Selasa, 26 Maret 2013

Scarlet 2


hohoho karena lagi kepengen lanjut.. hehe ini dia chapter slanjutnya!! :D
*2nd Chapter*

Hari ini Café  milik keluarga Byrne tutup, khusus untuk hari ini karena mereka baru saja pindah rumah. Walaupun jarak rumah lama dan rumah baru mereka hanya beberapa kilo meter saja. Tapi jangan salah, mereka hanya perlu tutup sehari, tidak lebih. karena makanan, minuman, baju, biaya sekolah anak mereka, bahkan uang untuk membeli rumah baru ini-pun berasal dari Café  itu. Dengan kata lain, cafe adalah sumber penghasilan mereka.

Entah sudah berapa lama Nicky memijat-mijat lengannya, Mrs. Byrne sibuk dengan piring-piring kotornya, dan Mr.Byrne dengan Koran edisi bulan lalu. Hanya Scarlet yang duduk tenang di sofa sambil memeluk kakinya.
“Ibu, di mana krim otot kita?” rengek Nicky masih sambil memijat-mijat lengannya. “tanganku nyeri setelah mengangkat kardus-kardus itu”
“entahlah, coba bongkar di kardus belakang. Masih ada beberapa kardus yang belum di bereskan” Jawab Mrs. Byrne santai seraya mengelap piring-piring bersih.
“aku harus membongkar mereka satu per satu?!” Nicky mengerutkan keningnya.
“tentu saja, kecuali jika kamu kuat menahan nyeri tanganmu sampai kardus itu tersusun rapi.”
“aku lebih baik tidur dari pada membongkar kardus itu” Nicky beranjak dari tempat duduknya dan naik ke atas, menuju kamarnya.
“terserahmu” lalu suasana menjadi hening. Hanya suara piring di masukkan ke rak yang terdengar, atau suara gesekan kertas Koran Mr.Byrne.

Scarlet masih duduk terdiam, dia sibuk sendiri dengan pikirannya. Seperti siaran ulang di televisi, kejadian tadi sore sudah terulang setidaknya lima puluh kali di otaknya. Semakin sering dia mengulangnya, maka ia semakin ketakutan. Dari tadi ia mencoba untuk tidak mengulangnya, namun kejadian it uterus terulang-ulang di pikirannya.
Sebelumnya dia tidak pernah melihat, hantu, zombie, vampire, atau teman-temannya sekalipun. Bahkan ia tidak begitu yakin apa yang dilihatnya tadi adalah salah satu dari mereka. Lebih tepatnya ia berharap bahwa yang ia lihat bukanlah salah satu dari mereka.
“yah…” panggil Scarlet. Suaranya kecil, namun cukup untuk membuat Mr.Byrne melepaskan pandangan dari korannya. “Apa ayah tau sejarah rumah ini?” Mr. Byrne berkerut kening. Tentu saja, itu pertanyaa yang bodoh!
“um, maksudku.. sejarah di sekitar rumah ini”
“apa maksudmu Scar?”
“apa ada hantu di sekitar sini?!” bukan hanya Mr.Byrne namun Mrs.Byrne-pun ikut berkerut kening. Apa rumah baru mengganggu jalan kerja otaknya? Atau mungkin efek terlalu banyak mengangkat kardus? Atau mungkin yang lebih parah lagi, kepalanya tertimpa kardus!
“Scar, aku tau kamu suka rumah yang besar. Apa kamu tidak suka dengan rumah kita yang sekarang?” Tanya Mrs.Byrne. Mrs.Byrne menganggap bahwa ia mengerti jalan pikiran anaknya saat ini.
“bukan! Ini bukan soal besar kecilnya rumah kita! Aku tidak keberatan kita pindah ke sini” tepis Scarlet. Memang dia suka dengan rumahnya yang luas, karena ia bisa dengan leluasa berlatih balet di sana. Atau mungkin lebih leluasa kejar-kejaran bersama Nicky.
“lalu apa kaitannya rumah baru kita dengan hantu?” Tanya Mrs. Byrne dengan senyum tak mengertinya. Keluarga Byrne bukanlah orang yang percaya tentang hantu, setan, jin, tuyul dan sebagainya. Mereka tidak pernah melihatnya, jadi untuk apa percaya. Namun mereka sering melihat orang-orang yang mirip setan. Seperti pelanggan yang mengutang di Café  mereka dan tidak pernah kembali untuk melunasinya, pelanggan mereka yang merokok di dalam Café  padahal sudah tertulis ‘DILARANG MEROKOK’ dengan tulisan besar. Dan anak-anak brandalan yang melempari kaca Café  dengan tanah. Mereka mirip dengan setan.
“kalian tau, mungkin aku melihat mahluk itu tadi sore” pasangan Byrne itu terdiam, sekan mencerna baik-baik ucapan anaknya barusan. Lalu keduanya terkekeh.
“kau melihat hantu?” Mr.Byrne menahan tawa.
“Aku tidak yakin, bahkan aku berharap yang aku lihat bukan salah satu dari mereka!” pasangangan Byrne masih terkekeh. Tidak menyangka rumah baru akan membuat anaknya menjad aneh.
“dengar Scar, hantu itu tidak ada. Itu pasti hanya imajinasimu yang berlebihan. Mungkin ini efek dari menonton film horror di bioskop bulan lalu”
“tidak! Aku jelas melihatnya, walaupun aku tidak yakin yang kulihat itu hantu. Dan, yang kulihat di bioskop bukan film horror. Melainkan Spiderman 3!”
“mungkin yang kamu lihat hanya bayangan pohon yang menyerupai salah satu dari mereka. Oh, atau mungkin kamu kelelahan dan perlu tidur. Lihat jam berapa sekarang” Mr.Byrne menunjuk pada jam dinding yang baru di setel beberapa jam lalu. “sudah malam Scar, sebaiknya kamu tidur dan jangan sampai terlambat lagi besok”
“baiklah” jawab Scarlet asal, kemudia bangkit dari sofa. Kesal juga saat kamu yakin melihat sesuatu namun tidak ada yang mempercayaimu.

Rumah ini masih berantakan, bebrapa barang bertumpuk di sudut-sudut rumah. Jika di keadaan gelap, maka rumah ini mirip sekali dengan rumah-rumah di film horror yang lama di tinggal pemiliknya.

Sesaat Scarlet ragu untuk masuk ke dalam kamarnya, padahal tangannya sudah memegang gagang pintu dan hanya perlu menariknya ke bawah untuk membuatnya terbuka. Ia teringat bahwa kamar ini bersebelahan langsung dengan halaman samping dan rumah sebelah di mana ia melihat sosok itu tadi sore.  Bahkan ia terbayang-bayang jika seandainya mahluk itu berada di dekatnya. Dengan lari mencicit ia pergi ke kamar Nicky.
‘tok tok tok!!’ Di ketuknya pintu itu dengan frekuensi tinggi.
“Nicky!! Buka pintunya!!” ‘tok tok tok!!’ Nicky sudah menyahut dari dalam, namun karena merasa kurang cepat Scarlet tetap mengetuk pintu sampai Nicky membuka pintunya dan Scarlet bisa melihat wajah abangnya itu.
“Kenapa malam-malam begini ngetok-ngetok?! Seperti ada herder yang mengejarmu” gerutu Nicky. Wajahnya kusut, sepertinya dia sudah hampir tertidur saat Scarlet menggedor-gedor pintu kamarnya.
“aku lebih memilih di kejar herder dibandingkan di kejar baying-bayang setan! Nicky aku takut!!” Scarlet memasang wajah ketakutannya persis seperti tadi siang. Mirip seperti anak kecil yang ketakutan melihat badut aneh di pasar malam.
“jadi?” Nicky bertanya dengan malasnya. Jujur, dia sering kali di buat kesal dengan tingkah penakut adiknya. Seperti tidak berani kemana-mana dan selalu minta di temani jika dia baru saja menonton film yang seram. Dan untung saja dia berani ke toilet sendiri sehingga Nicky tidak perlu menemaninya ke toilet!
“Aku takut tidur sendirian” nah! Lagi-lagi, Scarlet persis seperti bocah lima tahun yang tidak berani ke kamar kecil sendirian.
“maksudmu? Kau tidur sekamar denganku” Scarlet tidak menjawab. Mau tidak mau, namun itu lebih baik jika dibandingkan ia tidur sekamar dengan bayang-bayang itu. Nicky mengerti dengan sikap diam adinya ini, dan mulai geleng-geleng kepala. ‘Scar! Kamu sudah 16 tahun!’
“Scarlet kamu sudah besar, tidurlah di kamarmu sendiri” ucapan Nicky persis seorang kakak yang bijak sana.
“tapi aku..”
“tidak ada yang namanya hantu. Kalau dia datang kamu tinggal teriak, maka kita serumah akan langsung menuju kamarmu.”
“bagaimana kalian terlambat datang dan dia sudah melapku”
“kalau begitu kami hanya perlu mengubur jasadmu yang tersisa dan aku akan jadi anak kesayangan ayah dan ibu. Sudah tidur sana! Atau kuceritakan kejadian mala mini ke temen-temen klub baletmu”
“Nicky jahat!”
“terserah! Cepat kembali ke kamarmu atau aku akan menyirammu dengan seember air kalau besok kamu terlambat bangun”

‘Blam’ Nicky menutup pintu kamarnya. Wajah Nicky menghilang di balik pintu itu. Scarlet kecewa, kesal,marah, dan takut.
‘awas kami Nico, semoga kamu orang yang melihat mahluk itu selanjutnya. Dan semoga saja kamu tidak akan berani ke kamar kecil sendirian setelah itu’

Untuk beberapa saat Scarlet terdiam di depan pintu kamar Nicky. Beberpa kali ia mencoba mengetuk namun tidak dihirauakan oleh Nicky. Pasti dia sudah menyumbat telinganya. Apa boleh buat, Scarlet kembali ke kamarnya, masih dengan ketakutan tadi sore.

Ditariknya gagang pintu itu ke bawah dan bunyi ‘kreek’ terdengan ketika pintu itu membuat celah. Scarlet segera menyalakan kampu kamarnya. Karena dia tau hantu tidak suka terang, mereka suka kegelapan. Lalu dengan terbirit-birit dia melompat ke atas kasurnya dan menyelimuti dirinya dengan selimut.

Nafasnya masih terengah-engah  walau tubuhnya sudah tergeletak di atas kasur. Matanya tak berhenti menatap sekitar. Seperti berjaga kalau-kalau hantu itu muncul dan dia bisa langsung segera berteriak. Tak ada rasa kantuk sedikitpun padanya, entah kapan ia akan terlelap. Akankah dia patrol sepanjang malam?
*

‘tik tik tik’ hanya suara jarum jam yang terdengar di tengah keheningan malam di dalam rumah keluarga Byrne. Jarum pendeknya sudah melewati angka 12, semua sudah terlelap namun sepertinya tidak juga.

‘kreek’ suara pintu terbuka lalu langkah kaki berpadu dengan bunyi jarum jam. ‘kreek’ sekali lagi. Ia hanya melebarkan celah di pintu yang tidak tertutup itu. sepertinya penghuni kamar itu enggan untuk menutupnya.
Sepasang mata biru itu mengamati kepala dengan rambut pirang di atas kasur. Hanya itu yang bisa dilihatnya karena tubuhnya di balut dengan selimut tebal. Nicky mengira adinya tidak akan bisa tidur semalaman, namun yang dilihatnya sekarang Scarlet tertidur dengan pulasnya si atas kasur. Lega juga ia melihat adiknya tertidur pulas. ‘Mimpi indah Scar’ bisiknya dalam hati.

*

“Scarlet!!!” seseorang berteriak di telinganya seraya menggoncang-goncang badannya. ‘sialan!’ gerutu Scarlet dalam hati.
“bangun Scarlet!! Bangun!!” suara itu masih berteriak-teriak di telinganya, mamaksanya untuk membuka mata dan menampar orang itu.
“iya iya!! Aku bangun!! Berhenti berteriak atau ku tampar!!”
“atau aku yang akan menamparmu terlebih dulu, 30 menit lagi kelas dimulai!!” seketika itu mata Scarlet terbuka lebar. Lagi-lagi ia terlambat bangun.
“kenapa kamu tidak membangunkanku lebih pagi?!” sungut Scarlet.
“kenapa kamu tidak bangun sendiri!”
“bilang saja kamu juga terlambat bangun!” Scarlet turun dari kasurnya.
“Cepat mandi dan besihkan liur di pipimu” reflek Scarlet langsung menyentuh pipinya, memeriksa adakah liur di sana.
“tidak ada apa-apa! Aku bukan tukang iler!”

*

“ayo cepat sedikir Scar!” mereka seperti atlet lomba lari pinggir jalan. Dengan Nicky sebagai jawara dan Scarlet sebagai pecundang karena ketinggalan jauh di belakang.
“Ini sudah yang tercepat! Huh! Kenapa laki-laki itu larinya kencang sekali” entah sudah berapa banyak gerutuan yang Scarlet tebarkan di sepanjang jalan. Padahal dia sudah sangat sering berada dalam keadaan seperti ini namun entah kenapa ia tidak kunjung terbiasa dengan keadaan ini. Seharusnya dia bisa berlari lebih cepat bukan? Dia hampir setiap hari seperti ini.

“hosh..hosh..hosh..” scarlet menghentikan langkahnya karena sudah tidak kuat lagi berlari. Dia tidak sekuat Nicky yang biasa berkeliling lapangan bola berpuluh-puluh kali. Nicky berbalik ke belakang dan melihat adiknya berhenti berlari. Iapun berlari kea rah adiknya dan menarik tangan mulus adiknya.

“Masih nyantai! Sudah telat tau!” biasanya Scarlet akan membalasnya. Namun, nafasnya sudah terengah-engah dan dia tidak sanggup untuk membalasnya. Scarlet akan mencatat itu dan membalasnya nanti.
Begitu samapai di halaman sekolah, mereka berpapasan dengan Mr.Ellioth. mereka hanya memberika senyum sekilas sambil berlari. Bahkan tak sempat untuk member salam pada guru sendiri.
“Terlambat lagi Byrne bersaudara?” entah itu sapaan selamat pagi, basa-basi atau sindiran. Byrne bersaudara tidak memikirkannya.
“benar sekali Mr.Ellioth!” jawab Nicky asal.

*

Hari ini tidak jauh berbeda dari biasanya. Terlambat datang ke sekolah mendengarkan ocehan gurunya yang entah di dengar atau tidak lalu kembali ke rumah. Sendirian. Nicky sudah pulang sebelum dia. Tidak ada teman yang berda di sampingnya saat pulang. Scarlet bukanlah orang yang kuper atau sejenisnya, hanya saja dia agak sulit untuk menjadi sangat dekat dengan seseorang. Dan itu sebabnya dia tidak pernah punya sahabat. Yang ia punya hanya sekedar teman yangsaling sapa ktika mereka bepapasan atau teman yang akan menjawab pertanyaannya ketika dia bertanya soal matematika.

Matahari tidak memanggangnya karena memang sekarang buakan musim panas. Angin-angin musim semi membelai wajahnya, dan menerbang-nerbangkan rambut pirangnya. Rumah baru mereka memang cukup dekat dengan sekolahnya. Namun bagi Scarlet itu sama saja. Biasanya mereka akan naik bus umun dan memakan waktu sekitar 20 menit untuk sampai ke sekolahnya. Dan sekarang dia bisa berjalan kaki ke sekolah dan memakan waktu 20 menit juga. Jadi sama saja.

Scar mencium aroma wangi dari balik pintu rumahnya. Tidak salah lagi, ibunya sedang berada di rumah. Bukan di Café  membantu ayahnya. Dan sepertinya dia sedang memasak kue.
“hay Sayang!” sambut Mrs.Byrne ketika melihat putinya di dapur, meletakkan tas sekolahnya dan duduk di meja makan.
“lapar..” seru Scarlet sambil memegangi perutnya.
“nah! Kebetulan ibu sedang mencoba resep baru, siapa tau ini bisa menjadi menu baru bulan ini”
“untuk di Café ?” Mrs.Byrne mengangguk seraya meletakkan beberapa buah cup cakes di atas piring.
“makanlah..” Mrs.Byrne meletakkan piring itu di meja makan. Scarlet mengeker sasarannya untuk mengambil cup cake cream putih. Namun sepertinya dia tidak akan mendapatkannya.
“Nicky!!” nicky menyambar cup cake itu sebelum Scarlet sempat menyentuhnya.
“terlembat” Nicky melahap cup cake itu kemudian menjilat-jilat bibirnya.
“huh, aku kan mau yang putih..” gerutu Scarlet
“sudah, kan masih banyak di piring” Scalet mengambil cup cake yang lain kemudia melahapnya.
“hm.. ibu menambahkan coklat ke dalamnya?” Tanya Scarlet sambil mengunyah. “enak!”
“bukan hanya coklat, tapi juga beberapa jenis selai buah. Bagai mana menurutmu?”
“ide bagus!” ibunya memang rutin mencari resep-resep baru  untuk menambah menu di café mereka. Supaya pelanggan tidak bosan katanya. Namun jangan salah, dari berpuluh-puluh keberhasilannya tak jarang pula resepnya menjadi lebih berbahaya dari racun tikus!
“dan bisa bantu ibu?”
“apa?”
“tolong antarkan menu baru ini ke tetangga baru kita. Mereka pasti senang” Mrs.Byrne memasukkan cup cake itu ke dalam box kecil yang biasa di pakai sebagai pembungkus kue di café.
“Nicky saja yang antarkan” pinta Scarlet. Mengingat di rumah tetangga baru itu pula ia melihat sosok misterius itu.
“oh, maaf adik kecil. Calon pesepak bola professional ini harus latihan dulu.. daaaadaaa!!” seraya mengacak-ngacak rambut Scarlet kemudia pergi sambil terkekeh.
“tolong antarkan ya”

*

Terpaksa Scarlet pergi ke rumah tetangga baru mereka sambil menenteng box kecil itu. langkahnya semakin ragu ketika ia memasuki halaman yang cukup luas itu. beberapa pohon besar menghiasi rumah ini, sama sepert rumahnya.

Langkah demi langkah membawanya mendekat ke pintu rumah itu. dan sekarang ia berdiri tepat di depan pintu rumah itu. di tariknya nafas panjang kemudian menghembuskannya sebelum ia menekan bel.

‘teng.. nong’ Scarlet terbayang-bayang apa yang akan menyambutnya di dalam sana. Akankah seekor vampire membuka pintu dan menerkamnya tiba-tiba? Dia mundur beberapa langkah.

‘kreekk’ pintu itu terbuka. Scarlet belum pernah sekalipun melihat pintu rumah ini terbuka. Bahkan dia tidak tau siapa penghuninya. Namun dia benar-benar kaget melihat siapa yang membukakan pintu untuknya.
“Selamat sore. Ah! Kamu pasti tetangga baru yang menempati rumah sebelah” sapa wanita itu lembut. Oke, dia bisa dikatakan sudah berumur. Mungkin usianya sudah lebih dari 40 tahun. tapi hidung mincing, rambut coklat dan senyumnya yang manis itu begitu indah!

“iya, kami baru pindah kemarin. Dan..” Scarlet mengulurkan box yang di tentengnya “Ibu membuat resep baru dan ingin anda mencobanya”
“ah! Baik sekali, sampaikan terimakasihku untuknya!”
“tentu”jawab Scar sopan.
“hm.. wangi sekali, Mark dan aku pasti suka”
“Mark? Siapa dia?” Scar menutup mulutnya, entah bagaimana bisa dia mengajukan pertanyaan seperti itu pada tetangga yang baru ditemuinya beberapa detik lalu. Tentulah terdengar lancang, terlebih dengan nada bicaranya barusan.
“dia anakku” sepertinya wanita itu tidak merasa risih dengan perrtanyaan lepas Scarlet. “dia ada di dalam” wanita itu mundur beberapa langkah dan wajahnya seolah menunjuk ke suatu arah dan pendangan Scarlet menuju arah itu.
“Mark, ucapkan salam pada tetangga baru kita” kulitnya putih, bahkan seperti pucat. Bibirnya merah dan ia memilik rambut hitam sedikit kecoklatan. Hidungnya persis sama dengan wanita yang 40 tahunan itu.
“hai..” sapanya singkat dengan sedikit senyum tersungging di bibirnya. Walaupun sedikit, namun tetap saja lesung pipitnya bisa terlihat jelas oleh Scarlet. Satuhal yang aneh dengan pria ini. Dia duduk dan wajahnya terarah pada Scarlet, namun pandangannya kosong seperti tidak melihat pada Scarlet. Mata di bawah alis mata panjangnya pun terlihat sendu. Ada apa dengan pria ini?
“mau mampir dulu?” tawar wanita itu ramah.
“mungkin lain kali, aku harus latihan balet sore ini” tolak Scarlet halus.
“baiklah..”
“aku permisi pulang dulu nyonya..” Scarlet tersenyum kemudia berbalik badan dan menuruni teras rumah besar itu.
“sampaikan salamku untuk ibumu ya!” seru manita itu. Scarlet menoleh ke arahnya dan mengangguk.

Entah kenapa Scarlet merasa ada sesuatu yang aneh dengan laki-laki tadi. Dia hanya memperhatikan pria itu sekilas, namun jelas sekali tatapannya yang kosong dan sendu itu. Scarlet agak menyesal menolak tawaran nyonya itu untuk mampir. Dan Scarlet tidak menyangka rumah di mana ia melihat sosok misterius itu menyimpan seorang pria tampan dan ibunya yang ramah.

Scarlet 1


sudah lama nggak nulis XD hehe mumpung lagi pengen hehe
judulnyapun hanya untuk judul sementara karena masih bingung dengan plot-plot selanjutnya
nggak bisa di sebut fanfiction westlife, hehe nama-namanya aja yang di pake (soalnya kehabisan nama.. masa iya nama tokoh-tokohnya, samsudin upin dan ipin? -_-)
nah! inilah dia cerita gaje terbaruku hehe ._.v
mohon komentarnya untuk mengurangi kadar gaje di dalam cerita ini. Makasih :D

Sore itu terasa lebih penat dari hari-hari biasanya. Angin yang berhembus sepoi-sepoi menerpa tubuh gadis pirang yang sudah dibanjiri peluh. Rambutnya yang kepang kuda-pun sudah acak-acak tak beraturan. Kedua tangannya sudah lelah untuk mengangkat kardus-kardus itu. Mungkin jika dia mengangkat sebuah lagi tangannya akan patah. Gadis pirang itu berkecak pinggang sambil menatap rumah baru keluarganya. Lebih kecil dari rumah sebelumnya dan itulah yang inginkan oleh Yvonne Byrne, ibunya. Nicholas Byrne suaminya,membeli rumah itu beberapa minggu yang lalu.

Nicky Byrne, kakak dari gadis pirang itu masih masih sibuk bolak balik masuk rumah dengan kardus besar di kedua tangannya. Punggung kaosnya sudah berubah warna  tercampur keringat. Nicky juga sempat mengentikan pekerjaannya dan berkecak pinggang seperti gadis itu. Namun, ibunya tak tinggal diam melihatnya begitu.
“Kau kuat berkeliling lapangan bola seharian! Hanya mengangkat kardus inipun kau sudah capek!” begitulah ocehannya. Nafas Nicky terengah-engah, mulunyapun menganga. Mungkin ia bernafas dari hidung dan mulutnya secara bersamaan.

“Ayolah, ibu.. bola dan mengangkat kardus itu berbeda!” Nicky mengelap keringatnya dengan lengan bajunya. “mana pernah pemain sepak bola bertanding sambil menenteng kardus di lapangan. Mereka hanya memainkan kaki mereka”
“tapi kau kan kiper! Pasti menggunakan tangan juga kan?!”
“tapi tidak ada bola yang beratnya 20 kilo!”
“sama saja kalau tendangan mereka begitu kuat!”
“namun hanya dalam waktu sepersekian detik!”
“ah.. terserah!” mama pergi dan meninggalkan Nicky.
Ingin rasanya gadis pirang itu tertawa melihat perdebatan mereka, hanya saja dia juga merasa iba melihat Nicky. dia iba melihat peluhnya yang mungkin sudah seember banyaknya.
“Hey Scar! Jangan diam saja cepat bantu!” ah! kena! Akhirnya gadis itupun harus mulai membantu mengangkat box-box itu lagi lagi. Oh iya, Scarlet nama gadis pirang itu.

*

Akhirnya pekerjaan melelahkan itu selesai juga. Setalah berjam-jam lamanya keluarga Byrne merapikan rumah baru mereka yang berantakan, mereka dapat beristirahat sejenak. Yah, walaupun sebenarnya rumah itu masih bisa di kategorikan berantakan, namun setidaknya ini sudah lebih baik dari beberapa jam yang lalu.

Ini bukan kali pertama gadis pirang itu mengelilingi rumahnya, tapi ia memang tertarik untuk mengelilingi rumah barunya lagi. Rumah ini lebih kecil daripada rumah yang mereka tempati sebelumnya. Hanya saja halaman di sini sama luasnya. Tak bisa di katakana luas sekali, namun Scarlet cukup senang dengan beberapa pohon besar yang tumbuh di halamannya. Menurutnya, pohon itu memberikan kesan segar pada rumah barunya.

Dari halaman depan dia berjalan ke bagian samping rumahnya lalu ke halaman belakang. Mirip seperti rumah lamanya, halaman belakang ditumbuhi rumput seluruhnya. Dan Scarlet suka itu. Sambil melompat-lompat kecil ia beralih ke bagian samping lain rumahnya.

Kira-kira 4 meter jarak antara rumahnya dan rumah tetangga barunya. Rumah di sebelahnyanya jelas terlihat berbeda dari miliknya. Tidak bertingkat namun sangat besar dan terlihat megah dengan atapnya yang cukup tinggi. Bercat putih dengan tirai putih di balik jendelanya. Tirai itu transparan hingga Scarlet dapat melihat sesuatu di baliknya. Seseorang sepertinya sedang memperhatikannya.

Scarlet sadar bahwa orang itu sedang melihat ke arahnya. Ia tau bahwa tak sopan jika membuang muka pada tetangga baru mereka yang jelas-jelas mereka sempat berkontak pandang. Scarlet memberikan senyum pada tetangga barunya.

Anehnya tetangga barunya seakan tak menggubris senyumannya dan tetap menatapnya.  Wajah orang itu samar-samar di balik tirai transparan itu. Scarlet-pun tak bisa membaca ekspresinya. Scarlet sempat memperhatikan orang itu lekat-lekat dan namun ia ingin segera beranjak dari situ. Ia takut kalau-kalau yang di lihatnya bukan tetangga baru mereka melainkan…

“Hoy!” Scarlet meloncat kaget ketika seseorang mengagetkannya dari belakang sambil menepuk pundaknya.
“Nicky!! Kamu hampir membuatku mati kaget tau!” Jantungnya masih berdebar-debar, kekesalan pada kakaknya membuat nada bicaranya lebih tinggi dari biasanya.
“siapa suruh kamu memperhatikan rumah orang sampai segitunya”
“tetangga baru yang membuatku seperti itu!”
“oh ya? Di mana tetangga baru itu?”
“di balik jendela sana” Scarlet menunjuk sekilas dengan jempol tangannya. Scarlet mendesah lega, sekalipun mungkin yang dilihatya bukan si ‘tetangga baru’ mereka, setidaknya nicky ada bersamanya.
“mana? Tidak ada apa-apa” namun matanya masih melihat ke jendela itu. “hanya tirai putih transparan yang aku lihat”

Jantung Scarlet berdetak kencang. Ia mulai menganggap bahwa yang di lihatnya tadi bukan tetangga baru mereka.  Keingin untuk pergi dari situ semakin kuat.
“ah, sudahlah! Ayo pergi dari sini” Scarlet menarik lengan Nicky.
“hohoho coba lihat, Scarlet kecil baru saja melihat hantu?” ledek Nicky “dan ia ketakutan sekarang”
Namun Scarlet terlalu merasa ketakutan sehingga ia tak merasa malu ketika Nicky meledeknya.
“terserah dengan apa yang aku lihat, yang jelas kita tidak di sana lagi” Scarlet mempercepat langkahnya. Berjalan beberapa meter seakan berates-ratus meter rasanya. Akhinya mereka tiba di halaman depan.
“apa benar kamu melihat tetangga baru kita di sana? Dan apa yang dia lakukan hingga kamu memperhatikan rumah itu seperti maling?” jawaban pertama Scarlet adalah desah kelegaan lalu ia melirik ke halaman samping.
“tetangga baru kita memperhatikanku dan kami sempat saling berpandangan, lalu aku tersenyum padanya namun ia tidak membalas. Tidak mungkin ia tidak melihatku tersenyum! Aku jelas-jelas melihatnya masih menatap ke arahku. Lalu aku menatapnya lekat-lekat dan kemudian kamu datang mengagetkkanku di saat aku ingin pergi dari sana!”
“lalu setelah itu dia menghilang?”
“ya! Setelah itu dia menghilang”
“oh ayolah, mungkin kamu terlalu lelah dengan kardus-kardus itu. Atau mungkin tadi memang ada orang namun beranjak dari tempat itu ketika aku datang” Scarlet tak tau apa yang sebenarnya terjadi, ia masih diam. Mencoba mengendalikan ketakutannya sendiri. Siapa sangka yang paling ditakutkan gadis 16 tahun ini adalah hantu! Sebenarnya ia tertarik untuk menonton film horror, namun setelah itu dia tidak akan berani ke mana-mana tanpa di temani. Dan karena itulah ia termasuk jarang untuk menonton film horror. Bukan hanya film horror, namun hal-hal horror lainnya.
“entahlah, aku tidak tau” Jawabnya asal. Nicky bisa membaca ketakutan di wajah adiknya. Iapun juga sangat tau betapa penakutnya adik kesayangannya ini dengan hal semacam itu. Sebisa mungkin ia membuang ketakutan Scarlet.
“hey! Sepertinya aku pernah lihat kemeja yang kamu pakai” Nicky mulai mengalihkan topic pembicaraan.
“tentu kamu pernah lihat”
“coba ku tebak? Ini kemeja ayah?”
“ya” jawab Scarlet singkat dengan suara kecil.
“kenapa kamu memakai kemeja tua ayah?!”
“hey! Model ini sedang tren di mana-mana. Tank-top dengan kemeja kotak-kotak kebesaran yang tidak di kancing, lalu lipat lengan kemejanya. Ini manis. Aku sering melihatnya di beberapa majalah fashion” Nicky cukup lega, ketakutan yang tadi terlukis di wajah adiknya sudah menghilang, diganti dengan celotehannya.
“memangnya kemeja itu tidak bau? Sudah lama kemeja itu tidak dipakai, dan biar kutebak! Kamu menemukannya saat bongkar-bongkar barang kemarin”
“sebenarnya bukan kemarin, tapi beberapa hari yang lalu saat bongkar-bongkar juga. Aku tidak jorok sepertimu! Aku mencucinya sebelum di pakai” walaupun sudah di cuci sebenarnya kemeja itu kembali bau dengan keringatnya, sore ini dia belum menyentuh air di bak mandi.
“yeah, siapa tau kamu langsung memakainya begitu saja. Kamu kan pemalas.” Scarlet langsung melotot mendengar kalimat terakhir Nicky. “Ayo masuk ke dalam, siapa tau ibu punya cemilan untuk kita”
“yeah, atau mungkin dia punya pekerjaan untuk kita. Dan sepertinya kamu harus mandi terlebih dahulu. Baumu seperti mobil sampah di pagi hari.”


Pembicaraan santai itu bisa menghilangkan rona ketakutan di wajahnya. Walaupun sebenarnya ia masih menyimpan ketakutan itu. Siapakah yang di lihatnya tadi?

Kamis, 07 Maret 2013

Secret Photographer 4

Papa.. kenapa kamu masih ganteng, manis, lucu imut meskipun sudah kepala 3??? Jujur aku senang dengan wajah papa yang manis, lucu, imut itu. Tapi, kadang aku nggak terlalu suka dengan wajahnya yang manis, lucu imut itu. Wajahnya bisa membuat wanita yang menatapnya langsung meleleh. Banyak sekali wanita yang mengejar-ngejarnya, termasuk Lauren. Lauren adalah wanita yang tinggal di Blok sebelah. Dia sering sekali datang ke sini hanya untuk merayu papa. Sayangnya papa nggak pernah tergoda.

Aku akui Lauren adalah wanita yang cantik. Rambutnya pirang lurus, hidungnya mancung, kulitnya putih, bentuk tubuhnya ideal, bibirnya seksi, dandanannya klasik bercampur glamuor, kadang-kadang aku merasa dandanannya menor. Aku lebih suka wanita kasual seperti Alice. Rambutnya hitam lerus, hidungnya mancung, bibirnya pink alami,  matanya biru, dan nggak pernah tampil menor. Alice lebih suka berpenampilan natural. Mungkin, jika dilihat sekilas mata Lauren lebih cantik dari dapa Alice. tapi, jangan salah sangka, Alice juga nggak kalah cantik darinya. Bagiku Lauren cantik karna Make up tebal yang terpasang pada wajahnya. Sedangkan Alice cantik dari dalam. Bukanya aku ingin membela Alice, tapi begitulah kenyataannya.

Lauren adalah model sebuah majalah. Saat dia sedang senggang pasti dia akan menyempatkan diri untuk datang ke rumah kami hanya untuk menggombal dan merayu papa. Tapi, papa nggak pernah tertarik dengannya. Bagi papa Alice lebih dari Lauren bahkan lebih dari nyawanya sendiri. Bisa dibayangkan betapa besar cinta papa. Aku berharap Friday night kali ini dia nggak datang ke rumah.
“teng..nong..” bel rumah berbunyi. Siapa yang datang ya semoga jangan Lauren. Lebih baik aku saja yang buka pintu. Kalau dia sudah liat papa pasti susah buat nyuruh dia pulang.

Aku langsung cepat-cepat keluar dari kamar untuk membukakan pintu. Aku takut kalau papa yang lebih dulu membukakan pintu dari aku. Saat aku hendak turun tangga aku mendengar suara wanita. Aku kenal betul suara ini. Ah, ternyata... Lauren sudah masuk. Papa lebih dulu membukakan pintu dariku. Huh, bagiku
Lauren seperti hantu. Datang tak diundang, pulang harus diusir. Persis banget kayak setan kan?
Duh, aku harus gimana nih.. nggak mungkin aku mengusirnya. Kami kan tinggal di lingkungan yang sama nggak enak dong kalau harus menjadi musuh. Tapi kalau dibiarkan kasian papa.. Aha! Mungkin Will bisa membantu. Mungkin aku harus menghubunginya.
“hallo..”
“hallo.. kenapa Scar?”
“Lauren datang..”
“hah?!  Dia cewek yang ngejar-ngejar Mark itu kan?”
“iya.”
“apa dia belum tau kalau mark dan Alice pacaran?”
“ya nggak tau lah.. kalau dia tau pasti beritanya bisa sampai ke paparazi dan bisa panjang urusannya.”
“owh, gitu ya.. mereka di mana sekarang?”
“di bawah, mereka duduk di sofa yang sama.”
“kalau gitu kamu datng aja ke sana, nyelonong duduk di tengah-tengah mereka.”
“ok, kamu cepet datang ke sini ya..”
“iya..”
Saat Lauren hendak duduk semakin dekat dengan papa aku langsungsung duduk di tengah-tengah mereka. Huft.... untung belum terlambat. Sekarang apa lagi ya yang bisa aku lakukan? Aha, aku bisa membuatnya lebih jauh dari papa.
“Papa, apa ada shampo anti kutu?”
“hah?! Memangnya kenapa? Mungkin ada.”
“hehe.. spertinya kepalaku kutuan. Kalau papa ketemu shamponya papa beliin ya. Oh iya papa, kalau sabun anti bisul ada nggak? Soalnya punggugku sudah banyak bisul makanya aku susah untuk bersender di bangku taman.”
“hmm, mungkin bisa dengan sabun anti septic.”
“hmm, aku duduk di sebelah sana aja. Sofa ini uda sempit.” Ujar Lauren. Hahaha aku tau penyebab dia pindah. Dia pindah bukan karna sofa ini sempit, tapi kerna jijik dengan ceritaku.  Aku senyum-senyum sama papa sambil mengedip-ngedipkan mata. Papa tau maksud isyaratku itu. Dia tau kalau ini salah satu rencanaku agar Lauren nggak dekat-dekat dengannya.
“papa.. kayaknya sofa kita harus di cuci deh..”
“kenapa?”
“soalnya kemaren jay muntah di situ.” Aku menunjuk pada sofa yang sedang di duduki oleh Lauren. Aku dapat melihat perubahan ekspresi wajah Lauren.
“owh, jay muntah ya..”
“sofa di sebelah sana nggak sengaja kemaren tertumpah susu basi. Karpet di bawah meja juga kemaren di pipisin sama Koa.”
“haha maklum lah, masih kecil”
“sering-sering ajak mereka ke sini dong pa.. biar aku nggak sepi.”
“Mark, mungkin kita bisa ngobrol di taman belakang. Udara di luar kan lebih segar.”
“hmm, boleh..”

Pasti papa kehabisan alasan untuk menolaknya. Mereka berdua berjalan ke taman belakang. Nggak lama setelah itu Will datang.
“will.. untung kamu datang..”
“Di mana mereka sekarang?”
“di taman belakang..”

Kami segera menuju taman belakang. Lalu setelah bedara di belakang pintu belakang will mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Aku nyaris berteriak melihatnya.
“jangan takut, ini Cuma lipan mainan kok.” Ujar will. Huft,, untung Cuma mainan, kalau beneran bisa pingsan aku. Lalu saat merek sedang asik-asiknya duduk di bangku taman, will melemparkan lipan itu ke arah Lauren. Alhasil, lauren lompat-lompat sambil teriak-teriak.
“AAAA!!!! Mark apa itu? Buangin jauh-jauh!! Aku takut!”. Papa tau itu hanya lipan mainan tapi dia pura-pura takut saja dan melemparkannya lagi ke Lauren, tapi Lauren tidak tau kalau papa melemparkannya karna dia terlalu sibuk dengan teriakan-teriakannya.
“Mark! Tolong buang jauh-jauh!!” teriak Lauren
“aku juga takut, itu beracun Lauren”
“kita pergi yok.. aku takut nih..” Lauren berlari sambil menggandeng tangan papa. Huh, sialan. Udah ketakutannya setengah mati gitu masih sempat aja gandeng-gandeng papa. Mereka berlari menuju taman depan. Aku dan will dengan segera mengikuti mereka.
“mark, mungkin rumput di halaman rumahmu harus di semprot pestidisa.” Ujar Lauren
“tapi, aku lebih senang mereka di sana. Rumahku kan bisa jadi seperti kebun binatang.”
“ah, terserah lah.. aku rasa ini sudah malam..”
“ya.. memang ini sudah malam..”
“kalau gitu goodbye Mark..” Lauren hendak mencium pipi papa. Untung aku dan Will sudah siap dari tadi.
Kami menghidupkan petasan yang tadi sudah di bawa oleh Will. Ini bukan petasan yang berbahaya, tapi cukup untuk bikin Lauren kaget dan batalin niatnya untuk mencium papa.
“tar!!” suara petasan yang kami lempar.
“aaa!!!”teriak Lauren. Will yang membawa kameranya nggak lupa untuk mengabadikan kejadian ini.
“ah, dasar anak nakal! Siapa sih yang melempar patasan?” cetus Lauren kaget.
“anak-anak sini memang seperti itu. Namanya juga anak-anak pasti jail-jail.”
“ah,, ok, good bye mark.” Lalu Lauren langsung pergi.
Setelah Lauren pergi cukup jauh dari rumah kami keluar dari tempat persembunyian dan tertawa terbahak-bahak.Setelah ia merasakan hal-hal yang menjengkelkan di rumah ini, Aku yakin Lauren nggak mau lagi datang ke rumah ini.
“hahaha thanks Scarlet, Will”
“sama-sama papa. Hahaha lucu banget tadi ekspresinya, mulai dari aku bilang kalau aku kutuan, bisulan, terus dia ketemu lipan, di lempar petasan. Hahaha kasian banget, tapi Lucu.”
“kami begini karna nggak mau papa di deketin terus sama Lauren karna papa udah punya Alice.”
“kalu Alice melihat kejadian ini pasti dia akan tertawa sampai nggak bisa tidur.” Ujar Will
“hahaha, kalian ini emang cerdik banget ya.”
“kami juga nggak lupa motret pas dia loncat kena petasan.”
“hahaha” kami semua tertawa melihat hasil dari jepretan Will.
semoga papa dan Alice segera menikah supaya nggak diganggu lagi sama cewek genit yang satu itu.