Semalaman Scarlet terjaga. Efek
kafein, esai dan mungkin juga Kim Taehyung. Pria itu mengucapkan “Sampai jumpai jumpa lagi” di akhir percakapan.
Entah pria itu benar-benar ingin bertemu kembali atau sekedar basa-basi. Scarlet
tidak berharap akan bertemu dengan Taehyung lagi. Sekalipun mereka bertemu,
Scarlet harap Taehyung tidak mengungkit-ngungkit masa lalu mereka. Atau mungkin
lebih baik Taehyung menganggapnya sebagai orang asing saja. Ah, bukankah sesungguhnya
mereka layak disebut dua orang asing?
Bertemu dengan Kim Taehyung dewasa
membuatnya kembali mengingat Kim Taehyung lugu yang sangat belia. Dunianya yang
runtuh dan meninggalkan rasa pahit seolah terlupakan ketika Tehyung remaja
bersamanya. Taehyung pernah menjadi gula dalam kopi kehidupannya.
Scarlet tidak menyukai kopi, tetapi
tetap meminumnya di saat-saat tertentu. Kadang rasa bukan menjadi sesuatu yang
harus dipertimbangkan. Seperti meminum obat. Pahit bukan masalah ketika keinginan
untuk sembuh lebih besar dibanding rasa pahit itu sendiri.
Tiga menit lalu, secangkir teh di hadapan
gadis pirang itu masih menghasilkan asap tipis. Tidak ada keinginan untuk
meniup teh hangat itu. Tidak ada alasan untuk segera menyesap teh tanpa gula
tersebut. Teh tawar bukanlah kesukaan Scarlet. Ia hanya tidak ingin mengonsumsi
gula berlebih. Semua kue di kedai ini manis dan Scarlet tidak punya pilihan
lain sebab ia belum mengisi perutnya dengan apapun sejak pagi. Terimakasih
kepada esai sialan itu.
“Scarlet!”
Scarlet tak lagi menatap cangkir
teh di hadapannya dan menoleh pada sosok yang memanggilnya. Terkejut, tetapi sebisa
mungkin ia bersikap tenang. Menutup-nutupi, itu keahlian Scarlet. Ya,
bertemu Kim Taehyung lagi tidak ada
di rencana hidupnya.
Bibirnya membentuk sebuah senyum
tipis, sebagai balasan kepada lelaki di hadapannya.
“Kau sendiri? Boleh aku duduk di
sini?” kursi di depan Scarlet yang Kim Taehyung maksud. Scarlet mengangguk, belum
menemukan ide untuk kabur dari Kim Taehyung. Setidaknya dia harus kabur dengan
cara yang elegan, atau natural setidaknya.
“Ini kedai langgananmu?”
Scarlet menggeleng. “Hanya
sesekali, karena kampusku di seberang sana”
Pria itu mengangguk sambil melemparkan
pandangan ke seberang jalan. Padahal Taehyung sudah melihat bangunan kampus itu
sebelum tiba di kedai ini.
“Penginapanku di sekitar sini” ujar
Taehyung, takut jika dirinya dituduh stalker
atau sejenisnya. “aku hanya ingin jalan-jalan dan tidak sengaja melihatmu.”
Scarlet mengangguk dengan masih menyunggingkan senyum tipis, kemudian keduanya
hening. Tidak tau bagaimana cara memulai sebuah konversasi. Apa layak jika Taehyung
memperlakukannya sebagai teman lama mengingat mereka tidak berakhir dengan
baik-baik saja. Tetapi bertingkah sebagai orang asing pun rasanya tak pantas.
Gadis ini pernah singgah dan membahagiakannya.
“Aku tau ini terasa canggung” Taehyung
mengulum bibir bawahnya sedangkan Scarlet hanya menatap lantai, walau tak ada
apapun di sana.
“Aku rasa, aku paham mengapa kau
pergi waktu itu” sambung Kim Taehyung.
*
Makin hari Scarlet makin menganggap
dongeng-dongeng yang ia dengar dulu hanyalah bualan. Tentang setiap pangeran
dan putri yang selalu bersama dan berbahagia selamanya. Mereka hanya perlu
melawan beberapa orang jahat kemudian berbahagia.
Scarlet tak tau apa yang harus ia
lawan agar ia mampu bahagia. Waktu itu Scarlet kecil tidak begitu paham apa
yang terjadi. Ayah dan ibunya jarang bicara berdua, tetapi tak ada juga suara;
piring yang dibanting, umpatan yang memekakkan telinga, ataupun suara jeritan
tangis. Sang ayah hanya mengecup Scarlet, begitu juga dengan ibunya. Dua orang
itu, entah sejak kapan tak saling memberi kecupan atau pelukan. Scarlet tidak
menyadari apapun pada awalnya.
Suatu malam, sepasang mata kecil
Scarlet perlahan-lahan terbuka. Kesadarannya perlahan-lahan terkumpul, kemudian
dengan langkah terseok-seok hampir tersandung berjalan ke kamar mandi. Gadis dua
belas tahun itu merasa terlalu tua untuk ngompol di kasur.
Samar-samar Scarlet mendengar suara
sesegukan. Awalnya Scarlet agak ngeri mendengar suara tangisan di malam hari, tetapi
sebuah suara lain yang ia kenal masuk ke dalam rungunya. Terdengar samar, tetapi
Scarlet yakin jika pemilik suara itu adalah ayahnya. Scarlet agak tenang karena
ternyata ayahnya belum terlelap. Jika tangisan itu suara makhluk yang bukan
manusia, Scarlet hanya perlu berteriak maka ayah pasti akan menyelamatkannya.
Selalu begitu, ayah akan menyelamatkannya dari apapun; teman-temannya yang
jahat di sekolah, anjing kakek Tom yang suka mengejar orang, ataupun bunga
tidur yang membuat putri kecilnya ketakutan.
Scarlet berjalan mendekati pintu tinggi
di hadapannya. Kesadarannya sudah terkumpul sepenuhnya. Awalnya Scarlet ingin
langsung membuka pintu itu ketika ia yakin suara tangisan tadi adalah milik
ibunya.
“Bagaimana
dengan Scarlet?”
Scarlet mengurungkan niatnya untuk
menarik gagang pintu yang hampir diraihnya. Scarlet tidak salah dengar. Ia yakin
namanya disebut.
“Aku, sampai kapanpun
adalah ayahnya. Tidak akan berubah.”
Walaupun
samar, tetapi gadis itu yakin ayahnya mengucapkan kalimat itu dengan mantap.
Isakan
ibunya belum berhenti. Susah payah wanita itu berusaha untuk kembali bicara.
“Bagaimana denganku?” ia mencoba mengendalikan tangisnya,
berusaha agar pria di hadapannya dapat mendengar ucapannya dengan jelas. “Aku mencintaimu”
Scarlet
hanya mendengar suara sesegukan ibunya selama beberapa saat. Scarlet masih
belum paham apa yang sebenarnya terjadi. Apa saja yang sudah ia lewatkan selama
tertidur tadi?
“Maaf” Scarlet kembali menaruh atensinya,
menunggu apa yang selanjutnya akan ia dengar.
“karna pada akhirnya hanya
tersisa kau yang mencintaiku, tanpa aku yang mampu mencintaimu lagi.”
Mungkin
sejak saat itu Scarlet mulai menyangsikan seluruh kisah cinta abadi yang ia dengar,
sebab; bahkan dalam mencintai pun seseorang bisa menyerah.