Rabu, 19 Juni 2013

Bow and String-9

Mereka berada di lantai tiga bangunan itu. Tidak ada atap, hanya ada tembok yang membatasi pinggirannya. Di ketinggian ini, walaupun tidak terlalu tinggi seperti gunung pencakar langit, tetap saja angin di atas sini berhembus sedikit lebih kencang. Alanna duduk di atas tembok pembatas itu, kaki-kakinya mengarah keluar  dan pandangannya menerawang jauh. William sudah mengingatkannya untuk tidak duduk di tembok itu, hanya saja Alanna terlalu keras kepala untuk mendengarkannya.

Mereka melewatkan makan siang, dan William lebih senang mengikuti Alanna dari pada menyantap makan siangnya. Alanna terlihat murung sejak pertama kali William melihatnya setelah pulang dari New York. William sudah mendengar bahwa Alanna gagal dalam kompetisi itu, dan William bersyukur karena gadis-gadis di kelasnya suka bergosip, sehingga William tidak perlu bertanya lagi pada Alanna dan membuatnya merasa semakin sedih.

“Kenapa kamu mengikutiku ke sini?” Alanna bertanya tanpa memandang William. Nada suaranya tidak bisa di katakan sinis, suara itu terdengar sangat tidak ekspresif.
“Karena wajahmu murung hari ini”
“Apa kaitan wajahku dengan kamu membuntutiku ke sini?” Alanna menoleh pada William.
“Aku khawatir kamu naik ke laintai tiga dan bunuh diri. Kukira kamu tidak keberatan jika aku mengikutimu.”
Alanna tersenyum, lebih tepatnya menahan tawa “Aku tidak sebodoh itu samapai berpikir untuk bunuh diri”
“Kamu tau, orang yang frustasi bisa saja bertidak bodoh”
“Memangnya aku terlihat frustasi?” Alanna memiringkan kepalanya.
“begitulah”
Alanna tersenyum sambil mengulum bibirnya “Apa aku masih terlihat frustasi?”
“Uhm.. Tidak separah yang tadi”

Alanna masih tersenyum dan pandangannya kembali pada pemandangan di sekitarnya, menatap mereka semua dengan tidak fokus. “kamu juga tidak separah yang dulu lagi”.William mengerutkan keningnya, namun ia tidak berniat untuk bertanya lebih lanjut.

“All, aku cukup ngeri melihatmu duduk di situ”
“Tenang, aku tidak akan jatuh. Kamu sudah mengingatkanku tiga kali”

William hanya geleng-geleng kepala kemudian berdiri di sebalah Alanna. Tangannya merogoh-rogoh saku sebelah kanannya, kemudian mengeluarkan sebuah kotak kecil dengan bungkusan berwarna merah. Ada pita emas yang mengikatnya, terlihat seperti kado natal.

“Happy Birthday, All” Alanna menoleh pada William yang sedang mengulurkan kotak kecil itu.
“Untukku?” Alanna memastikan.
“Siapa lagi yang ulang tahun hari ini?” William berusaha mengalahkan kegugupan di dalam dirinya. Dia sudah lelah memikirkan kado apa yang tepat untuk Alanna, bahkan ia kesulitan tidur untuk memikirkannya. Belum lagi hal itu memakan waktu berhari-hari.
“Terimakasih” Alanna tersenyum seraya meraih kotak kecil itu. Ia menggoncang-goncang kotak itu dan benda kecil di dalamnya menimbulkan suara. “boleh aku buka sekarang? apa isinya?”
“Terserah, itu sudah menjadi milikmu”

Alanna menatap William lekat-lekat, tepat pada sepasang bola mata birunya. William tidak bisa melarikan pandangannya dari mata itu. terlalu indah untuk di lewatkan, namun terlalu mematikan karena jantungnya berdetak sangat keras. William tidak peduli ia serangan jantung saat ini, yang terpenting ia bisa menikmati mata itu.

“Kamu tidak sependiam dan sepemalu seperti dulu” Alanna berali pada kotak merah kecil itu dan tersenyum melihatnya.“Kamu orang pertama yang mengucapkan selamat untukku”  Alanna tersenyum. Senyum yang membuat William segera sadar akan hayalan tingkat tingginya.
“Benarkah?” entah kenapa saat itu wajah laki-laki sinting yang sempat membuat William panas muncul di kepalanya. “kukira Barwyn sudah mendahuluiku. Eh, maksudku memberikan kado tadi pagi”
“Laki-laki enah itu?!” Alanna melipat kedua tangannya di depan dada. “Aku lebih senang jika dia sama sekali tidak ingat ulang tahunku daripada dia harus bersimpuh seperti pangeran idiot”
William tersenyum menahan tawa mendengar dan melihat ekspresi Alanna saat mendeskripsikan pangeran idiot itu. William senang karena Alanna menyebutnya idiot, apalagi dengan ekspresi kesalnya!
“Kukira kamu menyukainya” William memancing Alanna, memastikan bahwa ia tidak salah dengan analisanya.
“Oh! Kamu Kedengarannya seperti Finn. Kamu pikir aku sudah tidak waras sampai suka dengan lelaki gila itu?!”
“Kalau begitu Lyana sudah tidak waras” William mencoba meredakan emosi yang dipancingnya.
“Kurasa begitu. Kamu tau, aku pernah baca buku dan buku itu mengatakan bahwa cinta itu gila, dan aku yakin mereka berdua sama-sama gila karena cinta”
“Bisa jadi” William masih tersenyum.
“Bungkin aku cukup kurang ajar mengatakan mereka berdua gila” seru Alanna.“well, sebenarnya aku setuju mereka gila” gumam William dalam hati
“Biar bagaimanapun, sebenarnya aku tidak paham apa itu cinta sebenarnya. Dan aku merasa terlalu kecil untuk hal-hal semacam itu, aku bahkan tidak pernah tertarik pada siapapun. Tapi aku yakin aku masih normal, kuharap kamu tidak pikir macam-macam soal aku. Aku hanya merasa terlalu muda untuk masalah cinta.”
“Kamu tidak siap untuk cinta?” William membuka mulutnya.
“Tidak siap dan tidak mengerti lebih tepatnya.” Ralat Alanna.
William merasa senang karena Alanna sama sekali tidak menyukai Barwyn, bahkan kesal padanya! hatinya yang panas seperti tersiram air pegunungan yang dingin. Namun mendengar Alanna tidak tertarik pada siapaun sebenarnya membuat William terkejut dan itu sedikit menyakitkan. Karena, William juga mengharapkan Alanna dapat merasakan apa yang dirasakannya. Entah seberapa kecil atau seberapa besar William mengharapkannya.
“Baiklah, berarti diskusi soal cinta, kita tutup sampai di sini” William menutupnya secara formal “bisa kita turun sekarang? turun dari lantai tiga pasti memakan waktu”
“Baiklah” Alanna bersuha memutar badannya untuk turun dari tembok itu. “Bisa pegang sebentar?” Alanna menyerahkan kotak kecil itu kepada William. William membantunya turun saat melihat Alanna kesulitan untuk memutar tubuhnya. William menggenggap tangan Alanna erat-erat hingga ia yakin bahwa pegangannya cukup erat sekalipun Alanna terjatuh dari sana, Ia sungguh mengkhawatirkan gadis kecil itu.
“Lain kali jangan duduk di sana, mungkin kali ini kamu tidak jatuh tapi siapa yang tau kapan kamu akan jatuh” Celoteh William saat Alanna sudah berdiri di depannya.
“Baiklah, ka-kek” cibir Alanna.  
William melempar kotak kecil itu ke arah Alanna dan berhasil di sambut dengan mulus olehnya.
“Hey” Alanna menyikut lengan William. “Aku senang kamu agak cerewet”

*

Sepulang sekolah, Finnian menculik Alanna dengan tidak mengantarkannya ke rumah. Padahal ia harus segera tiba di rumah setidaknya untuk makan siang, karena ia belum makan siang dan beristirahat sebentar sebelum kelas baletnya dimulai. Finnian persis seperti penculik di film-film, fokus pada jalan tanpa sedikitpun menyebutkan ke mana tujuan mereka. Alanna duduk hanya duduk tenang di bangku penumpang karena yakin sekali Finn tidak akan menganiayai-nya seperti di film-film. Walaupun ia kelaparan dan ingin sekali menggigit Finnian.

Perjalanan mereka cukup lama dan Alanna sudah sangat penasaran dengan tujuan mereka. Hingga akhirnya mereka berhenti di sebuah Cafe yang kelihatan lengang. Finnian menyuruhnya turun dan Alanna membuntutinya dari belakang. Alanna kenal dengan Cafe ini. Ini salah satu favorit ayah dan ibunya, Aidans.

Finnian mendorong pintu itu dan Alanna terkejut melihat apa yang ada di dalamnya.

“Happy Birthday!” pekik mereka semua yang ada di dalam. Tidak ramai tapi cukup lengkap dengan Sarah, Lindsay, dan Ryan.  Ada kue tart yang lumayan besar di atas meja yang sudah dihias. Mereka bernyanyi bersama-sama dan Alanna tidak dapat menyembunyikan senyumnya yang lebar.

*

Alanna berbaring di atas kasurnya. Ia baru saja membuka hadiah kecil yang diberikan William. Alanna bisa merasakan dinginnya besi Whistle thin itu di telapak tangannya. Isi dari kotak kecil itu adalah gantungan Whistle Thin yang terlihat antik dan Alanna sangat menyukainya. Alanna sempat mengira William akan memberikannya hal-hal yang berbau wanita seperti, kalung, gelang atau apalah yang mereka sangkutkan di tubuh mereka. Tidak jarang Alanna mendapatkan hadiah seperti itu dan hanya akan berakhir di dalam lemari tanpa pernah Alanna mencobanya.

Hari ini sungguh menggembirakan! Alanna bahkan sudah melupakan kegagalannya dalam kompetisi itu. Ditambah lagi saat ia kelaparan ada kue tart yang lezat disediakan khusus untuknya. Ia juga tidak latihan balet sore ini, lagipula ia masih sangat lelah setelah pulang dari New York kemarin.

Alanna menggenggenggam Whistle thin itu kemudian meniupnya pelan karena tidak ingin mengganggu seisi rumah. Alanna mengakui, pilihan William itu lumayan juga.

*

William menyetujui permintaan ayahnya untuk kuliah di California. Mark sudah terlalu sering mengelilingi Amerika akibat pekerjaannya dan ia sudah mengamati universitas-universitas seni terbaik di sana. California Institute of the Arts, merupakan salah satu yang terbaik di amerika. William tentu akan berusaha keras untuk masuk ke sana, demi membanggakan kedua ayahnya dan dirinya sendiri tentunya.

Ia tau California dan Irlandia sangatlah jauh, itu artinya ia harus berada jauh dari gadis yang menggemparkan hatinya. William menyadari sesuatu, ini pertama kalinya ia tertarik pada seorang perempuan dan iya yakin begitu. Jadi, jika ini yang pertama kalinya William yakin pasti ada yang selanjutnya. Ini pasti salah satu dari cinta monyet yang diderita para remaja, William yakin sekali pada kalimat itu. coba pikirkan, berapa banyak orang yang menikahi cinta  pertamanya? Mungkin hanya satu dari sekian ribu orang, dan William tidak begitu yakin bahwa Alanna akan menjadi yang terakhir. Kehidupan William masih panjang, ia harus terus maju ke depan. Lagipula Alanna sama sekali tidak tertarik padanya, dan William meyakini itu setelah mendengar penjelasannya tadi siang.

Jika Alanna tidak mencintainya dan William tidak yakin bahwa Alanna adalah yang terakhir, tentu itu bukan Alasan untuk tidak meninggalkan Irlandia. William merasa seperti Alanna saat ini, merasa terlalu kecil untuk masalah cinta dan sekarang bukan saatnya untuk yang seperti itu. Ia hanya harus fokus pada pelajarannya dan setelah itu mungkin ia akan menanggapi hal-hal yang berkaitan dengan cinta.

Tapi, untuk malam ini William membiarkan dirinya menatapi langit-langit kamar sambil membayangkan wajah Alanna hingga akhirnya ia tertidur dan berharap akan memimpikan gadis yang sama.

*

Beberapa bulan telah berlalu sejak William meninggalkan kota Sligo dan terbang ke California. Ia memang si jenius musik dan ia diterima di California Institute of the Arts, yang katanya salah satu yang terbaik di Amerika. Alanna menyadari, ia tidak akan melihat William untuk waktu yang sangat lama. Itu sedikit membuatnya sepi, meskipun tidak banyak waktu yang mereka habiskan bersama, namun mereka memang pernah melalui waktu bersama. Apalagi Alanna sudah menganggap William sebagai teman ngobrol yang menyenangkan. Dan teman seni yang luar biasa!

Alanna berada di perpustakaan saat ini, ia mengamati buku-buku tahunan yang tersusun rapi di rak kayu yang tinggi. Alanna bisa melihat sampul-sampulnya dari yang paling jelek hingga yang paling rapi, baru di letak beberapa bulan lalu. Alanna mengambil buku tahunan yang paling baru, ia sendiri tidak tau mengapa mengambil buku tahunan itu. Karena jam istirahat masih lumayan lama, Alanna duduk pada salah satu kursi di sana dan mulai membuka lembar-lembarnya.

Alanna membuka lembar-lembarnya dengan cepat karena ia hanya ingin melihat wajah-wajah para alumni itu. foto-foto mereka tersusun rapi sesuai abjad. Beberpa halaman sebelum halaman terakhir, Alanna berhenti untuk membalikan halamannya dengan cepat. Nama lengkap William tertulis di sana, di samping nama itu, sebuah foto kecil dengan gambar wajahnya melekat di sana. Alanna terpaku pada tanggal lahirnya: 25 Maret 2018. Hanya tiga hari setelah ulang tahunnya! Alanna bahkan tidak mengucapkan selamat ulang tahun untuknya.

*

Beberapa bulan telah berlalu sejak Lyana berpisah dengan kekasihnya Barwyn. Lyana menjalani hidupnya seperti biasa, walaupun bayang-bayang kekasihnya selalu menjadi temannya ke manapun ia pergi. Ia hanya mendapatkan bayangannya. Itupun karena ia tidak mampu membinasakan bayangan Barwyn dari hati maupun pikirannya. Lyana cukup bahagia dengan hidupnya itu, ia sudah belajar untuk bersyukur, walau kadang ia masih meneteskan air matanya.

Ia masih berada di dalam ruang balet saat teman-teman satu klubnya sudah meninggalkan ruangan.  Ia masih ingin menari di depan kaca yang luas itu, ia masih bersemangat untuk berlatih sebelum menukar pakaiannnya dan pulang ke rumah. Tariannya mengalami kemajuan akhir-akhir ini dan itu membuatnya semakin bersemangat.

Lyana terpaku dengan bayangan yang ada di cermin luas itu. dia tidak akan heran dengan bayangannya, namun bayangan laki-laki tinggi dengan rambut pirang sedang berdiri di belakangnya, ia cukup heran. Mungkinkah itu imajinasinya akan Barwyn seperti yang sering dilakukannya? Lyana memejamkan matanya kemudian membukanya lagi dan bayangan itu tetap di sana, malah makin mendekat dengannya. Lyana menatap bayangan itu lekat-lekat.

“Maafkan aku” Lyana merasakan pelukan dari belakangnya. Saat itu Lyana ingin lompat kegirangan dengan kakinya yang lemah penuh kesenangan. Tadinya ia tidak yakin bayangan itu nyata, namun setelah merakan pelukan ini, ia yakin itu nyata. “Aku mencintaimu dan ingin kamu kembali padaku. Aku tau ini sangat egois, tapi aku hanya ingin mengungkapkannya. Jadi, seandainya kamu masih marah atau tidak menginginkanku, aku akan menerimanya. Tapi tolong, biarkan aku memelukmu sebentar saja. Aku merindukanmu”

Lyana memastikan bahwa indra pendengarannya baik-baik saja, Lyana tersenyum dalam pelukan itu dan membalikkan badannya. “Aku masih sangat mencintaimu, dan kamu boleh memelukku selama yang kamu mau!”








Hahaha bagian pertama selesai :D 
Komennya hayooo :D karena cerita ini masih jauh dari kata ‘bagus’..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar