Alanna, untuk kesekian kalinya, membuat orang-orang di sekitarnya terhanyut dalam keindahan. Bahkan mereka begitu kesulitan hanya untuk mengedipkan mata mereka. Beberapa dari mereka bahkan mematung dengan mulut menganga.
Kedua tangannya berayun lembut di antara berkas cahaya yang meneranginya. Ujung kakinya berdiri kokoh sempurna, menopang tubuh rampingnya. Posisi punggung hingga lehernya begitu tegap, namun bisa jadi begitu lentur di saat-saat tertentu. Loncatan dan putaran di udara yang dilakukannya, seakan mengajak orang-orang untuk ikut terbang bersamanya. Pada saat ia melayang di udara, orang-orang akan berfikir betapa ringan tubuhnya.
Tidak hanya berhenti sampai di sana. Tulang pipinya yang sedikit meninjol, hidung mancung, dan bola mata biru cerahnya ,yang merupakan warisan kuat dari ayahnya, semuanya tertata dengan dindah di wajahnya. Setiap detail yang diciptakan di wajahnya, selalu terlukis dengan indah. Ekspresinya saat menari, terpancar dengan kuat. Menambah tiap-tiap detail keindahan dalam tarian yang dimainkannya. Tarian yang dibawakannya begitu hidup. Mereka yang melihatnya akan paham dan terhanyut dalam keindahan itu.
Sang angsa begitu lemah. Wajahanya begitu menahan perih yang tak tertahankan. Memluk tubuhnya sendiri, seolah itu akan membantunya untuk melawan rasa sakit yang menyerangnya. Kaki-kaki rapuhnya mulai goyah. Hanya perlu menunggu waktu hingga akhirnya lutut sang angsa melekat pada tanah yang dipijaknya.
Dia tidak akan kuat menahan penderitaan ini.
Perlahan kepalanya menunduk menghadap tanah yang menggendongnya. Tidak ada lagi harapan untuknya. Tidak ada kekuatan yang tersisa untuk melawan semua penderitaan itu. Semua telah sirna, maka berakhirlah perjalanannya.
“prok..prok..prok..” tepuk tangan meriah yang ditujuka untuk Alanna, begitu ia selesai membawakan tariannya.Ruangan itu kembali gaduh setelah, untuk beberapa saat hening, dan tarian itu adalah penyebabnya. Alanna tersenyum dengan reaksi teman-temannya. Ekspresi angsa yang putus asa tadi sirna seiring dengan keriuhan itu.
Mrs.Batley, pembimbing klub balet berjalan menuju tempat Alanna berdiri. Ia masih menepuk-nepuk kedua tangannya. Tanda ia juga sama kagum dengan yang lainnya.
“Bagus sekali, All. Kurasa aku sudah membuat keputusan” wanita itu tersenyum ramah. “kamu yang akan tampil pada International Ballet Competition, bulan depan!”
Padasaat itu Alanna tersenyum lebar. Tidak mungkin ia menolaknya
*
“kamu tau apa yang Mrs.Batley katakan tentang kompetisi itu? Itu adalah jalan tersingkat untuk kompetisi internasional! Aku hanya perlu memenangkan kompetisi bulan depan dan aku akan mengikuti kompetisi tingkat internasional! Kamu tau apa artinya itu? Aku harus bisa menang bulan depan!” Alanna bercerita dengan penuh semangat tentang kompetisi yang akan diikutinya bulan depan. Ia bahkan belum menyentuh makan siangkanya sedikitpun. Sepertinya ia sudah cukup kenyang hanya dengan menceritakan kebahagiaannya.
“aku harus berlatih lebih keras lagi. Lawan-lawanku tidak bisa dianggap remeh. Mereka pasti orang-orang ang hebat!”
“ya ya ya..” William nyaris tertawa melihat wajah penuh semangat Alanna. Apalagi dengan ocehannya yang membuat ia telihat lucu. William tidak bisa menahan diri untuk tersenyum. “setidaknya habiskan dulu makan siangmu. Lalu silahkan lanjutkan ceritamu”
Alanna tertawa, kemudian melahap suapan pertama makan siangnya.
“Ally” Seru William saat Alanna inin memasukkan sendok ke dalam mulutnya. “selamat! Kamu memang hebat, sama seperti ibumu.” William tersenyum manis.
Alanna menyuap makanannya kemudia mengunyahnya dengan cepat, lalu menelannya. “kamu pernah melihat maa menari?”
“tidak” jawab William sambil mengunyah sisa makanan di mulitnya sebelum ditelan. “tapi papa menceritakan bahwa ibumu penari yang hebat!”
“yeah, ayahmu benar”
*
Alanna, akhir-akhir ini juga sudah menganggap ruang musik sebagai rumah keduanya. Setelah memaksa Finnian untuk menjemputnya lebih lambat, maka disinilah ia sekarang. Berdiri di depan piano yang sedang dimainkan William. Dan Alanna memainkan Biola yang berada di pundaknya.
“bisa naikkan temponya?” Pinta Alanna. William tersenyum dengan tantangan tersebut.
Tempo dari lagu yang mereka mainkan bertambah cepat. Hentakan tumit kanan William semakin kencang ingga pada akhirnya ia menyerah untuk mengentakkan mereka. Alanna dengan lincah menekan-nekan string biolanya, dan menggesek-gesekkan bow dengan mahir. Bow di tangan Alanna bergerak semakin cepat. Hingga akhirnya tempo sari kedua alat musik itu seperti salaing mengejar.
Melodi yang berantakan terdengar aneh di telinga, namun mereka masih terus bermain dengan sesuka hati mereka. Jari-jari Alanna mulai terasa pegal. Begitu juga dengan William. Keduanya tertawa mendengar kolaborasi mereka yang berantakan. Kemudian mereka berhenti bermain. Alanna duduk di samping William.
“kacau sekali!” seru Alanna.
“yeah, tidak semua yang cepat itu bagus.”
Alanna memperhatikan jari-jarinya, warnah merah cerah terlihat jelas di ujung-ujung jarinya. Kemudian ia meniup-niupnya.
“Tapi cepat itu menantang!” Alanna kembali berdiri di depan Piano. Biola yang tadi di mainkannya segera di kembalikan ke tempat semula. “bisa mainkan Annie’s song?” Pinta Alanna. William mengangguk dan mulai memainkan pioanonya lagi.
Alanna mulai bergerak. Hanya gerakan ringan dari beberpa gerakan balet. Lagipula ia menggunakan Sneekers, bukan sepatu baletnya. Tapi biar bagaimanapun, orang-orang akan tau betapa lentur tubuh itu.
“terus mainkan!” Alanna berjalan ke luar ruangan. Terus berjalan hingga ia dapat melihat ke luar melalui jendela. “You fill up mi senses-John denver tetap mengalun lembut di udara. Alanna bisa melihat sedan merah berhenti di depan sekolah. Laki-laki tinggi berambut coklat keluar dari pintu pengemudi. Alanna segera masuk ke ruang musik tempat William masih asik bersama piano.
“Finnian sudah menjemput” Alanna menyambar tasnya yang tergeletak sembarangan di atas lantai. “sampai ketemu besok!” Alanna tersenyum, kemudian menghilang di balik pintu. Untungnya William sampat mengucapkan “bye” dan membalas senyuman itu.
Sampai bertemu besok? William tidak sabar menanti hari esok tiba. William memainkan pianonya, berharap beberapa lagu yang dimainkannya akan mengantarkannya kepada hari esok.
*
Langit biru yang cerah, dengan gumpalan awan-awan putih yang beragam bentuknya. Angin sepoi yang sejuk bercampur dengan kehangatan sinar matahari. Beberapa burung terbang bersama rombongannya menuju pantai. Mungkin begitulah gambaran kota Sligo di pagi hari.
Murid kelas satu, tepatnya kelas Alanna, sudah berkumpul di tengah lapangan. Pelajaran olahraga memang selalu dilakukan di pagi hari saat matahari belum mengeluarkan panas teriknya. Setelah melakukan pemanasan yang diikuti asal-asalan oleh beberapa siswa perempuannya. Inti dari pelajaran olahraga akan segera mereka hadapi. Setelah Mr.Trox mengeluarkan suara lantangnya melewati kumisnya yang memutih.
“mungkin kalian semua sudah cukup famliar dengan istilah lari sprint. Kita akan mencobanya hari ini, dimulai dari siswa putri” baru satu kalimat yang terucap dari bibir berkumis Mr.Trox tapi beberapa parempuan sudah mengeluarkan sepuluh keluhan mereka. Mereka tentu akan memilih berada di dalam ruangan sambil mengecat kuku-kuku mereka dari pada berlari, kemudia berkeringat dan bau.
Mereka tetap mengoceh, mengeluarkan desas-desus keluahan mereka. Tapi tidak ada satupun yang berani mengeluh langsung kepada Mr.Trox. beberapa detik kemudian suasana hening, setelah Mr.Trox memplototi mereka dengan wajah tua yang garang. Setelah itu Mr.Trox menjelaskan tata tertib olahraga itu.
Dari sekian banyak siswa perempuan, hanya beberapa yang sama sekali tidak mengoceh. Bisa dibayangkan betapa berisiknya kelas itu dengan beranggotakan wanita-wanita bawel. Salah satu dari mereka yang sama sekali tidak mengeluh adalah, Alanna. Baginya, untuk apa membuang tenaga dengan mengeluh. Lebih baik tenaga itu disimpan untuk mendapatkan A+ pada pelajaran ini.
Lima orang siswa berbaris sejajar di antara garis-garis putih panjang yang memisahkan mereka satu sama lain. Tiga di antaranya memasang wajah muram, merengut dengan bibir maju, yang membuat wajah mereka terlihat aneh. Alanna, dan teman di sampingnya hanya diam, fokus pada garis akhir. Menyiapkan kuda-kuda merekauntuk segera berlari. Bahkan sebelum berlari, jantung mereka berdetak kencang.
Suara pluit plastik Mr.Trox bergema di lapangan. Tepat setelah pluit itu berbunyi, kelima perempuan tadi berlari meninggalkan garis start.semua berlari kencang di awal di awal permainan, namun belum setengah dari jalur lintasan beberapa dari mereka sudah kelelahan, dan kecepatan mereka turun drastis.
Alanna dan teman di sampingnya berlari dengan kecepatan tetap. Berlari, bukanlah hal besar bagi Alanna dibandingkan dengan menari berjam-jam tiada henti. Apalagi jika itu gerakan yang rumit yang menguras tenaga! Mungkin, karena teman di sampingnya ini juga seorang penari balet seperti dirinya. Alanna tidak begitu heran jika mereka saling mengejar.
*
Tidak ada satupun yang melihat lirikan jahat itu. Terlebih karena lirikan itu hanya berlangsung selama sepersekian detik saja. Derap kaki mereka begitu kencang. Mungkin tidak ada yang melihat dengan jelas bagaimana kaki kiri gadis itu menghantam kaki kanan Alanna.
Keduanya kehilangan keseimbangan. Tidak sampai sedetik setelah itu keduanya jatuh dengan tanah keras menyambut tubuh mereka. Keduanya dapat meresakan panas di tubuh mereka. Entah itu panas dari tubuh mereka yang kelelahan berlari, atau karena tanah keras itu bergesek kasar di kulit mereka.
Keduanya terjatuh, orang-orang tentu akan mengira bahwa semua ini sebuah ketidak sengajaan. Hanya keolengan seorang gadis yang tidak terlalau fokus pada lintasan.
Tetapi di depan sana, ada yang melihatnya dengan sangat jelas. Dan detail.
*
“Argh..” Alanna mengerang di atas tanah keras itu. Berusaha bangkit dan ia dapat merasakan perih di sekitar tubuhnya. Beberapa orang, termasuk Mr.Trox datang mengerubuni mereka dan membantu mereka untuk berdiri.
“kalian baik-baik saja?” Tanya Mr.Trox saat mereka berdiri. Alanna tidak menjawab, namun ia mengerang saat kaki kanannya dipijakkan ke tanah. Alanna merasakan sakit di mana-mana. Kedua matanya menyapu seluruh tubuhnya, dan ia mendapati beberapa luka lecet di tubuhnya. Lututnya memerah, dan bintik kecil berupa darah keluar dari sana. Serpih-serpih tanah bahkan melekat pada lukanya.
Melihat keadaan Alanna yang hanya meringis (Alanna tidak akan meringis jika tidak benar-benar sakit. Dia mirip dengan seorang pria) dan keadaan anak perempuan di sebelahnya yang juga mengalami luka lecet, Mr.Trox segera menyuruh beberapa orang untuk mengntar mereka ke ruang kesehatan.
*
Alanna bersi keras bahwa ia baik-baik saja. Itu hanya luka lecet biasa yang akan hilang sakitnya dalam hitungan hari. Sakit di pergelangan kaki kanannya dapat diabaikan karena Alanna masih sanggup berjalan bahkan ia yakin hanya dengan krim pegal-pegal murahan sekalipun, sakit itu pasti akan lenyap.
Lyana, orang yang jatuh bersamanya tadi meminta maaf saat mereka berada di ruang kesehatan. Entah berapa kali ia meminta maat atas ketidak sengajaannya itu. Ia menjelaskan bagaimana ia hanya terpaku pada garis akhir dan tidak fokus pada lintasan. Alanna segera memaafkannya, bahkan berkali-kali karena Lyana juga tidak henti-hentinya meminta maaf. Alanna meyakinkan bahwa ia akan segera sembuh dalam waktu dekat. Yang pasti sebelum kompetisi itu berlangsung, 4 hari lagi. Padahal Alanna cukup khawatir kejadian ini akan menghalanginya untuk kompetisi itu. Alanna juga mengkhawatirkan luka-luka Lyana yang sebenarnya bukan apa-apa. Hanya sedikit ringan dan beberapa hari kedepan akan berubah menjadi koreng.
Alanna segera keluar dari ruang kesehatan, menukar baju olahraganya dan beristirahat di dalam kelas. Sesekali ia merasa nyeri di pergelangan kaki kanannya. Namun Alanna mengabaikan rasa sakit itu. Menurutnya penari balat pasti pernah mangalami hal yang sama. Atau mungkin yang lebih parah..
*
Alanna memilih untuk tidak makan siang hari ini. Pergelangan kakinya terasa semakin sakit , dan itu membuatnya malas untuk bergerak apalagi berpindah tempat. Namun Alanna masih bersyukur, kaki kanannya masih bisa digerakkan. Artinya, itu bukan sesuatu yang parah, kakinya tidak patah. Mungkin Alanna akan menghabiskan waktunya di sini hingga sekolah usai. Kekhawatirannya berambah saat Alanna merasa nyeri saat pergelangan kakinya bergerak.
*
William duduk di bangku piano yang hampir setiap hari didudukinya. Jari-jarinya bergerak lincah di atas tuts hitam putih. Sesekali ia bersenandung atau bahkan bernyanyi. Melodi yang dimainkannya terdengar indah, namun William merasa ada sesuatu yang kurang.William berhenti bermain dan menatap biola yang bersandar di dekat dinding. Kemana Alanna? Karena dialah bagian yang kurang itu.
William sudah berada di sini sekitar lima belas menit yang lalu. Ok, baru lima belas menit namun terasa cukup lama bagi William. Banyak kemungkinan kemungkinan yang bisa Alanna lakukan dalam lima belas menit itu. Bisa saja ia masih mengerjakan tugasnya yang hampir selesai, pergi ke toilet, atau mungkin sudah pulang ke rumahnya.
William sedikit kecewa memikirkan kemungkinan yang terakhir. Biar bagaimanapun Alanna belum pernah seterlambat ini untuk ke ruang musik. ‘cukup’ pikir William. Ini sudah terlalu lama baginya untuk menunggu. Ayolah William, ini baru lima belas menit!
William berdiri dari bangku pianonya dan memutuskan untuk mencari Alanna di kelasnya.
*
Lyana Lought, seorang perempuan feminim yang cantik dan sangat anggun. Rambut pirang sepunggungnya yang berkilau sangat indah dengan kulit putih pucatnya. Mata hijau dan hidung paruh burungnya melekat indah di wajahnya. Ditambahlagi dengan poni yang menutupi jidatnya,predikat imut pasti menjadi miliknya.
Berberapa tahun lalu seorang pria pirang bermata biru menyatakan cinta padanya. Barwyn Matheo. Sungguh Lyana tidak bisa membohongi perasaannya, dan bagaimana ia tidak dapat menahan kagum dengan laki-laki tampan di hadapannya itu. Barwyn adalah laki-laki yang tidak banyak bicara bahkan Lyana jarang sekali berbicara dengan Barwyn sebelumnya. Sulit untuk mempercyai bahwa laki-laki itu mencintai Lyana. Namun itulah kenyataannya. Barwyn tidak banyak berbicara, namun tiap tidakan yang dilakukannya seakan selalu bisa membuat Lyana tersenyum. Lyana begitu bersyukur mendapatkan lelaki manis itu. dan yang lebih membuat Lyana senang adalah laki-laki itu berada di sekolah yang sama dengannya.
Ia juga seorang primadona dalam klub balet. Kemampuannya dalam menari tidak bisa diremehkan. Tubuhnya yang lentur dan gerakannya yang anggun, selalu menyita perhatian Mrs.Baltey dan teman-temannya. Di sekolah lamanya, ia selalu di tunjuk untuk mengikuti berbagai lomba balet, dari kontes-kontes biasa hingga ajang bergengsi. Tak jarang pula ia keluar sebagai pemenang. Walau tak jarang juga ia kalah dalam kompetisi.
Ia telah mengetahui tentang Balet Internation competition sejak beberapa bulan lalu. Dan untuk alasan itulah, ia berlatih setiap hari hingga berat badannya turun beberapa kilo. Yang membuatnya sedikit kesal adalah celanannya yang menjadi kebesara dan seringkali turun saat ia berlari. Ia selalu membayangkan bagaimana jika ia berada di panggung dengan cahaya terang dan tepuk tangan penonton yang menangis terharu. Hal itu yang membuatnya tidak kenal lelah untuk berlatih. Mimpi-mimpinya untuk maju ke dunia internasional selalu bisa membuatnya tersenyum.
Namun pada hari itu, senyum akan mimpi-mimpinya menghilang. Diganti dengan tamparan pedas dari Mrs.Batley. ia berlatih keras lelah setiap hari, bahkan untuk membuat PR saja dia nyaris tidak sanggup lagi sangkin lelahnya. Sepatu baletnyapun ikut menjadi korban atas kerasnya latihan yang ia lakukan.
Dunia ini tidak adil! Itu hal pertama yang Lyana sadari saat Mrs.Batley menghampiri Alanna dan menyerahkan kompetisi itu kepada Alanna. Kerja kerasnya sia-sia begitu saja hanya dengan ucapan dari Mrs.Batley.
Tidak ada yang tau bagaimana sakitnya perasaan gadis pirang itu. tidak Mrs.Batley apalagi Alanna yang tersenyum puas. Setelah keluar dari ruangan yang penuh tepuk tangan itu, ia menangis sejadi-jadinya. Tanpa ada satupun yang tau.
Ia tidak menyalahkan dirinya sendiri, dia sudah cukup menderita dengan latihan itu. akhirnya ia sadar satuhal. Mrs.Batley tidak tau betapa gigihnya dia. Harusnya ia yang mendapatkan kompetisi itu kalau saja, Alanna tidak ada.
Dalam lari Sprint pagi ini, entah kenapa ia bisa bersebelahan dengan Alanna, orang yang tidak ingin ditemuinya saat ini. Melihat wajah focus Alanna saja membuatnya jijik. Saat Mr.Trox meniup pluitnya mereka bersaing, dan persaingan itu sangat sengit karena Alanna adalah wanita yang tangguh.
Ditengah-tengah pertarungah sengit itu, muncul ide jahat yang entah datang dari mana. Mata kejamnya melirik ke kanan, tepat pada wajah Alanna. Akting nya begitu hebat, sengaja menyandung kaki kanan Alanna dan tidak ada seorangpun yang tau bahwa itu disengaja. Termasuk Alanna sendiri, yang fokos menatap ke depan.
Meminta maaf dengan nada memelas yang sebenarnya membuat ia jijik sendiri. Dan dengan bodohnya Alanna memaafkannya, dan yang membuat Lyana semakin muak adalah saat Alanna mengkhawatirkan luka-luka kecilnya.
Awalnya ia merasa tidak puas dengan Alanna yang masih dapat berdiri bahkan berjalan setelah ia sempat berkata bahwa pergelangan kaki kanannya sakit. Rasanya Lyana ingin menendang kaki Alanna sekali lagi agar ia tidak dapat berdiri. Namun setelah melihat Alanna tidak beranjak dari tempat duduknya seharian ini, ia merasa puas. Setidaknya itu akan menghambat latihan baletnya, atau bagian yang paling disukai Lyana. Alanna tidak bisa ikut kompetisi dan dia yang akan menggantikannya. Sekalipun Alanna tetap bersikeras untuk ikut, Lyana yakin ia hanya akan kalah dengan menanggung malu atas keegoisannya sendiri.
Lyana baru saja keluar dari toilet setelah menata rambut dan penampilannya. Sekolah mulai sepi dan ia harus segera sampai di rumah. Namun tangan kekar yang begitu dikenal Lyana, menahannya untuk keluar dari Toilet wanita yang agak bau itu.
“Barry..” Lyana tersenyum begitu mengetahui siapa pemilik tangan kekar itu.
“yang kamu lakukan pagi tadi, itu sengaja kan?” Barwyn mengintrogasi kekasihnya itu, dan Lyana hanya mengeryit tidak mengerti. “Lari Sprint dan kamu sengaja menyandung kaki kanan Alanna”
Lyana terdiam kemudian menelan ludahnya. Ia yakin aksinya tadi begitu sempurna, seharusnya tidak ada seorangpun yang tau akan hal itu, termasuk Barry! Lyana tetap memasang wajah tidak mengerti.
“jawab Lyana!” bentak Barry. Lyana tersentak kaget. Barwyn itu jarang berbicara apalagi membentak! Ini kali pertama Barrylah membentaknya. Wajah Lyana memanas, kemarahan dan ketakutan menjadi satu.
“aku tidak melakukannya! Kamu tau itu semua tidak sengaja, aku focus pada garis finish dan tidak memperhatikan langkahku! Apa kamu tidaj percaya padaku?!” Lyana balas membentak.
“tentu aku tidak mempercayainya! Kau tersenyum licik sambil sebelum kejadian itu,melirik Lyana dan kaki kanannya! Kemudia kau berpura-pura focus ke depan dan tubuhmu semakin bergerak ke kanan!”
“itu ti_”
“iya itu benar! Aku lihat semuanya karena aku ada di depanmu saat itu!” Barwyn mengenduskan nafasnya , setelah beberapa saat nafasnya tertahan oleh omongannya. “dan karena aku sangat mengenalmu” kata-kata terakhirnya terdengar lirih.
“Barry..” Lyana bersiap untuk menangis matanya mencari-cari mata Barwyn, namun Barwyn menundukkan wajahnya. “Maafkan aku..” Lyana berusaha untuk berbicara di tengah tangisannya. “kamu benar. Semua yang kamu katakana benar. Aku mendengar semua ucapanmu dengan jelas, bahkan tiap katanya. Dan aku dengar jelas ucapanmu yang terakhir”
Saat itu segalanya terasa hening. Hanya desah dari keduanya yang terdengar. Namun ada satu suara lagi, bukan dari mereka berdua namun orang lain. Orang itu berjalan pincang, dengan susah payah menghampiri mereka. wajahnya memerah dengan garangnya.
“Jadi itu semua sengaja?!” Alanna berusaha menahan emosinya. “tapi Kenapa?”
Lyana masih menangis tanpa menjawab pertanyaan Alanna. “Kenapa?!” Alanna meninggikan suaranya dan membuat Lyana tersentak kaget. “kamu tau kompetisi balet itu akan berlangsung kurang dari satu minggu lagi! Dan kamu sengaja membuatku terjatuh?! Kamu tidak tau betapa aku mendambakan kompetisi itu!”
“itulah tujuanku!” pekik Lyana. “Kau sendiri tidak tau bagaimana perasaanku saat tidak mendapatkan kompetisi itu! kau kira bagaimana usahaku untuk mendapatkannya?! Aku yakin kau tidak akan kuat jika menjadi aku! Kau kira hanya dirimu yang mendambakan kompetisi itu?! aku juga! Asal kau tau itu!”
“Lyana cukup!” bentak Barwyn.
“Diam Barry! Biar kujelaskan semuanya pada gadis sialan ini!”
“dia tidak bersalah!”
“kau membelanya?!” Lyana menatap Barwyn tajam, menembus air matanya. Barwyn menunduk. Kemudian ia membelakangi Lyana dan menjauh dari tempat itu. Lyana menangis sejadi-jadinya.
“Kau lihat!” di tengah-tengah isakannya. “Kau rebut kompetisi itu dariku, dan sekarang kau rebut Barwynku juga?!”
“aku tidak merebutnya darimu!”
“kau mengambil segalanya dariku Alanna! Dan kau pantas dengan kaki pincangmu! Kuharap kau kalah dalam kompetisi itu! kuharap kau mempermalukan dirimu sendiri dalam kompetisi itu! oh, itupun kalau kau masih bisa mengikutinya. Aku juga berharap agar kakimu tidak pernah sembuh”
“jadi kau ingin menghentikanku?! Kuberitau kau satu hal! Apapun yang kau lakukan untuk menghentikanku, percayalah kau tidak akan berhasil. Dan pergelangan kakiku yang sakit ini, bukanlah apa-apa bagiku untuk mundur!”
“kita lihat saja nanti nona sialan! Kau atau aku yang akan berdiri di kompetisi itu!” ia tersenyum sinis dengan airmata yang masih mengalir dari matanya. Berjalan keluat dari toilet itu dan dengan sengaja menghantapkan bahunya pada Alanna.
Jika saja yang tadi itu bukan perembuan, pasti Alanna sudah memukulinya habis-habisan! Alanna menggerakkan kakinya yang makin bertambah sakit. Ia mulai ketakutan, bagaimana jika ia kalah dalam kompetisi itu? atau yang lebih buruknya, ia tidak bisa mengikutinya. Ketakutan, kemarahan dan rasa sakit membuatnya tidak mencium aroma aneh di toilet itu.
“Ally!” suara yang begitu di kenalnya , dan tidak jauh berada di dekatnya. Ally menoleh pada suara itu, dan benar tebakannya, itu suara William. Ally menebak, William pasti akan bertanya, sedang apa dia bediri di ambang pintu toilet dengan wajah garang.
*
William menuruni anak tangga, karena ruang music berada di lantai dua bangunan itu. William tidak keberatan untuk mencari Lyana, walaupun ia kurang suka harus melewati toilet perempuan, yang memiliki bau aneh.
Dia baru saja turun dari tangga, dan ia dapat mendengar dengan jelas suara teriakan wanita yang menurut perkiraan William berasal dari toilet perempuan. Dari antara teriakan itu, William mengenali sebuah suara. Suara Alanna. William segera berjalan ke sana. Tak lama kemudia Lyana keluar sambil menangis dan sepertinya terburu-buru. William semakin bertanya-tanya, apa sebenarnya yang terjadi.
William tidak bermaksud untuk masuk ke dalam toilet wanita, apalagi dia tau bagaimana baunya. Namun di ambang pintu itu, Alanna berdiri dengan wajah penuh kekesalan.
“ally!” panggil William. Ally mendengarnya, kemudian berbalik menghadap William. “Aku baru akan mencarimu ke kelas.” Ally tidak merespon . Biasanya di saat seperti ini Ally pasti akan menanggapinya dan tidak membirkan ada kekosongan dialog di antara mereka. William berusaha mencari pokok pembicaraan dan ia mengingat apa yang baru saja di lihatnya. “tadi aku melihat Lyana keluar dari sini, tapi dia menangis. Kamu tau kenapa?”
Ally menatap William, kali ini matanya penuh dengan kesedihan. Dan William sudah ketakutan akan ucapannya barusan. “nanti kuceritakan, ayo kita ke ruang music” Alanna tersenyum menatapnya.
*
William memasang kedua telinganya baik-baik saat Alanna menceritakan apa yang terjadi padanya. mulai dari wajah polos Lyana hingga akhirnya semua terbongkar. William paham bahwa bagian tersakit dari cerita itu bukan saat Alanna terjatuh dan luka-luka. Tetapi Kekhawatiran jika ia tidak bisa berdiri di di panggung Internasional Ballet Competition adalah bentuk sebuah kesakitan yang sangat mengerikan.
William sama geramnya dengan Alanna saat mendengar cerita itu. Begitu liciknya gadis mungil yang cantik itu. Tadinya Alanna hanya duduk manis di samping William. Namun hanya sebentar. Hanya untuk memberitahu William apa yang terjadi. Setelah itu ia berjalan pincang dan berdiri di tengah ruangan yang lapang.
Alanna melepaskan Sneekers-nya. Posisi badannya tegap dengan kakinya yang berdiri sempurna. Alanna tau pasti ini akan menyakitkan, tapi yang terpenting ia bisa melakukannya. Kedua tumitnya mulai naik meninggalkan lantai. Alanna berusaha untuk menahan sakitnya. Semakin tinggi dan semakin tinggi. Alanna sadar, tidak ada tarian balet yang akan lolos kompetisi tanpa gerakan menjinjit khas tari balet. Kaki-kakinya belum berdiri dengan kokoh, namun dengan kejam dirobohkan oleh rasa sakitnya.
William dengan sigap menuju Alanna. Syukurlah, Alanna masih berdiri walaupun nyaris jatuh. William tidak punya niat sedikitpun untuk meninggalkan Alanna. Walau hanya semeter saja. Alanna berusahakembali mencoba. Dan ia meringis saat melakukannya.
“Ally, jangan dipaksa jika belum bisa”
Alanna berhenti mencoba lalu menatap William dengan penuh kesedihan, ketakutan, kekecewaan, semuanya bercampur aduk.
“aku harus bisa, Will” Alanna kembali mencoba. William berdiri tepat didepannya. Alanna hampir bisa namun ia kembali goyah. William tau betapa sakitnya Alanna. Saat Alanna mulai hilang keseimbangan, William segera menengkram kedua tangan Alanna sebelum ia di sambut oleh lantai keras.
“Alanna! Hentikan!”
*
Finnian memperhatikan langkah Alanna dari belakang, saat mereka akan memasuki rumah. Finnian sebenarnya telah menyadari langkah pincang Alanna saat ia berjalan menuju mobil. Saat Finnian bertanya apa yang terjadi dengan kakinya, Alanna hanya menjawab sekedarnya “jatuh”.
Finnian memperhatikan wajah adiknya, yang menurut tebakan Finnian sedang bad mood. Finnian sedang tidak ingin memancing emosi Alanna, atau lebih tepatnya tidak memancing emosi Alanna dalam suasana seperti ini.
Selama di perjalanan mereka hanya diam. Beberpa lagu Lobo yang diputar di radio terus mengalun walaupun dua bersaudara itu tidak mendengarkannya. Finnian sadar ada sesuatu yang aneh dengan adiknya. “ini bukan Ally. Ally seharusnya cerewet dan sedikit menyebalkan”
Begitu tiba di rumah, Alanna tetap tidak mengucapkan sepatah katapun. Finnian mengetahui bahwa Alanna memaksa kaki-kakinya untuk tetap berjalan normal. Namun cara berjalan Alanna tersebut terlihat aneh di mata Finnian. Karena Finnian sangat kenal dengan cara berjalan Alanna.
Tidak sampai di sana keanehan yang Finnian lihat. Seharian itu Alanna tidak ke kemana-mana selain di kamar tidurnya. Mengurung diri di kamar seperti itu tentu bukan Alanna. Seharusnya ia berada di atas sofa dan melemparkan beberapa bantal ke wajah Finnian. Atau memergoki Finnian yang sedang menelpon pacarnya. Kemudian menertawainya. Dan satu lagi, seharusnya mereka bertengkar hari ini. Karena bertengkar adalah jadwal rutin harian mereka. Yeah, harusnya ada hal sepele yang mereka ributkan hari ini.
*
Alanna mengurung dirinya di kamar. Berdiri di depan cermin yang memantulkan bayangannya. Alanna bisa melihat pergelangan kaki kanannya mulai membengkak. Alanna menarik nafas panjang kemudia menghembuskannya. Perlahan-lahan ia mencoba untuk menggerakkan kaki kanannya. Inya Memetur-mutar pergelangan kakinya dan itu membuatnya meringis.
Kompetisi itu akan tiba dalam empat hari lagi. Bagi Alanna tidak ada alasan untuk menjadi anak mannja. Satnya ia menjadi tangguh dan lawan rasa sakit itu. Lagipula hanya pergelangan kakinya yang sakit, bukan sekujur tubuhnya. Dan Alanna yakin, itu tidak akan menghentikan langkahnya.
Perlahan-lahan Alanna menarik tumitnya dari atas lantai. Perlahan tapi pasti, kedua tumitnya bertambah tinggi. Alanna menahan rasa nyiluyang menjadi-jadi saat itu. Dia hampir bisa dan memang dia harus bisa. Bengkak pada kakinya yang terisi dengan penderitaan memaksa Alanna untuk memejamkan matanya. Menahan rasa sakit yang amat sangat.
“Ally”
Alanna kaget dengan panggilan itu. Kaki-kakinya goyah dan membuat tubuhnya hilang keseimbangan. Nyaris ia menjatuhkan tubuhnya ke lantai keras dan dingin. Namun syukurlah ia dapat menyeimbangkan tubuhnya kembali.
Alanna melihat bayangan di cermin, Finnian berdiri membelakangi pintu, sedang menatap bayangan Alanna di depan cermin. Alanna segera berbalik menghadap Finnian.
“Finnian, harusnya kamu ketuk [intu dulu! Apa aku harus berteriak setiap hari untuk mengingatkanmu?!”
Finnian memancungkan bibirnya seperti akan membalas semburan Alanna. Walaupun di dalam hati Finnian merasa sedikit lega. Setidaknya, adik kecilnya itu sudah kembali nenjadi sedikit menyebalkan.
“kamu memang harus punya cukup suara untuk meneriaki ku setiap hari” Finnian menjulurkan lidahnya, mengejek Alanna. “Mrs.Panola tidak bisa mengajar hari ini. Jadi kamu tidak punya jadwal latihan balet sore ini. Dia berusaha menghubungimu beberapa kali tapi tidak ada jawaban. Dia baru menelponku setelah itu. Memang di mana kamu letakkan ponselmu?”
“entahlah, aku lupa” Jawab Alanna asal.
“kuharap kamu menghilangkannya di suatu tempat” Alanna memplototi Finnian.
“kakimu kenapa?” Finnian beralih pada kaki kanan Alanna.
“aku sudah jawab pertanyaan itu tadi di mobil”
“itu tidak spesifik sama sekali. Biar kutebak!” Finnian memasang wajah ‘Edison sedang berfikir-nya. Kemudian menjawab dengan wajah berbinar “Kamu terpeleset di toilet dengan kepala membentu kloset kan? Ah! Pasti benar! Pantas tadi baumu sama seperti toilet!”
“Finnian!!”
*
“Kenapa kamu memanggilku malam-malam begini?” Ciaran mengendurkan kerah bajunya.
“alasan pertama, Klinikmu baru tutup di malam hari. Jadi kubiarkan kamu pulang ke rumah dulu untuk memberikan kecupan selamat malam pada istrimu. Kedua, nona kecil itu baru akan tidur di malam selarut ini.” Jawab Finnian seraya menuntun Ciaran.
“Maksudmu Ally?”
“yup! Nona kecil mana lagi yang ada di rumah ini? Kulihat dia berjalan pincang dan pergelangan kakinya bengkak.” Finnian menoleh pada Ciaran, memastikan kakaknya itu mendengarkannya dengan baik.
“Maa tau?”
“tidak, kamu tau bagaimana Ally” Finnian mengangkat bahu. “Dia tidak diperlakukan seperti bayi” Mereka tiba di depan pintu kamar Alanna.
Finnian meletakkan telunjuknya di depan bibir, member isyarat agar jangan membuat suara. Finnian hanya diam dengan ekspresi yang biasa di keluarkannya. Finnian memutar knop pintu kamar Alanna, kemudiam membuat celah agar Finn dapat melihat ke dalam. Bola mata Finnian menyapu seluruh ruangan, dan tepat seperti dugaannya, Alanna sudah tertidur. Hey Finn! Ini pukul sebelas malam! Finnian membukan pintu itu lebar-lebar setelah benar-benar yakin Alanna terdidur. Finnian masuk pertama, setelah itu Ciaran. Mereka segera menuju kasur.
“Kamu lihat pergelangan kaki kanannya?” Bisik Finnian setelah perlahan-lahan menarik selimut yang dikenakan Alanna. Ciaran mengangguk, kemudian memeriksa pergelangan kaki Alanna. Tentu dalam pemeriksaan seperti ini Ciaran harus menyentuh bagian yang bengkak itu. karena Ciaran bukan peramal yang dapat menyimpulkan sesuatu hanya dengan melihatnya sekilas.
Alanna mengerang saar Finnian menggerakkan kakinya.
“Ci! Pelan-pelan!” seru Finnian tertahan. Ciaran tidak menggubrisnya dan tetap focus memeriksa. Alanna mulai mengerang dan Finnian berada di sampingnya. Mengelus-ngelus kepala adiknya dan berharap ia akan tetap tertidur.
“aarrggg!” Alanna memekik tertahan. Ia terbangun dari tidurnya dan melihat Ciaran berada di dekat kakinya. Sedang menekan-nekan pergelangan kakinya yang sakit. “aaargghh!” suara Alanna terdengar semakin keras.
“Ci! Aku menyuruhmu untuk memeriksanya! Bukan menyakitinya!” Finnian membentak dengan suara tertahan.
Ciaran memandang Finnian sekelilas sambil berkata “kalau begitu silahkan lakukan sendiri” dengan nada dinginnya yang khas. Finnian hanya diam, membuang pandangannya dari Ciaran dan beralih pada adiknya. Alanna masih mengerang kesakitan, sepray birunya menjadi korban cengkraman.
“Apa yang kalian.. arrgghh!” Alanna tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. Tapi Finnian tau Alanna akan berkata apa.
“Tidak ada maksud untuk membunuhmu nona. Tapi memang harus begini untuk menyembuhkan pergelangan kakimu. Kalau tidak percaya, silahkan tanya langsung pada dokternya”
Alanna berhenti mengerang ketika Ciaran melepaskan tangannya dari kaki Alanna. Wajahnya serius dan tatapannya ditujukan kepada Alanna dan Finnian.
“Sepertinya kamu jatuh dengan posisi kaki yang salah. Salah satu uratmu ternyepit, itu sebabnya kakimu bengkak”
“dan sekarang sudah tidak terjepit lagi?” potong Finnian. Ciaran menghelas nafas, kemudian mengangguk. Finnian tersenyum lebar sama halnya dengan Alanna.
Ciaran baru akan melanjutkan kata-katanya, sebelum Alanna ikut-ikut memotong. “Berarti sudah sembuh? Besok aku bisa kembali menari seperti biasa!”
“tidak secepat itu All. Mungkin perlu beberapa hari atau minggu untuk sembuh.” Kekecewaan jelas tergambar pada wajah Alanna, begitu juga dengan Finnian. “Besok aku bawakan salep untukmu. Sekarang tidurlah.”
Ciaran melirik jam tangannya kemudian berkata “selamat malam” dan berjalan menuju pintu. Ia harus segera pulang sebelum sarah, istrinya, kebakaran jenggot mengkhawatirkannya. Finnian tetap berada di samping Alanna. Tidak ada niat untuk meninggalkan adiknya sendirian dalam keadaan seperti ini.
“Ci..” panggil Alanna saat Ciaran hampir lenyap di balik pintu. “terimakasih” Alanna berusaha tersenyum.
“harusnya kamu bilang begitu pada Finn, dia yang menyuruhku untuk datang ke sini” Ciaran tersenyum jahil pada Finnian, kemudian ia benar-benar lenyap di balik pintu.
“jadi kamu yang memanggil Ciaran?” Alanna mulai mengintrogasi. Finnian hanya menjawab “ya” dengan nada malas-malasan tanpa melihat Alanna.
“kalau begitu terima kasih” Alanna tersenyum manis, untuk Finnian walaupun ia tidak menatap Finnian. Alanna kembali berbaring di atas kasurnya, kemudia menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya kecuali kepala.
“tidak masalah” jawab Finnian, kemudian bangkit dari sebelah Alanna dan berjalan menuju pintu.
“finn” Alanna memanggilnya, dan finnian menghentikan langkahnya kemudia menoleh. “jangan bilang Maa.. dan Dad juga!”
“Aku tau!”
*
Dengan hari-hari yang tersisa, sepulang sekolah tepatnya, Alanna masih berada di ruang music bersama William. Perbedaannya adalah, Alanna membawa sepatu baletnya ke mana-mana, dan ia memaksa William untuk memainkan beberapa lagu klasik, sebagai pengiring latihan tari baletnya. Jadwal latihan khusus yang Alanna buat sendiri.
William bahkan tidak pernah tersenyum dengan permainannya, tidak setelah melihat Alanna kesakitan dengan tariannya sendiri. Sikap khatarir William yang tidak jarang mengingatkannya, justru membuat Alanna cemberut bahkan marah. Alanna menganggap William memperlakukannya seperti anak kecil, yang tidak tau apa yang harus dilakukan dan mana yang tidak. William pun bingung sendiri dengan kondisi ini.
Satu hal yang membuatnya tetap memainkan jari-jarinya di atas tuts piano. Keinginan gadis itu begitu besar. Terlihat jelas dari binar matanya saat menari dan meminta William untuk bermain. Rintih kesakitan itu bahkan tidak memudarkan binar matanya. Apa yang William tak dapat lakukan adalah mengecewakan gadis di depannya. William meyakinkan dirinya sendiri bahwa Alanna gadis yang kuat. Bahkan ia harus menganggap Alanna itu laki-laki untuk meyakinkan dirinya sendiri.
“Ally..” William berhenti memainkan lagu klasik yang di minta Alanna. William menatap perih pada gadis di depannya. Berkasutkan sepatu balet, namun dengan celana jeans dan Kaos Punknya. Ujung rambut-rambut pendeknya basah diguyur keringat. Punggung Kaosnyapun mulai berkeringat. Dan William beralih pada kakinya. “Kenapa kamu begitu memaksakan diri? Kamu masih punya tahun-tahun selanjutnya. Dan lihat pergelangan kakimu, masih bengkak! Dan aku tau itu sakit!”
Kali ini Alanna tidak mengeluarkan ocehan ataupun kemarahannya. Ia tersenyum menatap William. Ia tau anak laki-laki polos itu begitu mengkhawatirkannya. Dia laki-laki yang baik. “Kalau kamu berada di posisiku, aku yakin kamu juga akan melakukan hal yang sama. Seandainya jari-jarimu teriris pisau dan kompetisi piano akan tibadalam hitungan hari, apa yang akan kamu lakukan? Aku yakin kamu akan melupakan jari-jarimu yang teriris dan tetap bermain piano. Dan begitu pula denganku. Rasa sakit di kakiku ini, bukan apa-apa jika dibandingkan dengan tekadku untuk kompetisi itu.”
William masih terdiam.
“lagipula Ciaran memperbolehkanku untuk latihan. Walaupun dengan berbagai macam ‘Tapi’” Alanna terkikik sendiri sementara William tersenyum perih. “Ciaran bilang memang harus digerakkan supaya tidak kaku.”
“Apa tidak sakit?”
“ah.. kamu kan tau aku ini bukan bayi kecil yang manja. Lagi pula rasa sakitnya sudah mulai berkurang, begitu juga dengan bengkaknya.” Alanna menunjukkan kaki kanannya. “lagipula aku sudah bersusah payah meyakinkan Mrs.Batley bahwa aku bisa mengikuti kompetisi itu. Dan Mrs.Batley sebenarnya tidak memiliki niat untuk menggantikanku.”
“yeah, karena kamu adalah yang terbaik” malu-malu William mengakuinya.
Wajah Alanna merona merah mendengarnya.
William hanya terdiam dengan senyuman pahit. Gadis di depannya ini begitu gigih dan pantang menyerah. Mengingatkan William kepada, Keavy. Tentu saja itu semua berdasarkan cerita ayahnya. Bukan berarti ayahnya adalah seorang pria penggosip. Tapi ayahnya memang senang menceritakan betapa gigihnya dia.
“Jadi” Alanna melipat kedua tangannya. “mau diam di sini sampai Finnian menjemputku? Ayo latihan!”
*
Sore itu hujan turun dengan lebatnya, memaksa Lyana Lought untuk berteduh di kios terdekat. Beberapa menit lalu ia keluar dari toko roti langganannya, sebelum hujan membuat rambutnya sedikit basah. Beberapa yang nekat masih berlari-lari di tengah hujan lebat itu, dan sebagian besar memilih bertahan di kios-kios terdekat. Lyana memegangi kotak rotinya. Roti itu masih panas hingga Lyana merasakan kehangatan di telapak tangannya.
Seorang pemuda berambut coklat berlari-lari menuju tempat berteduh yang paling dekat. Dan pemuda itu berada di sebelah Lyana sekarang, sedang mengusap-ngusap wajahnya yang di basahi rintikan hujan. Lyana mengenali orang itu sejak ia berlari ke sini, dan sepertinya orang itu tidak melihat Lyana.
“hay Nic..” sapa Lyana pada akhirnya. Hanya diam pada pacarmu sendiri yang berdiri di sebelahmu tentu rasanya sangat aneh. Walaupun mereka tidak berbicara dalam dua hari terakhir. Tepatnya sejak insiden di toilet itu.
Barwyn menatapnya dengan tatapan kaget. Kaget karena Lyana ada di sini, atau kaget karena dia belum mau bertemu Lyana. “hay” balas Barwyn pada akhirnya.
“aku tidak bisa berbasa-basi lagi” Matanya lurus menatap Barwyn, walaupun Barwyn tidak menatap matanya. Lyana mendesah “aku ingin kita seperti dulu. Tidak seperti dua orang yang tidak saling mengenal. Aku tau, aku memang bersalah pada Alanna dan_”
“Lyana..” ucap Barwyn. Lyana berhenti berbicara dan akhirnya Barwyn membalas tatapannya. “Maafkan aku, tapi ucapanmu mempersulitku untuk mengatakan” Barwyn menarik dalam-dalam, kemudia menghembuskannya. “Sepertinya aku tidak mencintaimu lagi”
Lyana berharap telinganya tuli pada saat itu. Berharap ucapan itu tidak benar, atau berharap orang di depannya bukan Barwyn. Orang yang sangat dicintainya. Namun Lyana sadar, bahwa ia baru membersihkan telinganya tadi malam. Lyana menatap lekat-lekat bola mata biru Barwyn, hidung mancungnya, dan bentuk bibirnya yang agak tipis. Dia tidak mungkin salah melihat, dia sungguh mengenal orang ini. Orang yang berdiri di depannya memang benar-benar Barwyn.
“Maafkan aku..” ucap Barwyn lirih.
“kenapa?” mata Lyana seperti mendidih, air mata turun membasahi pipinya.
“maaf..”hanya itu yang dapat Barwyn ucapkan.
Lyana menarik ingusnya kemudian menyeka air matanya dengan kasar, seakan menunjukkan ia orang yang kuat. “Apa kamu mencintai orang lain?”
Barwyn hanya diam. Matanya jauh menerawang ke bawah. Tidak berani membalas tatapan Lyana.
“Apa orang itu Alanna?” Barwyn mendongak saat nama itu keluar dari bibir mungil Lyana.
“kenapa kamu bisa berfikir begitu?”
“karena perasaanku berkata begitu”
Barwyn mendesah. Ia tau dia sudah sangat berdosa menyakiti hati perempuan mungil di sebelahnya. “Lyana.. kamu memang tidak pernah berubah. Kamu sangat mengerti aku bahkan kadang aku berfikir kamu dapat membaca pikiranku. Tapi, jujur aku katakan mungkin aku memang menyukainya. Tapi mungkin juga tidak. Aku tidak mengerti dengan perasaanku sendiri. Yang aku tau, rasa cintaku sudah padam” Barwyn mendesah lagi. “oh Tuhan! Maafkan aku Lyana! Aku sudah sangat menyakitimu! Kamu boleh membenci bajingan sialan ini, lakukan apapun yang kamu inginkan padanya! Aku akan terima!”
Setelah ucapan itu berakhir, sebuah kecupan lembut mendarat pada bibir tipis Barwyn. Membuatnya terbelalak karena tidak menyangka akan mendapatkannya. Itu hanya sebuah kecupan singkat. Barwyn tau, Lyana harus menjijit tinggi untuk menggapai bibirnya.
Niholas terpaku menatap Lyana. Air mata masih mengalir di wajah manis Lyana. Lyana berusaha untuk tersenyum. “Hanya itu yang ingin kulakukan padamu. Karena aku tidak bisa membencimu”
Barwyn masih mematung setelah itu.
“Kamu tau aku masih mencintaimu, dan bagaimanapun aku mengharapkanmu agar tetap bersamaku.. rasanya akan sia-sia jika kamu tidak mencintaiku lagi. Lagipula, apapun yang dilakukan dengan paksaan tidak akan berjalan bagus pada akhirnya. Dan karena aku masih sangat-sangat mencintaimu, apapun yang bisa membuatmu bahagia, lakukanlah! Karena aku akan bahagia melihatmu bahagia” Lyana berusaha menghentikan air mata yang tidak mampu dihentikannya. Berusaha untuk senyum padaha ia ingin berteriak dan memukuli sesuatu. Rasa sakit menggrogotinya.
“tapi aku masih menyayangimu” Barwyn menunduk “walau tidak seperti dulu”
“Aku tau..”
Dua tahun memang bukanlah waktu yang singkat, dan selama itu mereka berdua bersama. Sulit bagi Lyana untuk percaya bahwa Barwyn tidak mencintainya lagi. Tapi kenyataan memaksanya untuk percaya. Dan apa yang bisa dia lakukan? Ia begitu lemah dengan laki-laki manis itu. Rasa cintanya terlalu besar untuk memaki atau menampar laki-laki itu. Terbesit senyuman laki-laki itu di kepalanya saja sudah cukup meredam emosinya. Berfikir bahwa melihat senyuman laki-laki itu setiap hari pasti sudah cukup baginya. Dan ia sudah tidak dapat membuatnya tersenyum lagi. Saatnya mengalah dan membiarkan orang lain yang akan membuatnya tersenyum. Setidaknya dia masih bisa menikmati senyuman itu kan?
Dan kata-katanya tadi “apapun yang dilakukan dengan paksaan tidak akan berjalan bagus pada akhirnya.” Dia sadar betul akan kata-katanya tersebut. Ia sudah dapat membayangkan akibat keegoisannya dalam beberapa detik sebelum mengucapkan kalimat itu. Otaknya memang berkerja dengan bagus jika berkaitan dengan laki-laki itu.
Dia mulai berfikir tentang paksaaan yang dilakukannya. Salah satu keegoisan yang kekanak-kanakan dan pastinya memalukan. Apalagi Barwyn adalah orang pertama yang mengakuinya. Dua hari lagi Alanna harus menghadapi kompetisi dan dua hari lalu ia baru saja membuat kakinya bengkak. Ia mulai sadar, mungkin paksaan yang dilakukannya itu seharusnya tidak perlu terjadi. Betapa rendah dirinya sampai nekat melakukan hal itu. Padahal ia masih punya tahun-tahun selanjutnya untuk mengikuti kompetisi itu.
Alangkah senangnya menjadi Alanna. Dia seperti bidadari bertato yang dikelilingi kebahagiaan. Kemampuan baletnya yang luar biasa, perawakannya yang cantik, dan dicintai oleh banyak orang termasuk Barwyn. Memang pedih jika di bayangkan. Namun kehidupan masih dan akan terus berjalan. Meninggalkan masa lalu dan terus bergerak maju menuju masa depan. Ia masih memiliki waktu untuk menemukan kebahagiaannya.
Bukankah kebahagiaan itu seharusnya dirasakan? Bukan dicari?
Berharap saja Lyana akan segera menyadari hal itu setelah ini.
-_- MAAPPP!!!!!! gajenya nggak ketulungan u.u hehe beberapa hari aku cuma bisa bikin begini... sekali lagi maaf mengecewakan :(
Tidak ada komentar:
Posting Komentar