Jumat, 04 September 2020

Perempuan Bertangan Dingin

 

Penyakit ibu kambuh lagi, kali ini semakin parah. Mungkin membutuhkan waktu berminggu-minggu di rumah sakit. Penyakit ibu sering kambuh, aku sudah menganggap rumah sakit adalah rumahku juga. Ayah bekerja tak henti-henti. Ayah tidak sekarat seperti ibu, tetapi makin hari tulang wajahnya semakin timbul. Ayah bilang semuanya akan baik-baik saja. Aku tak pernah menanggapi. Dipikir bagaimanapun hanya keajaiban yang membuat semuanya baik-baik saja. Ibu bisa pergi kapan saja, aku tak bisa menyangkal itu.

Hari itu rasanya aku lelah sekali. Semalaman aku tidak bisa tidur. Takut ketika aku bangun, dada ibu tak lagi bergerak naik-turun. Dokter bilang ibu akan baik-baik saja. Nyatanya ibu tak pernah baik-baik saja. Ia selalu sakit atau sakit sekali. Aku kabur dari pelajaran olahraga saat anak-anak lain sedang berjalan menuju lapangan. Aku tidak peduli jika setelah ini aku akan menjadi buronan guru olahraga yang galak itu.

Ini bukan pertama kali aku tidak tidur, tapi kali ini rasanya berbeda. Jauh lebih melelahkan dan menyesakkan. Ketakutanku semakin menjadi-jadi sampai terkadang aku lupa bernafas nafas. Aku, ayah ataupun ibu sama-sama ketakutan walau tak satupun dari kamu yang pernah mengaku. Dari atap gedung sekolah, orang-orang terlihat kecil. Aku iri dengan mereka, kurasa mereka tidak menjalani hidup yang menakutkan sepertiku. Langit biru begitu cerah, tidak sesuai dengan suasana hatiku. Kusadari bahwa, aku benar-benar sendiri dan kesepian menanggung beban ini.

Lagi-lagi aku kesulitan bernafas, sesak. Air mataku menetes begitu saja. Belakangan aku menjadi cengeng, walau tak pernah menangis di depan siapapun. Aku cepat-cepat menghapus air mataku ketika menyadari ada keberadaan orang lain di sekitarku. Terlambat, ia melihat semuanya dan mulai menatapku dengan wajah kasihan. Awalnya kukira begitu, tetapi  bukan. Aku tidak mengerti ekspresi itu. Ia melangkahkan kakinya menjauh menuju pintu, tetapi langkahnya terhenti. Ia berbalik dan menghampiriku.

“keadaan sedang buruk sekali,ya?”

Iya. Tetapi aku menutup multku rapat-rapat.

Aku hanya diam memandangi wajahnya yang menyunggingkan senyum penuh afeksi. Mungkin hanya perasaanku, senyum itu juga terlihat rapuh.

“perlu pelukan?”  tanyanya lagi.

Aku diam beberapa detik, tapi tubuh kecil di depanku lebih dahulu memelukku dan menenggemkan wajahnya di dadaku.  

Aku runtuh seperti kastil pasir yang tersapu ombak. Aku menangis dan mendekapnya erat, tanpa tau bahwa tubuh kecil itu juga bergetar dan dingin.

Dua minggu setelahnya ibu benar-benar pergi. Hal yang kutakutkan benar-benar terjadi. Aku tidak tau mana yang lebih hancur: aku atau ayah. Ayah tak terlihat menangis setelah pemakaman, atau mungkin ia menangis tetapi tidak di depanku. Ayah mencoba menghiburku dengan mengatakan, setidaknya ibu tidak lagi merasa sakit. Masuk akal, tetapi itu tak banyak membantu. Kami kehilangan ibu, dan bagaimanapun kami hancur. Sesuatu yang tak mungkin kami sangkal.

Gadis itu menggenggam tanganku erat, seolah tau aku sedang tak baik-baik saja. Dia selalu tau. Tangan kecil itu sering kali terasa dingin, berkeringat dan bergetar. Aku tak begitu menghiraukan sebab aku terlalu tenggelam dalam kesedihanku. Tangan ringkih itu selalu membuatku merasa sedikit lebih baik.

Waktu nyatanya memanglah obat. Aku perlahan-lahan mampu menerima kepergian ibu. Gadis bertangan dingin itu bilang, aku boleh menggenggam tangannya dan memeluknya kapanpun. Hari ini aku ingin bertemu dan memeluknya. Aku merindukan ibu dan gadis kecil itu dalam satu waktu.

Hal pertama yang kulihat ketika pintu kamarnya terbuka adalah gadis kurus yang terkulai lemah di lantai. Aku segera meraih tubuh pucat itu. Satu sayatan dalam di masing-masing pergelangan tangan dan sayatan halus yang tak terhitung jumlahnya. Aku bisa melihat dadanya yang masih sedikit bergerak walau hanya sesekali. Itu mengingatkanku pada ibu.

Orang-orang di koridor rumah sakit mengamatiku. Akhirnya aku sadar bahwa celana dan jaketku memiliki noda darah yang menyita perhatian. Aroma parfumku bercampur dengan aroma amis besi berkarat.

Di depan ruang perawatannya aku bertemu dengan seorang wanita paruh baya yang menangis histeris. Aku merengkuhnya tanpa berkata apapun. Aku seolah menenangkannya, tetapi sesungguhnya akupun memerlukan itu untuk menenangkan diriku sendiri.

“lima kali” ujar wanita itu sesegukan. “dua kali dengan obat tidur, dua kali dengan racun, ini yang kelima. Aku ibu yang buruk, aku bahkan tak mampu mencegahnya mendekati kematian.”

Gadis itu bisa pergi kapan saja, sama seperti ibu waktu itu. Seandainya aku sedikit lebih menaruh perhatian pada tangan kecilnya yang gemetar dan dingin, mungkinkah aku sedang memeluknya sekarang? Bukankah aku terlalu sibuk dengan lukaku sendiri?

Gadis itu terbaring lemah di atas kasur rumah sakit. Nafasnya yang terlihat samar-samar menenangkanku. Aku bisa melihat tulang selangkanya yang menonjol dan lingkaran mata yang gelap. Dia terlihat sangat rapuh seolah-olah siap hancur kapan saja. Kedua pergelangan tangannya sudah terbalut perban. Aku kemudian teringat genangan darah di lantai kamarnya. Aku tak berani membayangkan jika aku datang terlambat.

Aku menemuinya setelah seorang psikiater keluar dari kamarnya. Aku memasang senyum terbaikku seolah tak ada hal besar yang terjadi beberapa hari lalu. Aku menyapanya. Dia membalas dengan tersenyum. Sekarang aku yakin bahwa senyum yang dulu kulihat benar-benar sarat akan kerapuhan.

“keadaan sedang buruk sekali,ya?”

Dia masih tersenyum dengan mata berkaca-kaca.

“butuh pelukan?”

Tanpa persetujuan, aku langsung memeluknya.

 

Tahun-tahun selanjutnya tidak begitu mudah. Ada kalanya tangan gadis itu kembali gemetar dengan keringat dingin yang mengalir deras. Dia tak pernah menyerah. Dia menjadi lebih terbuka dan menghambur ke pelukanku kapanpun 'waktu buruk' itu datang. Sering kali aku pun mengalami hari-hari sulit. Setiap hari itu datang, aku ingin segera pulang dan mendengar si gadis bertanya “butuh pelukan?”  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar