Toko Buku
Hari ini pun sama seperti
tiga belas hari sebelumnya. Jumlah pengunjung toko hampir tidak ada. Dalam dua
jam ini, Aka sudah tujuh belas kali memeriksa situs Toko Buku Aka. Belum ada
pesanan buku yang masuk, sama seperti seminggu terakhir.
Sesekali Aka membalas
beberapa pertanyaan calon pembeli mengenai ketersediaan buku. Kebanyakan dari
mereka hanya menjadi calon tanpa pernah menjadi pembeli. Aka belum patah
semangat, setidaknya selama tiga belas hari terakhir. Tepat sebelum hari ini.
Aka memandangi bola
lampu, pendingin ruangan serta steker listrik yang terhubung dengan
komputernya. Apakah biaya listrik bulan ini hanya akan menjadi kesia-siaan? Aka
tidak perlu membayar uang sewa toko buku. Itu membuatnya sedikit lega dan berkecil
hati. Bibinya yang dermawan, dengan suka rela memberikan Aka tempat untuk toko
buku yang sudah lama ia cita-citakan. Ruangan kecil dengan sedikit halaman
depan ini didapannya hanya dengan sebuah syarat: jangan sampai bangunan ini hancur.
Cukup mudah bagi Aka untuk menjalankan syarat itu. Sangkin mudahnya Aka merasa
dirinya benar-benar gagal.
“Padahal sudah tidak
perlu membayar sewa toko, tapi mengapa sulit sekali menjual buku-buku ini?”
Aka hampir menangis
ketika memikirkan dua hal yang sebenarnya tidak terlalu berkaitan itu. Modal
yang ia pinjam dari ibunya entah kapan bisa kembali. Hutang budi kepada bibi
semakin menjadi-jadi. Masa depan terasa suram sekali. Aka berjanji tidak akan
makan lebih dari dua kali sehari. Ia harus lebih hemat lagi.
Telpon genggam Aka
berbunyi. Ia memasang pengingat untuk menagih uang sewa kedai kopi di sebelah
tokonya. Bangunan ini sebenarnya berbentuk tiga ruang yang berjejer. Ruang
pertama adalah kedai kopi yang sepi sekali, lalu toko buku Aka yang tidak
berbeda, serta ruangan terakhir yang dirubah bibi menjadi kamar kecil untuk Aka
tinggali. Sesekali bibi juga tidur di kamar itu jika berkunjung. Tentu saja
seluruh bangunan ini milik bibi yang baik hati. Tugas Aka hari ini adalah
menagih uang sewa kedai kopi yang sudah lewat satu bulan. Belakangan ini Aka
hampir setiap hari ke sana untuk menagih, tetapi si pemilik kedai selalu
beralasan untuk menunda pembayaran. Jika Aka tidak bisa menghasilkan uang lewat
toko bukunya, setidaknya Aka harus rajin menyetorkan uang sewa dari kedai kopi.
Setidaknya Aka harus
menjadi gadis baik yang bertanggung jawab.
Kedai Kopi
Sebelum kedai ditutup, Kura
selalu membersihkan kedai kopinya. Mulai dari membersihkan jendela hingga toilet,
semua ia lakukan sendiri. Pemilik, barista, akuntan, sekaligus petugas
kebersihan untuk kedainya sendiri sebenarnya tidak terlalu melelahkan. Mengingat
betapa sedikit orang yang datang ke kedainya. Kura berniat untuk mempekerjakan
seseorang di bagian kasir sekaligus kebersihan, tetapi niatnya sudah hilang. Belakangan
ia tidak tenang karena usahanya yang nyaris gulung tikar. Ditambah lagi
keponakan pemilik gedung hampir setiap hari menagihnya uang sewa.
Kura memutar otak untuk
membayar uang sewa. Tidak ada harapan bank akan meminjamkannya uang untuk
sebuah tempat usaha yang tidak jelas prospeknya. Mau menggadaikan harta
berharga, tetapi semua sudah ia korbankan untuk membeli grinder, moka pot, cangkir, gelas, meja, kursi, dan lemari es. Ponselnya
yang sudah ketinggalan jaman tidak akan menghasilkan apa-apa. Lagi pula ia
butuh ponselnya untuk mendapatkan pesanan lewat daring. Walau itu hampir tidak
pernah terjadi.
Terbitlah sebuah ide di
kepalanya saat ia buang air. Ia akan membuka kedainya lebih lama. kopi adalah
minuman yang diminum untuk menghilangkan kantuk. Orang-orang lembur di malam hari pasti ingin minum kopi. Begitulah pikir
Kura, sehingga ia membuka tokonya hingga pukul empat pagi.
Pukul tujuh pagi, ia
sudah kembali membuka tokonya. Orang lembur
di malam hari dan harus bekerja di pagi hari pasti minum kopi. Begitulah pikir
Kura, lagi. Pukul tujuh hingga empat
pagi, begitulah selama dua minggu ini.
Ia hampir tidak pernah
pulang ke rumah dan tidur di sofa kedai yang sempit. Mustahil untuk tidur
terlentang sempurna. Lehernya pegal, kepalanya pusing, pikirannya sudah tidak jernih,
tetapi semangatnya masih tersisa. Sedikit. Mungkin sedikit lagi habis.
Semangatnya semakin
menipis ketika melihat tagihan listrik yang membengkak tanpa hasil apa-apa.
“Padahal sudah bekerja
lebih keras, kenapa hampir tidak ada yang minum kopi di sini?”
Kura hampir menangis
memikirkan usaha kerasnya yang percuma. Dia malu pada dirinya sendiri yang
menyedihkan, tapi juga bercampur marah. Dia sudah mengorbankan segalanya demi
kedai kopi yang didambakannya.
Ia mulai berfikir apa ia
terlalu muda dan naif untuk menghasilkan uang dari hal yang ia suka. Apa ketulusannya
ini hanya berakhir menjadi petaka?
Kepala kura pusing bukan
main. Siapapun pasti akan begitu dengan pola kehidupan tidak masuk akal ini. Sebutir
obat pereda nyeri mungkin cukup untuk membuatnya bertahan hari ini. setelah ia
meminum segelas air, tubuhnya menjadi sedikit segar. Ia membulatkan tekat: aku
akan berhenti jika aku benar-benar diusir dari tempat ini.
Jam dinding menunjukkan
pukul sebelas pagi. Di jam ini jarang sekali ada pelanggan yang datang. sejujurnya
tidak hanya di jam ini. Kura merebahkan kepanya di meja kasir sambil menutup
mata. Ia hanya ingin beristirahat sebentar.
Tiba-tiba pintu kedainya
terbuka. Kura segera meneggakan badannya walau kepalanya terasa berat.
“sial” umpat Kura dalam hati,
sebab keponakan pemilik gedung datang kembali.
Rasanya Kura ingin
pingsan saja.
“Selamat pagi” sapa Kura sambil
tersenyum. Di hadapan Aka, senyum itu sangat menyebalkan. Seandainya ia tidak
terlambat membayar uang sewa pasti Aka akan membalas senyumnya dengan tulus.
“Selamat pagi,” Sahut Aka
dengan senyum seadanya.
“Aku ingin meminta uang
sewa bulan Oktober” ujar Aka lugas. “oh iya, sekaligus bulan November. Sekarang
kan sudah Desember.”
Kura merogoh kantong
belakang jeansnya yang sudah pudar, bukan karena mengikuti tren tetapi karena termakan
zaman. Celana itu sudah delapan tahun umurnya. Sambil mengelurkan dompet kulit imitasi
yang sudah mengelupas dan cekung mengikuti bentuk bokong, Kura memohon maaf
atas keterlambatannya. Ia memberikan beberapa lembar uang yang ia ambil dari
tabungannya. Tidak ada lagi yang tersisa. Jika ada gadis nakal yang ingin
memorotinya, maka gadis itu sedang sial.
Aka menerima uang itu dan
menghitungnya. Aka ingin mengatakan bahwa uang sewa yang ia berikan jauh dari
jumlah lunas. Ini hanya seperdelapannya. Sejujurnya Aka jengkel dan ingin
berbicara lebih tegas dengan pria ini, tetapi ia mengurungkannya. Pria ini
sangat pucat, matanya hitam berkantung, serta urat-urat merah di matanya
terlihat jelas. Wajahnya kuyu dengan tulang pipi yang menonjol. Aka ingat
minggu lalu pria ini menggunakan baju yang sama, tapi hari ini bajunya terlihat
lebih longgar.
“Tifus ya?” pikir Aka.
“Aku akan transfer sisanya”
Aka mengangguk kemudian
pamit kembali ke toko bukunya. Ia merasa seperti seorang lintah darat setelah
menerima uang itu. Menyebalkan, kenapa pria itu harus terlihat memprihatinkan?
“Anda bekerja sendirian?”
tanya Aka.
“Iya, benar.”
“Kedai ini buka dari jam sepuluh
pagi hingga delapan malam bukan?”
“Dulu begitu, sekarang
dari kedai ini buka pukul tujuh pagi hingga empat pagi.”
“Sinting.” Untunglah Aka mampu menahan diri hingga tidak
mengucapkannya.
“Sejak kapan?” tanya Aka.
“Kira-kira dua minggu
lalu”
“benar, dia sinting.” Gumam Aka dalam hati.
“Hati-hati saat menutup
toko ya. Cek alat-alat yang menggunakan listrik dengan baik. Jangan sampai
terjadi kebakaran, bisa-bisa aku jadi gelandangan.”
Kura tersenyum walau
tidak menganggap candaan itu lucu.
Kura membukakan pintu untuk
Aka, kemudian ia kembali ke tempatnya dan merebahkan kepalanya. Yang tadinya
hanya sakit kepala, sekarang bercampur dengan kesedihan dan putus asa. Sekarang
Aka, gadis penagih uang sewa itu tau betapa menyedihkannya dia.
Kura lelah sakali. Ia ingin
tidur, tapi bagaimana kalau ada pelanggan? Kura bahkan tak yakin akan ada yang
datang hari ini. Seandainya memang tidak ada yang datang hari ini harusnya ia
tidur saja. Seandainya dia bisa membaca masa depan, Kura pasti punya jam tidur
yang lebih baik. Kepalanya terasa semakin pening.
Beberapa menit setelah
Kura hampir tertidur, pintu kembali terbuka.
Baru kali ini Kura
berharap lebih baik tidak ada pelanggan yang datang. Kura kembali menegakkan
badannya sambil menatap ke arah pintu masuk. Di sana sudah ada Aka yang berdiri
dengan sekaleng jus dan sebuah kantong berisi obat-obatan.
“Istirahat dan makan
dengan benar. Kalau sakit mana bisa bekerja.”
Aka meletakkan jus dan kantong
obat itu di atas meja kasir.
“Ini bukan obat terlarang
kok, hanya vitaman.” Aka membuka kantong itu dan memperlihatkan isinya. “Bibi
membawa banyak sekali setiap datang, nanti pasti akan dibawakan lagi.”
Ada kecanggungan
sepersekian detik di antara mereka.
“Aku akan kembali ke toko
buku”
Kura spontan berterima
kasih, “Lain kali silahkan minum di sini. Khusus untuk anda, gratis.”
Aka tersenyum jahil, “Tidak,
saya lebih suka anda bayar uang sewa tepat waktu.”
Pertama kalinya dalam
hari itu mereka berdua tertawa.
“Anda sudah berusaha
dengan baik.” Ucap Aka setelah tawa mereka reda.
Ya, Kura yakin ia sudah
berusaha dengan baik. Ia merasa lega.
“Terima kasih. Anda juga
sudah berusaha dengan baik.”
Aka tidak merasa ia berusaha
sebaik Kura. Apa benar ia sudah berusaha dengan baik?
Di depan pintu toko buku,
Ara teringat bulan lalu ruangan ini kosong. Berbeda sekali dengan saat ini. Ia
teringat dengan keragu-raguannya saat memutuskan membuka toko ini. Keraguan itu
ada sampai sekarang, tetapi Ara terus bertahan. Ia terus bergerak hingga ruangan
ini tertata dan dipenuhi buku. Orang yang ragu-ragu itu sekarang sudah menjadi
sedikit lebih berani.
Ara membuka toko pintu sambil
menyadari bahwa dia juga sudah berusaha dengan baik. Dia memutuskan berusaha
dengan baik untuk seterusnya.