apa. Jadi tutup mulutmu!!”
Elize mengepakkan sayapnya membabi buta. Cattleya tidak melepaskannya. Senyum simpul terlukis pada wajah cantiknya.
“Aku bisa menghancurkanmu. Jangan remehkan aku.” Katanya lagi. “Kau sudah melukai hati ibu dan adik-adikku. Dan walaupun aku tidak bisa menghancurkan suamimu…aku tahu ia akan datang.”
Cattleya mencabik wajah Elize.
“Adikku.” Ucapnya. “Aku tahu Kian akan datang.”
***
Kelopak mata Ratu Patricia perlahan terbuka.
Pemandangan istana kerajaan Feehilian terlihat tidak familiar dimatanya. Namun ia menatap lembut pada tiap-tiap tembok kamar tempatnya tertidur. Barusan ia bermimpi. Mimpi yang tidak menyisakan rasa sesak. Mimpi yang mengukir sebuah senyuman diwajahnya. Mimpi yang tidak membuatnya terbangun dengan dipenuhi keringat.
Mimpi indah.
Ia memindahkan posisinya yang barusan terbaring dan duduk dengan perlahan. Senyum tak lepas darinya. Ia memejamkan matanya, merasakan dalam-dalam setiap makna dalam bunga tidurnya.
“My Son…” bisiknya. “Kian…”
Bisikan itu seakan diantarkan angin kepada Kian. Saat itu lima anak pemberani telah sampai pada ujung lubang kematian. Mereka menatap Ztomfist Forest yang porak-poranda, terlihat mengerikan pada setiap sudutnya. Mark tidak membiarkan tubuhnya gemetar lagi. ia kerahkan seluruh keberanian dari dalam hatinya. Lalu perlahan diraihnya jemari sepupunya, dan digenggamnya.
“Kita bisa melakukannya.” Bisiknya, hampir tertelan suara yang ditimbulkan pertempuran. “Aku percaya padamu, aku percaya pada semuanya.”
Kian tersenyum menatap sepupunya. Kemudian iris kembarnya menatap Nicky, Brian, dan yang terakhir, tatapannya terpaku pada Shane.
Shane tersenyum menyambut sorot matanya.
Kian berlari menerobos semak-semak, mengelilingi beberapa pohon yang tumbang. Diikuti keempat kawannya yang berlari kencang menuju beberapa para Sungeopelia yang menyadari kehadiran mereka.
“MAJU!!!”
Seruan lantang itu, seakan membelah langit, menggema dan menyusup halus pada tiap-tiap hati suci yang berpijak disana.
Mereka berani.
Itulah yang mereka pegang.
***
TBC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar