Selasa, 30 Juni 2020

Di Bawah Langit Biru


Aku dan Jihyun punya banyak kesamaan. Jihyun benci serangga, aku juga. Jihyun benci pada matematika, aku juga. Jihyun benci pada guru baru kami yang memberi tugas seolah kami tidak punya kehidupan. Aku juga.
Jihyun menyukai ensiklopedia bergambar, aku juga. Kami sangat suka ensiklopedia tentang mumi. Jihyun suka menguyah permen karet di tengah-tengah pelajaran, aku juga. Jihyun sangat menyukai langit biru yang cerah. Aku juga.
Hari itu, tidak ada awan di atas kepala kami. Langit seolah seutuhnya berwarna biru. Pagi itu cerah sekali. Siswa baru saling menatap dan sesekali berbicara dengan canggung satu sama lain. Aku memilih untuk menjadi mumi, sebab aku tidak pandai dalam bersosialisasi.
Jihyun cukup mencolok diantara murid lain yang berbaris di lapangan. Tidak ada siswa laki-laki yang setampan Jihyun. Menurutku sih. Pernah dengar ketika salah satu indramu tidak berfungsi, maka indra lainnya akan lebih peka? Mataku sangat lihat mengamati beberapa siswa mengamatinya. Sebenarnya tidak bisa dibilang beberapa, cukup banyak mungkin lebih tepat. Sebagian mengamatinya dengan tatapan kagum, sebagian lagi seolah hendak menerkam. Uh, agresif sekali.
Aku bisa melihat sebagian anak laki-laki menatap Jihyun dengan sinis. Pasti mereka adalah siswa yang bangun di pagi buta untuk menata rambut agar dapat terbar pesona di hari pertama. Aku bisa melihat pomade berkilau mereka dari jarak sejauh ini. Menyilaukan sekali.
Mataku bertemu dengan maniknya. Hanya sepersekian detik kemudian kami saling membuang muka. Itu bukan tatapan yang akan membuatku tidak bisa tidur karena mabuk kepayang. Itu hanya sebuah tatapan biasa karena kau punya sepasang mata.
Aku dan Jihyun berada di kelas yang sama. Siswa lain mulai mengakrabkan diri satu sama lain. Aku dan Jihyun lebih memilih menunggu siswa lain membuka obrolan dengan kami. Sudah kubilang kan, aku dan Jihyun itu memiliki banyak kesamaan. Kami sama-sama tak pandai bersosialisasi.
Percakapan kami terjadi di dalam perpustakaan sekolah saat istirahat makan siang. Aku dan Jihyun sama-sama hendak mengambil ensiklopedia mumi. Aku mengalah dan membiarkanku untuk membacanya terlebih dulu. Aku bisa membaca buku itu lain waktu, lagi pula aku sudah membacanya empat kali.
Mungkin karena hari itu juga sama birunya dengan hari pertama kali kami bertemu, kami memiliki suasana hati yang bagus. Jihyun membuka obrolan dengan mengatakan mumi dari Palermo sangat indah. Itu juga merupakan mumi kesukaanku. Aku menanggapinya dengan antusias. Itulah dialog pertama kami.
Tahun-tahun selanjutnya, aku dan Jihyun tetap menjadi teman sekelas. Seiring berjalannya waktu, kami semakin akrab. Mungkin karena kami memiliki banyak kesamaan. Aku bisa berubah sedikit lebih cerewet ketika berbicara dengan Jihyun, begitu pula sebaliknya. Kami yang asli banyak bicara. Kami membicarakan berbagai hal, mulai dari mengapa sekolah harus memberikan tugas untuk dibawa pulang hingga mengapa alien tidak kunjung menginvasi bumi.
Teman-temanku mengakui bahwa tingkah lakuku seperti Jihyun tetapi versi perempuan. Aku dan Jihyun berbaur dan berteman dengan siswa lain. Kami hanya tidak terlalu pandai bersosialisasi di awal, bukan anti sosial.
Suatu siang, kami dipulangkan lebih cepat. Aku bahkan lupa mengapa kami dipulangkan lebih cepat, tetapi aku ingat bagaimana bahagianya hari itu. Aku dan Jihyun tentu saja tidak begitu menyukai sekolah, tapi bukan itu hal yang paling membahagiakan.
Siang itu kami sudah membuat agenda akan mengerjakan tugas berpasangan yang diberikan beberapa hari lalu. Saat aku sedang memasukkan beberapa buku ke dalam lokerku, Jihyun tiba-tiba sudah berdiri di belakangku. Ia bergumam pelan “Hari ini tidak usah mengerjakan tugas ya.”
Aku lekas menutup lokerku dan berbalik menatap wajahnya dengan penuh tanda tanya. “Kenapa? Bukannya kemarin kita sudah sepakat?”
Jihyun tersenyum tertahan, tapi aku bisa melihat lesung pipinya dengan jelas. Telinganya memerah, begitu juga dengan wajahnya. Apa dia sakit?
“Hari ini cerah sekali. Sayang jika tidak dipakai untuk bersenang-senang. Kita kencan saja ya?”
Untungnya hari itu aku menggerai rambutku. Jihyun tidak boleh melihat telingaku yang memerah. Aku menyembunyikan semburat merah di wajahku dengan menunduk. Tanpa menunggu jawabanku, Jihyun meraih tanganku. Menggenggamnya dan tidak dilepaskan seharian itu.
Jihyun memperlakukanku seolah-olah aku adalah balon helium. Jika lepas maka aku akan hilang.
“Jihyun, aku tidak akan hilang di keramaian. Aku lahir di sini, jadi sekalipun aku hilang di keramaian , aku tidak mungkin tersesat.”
Jihyun menoleh padaku. “Namanya juga kencan. Saat kencan, kadang kau harus berpura-pura tidak dapat melakukan sesuatu yang sebenarnya bisa kau lakukan.”
“Jadi aku harus pura-pura akan tersesat jika melepaskan tanganmu?”
Jihyun mengangguk tetapi ia sudah buru-buru mengalihkan perhatiannya ke arah lain. Pasti dia menahan malu. Aku juga.
“Apa aku boleh berpura-pura tidak bisa membeli es krim padahal uang sakuku minggu ini masih utuh di dalam dompet?” Aku mencoba sedikit menggodanya. Balas dendam karena tiba-tiba mengadakan kencan.
“Wah, kau cepat belajar rupanya.”
Kami tertawa dengan tangan yang masih saling menggenggam.Tidak baik untuk jantungku memang, tetapi aku merasa nyaman dan hangat yang menjalar dari tangan kemudian menuju dadaku. Kami mengunjungi kedai es krim, perpustakaan kota, taman bermain dan memutuskan pulang ketika langit sudah mulai gelap.
Jihyun mengantarku pulang. Dia bilang akan pulang setelah melihatku masuk ke dalam rumah. Aku tidak segera masuk. Mungkin karena masih ingin bersama Jihyun lebih lama atau karena laki-laki ini seperti ingin mengutarakan sesuatu yang tersangkut di lehernya.
“Katakan saja” Bersama Jihyun selama dua tahun membuatku memehami Jihyun dengan baik.
Jihyun mengusap tengkuknya. Aku masih menunggu dalam diam.
“Apa kau senang hari ini?” tanya Jihyun ragu-ragu.
“Tentu” jawabku seenteng mungkin.
“Kalau begitu kita harus sering-sering kencan. Maksudku, kau tau..” Jihyun kembali mengusap-usap tengkuk sambil mengulum bibir bawahnya. “Kencan itu dilakukan sepasang kekasih, jadi...”
Ah, aku paham ke mana arah pembicaraan ini. Jihyun masih kesulitan untuk menemukan kata-kata yang tepat namun segera melanjutkan “mari berkencan lagi di lain waktu sebagai sepasang kekasih.”
Sudah kubilang kan, aku dan Jihyun itu memiliki banyak sekali kesamaan. Aku mengangguk dengan seulas senyuman malu. Aku yakin kami merasakan hal yang sama. Ketika Jihyun jatuh cinta, aku juga.
Di hari-hari yang cerah kami kembali mengulangi kencan kami. Sesekali kencan kami batal karena hujan yang mendadak turun, atau karena kesibukan kami yang semakin padat seiring bertambahnya usia dan kewajiban. Itu bukan masalah, sebab aku dan Jihyun masih sama-sama jatuh cinta.
Sesekali di hari yang cerah, di bawah langit biru kami berselisih seperti pasangan lainnya. Terkadang kami juga berselisih di hari yang kelabu. Aku dan Jihyun tidak menyukainya, sebab ketika hujan kesedihan terasa semakin menyedihkan. Kami baik-baik saja, sebab kami akan berbaikan setelahnya. Kami masih jatuh cinta. Walau rasanya tidak semenggebu dulu. Tidak masalah, cinta memang begitu bukan? Seperti laut, kadang pasang dan kadang surut. Aku percaya itu, Jihyun juga.
Di hari-hari cerah selanjutnya kami tidak banyak berselisih. Kami lebih jarang berbicara dan sibuk dengan dunia masing-masing. Sesekali kami saling berkirim pesan. Rasanya ini lebih buruk ketika aku dan Jihyun sering berselisih. Aku akan menangis karena sakit tetapi akan tersenyum lega ketika kembali memeluk Jihyun. Kenapa sekarang rasanya hambar sekali? Apa Jihyun juga merasa begitu? Aku tidak berani bertanya, takut yang kukhawatirkan jadi kenyataan.
Bekerja di dalam suatu firma hukum membuatku kerap kali bertemu dengan orang-orang yang menggugat cerai pasangan mereka. Tentu kami akan menyarankan mereka berdamai dengan pasangan mereka terlebih dulu. Sebagian berhasil, sebagian lagi tetap bersikukuh untuk berpisah. Mereka yang keras kepala ini membuatku berfikir, mengapa mereka bisa bersikukuh untuk menyelesaikan sesuatu yang awalnya mereka mulai dengan harapan?
Hanya saja, melihat mereka yang datang dengan wajah kecewa aku memahami sesuatu. Tak ada satupun dari mereka yang berharap akan mengakhiri kisah cintanya dengan buruk. Membayangkannya saja barangkali mereka tak pernah. Seperti aku, yang tak pernah membayangkan akan berpisah dengan Jihyun.
Di bawah langit yang biru, Jihyun bilang apapun bisa saja terjadi. Aku percaya itu, seperti kami percaya bahwa alien itu ada dan bisa saja datang ke bumi sewaktu-waktu. Jihyun benar, di suatu hari yang cerah kami memutuskan untuk berpisah. Aku dan Jihyun tak begitu pandai soal mengungkapkan perasaan. Jihyun terlalu lama memendam perasaanya yang berubah, aku juga. Aku terlalu takut berpisah dengan Jihyun, begitu pula dengan Jihyun. Aku dan Jihyun merasakan hal yang sama, hambar.  
Untuk hari-hari yang akan datang nanti, entah cerah ataupun hujan, aku dan Jihyun memiliki harapan yang sama: bertemu dengan orang yang membuat kami saling melengkapi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar