Rabu, 20 September 2023

75 menit sebelum pukul 10 pagi

 

Tidak akan ada suara kehidupan di balik dinding ini hingga pukul sembilan pagi. Lampu teras balkon akan tetap menyala walau tak berguna. Waktu yang paling disukainya adalah ketika waktunya terhenti, setidaknya untuk sementara.

Empat puluh lima menit lagi aku harus pergi. Lima belas menit lagi harusnya dia sudah terjaga, atau mungkin sekarang pun sudah. Aku akan menunggu di teras balkon, walau sudah terlalu terik. Masih ada tujuh puluh lima menit lagi sebelum aku terlambat bekerja.

Sayup-sayup terdengar suara dari kamar sebelah. Ada perasaan hangat yang familiar setiap kali suara itu terdengar. Menunggu pintu kaca bergeser sambil berdebar.

Mimpi-mimpi masa kecil tidak lagi memiliki nyawa. Anehnya, kenangan itu seperti kubawa kemana-mana. Sudah banyak waktu yang berlalu, aku lebih memilih mimpi itu tetaplah seperti itu. Aku yang tidak lagi bermimpi ini sudah merasa cukup. Mungkin sebenarnya saat inilah, mimpi yang ingin kuwujudkan.

Jangan terlalu dipikirkan.

Ada beberapa peluang untuk mendapat uang lebih banyak dalam satu tahun ini. Pindah ke kota, pulau atau negara lain sebenarnya tidak masalah. Kenaikan jabatan di kota lain akan lebih mudah, dan penghasilan bertambah. Kalau aku yang dulu, mungkin sekarang sedang sibuk mengemasi barang-barang ke kardus. Ah bukan, kurasa aku sudah bekerja di tempat yang baru.

Akhirnya pintu kaca dari teras balkon sebelah terbuka. Wajahnya bengkak, ada air liur yang mengering di ujung bibirnya. Bekas jerawat yang menghitam semakin terlihat di area dagu dan pipi. Rambutnya berantakan dengan ikat rambut yang masih menyangkut.

“Wah, pagi sekali,” sapanya sambil melihatku dari atas sampai bawah. “Harus berangkat sepagi ini? Setiap hari?”. Itu adalah pertanyaan yang sudah berpuluh-puluh kali dilontarkannya.

“Sebenarnya ini sudah jam sembilan, tapi kalau menurut waktumu, ini memang masih sangat pagi.”

Dia tersenyum sembil separuh mengantuk. Seperti menanti kereta yang akhirnya tiba, kira-kira seperti itulah perasaanku. Entah sejak kapan menjadi seperti itu. Sejak aku tau kalau dia sangat cengeng? Sejak aku tau kalau dia tidak suka bergaul? Atau sejak aku tau kalau dia suka berbicara dengan hewan dan benda mati?

“Ah, aku iri denganmu,” aku selalu sadar kalau wanita ini hampir selalu berkecil hati. “Aku benci hidup! Aku bahkan paling benci dengan diriku sendiri.”

Ah, mungkin itulah sebabnya.

Aku tersenyum padanya sambil menahan panas terik di pelipisku. Di dunia yang luas ini, aku bisa ke manapun tapi berpura-pura terjerat di tempat ini. Itu karena aku yang paling menyayangimu.

Selasa, 23 Agustus 2022

Percakapan dengan Aku

"Silahkan bercerita, Aku" 
Berbicara dengannya seperti berbicara dengan diri sendiri. Namanya Akuinas, biasa dipanggil Aku. 

"Saya tidak ingin melanjutkan hidup" 

Aku sudah terbiasa mendengar kalimat seperti itu. Putus asa, marah, dan benci pada kehidupan.

"Mengapa demikian, Aku?" 

"Waktu saya terhenti, di saat yang sama waktu semua orang terus berjalan. Walau saya tidak suka pada kehidupan, saya menyayangi beberapa orang. Saya tidak marah pada siapapun selain pada diri saya sendiri. Mungkin saya marah pada beberapa orang, tapi saya paling benci diri saya sendiri." 

"Bukankah sebaiknya Aku mencoba memaafkan dan menyayangi diri sendiri?" 

"Apa ada alasan untuk demikian?" 

"Aku memaafkan orang-orang yang menyakitimu, bukan?" 

"Iya, kurasa" 

"Cobalah demikian pada diri sendiri" 

"Setelah mereka menyakiti saya, saya tak mau berurusan dengan meraka lagi."

"Jadi Aku tidak ingin berurusan lagi dengan orang-orang itu?"

"Jika bisa, begitulah."

Selasa, 02 Agustus 2022

Ke tempat yang jauh

Angin sepoi dan kapas-kapas di langit biru terasa begitu dekat dan jauh. Hari cerah yang membuatku ingin bermalas-malasan dan pergi yang jauh. 

Tempat entah berantah yang ingin kudatangi terasa jauh. Rute perjalanan yang tidak pernah terlihat, dan setapak yang terasa berputar tak berujung. 

Tiada keabadian, hanya hal buruk begitu setia menemani. Waktu terasa cepat dan lambat. Angin berhembus hanya mampir. Hujan singgah lebih lama bersama petir. 

Mata yang terpejam tidak selalu terlelap. 
Utopia yang kurindukan akan terasa semakin dekat, jika aku pergi ke tempat yang jauh. Suatu saat, besok atau lusa, aku akan pergi ke tempat yang jauh.  





Rabu, 09 Februari 2022

Hari Bahagia

Aku ingin luka yang terlihat. Berdarah, robek, atau lebam. Sangat menyebalkan karena 'hati' yang manusia kait-kaitkan dengan cinta bukanlah sebuah organ.


Ada sedikit kemajuan dalam hidupku. Dulu aku ingin mati karena situasi yang menyedihkan. sekarang, aku ingin bahagia kemudian mati. Aku akan pergi ke tempat yang indah dan cerah. Sambil menghadap langit biru aku akan tersenyum. 


Aku ingin ceritaku tidak berakhir menyedihkan. Di hari itu aku akan makan tteokbokki pedas dengan odeng yang banyak. Meminum minuman dingin kesukaanku hingga kedinginan. 


Hmm, kupikir ada baiknya luka-luka itu tidak terlihat. Di hari itu, tidak ada satupun bekas yang mengingatkanku akan hal buruk yang terjadi. Hari itu aku ingin bahagia saja sambil diterpa angin. 

Rabu, 08 Desember 2021

Pintu

 Teh hangat di hari yang dingin tidak banyak membantu. Setidaknya untukku. Di kamar sempit dan kumuh ini hanya ada sebotol air, cangkir yang jarang digunakan, dan sebuah teko yang terbengkalai. 

Kuketuk dinding kamarku dua kali. Barangkali aku akan menemukan tempat yang hangat saat pintu ajaib terbuka. 

Tidak ada apapun. 

Kucoba mengetuk tiga kali. Barangkali orang dari dimensi lain akan mendengar dan membiarkanku masuk.

Lagi. Tidak ada apapun. 

Kucoba ketuk empat kali. Mungkin di tempat itu ada banyak ketukan pintu dari orang-orang seperti ku. Mereka pasti kewalahan membuka pintu. 

Lagi-lagi, tidak ada apapun. 

Kuketuk lagi sebanyak lima kali. 

"Tolong, aku ingin pergi." 

Aku sepenuhnya sadar, berapa kali pun kuketuk dinding itu, dia akan tetap menjadi dinding yang dingin. 

Aku teringat sebuah serial animasi yang sempat kusuka, Fruits Basket. Aku tidak ingin menangis lagi. Aku ingin seperti Hatori, yang memiliki Mayu untuk menggantikannya menangis. Jika aku tidak menangis, mungkin aku akan bertemu seseorang seperti Mayu. Di saat itu, dunia pasti terasa sedikit lebih hangat.

Jumat, 03 Desember 2021

Selimut

Aku sangat suka tidur dengan selimut, walau di siang hari sekalipun. Di cuaca panas, selimut kupakai hingga ujung kaki. 

Di waktu aku tidak tidur, aku bercerita kepada teman. 

"Ah, maksudku bukan begitu. Tapi, sudahlah."

Tentu saja itu tidak keluar dari mulutku. 

Di hari-hari aku tidak terlelap, aku memejamkan mata. Selimutku terpasang hingga dada. Hatiku yang dingin terbalut selimut, walau tak berguna. 

Kutarik selimut hingga ujung kepala. Saat itu temanku ada, hatiku mencair lewat mata. Ketika selimutku terbuka, temanku sirna.

Selasa, 30 November 2021

Hujan

Darah lebih kental dari air, aku setuju. Seandainya sakit dalam dadaku dapat diubah menjadi tujuh jahitan di dahi, akankah ada yang percaya bahwa aku juga sakit?

Kadang aku ingin terlihat lemah agar ada seseorang yang sadar: aku hampir hancur.

Di luar jendela, hujan sore hari turun dengan syahdu. Rintiknya jatuh pada ranting berbunga. Di balik langit  kelabu, aku bisa melihat cahaya kemerahan matahari. Hujan yang cantik.

Sayang sekali, aku tetap ingin menangis.

“Wah, langitnya cantik” seru seseorang di meja depanku.

“Iya”

“Walau ada musim gugur dan langit yang cantik, menangis saja.”

Aku tertegun.

Aku ingin menangis, jadi cepat-cepat ‘ku sembunyikan wajah di atas meja.

Kurasakan sebuah telapak tangan mengelus kepalaku singkat. Saat air mataku mulai berhenti, kulihat sapu tangan merah jambu di atas mejaku. Lega rasanya ada yang melihat lukaku.