Tidak akan ada suara kehidupan di balik dinding ini hingga pukul sembilan pagi. Lampu teras balkon akan tetap menyala walau tak berguna. Waktu yang paling disukainya adalah ketika waktunya terhenti, setidaknya untuk sementara.
Empat puluh lima menit lagi aku harus pergi. Lima belas menit lagi harusnya dia sudah terjaga, atau mungkin sekarang pun sudah. Aku akan menunggu di teras balkon, walau sudah terlalu terik. Masih ada tujuh puluh lima menit lagi sebelum aku terlambat bekerja.
Sayup-sayup terdengar suara dari kamar sebelah. Ada perasaan hangat yang familiar setiap kali suara itu terdengar. Menunggu pintu kaca bergeser sambil berdebar.
Mimpi-mimpi masa kecil tidak lagi memiliki nyawa. Anehnya, kenangan itu seperti kubawa kemana-mana. Sudah banyak waktu yang berlalu, aku lebih memilih mimpi itu tetaplah seperti itu. Aku yang tidak lagi bermimpi ini sudah merasa cukup. Mungkin sebenarnya saat inilah, mimpi yang ingin kuwujudkan.
Jangan terlalu dipikirkan.
Ada beberapa peluang untuk mendapat uang lebih banyak dalam satu tahun ini. Pindah ke kota, pulau atau negara lain sebenarnya tidak masalah. Kenaikan jabatan di kota lain akan lebih mudah, dan penghasilan bertambah. Kalau aku yang dulu, mungkin sekarang sedang sibuk mengemasi barang-barang ke kardus. Ah bukan, kurasa aku sudah bekerja di tempat yang baru.
Akhirnya pintu kaca dari teras balkon sebelah terbuka. Wajahnya bengkak, ada air liur yang mengering di ujung bibirnya. Bekas jerawat yang menghitam semakin terlihat di area dagu dan pipi. Rambutnya berantakan dengan ikat rambut yang masih menyangkut.
“Wah, pagi sekali,” sapanya sambil melihatku dari atas sampai bawah. “Harus berangkat sepagi ini? Setiap hari?”. Itu adalah pertanyaan yang sudah berpuluh-puluh kali dilontarkannya.
“Sebenarnya ini sudah jam sembilan, tapi kalau menurut waktumu, ini memang masih sangat pagi.”
Dia tersenyum sembil separuh mengantuk. Seperti menanti kereta yang akhirnya tiba, kira-kira seperti itulah perasaanku. Entah sejak kapan menjadi seperti itu. Sejak aku tau kalau dia sangat cengeng? Sejak aku tau kalau dia tidak suka bergaul? Atau sejak aku tau kalau dia suka berbicara dengan hewan dan benda mati?
“Ah, aku iri denganmu,” aku selalu sadar kalau wanita ini hampir selalu berkecil hati. “Aku benci hidup! Aku bahkan paling benci dengan diriku sendiri.”
Ah, mungkin itulah sebabnya.
Aku tersenyum padanya sambil menahan panas terik di pelipisku. Di dunia yang luas ini, aku bisa ke manapun tapi berpura-pura terjerat di tempat ini. Itu karena aku yang paling menyayangimu.