Sabtu, 17 November 2012

Friendship and Alliance part 21

By: Rahajeng Violita






 Dolph terbelalak, melihat pedang yang ia tancapkan ke perut Shane berlumuran cairan merah, dan cahaya hijau itu terus menyilaukan seua pasang mata. “Kena kau.”, seru Godwin dengan tergagap gagap.

     “Kau akan mati, anak Oliver.”, tambahnya seraya ingin mencabut pedang yang terdiam di dadanya tersebut. Rintihan demi rintihan terdengar, sampai akhirnya pedang Shane tercabut. Godwin melangkah mundur, sempoyongan ia berjalan menjauh dari Shane dan cahaya hijaunya, dengan tetesan darah disekujur tubuhnya.

     Cahaya hijau itu mulai memudar, digantikan oleh cairan putih mencuat dari perut Shane. “Mungkin tidak secepat itu.”, fikirnya. Kian merasakannya, ia merasa lebih bersemangat saat ini. Begitu pula Mark, dan yang lainnya. Mereka tau Shane tidak akan mati begitu saja, ia tidak akan membiarkan Godwin menguasai segalanya.

     Pedang Dolph tercabut dengan sendirinya, diiringi hempasan angin yang membuat Dolph terhempas beberapa meter jauhnya. Cairan putih itu semakin banyak, menyelimuti setiap lekuk tubuh Shane yang mungil.

     “Shane?!”, Mark melangkah maju mendekati Shane, diikuti Kian dan Oliver.
     “Nak…?”

      Cahaya hijau itu kembali bersinar, menggantikan cairan putih yang menutupi Shane tadi. Kembali menyilaukan mata Godwin yang masih mengatur nafasnya sembari menutupi luka di dadanya. “Apa yang terjadi? Dolph! Bunuh anak hijau itu! Berani beraninya ia menusukku dengan pedang.”, jeritnya tak karuan, masih tergagap gagap.

     Dolph tidak dapat mengalihkan matanya, mulutnya menganga lebar, pedang yang dipegangnya masih berlumuran darah, dan ia mulai bertekuk lutut. Melempar pedangnya ke belakang, kemudian menggeleng.

     “Dolph! Dasar bodoh! Cepat bunuh dia!”, pekik Godwin.

     “Mungkin bukan dia yang pantas untuk dibunuh.”, Kian berjalan perlahan dibelakang Godwin, melepaskan pelukan perlindungan ibunya. Sembari mengambil pedang panjang yang tergeletak di dekat Godwin. “Mungkin dirimu.”, tambahnya.

     Godwin terbelalak, dan mulai tergopoh gopoh berjalan menjauh. “Kau masih anak kecil! Kau tidak akan berani membunuh.”

     “Benar, aku memang tidak berani, tapi Shane…? Tentu. Dialah sumber keberanianku.”, kata Kian mantap.

     “Kian … “, Mark mendesah, ia baru sadar, bagaimana Kian menyatakannya. Ia juga merasakannya, ia tau Shane adalah satu dari keluarganya, walau tak ada hubungan darah. Mark menyayangi Shane, Kian juga.

     Kali ini Oliver yang melangkah maju, mencoba menepuk pundah Shane yang masih diselimuti oleh cairan putih. “Nak, kau tidak apa apa?”, bisiknya.

Cairan putih itu memudar, mata Shane terbuka. Ia megerang sambil memegang perutnya. Tidak ada darah lagi, tidak ada bekas luka. Shane sembuh seketika.      “Uhhh, ayah? Kau kah itu?”

     “Kau bisa bicara? Shane! Anakku! Kau bisa bicara!”, entah seberapa besar rasa senang Oliver saat ini, ia bahkan melompat lompat setinggi tingginya melihat anaknya bisa bicara, setelah melakukan semua itu, ia memeluk erat Shane. “Maafkanlah ayahmu, nak. Aku berjanji tidak akan meninggalkanmu lagi.”

      Shane hanya bisa menggangguk, membalas pelukan hangat ayahnya itu.
     “Tidak mungkin.”, kata Goldwin pelan. “Kau harusnya sudah mati.”

     “Yang seharusnya mati adalah kau.”, desis Kian. Tangannya sudah berada di atas kepalanya, dengan pedang perak yang memantulkan sinar matahari, dan akhirnya masuk tepat ke dalam dada Godwin. “Dua tusukan, kita lihat apakah kau masih bertahan.”

     Godwin menjerit keras, tusukan pedang dari Kian dengan sukses menembus dada Goldwin. Seketika ia mengeluarkan mahkluk mahkluk kecil menjijikkan dari mulutnya. Lintah hitam, ulat, kelabang, semua keluar serentak bagai semut merah yang keluar dari sarangnya.

     “Sepertinya ia mati.”, sembur Maggy. “Tak banyak orang yang masih hidup dengan dua tusukan di dadanya.”
     “Aaaarrghhh….”, Godwin berteriak kencang sekali. Tangannya terbuka lebar, membuat dadanya menjorok ke depan. Sinar putih memancar dari dada Goldwin.

    Benar apa kata Magy, Goldwin terjatuh, matanya menatap lurus ke langit langit. Mulutnya terbuka, ada jalur jalur hitam disana, mungkin kelabang hitam menjijikkan tadi sudah menemukan jalan yang tepat untuk keluar dari tubuh Godwin. Sekarang Goldwin benar benar kurus, sangat kurus, hanya menyisakan tulangnya yang kecil, dibalut dengan kulit gosong.

   Shane melepas pelukan ayahnya, kemudian bangkit dan menghampiri Goldwin. "Kembalilah ke alammu, bersama golonganmu yang menjijikkan itu."

   Tak ada jawaban. Tapi Shane tau, Goldwin masih bisa mendengarnya. Karena tatapannya masih tampak 'hidup', walau remang remang. Kian merinding di belakang tubuh Godwin, berlawanan dengan Shane.

     "Terimakasih ... untuk segalanya.", ucap Shane hati hati. Kian mengangguk sambil menarik pedang perak yang terjatuh tadi. "Kita menang", jawab Shane akhirnya.

     Shane membantu Kian berdiri, kemudian membawanya ke Ratu Patricia.
     "Sini sini, biar aku yang tangani.", seraya menopang Kian dengan hati hati.

    Mark tersenyum lega, "Akhirnya selesai juga, aku tidak sabar ingin pulang ke kerajaan Eoghan, dengan kasur empuk."
    Maggy menatap mata Mark dalam dalam, "Kupikir kau salah.", kemudian menunjuk ke arah luar rumah, "mereka masih berperang."

   "Bagaimana bisa begitu? Gizel telah kalah, ia telah mati! Kenapa Sungepolia itu tidak ikut bersamanya?", Shane angkat bicara. Sudah lama ia menginginkan hal ini. Berbicara normal seperti manusia pada umumnya.
   "Mungkin ada suatu benda yang membuat para Sungepolia terus berperang dengan manusia. Benda keramat ... Apa Goldwin punya benda wasiat?", kata Magy cepat.

   "Aku tidak tau pasti apa yang menjadi benda keramat para Sungepolia, tapi yang jelas, Dolph pasti masih membawanya. Dia yang selalu bersama Goldwin, bukan?", jelas Colibern

   Mark melihat sekelilingnya, membuat Maggy terkekeh, "cari apa Mark?"

   "Dimana Dolph?"

TBC..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar