Aku dan Jihyun punya banyak kesamaan. Jihyun benci serangga,
aku juga. Jihyun benci pada matematika, aku juga. Jihyun benci pada guru baru
kami yang memberi tugas seolah kami tidak punya kehidupan. Aku juga.
Jihyun menyukai ensiklopedia bergambar, aku juga. Kami
sangat suka ensiklopedia tentang mumi. Jihyun suka menguyah permen karet di tengah-tengah
pelajaran, aku juga. Jihyun sangat menyukai langit biru yang cerah. Aku juga.
Hari itu, tidak ada awan di atas kepala kami. Langit
seolah seutuhnya berwarna biru. Pagi itu cerah sekali. Siswa baru saling menatap
dan sesekali berbicara dengan canggung satu sama lain. Aku memilih untuk
menjadi mumi, sebab aku tidak pandai dalam bersosialisasi.
Jihyun cukup mencolok diantara murid lain yang berbaris
di lapangan. Tidak ada siswa laki-laki yang setampan Jihyun. Menurutku sih. Pernah dengar ketika salah satu
indramu tidak berfungsi, maka indra lainnya akan lebih peka? Mataku sangat
lihat mengamati beberapa siswa mengamatinya. Sebenarnya tidak bisa dibilang
beberapa, cukup banyak mungkin lebih tepat. Sebagian mengamatinya dengan
tatapan kagum, sebagian lagi seolah hendak menerkam. Uh, agresif sekali.
Aku bisa melihat sebagian anak laki-laki menatap
Jihyun dengan sinis. Pasti mereka adalah siswa yang bangun di pagi buta untuk
menata rambut agar dapat terbar pesona di hari pertama. Aku bisa melihat pomade
berkilau mereka dari jarak sejauh ini. Menyilaukan sekali.
Mataku bertemu dengan maniknya. Hanya sepersekian detik
kemudian kami saling membuang muka. Itu bukan tatapan yang akan membuatku tidak
bisa tidur karena mabuk kepayang. Itu hanya sebuah tatapan biasa karena kau
punya sepasang mata.
Aku dan Jihyun berada di kelas yang sama. Siswa lain mulai
mengakrabkan diri satu sama lain. Aku dan Jihyun lebih memilih menunggu siswa
lain membuka obrolan dengan kami. Sudah kubilang kan, aku dan Jihyun itu
memiliki banyak kesamaan. Kami sama-sama tak pandai bersosialisasi.
Percakapan kami terjadi di dalam perpustakaan sekolah
saat istirahat makan siang. Aku dan Jihyun sama-sama hendak mengambil ensiklopedia
mumi. Aku mengalah dan membiarkanku untuk membacanya terlebih dulu. Aku bisa
membaca buku itu lain waktu, lagi pula aku sudah membacanya empat kali.
Mungkin karena hari itu juga sama birunya dengan hari
pertama kali kami bertemu, kami memiliki suasana hati yang bagus. Jihyun membuka obrolan dengan mengatakan mumi dari
Palermo sangat indah. Itu juga merupakan mumi kesukaanku. Aku menanggapinya
dengan antusias. Itulah dialog pertama kami.
Tahun-tahun selanjutnya, aku dan Jihyun tetap menjadi
teman sekelas. Seiring berjalannya waktu, kami semakin akrab. Mungkin karena kami
memiliki banyak kesamaan. Aku bisa berubah sedikit lebih cerewet ketika
berbicara dengan Jihyun, begitu pula sebaliknya. Kami yang asli banyak bicara. Kami
membicarakan berbagai hal, mulai dari mengapa sekolah harus memberikan tugas
untuk dibawa pulang hingga mengapa alien tidak kunjung menginvasi bumi.
Teman-temanku mengakui bahwa tingkah lakuku seperti
Jihyun tetapi versi perempuan. Aku dan Jihyun berbaur dan berteman dengan siswa
lain. Kami hanya tidak terlalu pandai bersosialisasi di awal, bukan anti
sosial.
Suatu siang, kami dipulangkan lebih cepat. Aku bahkan
lupa mengapa kami dipulangkan lebih cepat, tetapi aku ingat bagaimana bahagianya
hari itu. Aku dan Jihyun tentu saja tidak begitu menyukai sekolah, tapi bukan
itu hal yang paling membahagiakan.
Siang itu kami sudah membuat agenda akan mengerjakan
tugas berpasangan yang diberikan beberapa hari lalu. Saat aku sedang memasukkan
beberapa buku ke dalam lokerku, Jihyun tiba-tiba sudah berdiri di belakangku. Ia
bergumam pelan “Hari ini tidak usah mengerjakan tugas ya.”
Aku lekas menutup lokerku dan berbalik menatap
wajahnya dengan penuh tanda tanya. “Kenapa? Bukannya kemarin kita sudah
sepakat?”
Jihyun tersenyum tertahan, tapi aku bisa melihat
lesung pipinya dengan jelas. Telinganya memerah, begitu juga dengan wajahnya. Apa
dia sakit?
“Hari ini cerah sekali. Sayang jika tidak dipakai
untuk bersenang-senang. Kita kencan saja ya?”
Untungnya hari itu aku menggerai rambutku. Jihyun tidak
boleh melihat telingaku yang memerah. Aku menyembunyikan semburat merah di
wajahku dengan menunduk. Tanpa menunggu jawabanku, Jihyun meraih tanganku. Menggenggamnya
dan tidak dilepaskan seharian itu.
Jihyun memperlakukanku seolah-olah aku adalah balon
helium. Jika lepas maka aku akan hilang.
“Jihyun, aku tidak akan hilang di keramaian. Aku lahir
di sini, jadi sekalipun aku hilang di keramaian , aku tidak mungkin tersesat.”
Jihyun menoleh padaku. “Namanya juga kencan. Saat
kencan, kadang kau harus berpura-pura tidak dapat melakukan sesuatu yang
sebenarnya bisa kau lakukan.”
“Jadi aku harus pura-pura akan tersesat jika
melepaskan tanganmu?”
Jihyun mengangguk tetapi ia sudah buru-buru mengalihkan
perhatiannya ke arah lain. Pasti dia menahan malu. Aku juga.
“Apa aku boleh berpura-pura tidak bisa membeli es krim
padahal uang sakuku minggu ini masih utuh di dalam dompet?” Aku mencoba sedikit
menggodanya. Balas dendam karena tiba-tiba mengadakan kencan.
“Wah, kau cepat belajar rupanya.”
Kami tertawa dengan tangan yang masih saling
menggenggam.Tidak baik untuk jantungku memang, tetapi aku merasa nyaman dan hangat
yang menjalar dari tangan kemudian menuju dadaku. Kami mengunjungi kedai es
krim, perpustakaan kota, taman bermain dan memutuskan pulang ketika langit
sudah mulai gelap.
Jihyun mengantarku pulang. Dia bilang akan pulang
setelah melihatku masuk ke dalam rumah. Aku tidak segera masuk. Mungkin karena
masih ingin bersama Jihyun lebih lama atau karena laki-laki ini seperti ingin
mengutarakan sesuatu yang tersangkut di lehernya.
“Katakan saja” Bersama Jihyun selama dua tahun
membuatku memehami Jihyun dengan baik.
Jihyun mengusap tengkuknya. Aku masih menunggu dalam
diam.
“Apa kau senang hari ini?” tanya Jihyun ragu-ragu.
“Tentu” jawabku seenteng mungkin.
“Kalau begitu kita harus sering-sering kencan. Maksudku,
kau tau..” Jihyun kembali mengusap-usap tengkuk sambil mengulum bibir bawahnya.
“Kencan itu dilakukan sepasang kekasih, jadi...”
Ah, aku paham ke mana arah pembicaraan ini. Jihyun
masih kesulitan untuk menemukan kata-kata yang tepat namun segera melanjutkan “mari
berkencan lagi di lain waktu sebagai sepasang kekasih.”
Sudah kubilang kan, aku dan Jihyun itu memiliki banyak
sekali kesamaan. Aku mengangguk dengan seulas senyuman malu. Aku yakin kami merasakan
hal yang sama. Ketika Jihyun jatuh cinta, aku juga.
Di hari-hari yang cerah kami kembali mengulangi kencan
kami. Sesekali kencan kami batal karena hujan yang mendadak turun, atau karena
kesibukan kami yang semakin padat seiring bertambahnya usia dan kewajiban. Itu
bukan masalah, sebab aku dan Jihyun masih sama-sama jatuh cinta.
Sesekali di hari yang cerah, di bawah langit biru kami
berselisih seperti pasangan lainnya. Terkadang kami juga berselisih di hari
yang kelabu. Aku dan Jihyun tidak menyukainya, sebab ketika hujan kesedihan
terasa semakin menyedihkan. Kami baik-baik saja, sebab kami akan berbaikan
setelahnya. Kami masih jatuh cinta. Walau rasanya tidak semenggebu dulu. Tidak
masalah, cinta memang begitu bukan? Seperti laut, kadang pasang dan kadang
surut. Aku percaya itu, Jihyun juga.
Di hari-hari cerah selanjutnya kami tidak banyak
berselisih. Kami lebih jarang berbicara dan sibuk dengan dunia masing-masing.
Sesekali kami saling berkirim pesan. Rasanya ini lebih buruk ketika aku dan
Jihyun sering berselisih. Aku akan menangis karena sakit tetapi akan tersenyum
lega ketika kembali memeluk Jihyun. Kenapa sekarang rasanya hambar sekali? Apa
Jihyun juga merasa begitu? Aku tidak berani bertanya, takut yang kukhawatirkan
jadi kenyataan.
Bekerja di dalam suatu firma hukum membuatku kerap
kali bertemu dengan orang-orang yang menggugat cerai pasangan mereka. Tentu
kami akan menyarankan mereka berdamai dengan pasangan mereka terlebih dulu. Sebagian
berhasil, sebagian lagi tetap bersikukuh untuk berpisah. Mereka yang keras
kepala ini membuatku berfikir, mengapa mereka bisa bersikukuh untuk
menyelesaikan sesuatu yang awalnya mereka mulai dengan harapan?
Hanya saja, melihat mereka yang datang dengan wajah
kecewa aku memahami sesuatu. Tak ada satupun dari mereka yang berharap akan mengakhiri
kisah cintanya dengan buruk. Membayangkannya saja barangkali mereka tak pernah.
Seperti aku, yang tak pernah membayangkan akan berpisah dengan Jihyun.
Di bawah langit yang biru, Jihyun bilang apapun bisa
saja terjadi. Aku percaya itu, seperti kami percaya bahwa alien itu ada dan
bisa saja datang ke bumi sewaktu-waktu. Jihyun benar, di suatu hari yang cerah
kami memutuskan untuk berpisah. Aku dan Jihyun tak begitu pandai soal
mengungkapkan perasaan. Jihyun terlalu lama memendam perasaanya yang berubah,
aku juga. Aku terlalu takut berpisah dengan Jihyun, begitu pula dengan Jihyun. Aku
dan Jihyun merasakan hal yang sama, hambar.
Untuk hari-hari yang akan datang nanti, entah cerah
ataupun hujan, aku dan Jihyun memiliki harapan yang sama: bertemu dengan orang yang membuat kami saling melengkapi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar