Rabu, 19 Juni 2013

Bow and String-5

Hari-hari William kembali seperti dulu. Penuh kesepian dan kesendirian. Bukan berarti Alanna hilang dari hidupnya, hanya saja semua kembali seperti dulu. Alanna masih bersama dengannya saat makan siang. Yeah, walaupun tidak selalu. Kadang ada yang menawarkan meja untuknya, dan Alanna sukar untuk menolak. William bisa terima itu. Alanna bebas memilih dengan siapa ia akan duduk. Lagipula apa hak William untuk menahannya?

Dentingan piano dan petikan gitar, berbunyi sebagaimana mestinya. Mengeluarkan melodi sesuai dengan keinginan William. Namun dari semua keindahan yang mereka buat, mereka juga mengingatkan William kepada lubang  di dalam hatinya. William menoleh pada Biola yang bersandar di dekat dinding. Kemudian William berfikir, kenapa harus ada lubang di hatinya? Ini hanya kembali seperti dulu. Dan dari dulu ia sudah sangat terbiasa dengan kesepian. Kenapa sekarang kesepian itu menyiksanya?

William masih menatap biola itu. Fikirannya jauh melayang pada Alanna, yang sering memainkan biola itu. Pasti menyenangkan bila Alanna berada di sana. namun William berfikiri, kenapa harus Alanna? Kenapa harus Alanna yang membuatnya merasa seperti ini. Perasaan sepi yang sulit untuk dijelaskan. Namun William jelas merasakan. Apapun nama dari tragedi aneh yang menimpanya saat ini, William tau pasti bahwa tragedi itu sudah membuatnya menjadi orang bodoh.

Alanna mungkin tidak merasakan apa yang dirasakan oleh William. Walaupun William sedikit berharap Alanna akan merasakan hal yang sama dengannya. Hal yang sama sekali tidak William mengerti. Namun, entah kenapa rasa sepi yang menyakitinya, membuat dia merasakan sesuatu, entahlah.. merasa lebih hidup, mungkin.

*

Begitu pelajaran berakhir, Alanna harus segara membereskan mejanya dan keluar dari sana. Finnian pasti sudah menunggunya di luar. Sejak beberapa minggu lalu Alanna meminta Finnian untuk menjemputnya lebih awal. Meskipun Finnian bertanya-tanya apa yang membuat jam pulangnya berubah-ubah, namun Alanna tidak akan menjawab jujur alasannya pulang lambat. Tidak mungkin ia menjawab ‘aku bersama William setelah pulang sekolah, di ruang musik’. Bagi Alanna itu sama saja dengan bunuh diri, karena Finnian pasti akan menggodanya habis-habisan.

Begitu Alanna berjalan keluar dari mejanya, seseorang berdiritepat di depannya. Alanna menatap sosok di depannya dengan sedikit kaget, kemudian Alanna menatapnya dengan tatapan dingin khas Egannya.

“hay” sapa Lyana kikuk.
“mau apa?” Alanna menanggapinya dengan sinis.  Kedua tangannya dilipat di depan dada. Alanna benar-benar malas menanggapi orang ini.
“a.. aku...anu..”
“bisa aku pergi sekarang? Aku tidak punya waktu untukmu” Alanna ingin pergi namun Lyana menghalanginya.
“dengarkan aku, tolong” Pinta Lyana. “sebelumnya, selamat atas kemenanganmu, aku tau kamu memang  hebat, dan pantas untuk lomba itu.”
“terimakasih” sahut Alanna singkat dan dingin.”jadi aku bisa pergi sekarang?”
“tunggu!” cegah Lyana. “aku, minta maaf” Lyana menundukkan kepalanya.
“untuk?” Alanna mengernyitkan dahinya.
Lyana mendesah panjang sebelum menjawab “untuk kakimu, untuk semua kesalahkanku padamu.”
“kau meminta maaf setelah sadar tidak bisa menghalangiku?” Alanna tetap menatapnya dingin.
“bukan!” bantah Lyana. “mungkin itu salah satunya, namun bukan itu yang utama.”
“lalu?”

Lagi-lagi Lyana mendesah. Desahan yang membuat Alanna bosan.

“aku tau bahwa apapun yang dipaksakan, pada akhirnya tidak akan baik. Aku tau apa yang kulakukan, terlalu kekanak-kanakan”
“sadar juga kau” Alanna tersenyum sinis.
“ya aku sadar!” Lyana bersabar menghadapi Alanna. “Aku masih punya tahun-tahun selanjutnya untuk kompetisi itu. aku hanya perlu bersiap untuk saat itu tiba, tanpa harus membuatmu celaka. Aku tau ini kelihatan bodoh, tapi percayalah aku sungguh-sungguh meminta maaf padamu.” Lagi-lagi ia mendesah. “Dia pasti tidak ingin melihat kita seperti ini”
“dia siapa?”
“nanti kamu akan tau” Lyana tersenyum pahit yang dibalas Alanna dengan wajah bertanya-tanya. “apa aku dimaafkan?” Lyana tersenyum kikuk, sesekali ia melirik Alanna namun tidak berani menatapnya. Menatap Alanna sama seperti menatap gunung es yang terbakar baginya.
“dimaafkan?” Alanna mengetuk-ngetuk bibirnya dengan telunjuk, mempertimbangkan apakah gadis aneh di depannya mendapat maaf atau tidak. “baiklah, kamu di maafkan. Tapi, jika saat kompetisi internasional tiba dan kakiku belum sembuh, kutarik ucapan maafku”
“kakimu masih sakit?” Lyana terlihat panik dan matanya menatap kaki kanan Alanna.
Alanna tersenyum jahil melihat ekspresinya “ayolah! Aku bukan bayi. Tidak begitu sakit lagi, tapi kamu perlu khawatir jika suatu saat kakiku bertambah sakit”
“kamu bisa meminta pertanggung jawaban dariku kapanpun itu terjadi” Lyana tersenyum pasti.
“sepertinya itu tidak perlu, karena aku punya dokter terhebat di dunia. bisa aku pulang sekarang?”
“silahkan”

*

Alanna tidak habis pikir dengan perbuatan Lyana sepulang sekolah tadi. Setelah bentakan-bentakannya di toilet sekolah,  yang luar biasa penuh kemarahan dan kebencian, bisa-bisanya dia meminta maaf seperti itu. Alanna masih ingat sekali apa saja kata-kata yang diucapkannya. Dia bahkan tidak melawan sikap dingin dan sinis Alanna.

Alanna memang memafaakannya, walaupun Alanna juga menyimpan kecurigaan atas permintaan maafnya. Rasanya sulit untuk percaya kepada orang yang telah menyakitimu. Tetapi menyimpan dendam, seperti tidak ada gunanya. Lebih baik memaafkan namun terus bersikap waspada.

Dan ‘dia’? siapa yang dimaksud Lyana dengan ‘dia’? atau mungkin hanya karena ‘dia’ maka Lyana ingin meminta maaf? Alanna tidak tau. Seperti yang dikatakan Lyana tadi, kamu akan tau, jadi Alanna lebih baik menunggu hingga ia tau.

Alanna mengubah jadwal latihannya yang dari sore hingga malam menjadi siang hingga sore. Malamnya Alanna bisa beristirahat dengan puas dan mengerjakan tugas-tugasnya dengan lebih fokus. Tapi di malam haripun Alanna jarang terlihat santai, kadang waktu santainya masih digunakan untuk latihan. Kadang keavy, Kian, dan Finnian bertanya-tanya, apa dia tidak merasa bosan? Tidak merasa lelah? Tapi pertanyaan itu terjawab dengan binar bahagia Alanna saat menari. Walaupun, Keavy selalu mengingatkannya untuk beristirahat.

Malam itu langit penuh dengan bintang dan bulan bersinar dengan lingkaran bulat penuh. Alanna berdiri di teras kamarnya yang dekat dengan jendela. Angin malam di Sligo memang tidak baik untuk kesehatan, namun demi merasakan keindahan malam di kota Sligo, Alanna mengabaikannya.

Alanna melihat Finnian keluar dari dalam garasi, namun Finnian tidak melihatnya. wajahnya berhias senyum sumringan. Alanna bisa menebak, Finnian baru pulang kencan dengan pacarnya. Jika raut wajah Finnian terlihat biasa, artinya dia baru saja pulang dari studio. Lain lagi jika ia pulang dengan wajah berantakan dengan tangannya yang mengacak-ngacak rambut, itu artinya dia sedang memiliki masalah dengan pacarnya. Mungkin tidak selalu dengan pacarnya, yang jelas dia sedang bermasalah.

 Alanna memang sangat mengenal Finnian, luar dalam. Mulai dari gerak gerik, raut wajah, hingga jalan pikirannya. Berdebat dengan Finnian setiap hari membuat Alanna mempelajari semua itu. mereka memang sangat dekat, walaupun mereka yang paling sering berdebat.Finnian sudah masuk ke rumah. Alanna bisa menabak, Finnian akan langsung masuk ke kamarnya.   

Alanna masih berada di luar. Dinginnya angin malam, membuatnya kedinginan, namun juga merasa hidup. Karena hidup tidak pernah selalu hangat, kadang ada saatnya badai salju datang. Dan dalam hidup musim dingin tidak berlangsung sepanjang tahun.

Malam semakin larut dan sunyi. Aktifitas dari orang-orang yang tinggal di sekitar sana sudah tidak terlihat lagi. Walaupun sesekali masih ada yang lewat. Harusnya Alanna sudah mengantuk dan berada di tempat tidur saat ini, namun tidak ada keinginan sedikitpun untuk itu.

Dari tempat Alanna berdiri saat ini, ia bisa mendengarkan sebuah melodi. Terdengar tidak asing di telinganya. Samar-samar, Alanna yakin suara itu adalah medoli dari tuts piano. dan lagu yang dimainkan piano itu adalah, lagu yang sering didengarnya di kamar Kian.

*

Alanna perlahan-lahan menuruni tangga, langkah kakinya nyaris tidak terdengar saat menyentuh lantai.  Suara samar-samar itu terdengar semaikn jelas, dan Alanna emakin mendekat dengan sumber suara itu.

Alanna bisa melihat ayah dan ibunya duduk bersama di bangku piano. jari-jari Kian menari dengan lincah di atas tuts hitam putihnya. Mereka bernyanyi bersama, lagu kesukaan mereka. Setidaknya Alanna menganggap bahwa itulah lagu kesukaan mereka. Wajah kedua orang tuanya terlihat senang sekali di mata Alanna.

“oh, hay sayang!” Ayah menyadari kehadiran Alanna, jari-jarinya berhenti bermain di atas barisan tuts itu.
“belum tidur?” keduanya menoleh pada Alanna, yang hanya berdiri mematung  beberepa meter dari mereka. Alanna hanya menggeleng, kemudian berjalan mendekati mereka.
“apa aku mengganggu?” tanya Alanna tidak enak.
Wajar jika Alanna bertanya begitu. Ayah dan ibunya, mesikipun sudah bisa dikatakan tua, namun sikap romantisnya tidak pernah ikut menua kemudia pudar dan hilang. Alanna sendiri kagum dengan kedua orang tuanya itu. Tidak jarang Alanna juga bercita-cita seperti mereka. Yeah, hal itu sungguh wajar bagi setiap manusia

ayah dan ibunya menggeleng, dan tersenyum kepada Alanna.

“jadi, kenapa lagunya berhenti?”
“oh, bukan apa-apa, kita lanjut Keav?” Ayah beralih kepada ibu, dan ia  mengangguk. Ayahnya  mulai menekan tuts tuts itu lagi. Suaranya yang merdu mulai bernyanyi, diikuti dengan ibunya yang duduk sambil berdandar  di sebelahnya.
“A smile to put you on a high
A kiss that sets your soul alight  Ayahnya menatap sang ibu dan tersenyum padanya, ibu paruh baya yang tidak terlihat tua itu membalas senyuman itu dan membaringkan kepalanya di atas bahu sang ayah.
Alanna tersenyum sendiri melihat pemandangan itu. ini adalah kisah romantis yang sesungguhnya, pasangan paling romantis yang pernah dilihatnya. Meskipun Alanna sering melihat pasangan-pasangan romantis di televisi, koran, majalah, atau sebagainya, ia tidak sepenuhnya percaya bahwa mereka benar-benar romantis. Hanya separuh dari mereka yang Alanna percaya, mungkin tidak sampai. Siapapun bisa berbohong di depan kamera bukan? Dan yang dilihatnya ini adalah kenyataan. Tidak ada rekayasa di sini.
“Dad,jangan berhenti bermain! Aku ambil biolaku dulu ya!” Alanna segera mencari biolanya. Ayahnya hanya geleng-geleng melihat putrinya itu. dari kecil hingga saat ini, ia begitu lincah  dan penuh semangat. Darah seni ayahnya turun padanya, begitu juga dengan bakat menari ibunya.

Tidak lama kemudian Alanna sudah kembali ke tempat ia berdiri semuala. Biola di tangan kirinya, dan Bow di tangan kanannya. Kemudian biola itu diletakkan pada bahunya. Matanya terpejam, mengira-ngira untuk nada selanjutnya kemudian Bow mulai bergesek pada String.

“Your love is released
And you move me with ease
And you rescue me time after time
Oh Oh you give your all
And you take it all in your stride”

Alanna rindu saat-saat seperti ini, bermain biola dengan iringan piano. hey, bukankah itu yang sering dilakukannya bersama William? Yeah, itu mungkin sudah menjadi sebuah kebiasaan. Mungkin wajar jika Alanna merindukannya.

pasangan Egan beserta putrinya terlihat sangat senang saat  itu. pasangan itu sangat senang, mereka masih hidup bersama, saling mencintai, bahkan dikaruniai dengan anak-anak yang begitu luar biasa. Lukisan seindah apapun tidak akan mampu menggambar kebahagiaan mereka. Dan Alanna sangat bahagia, melihat kedua orang tuanya yang tidak pernah berubah, cinta mereka masih sama, dan semoga tidak akan pernah berubah.


nah, maafkan Chapter ini begitu pendek -_-
dari pagi sampe sore dapetnya cuma segini hehehe 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar