By: Malika Tazkia Byrne
“Mungkinkah anak itu punya kemampuan semacam Ventriloquism?”
Kian menoleh kearah kearah sumber suara. Suara itu berasal dari Nicky.
“Ha?”
“Yeah, seorang ventriloquist bisa berbicara tanpa menggerakkan bibirnya.” Kata Nicky lagi. “Ada orang yang mempunyai kemampuan ini. biasanya seperti komedian yang memiliki partner sebuah boneka dan mengisi suara boneka itu tanpa terlihat berbicara…”
“Nicky, ayolah.” Bryan menghela nafas.“Aku menghargai usahamu untuk berpikir realistis. Tapi apa kau lupa apa yang terjadi kemarin? Begitu banyak kekuatan gaib yang dimiliki anak itu. Sampai sekarang apa kau pernah melihat manusia berambut hijau? Ventilasi atau apalah namanya itu tetap tidak bisa mengubah anggapan bahwa anak itu “spesial”…”
“Ventriloquism…” Nicky mengoreksi.
“Ya terserah…” tanggap Bryan.
“Ya, aku mengakui aku memang berusaha lari dari kenyataan aneh yang baru-baru ini terjadi padaku. Oh…padahal sebelum ikut ayahku kesini, hal paling aneh yang pernah kulihat adalah salah satu kuda yang ditunggangi ayahku ternyata suka makan daging.” Nicky menghela nafas. “Dan semalam aku melihat makhluk aneh yang punya kekuatan gaib.”
“Bukan makhluk aneh.” Kian menyela. “Dia dikutuk.”
“Oh iya.” Nicky berkata datar.
Hening beberapa saat.
“Aku rasa kita memang harus memenuhi permintaan anak itu.” Mark menatap Kian.
Kian menarik nafas dalam-dalam. Sebuah permintaan. Sebuah permintaan paling gila yang pernah diminta seseorang padanya. Pikirannya melayang pada kejadian yang terjadi kemarin malam, di penjara bawah tanah itu.
*
“Gawat! Ada yang datang!”
Seruan Kian sontak membuat Bryan, Mark dan Nicky kaget. Samar-samar mereka melihat sinar obor yang semakin lama semakin terlihat dekat. Bolamata biru Kian menjelajah ke sekitar penjara bawah tanah. Ia mencari tempat yang memungkinkan untuk dirinya, Bryan, Mark dan Nicky bersembunyi. Nihil. Disini hanya ada tembok yang tinggi.
“Ayo buat kesepakatan.” Ucap Shane tiba-tiba.
Kian menoleh kearahnya. Menatapnya dengan wajah panik.
“Aku jamin kalian tidak akan ketahuan, tapi berjanjilah kalian akan menolongku memusnahkan kutukan yang ada pada diriku sekarang.” Shane menatap lurus kearah empat orang didepannya. “Hanya kalian yang bisa menolongku.”
Dengan cepat Kian menganggukkan kepalanya. Ia tidak bisa berpikir lama. Cahaya obor semakin mendekat. Shane menunjukkan senyum yang selama ini tidak pernah ia tunjukkan. Oke, rambutnya memang hijau, dan ia memang aneh. Tapi tidak ada yang bisa memungkiri senyum itu bahkan bisa menerangi penjara bawah tanah yang gelap.
Shane menatap Mark, kemudian menatap penjaga yang sudah bisa terlihat oleh mereka berlima dari kejauhan. Shane menatap penjaga itu beberapa lama, dan tiba-tiba penjaga itu terjatuh dan tergeletak tanpa bisa bergerak lagi.
“Hey, apa yang kau lakukan padanya?!”ujar Nicky.
“Tenang saja. Ia hanya tertidur. Aku hanya memindahkan rasa kantuk Mark pada penjaga itu.” Kata Shane. “Aku tidak menyangka dia akan langsung jatuh. Kau pasti mati-matian menahan kantuk.”
Mark tidak bisa berkata-kata. Ia sama sekali tidak mengantuk lagi sekarang.
“Bagus, aku minta kau bisa rutin memindahkan rasa kantuk Mark pada siapapun.” Celetuk Bryan. “Siapapun akan depresi ketika mencoba membangunkannya.”
“Diam deh.” Mark menghela nafas dengan kesal.
“Lalu…bagaimana dengan kesepakatan yang tadi?” Kian angkat bicara. “Kau tahu…kami bukan orang dewasa. Dan yang paling penting, kami sama sekali tidak mengenal sihir. Aku bersedia membantumu. Tapi caranya saja aku tidak tahu.”
“Tapi aku tidak bisa berbicara pada siapapun kecuali kalian berempat. Hanya kalian berempat. Aku sudah mencoba bicara pada penjaga penjara ini, meminta tolong, berkata bahwa aku tidak berbahaya. Tapi percuma. Mereka tidak bisa mendengarku.” Kata Shane.
“Perpustakaan?” tiba-tiba Nicky berkata. “Bukannya tidak mungkin kalau perpustakaan di istana ini menyimpan buku tentang sihir.”
Beberapa saat kemudian ia kemudian memasang wajah 'Aku gila sudah mengatakan itu.'
“Mungkin saja. Sihir bukan hal yang mustahil. Bahkan sebelum bertemu dengan Shane aku sudah percaya dengan adanya sihir didunia ini.” Bryan langsung menanggapi. “Itu satu-satunya cara yang bisa kita lakukan sekarang. Well done, Nicky.”
“Entah kenapa aku langsung terpikir perpustakaan. Mungkin karena anak perempuan yang kusukai suka membaca dan menulis.” Kata Nicky. “Oh, jangan katakan itu pada pamanku.”
Kian terdiam. Ia sibuk berbicara dibenaknya. Perpustakaan memang cocok untuk menjadi titik dimana mereka mulai mencari tahu. Ia hampir tidak pernah pergi ke perpustakaan kalau tidak berhubungan dengan pelajaran yang ia terima. Karena ia lebih memilih bermain musik ketimbang membaca.
“Lalu apa kau mau menceritakan apa yang terjadi padamu?” Tanya Mark.
Shane menggeleng.
“Tidak untuk sekarang. Mungkin lain kali saat kita bisa bertemu lagi. penjaga itu tidak akan tertidur lama. Dan penjaga yang lain akan segera datang.” Katanya.
Kian, Mark, Bryan dan Nicky berpandangan. Mereka memang mungkin akan menyanggupi permintaan si anak berambut hijau itu. Tapi ada satu pertanyaan yang mungkin tidak akan pernah bisa terjawab.
Mengapa harus mereka berempat?
*
“Ia belum tentu berkata jujur.” Kata Kian seraya menggiring kuda putih yang akan ditungganginya.
Nicky yang baru selesai membantu pamannya memberi makan kuda menatap Kian dengan alis berkerut.
“Lalu kenapa kau menyanggupi permintaannya?” tanyanya.
“Aku panik. Bisa gawat kalau kita ketahuan menyusup kesana tadi malam.” Kian menggigit bibir.
Bryan menepuk pundak Kian.
“Aku punya firasat anak itu jujur.” Cengirnya.
“Aku juga. Aku menyesal lupa menanyakannya tentang kemahirannya menunggangi kuda.” Kata Nicky. “Aku memang tidak gila berkuda seperti pamanku. Tapi aku suka semua cabang olahraga.”
“Lebih baik kita bicarakan ini nanti.” Mark perlahan menaiki kuda berwarna hitam didepannya. “Pamanmu daritadi melihat kesini dengan pandangan kesal.”
“Hey, kalian…cepat sedikit. Kita dikejar waktu.” Duke Loise melirik jam besar didepan istana. “Pangeran Kianleaghly, bukankah setelah ini kau ada kelas musik?”
Kian langsung menaiki kuda putihnya. Ia sama sekali tidak mau terlambat bermusik. Tapi ia buru-buru menarik tali kekang ketika melihat Mariellendly berlari kearah mereka. Wajahnya terlihat tegang. Kian langsung turun lagi dari kudanya.
“Mariellendly, apa yang kau lakukan disini? kau ada kelas dansa kan?” tanyanya bingung. “Kau bisa dimarahi kalau ketahuan ada disini.”
“Kakak, aku dengar dari bibi pengasuh…” Kata Mariellendly. “Dia bilang, penjaga penjara bawah tanah kemarin diserang penyusup.”
Darah Kian terasa tidak mengalir.
“Penyusup? Tidak mungkin sayang.” Ucapnya pucat.
“Kak, kemarin malam kakak pergi kemana?” Tanya Mariellendly. Wajah Kian makin memucat.
“Apa maksudmu?”
“Aku sempat masuk ke kamar kakak. Tapi kakak tidak ada. Akhirnya aku kembali ke kamarku.” Mariellendly menatap Kian dengan wajah polos. “Apa kakak menangkap penyusup?”
Kian menggeleng.
“Tidak ada hubungannya dengan penyusup. Tidak mungkin ada penyusup Mariellendly.” Ia mengelus kepala adiknya. “Kembalilah ke kelas dansa.”
“Tapi aku takut!” Mariellendly bersikeras. “Penjaga itu…”
“Ada apa sih?” Nicky menghampiri mereka berdua. “Pamanku menunggumu Ki.”
Mariellendly menatap Nicky. Wajahnya langsung bersemu merah. Ia menatap wajah rupawan Nicky, bolamatanya yang kebiruan dan rambut blondenya yang tertiup angin.
“Oh, hai…kau pasti putri Mariellendly. Aku Nicholas Byrne. Tapi semua orang memanggilku Nicky.” Nicky tersenyum. “Wah, manisnya adikmu, Ki.”
Mariellendly menunduk malu. Wajahnya merah padam.
Kian menatap adiknya heran. Lalu kemudian ia merasa mengerti.
“Iya, adikku memang manis.” Kian tersenyum jenaka. “Makanya lain kali kau harus menemaninya memetik bunga ditaman.”
Mariellendly langsung berbinar.
“Tapi…” Kian menatap adiknya. “Kau tidak boleh membahas soal penyusup lagi. atau bicara tentang kamarku yang kosong pada siapapun. Janji?”
Mariellendly mengangguk beberapa kali.
“Kembalilah kedalam.” Kian mencubit pipi adiknya pelan.
Begitu Mariellendly berlari masuk istana, Kian tertawa geli sambil menaiki kudanya lagi. Nicky mengerutkan dahinya bingung.
“Kenapa sih?” tanyanya heran.
“Sepertinya aku memang membutuhkanmu dalam masalah ini, Nick.” Kian menahan tawanya, lalu menatap Nicky. “Oh ya, sore nanti kita pergi ke perpustakaan…”
Ia tersenyum.
“Kita berempat.” Tegasnya.
*
To Be Continued
“Mungkinkah anak itu punya kemampuan semacam Ventriloquism?”
Kian menoleh kearah kearah sumber suara. Suara itu berasal dari Nicky.
“Ha?”
“Yeah, seorang ventriloquist bisa berbicara tanpa menggerakkan bibirnya.” Kata Nicky lagi. “Ada orang yang mempunyai kemampuan ini. biasanya seperti komedian yang memiliki partner sebuah boneka dan mengisi suara boneka itu tanpa terlihat berbicara…”
“Nicky, ayolah.” Bryan menghela nafas.“Aku menghargai usahamu untuk berpikir realistis. Tapi apa kau lupa apa yang terjadi kemarin? Begitu banyak kekuatan gaib yang dimiliki anak itu. Sampai sekarang apa kau pernah melihat manusia berambut hijau? Ventilasi atau apalah namanya itu tetap tidak bisa mengubah anggapan bahwa anak itu “spesial”…”
“Ventriloquism…” Nicky mengoreksi.
“Ya terserah…” tanggap Bryan.
“Ya, aku mengakui aku memang berusaha lari dari kenyataan aneh yang baru-baru ini terjadi padaku. Oh…padahal sebelum ikut ayahku kesini, hal paling aneh yang pernah kulihat adalah salah satu kuda yang ditunggangi ayahku ternyata suka makan daging.” Nicky menghela nafas. “Dan semalam aku melihat makhluk aneh yang punya kekuatan gaib.”
“Bukan makhluk aneh.” Kian menyela. “Dia dikutuk.”
“Oh iya.” Nicky berkata datar.
Hening beberapa saat.
“Aku rasa kita memang harus memenuhi permintaan anak itu.” Mark menatap Kian.
Kian menarik nafas dalam-dalam. Sebuah permintaan. Sebuah permintaan paling gila yang pernah diminta seseorang padanya. Pikirannya melayang pada kejadian yang terjadi kemarin malam, di penjara bawah tanah itu.
*
“Gawat! Ada yang datang!”
Seruan Kian sontak membuat Bryan, Mark dan Nicky kaget. Samar-samar mereka melihat sinar obor yang semakin lama semakin terlihat dekat. Bolamata biru Kian menjelajah ke sekitar penjara bawah tanah. Ia mencari tempat yang memungkinkan untuk dirinya, Bryan, Mark dan Nicky bersembunyi. Nihil. Disini hanya ada tembok yang tinggi.
“Ayo buat kesepakatan.” Ucap Shane tiba-tiba.
Kian menoleh kearahnya. Menatapnya dengan wajah panik.
“Aku jamin kalian tidak akan ketahuan, tapi berjanjilah kalian akan menolongku memusnahkan kutukan yang ada pada diriku sekarang.” Shane menatap lurus kearah empat orang didepannya. “Hanya kalian yang bisa menolongku.”
Dengan cepat Kian menganggukkan kepalanya. Ia tidak bisa berpikir lama. Cahaya obor semakin mendekat. Shane menunjukkan senyum yang selama ini tidak pernah ia tunjukkan. Oke, rambutnya memang hijau, dan ia memang aneh. Tapi tidak ada yang bisa memungkiri senyum itu bahkan bisa menerangi penjara bawah tanah yang gelap.
Shane menatap Mark, kemudian menatap penjaga yang sudah bisa terlihat oleh mereka berlima dari kejauhan. Shane menatap penjaga itu beberapa lama, dan tiba-tiba penjaga itu terjatuh dan tergeletak tanpa bisa bergerak lagi.
“Hey, apa yang kau lakukan padanya?!”ujar Nicky.
“Tenang saja. Ia hanya tertidur. Aku hanya memindahkan rasa kantuk Mark pada penjaga itu.” Kata Shane. “Aku tidak menyangka dia akan langsung jatuh. Kau pasti mati-matian menahan kantuk.”
Mark tidak bisa berkata-kata. Ia sama sekali tidak mengantuk lagi sekarang.
“Bagus, aku minta kau bisa rutin memindahkan rasa kantuk Mark pada siapapun.” Celetuk Bryan. “Siapapun akan depresi ketika mencoba membangunkannya.”
“Diam deh.” Mark menghela nafas dengan kesal.
“Lalu…bagaimana dengan kesepakatan yang tadi?” Kian angkat bicara. “Kau tahu…kami bukan orang dewasa. Dan yang paling penting, kami sama sekali tidak mengenal sihir. Aku bersedia membantumu. Tapi caranya saja aku tidak tahu.”
“Tapi aku tidak bisa berbicara pada siapapun kecuali kalian berempat. Hanya kalian berempat. Aku sudah mencoba bicara pada penjaga penjara ini, meminta tolong, berkata bahwa aku tidak berbahaya. Tapi percuma. Mereka tidak bisa mendengarku.” Kata Shane.
“Perpustakaan?” tiba-tiba Nicky berkata. “Bukannya tidak mungkin kalau perpustakaan di istana ini menyimpan buku tentang sihir.”
Beberapa saat kemudian ia kemudian memasang wajah 'Aku gila sudah mengatakan itu.'
“Mungkin saja. Sihir bukan hal yang mustahil. Bahkan sebelum bertemu dengan Shane aku sudah percaya dengan adanya sihir didunia ini.” Bryan langsung menanggapi. “Itu satu-satunya cara yang bisa kita lakukan sekarang. Well done, Nicky.”
“Entah kenapa aku langsung terpikir perpustakaan. Mungkin karena anak perempuan yang kusukai suka membaca dan menulis.” Kata Nicky. “Oh, jangan katakan itu pada pamanku.”
Kian terdiam. Ia sibuk berbicara dibenaknya. Perpustakaan memang cocok untuk menjadi titik dimana mereka mulai mencari tahu. Ia hampir tidak pernah pergi ke perpustakaan kalau tidak berhubungan dengan pelajaran yang ia terima. Karena ia lebih memilih bermain musik ketimbang membaca.
“Lalu apa kau mau menceritakan apa yang terjadi padamu?” Tanya Mark.
Shane menggeleng.
“Tidak untuk sekarang. Mungkin lain kali saat kita bisa bertemu lagi. penjaga itu tidak akan tertidur lama. Dan penjaga yang lain akan segera datang.” Katanya.
Kian, Mark, Bryan dan Nicky berpandangan. Mereka memang mungkin akan menyanggupi permintaan si anak berambut hijau itu. Tapi ada satu pertanyaan yang mungkin tidak akan pernah bisa terjawab.
Mengapa harus mereka berempat?
*
“Ia belum tentu berkata jujur.” Kata Kian seraya menggiring kuda putih yang akan ditungganginya.
Nicky yang baru selesai membantu pamannya memberi makan kuda menatap Kian dengan alis berkerut.
“Lalu kenapa kau menyanggupi permintaannya?” tanyanya.
“Aku panik. Bisa gawat kalau kita ketahuan menyusup kesana tadi malam.” Kian menggigit bibir.
Bryan menepuk pundak Kian.
“Aku punya firasat anak itu jujur.” Cengirnya.
“Aku juga. Aku menyesal lupa menanyakannya tentang kemahirannya menunggangi kuda.” Kata Nicky. “Aku memang tidak gila berkuda seperti pamanku. Tapi aku suka semua cabang olahraga.”
“Lebih baik kita bicarakan ini nanti.” Mark perlahan menaiki kuda berwarna hitam didepannya. “Pamanmu daritadi melihat kesini dengan pandangan kesal.”
“Hey, kalian…cepat sedikit. Kita dikejar waktu.” Duke Loise melirik jam besar didepan istana. “Pangeran Kianleaghly, bukankah setelah ini kau ada kelas musik?”
Kian langsung menaiki kuda putihnya. Ia sama sekali tidak mau terlambat bermusik. Tapi ia buru-buru menarik tali kekang ketika melihat Mariellendly berlari kearah mereka. Wajahnya terlihat tegang. Kian langsung turun lagi dari kudanya.
“Mariellendly, apa yang kau lakukan disini? kau ada kelas dansa kan?” tanyanya bingung. “Kau bisa dimarahi kalau ketahuan ada disini.”
“Kakak, aku dengar dari bibi pengasuh…” Kata Mariellendly. “Dia bilang, penjaga penjara bawah tanah kemarin diserang penyusup.”
Darah Kian terasa tidak mengalir.
“Penyusup? Tidak mungkin sayang.” Ucapnya pucat.
“Kak, kemarin malam kakak pergi kemana?” Tanya Mariellendly. Wajah Kian makin memucat.
“Apa maksudmu?”
“Aku sempat masuk ke kamar kakak. Tapi kakak tidak ada. Akhirnya aku kembali ke kamarku.” Mariellendly menatap Kian dengan wajah polos. “Apa kakak menangkap penyusup?”
Kian menggeleng.
“Tidak ada hubungannya dengan penyusup. Tidak mungkin ada penyusup Mariellendly.” Ia mengelus kepala adiknya. “Kembalilah ke kelas dansa.”
“Tapi aku takut!” Mariellendly bersikeras. “Penjaga itu…”
“Ada apa sih?” Nicky menghampiri mereka berdua. “Pamanku menunggumu Ki.”
Mariellendly menatap Nicky. Wajahnya langsung bersemu merah. Ia menatap wajah rupawan Nicky, bolamatanya yang kebiruan dan rambut blondenya yang tertiup angin.
“Oh, hai…kau pasti putri Mariellendly. Aku Nicholas Byrne. Tapi semua orang memanggilku Nicky.” Nicky tersenyum. “Wah, manisnya adikmu, Ki.”
Mariellendly menunduk malu. Wajahnya merah padam.
Kian menatap adiknya heran. Lalu kemudian ia merasa mengerti.
“Iya, adikku memang manis.” Kian tersenyum jenaka. “Makanya lain kali kau harus menemaninya memetik bunga ditaman.”
Mariellendly langsung berbinar.
“Tapi…” Kian menatap adiknya. “Kau tidak boleh membahas soal penyusup lagi. atau bicara tentang kamarku yang kosong pada siapapun. Janji?”
Mariellendly mengangguk beberapa kali.
“Kembalilah kedalam.” Kian mencubit pipi adiknya pelan.
Begitu Mariellendly berlari masuk istana, Kian tertawa geli sambil menaiki kudanya lagi. Nicky mengerutkan dahinya bingung.
“Kenapa sih?” tanyanya heran.
“Sepertinya aku memang membutuhkanmu dalam masalah ini, Nick.” Kian menahan tawanya, lalu menatap Nicky. “Oh ya, sore nanti kita pergi ke perpustakaan…”
Ia tersenyum.
“Kita berempat.” Tegasnya.
*
To Be Continued
Tidak ada komentar:
Posting Komentar