Penyakit ibu kambuh lagi,
kali ini semakin parah. Mungkin membutuhkan waktu berminggu-minggu di rumah
sakit. Penyakit ibu sering kambuh, aku sudah menganggap rumah sakit adalah
rumahku juga. Ayah bekerja tak henti-henti. Ayah tidak sekarat seperti ibu, tetapi
makin hari tulang wajahnya semakin timbul. Ayah bilang semuanya akan baik-baik
saja. Aku tak pernah menanggapi. Dipikir bagaimanapun hanya keajaiban yang
membuat semuanya baik-baik saja. Ibu bisa pergi kapan saja, aku tak bisa
menyangkal itu.
Hari itu rasanya aku
lelah sekali. Semalaman aku tidak bisa tidur. Takut ketika aku bangun, dada ibu
tak lagi bergerak naik-turun. Dokter bilang ibu akan baik-baik saja. Nyatanya
ibu tak pernah baik-baik saja. Ia selalu sakit atau sakit sekali. Aku kabur
dari pelajaran olahraga saat anak-anak lain sedang berjalan menuju lapangan.
Aku tidak peduli jika setelah ini aku akan menjadi buronan guru olahraga yang
galak itu.
Ini bukan pertama kali
aku tidak tidur, tapi kali ini rasanya berbeda. Jauh lebih melelahkan dan menyesakkan.
Ketakutanku semakin menjadi-jadi sampai terkadang aku lupa bernafas nafas. Aku,
ayah ataupun ibu sama-sama ketakutan walau tak satupun dari kamu yang pernah
mengaku. Dari atap gedung sekolah, orang-orang terlihat kecil. Aku iri dengan
mereka, kurasa mereka tidak menjalani hidup yang menakutkan sepertiku. Langit
biru begitu cerah, tidak sesuai dengan suasana hatiku. Kusadari bahwa, aku
benar-benar sendiri dan kesepian menanggung beban ini.
Lagi-lagi aku kesulitan
bernafas, sesak. Air mataku menetes begitu saja. Belakangan aku menjadi
cengeng, walau tak pernah menangis di depan siapapun. Aku cepat-cepat menghapus
air mataku ketika menyadari ada keberadaan orang lain di sekitarku. Terlambat,
ia melihat semuanya dan mulai menatapku dengan wajah kasihan. Awalnya kukira
begitu, tetapi bukan. Aku tidak mengerti
ekspresi itu. Ia melangkahkan kakinya menjauh menuju pintu, tetapi langkahnya
terhenti. Ia berbalik dan menghampiriku.
“keadaan sedang buruk
sekali,ya?”
Iya.
Tetapi
aku menutup multku rapat-rapat.
Aku hanya diam memandangi
wajahnya yang menyunggingkan senyum penuh afeksi. Mungkin hanya perasaanku, senyum
itu juga terlihat rapuh.
“perlu pelukan?” tanyanya lagi.
Aku diam beberapa detik,
tapi tubuh kecil di depanku lebih dahulu memelukku dan menenggemkan wajahnya di
dadaku.
Aku runtuh seperti kastil
pasir yang tersapu ombak. Aku menangis dan mendekapnya erat, tanpa tau bahwa tubuh
kecil itu juga bergetar dan dingin.
Dua minggu setelahnya ibu
benar-benar pergi. Hal yang kutakutkan benar-benar terjadi. Aku tidak tau mana
yang lebih hancur: aku atau ayah. Ayah tak terlihat menangis setelah pemakaman,
atau mungkin ia menangis tetapi tidak di depanku. Ayah mencoba menghiburku
dengan mengatakan, setidaknya ibu tidak lagi merasa sakit. Masuk akal, tetapi
itu tak banyak membantu. Kami kehilangan ibu, dan bagaimanapun kami hancur.
Sesuatu yang tak mungkin kami sangkal.
Gadis itu menggenggam
tanganku erat, seolah tau aku sedang tak baik-baik saja. Dia selalu tau. Tangan
kecil itu sering kali terasa dingin, berkeringat dan bergetar. Aku tak begitu
menghiraukan sebab aku terlalu tenggelam dalam kesedihanku. Tangan ringkih itu
selalu membuatku merasa sedikit lebih baik.
Waktu nyatanya memanglah
obat. Aku perlahan-lahan mampu menerima kepergian ibu. Gadis bertangan dingin
itu bilang, aku boleh menggenggam tangannya dan memeluknya kapanpun. Hari ini
aku ingin bertemu dan memeluknya. Aku merindukan ibu dan gadis kecil itu dalam
satu waktu.
Hal pertama yang kulihat
ketika pintu kamarnya terbuka adalah gadis kurus yang terkulai lemah di lantai.
Aku segera meraih tubuh pucat itu. Satu sayatan dalam di masing-masing
pergelangan tangan dan sayatan halus yang tak terhitung jumlahnya. Aku bisa
melihat dadanya yang masih sedikit bergerak walau hanya sesekali. Itu
mengingatkanku pada ibu.
Orang-orang di koridor
rumah sakit mengamatiku. Akhirnya aku sadar bahwa celana dan jaketku memiliki
noda darah yang menyita perhatian. Aroma parfumku bercampur dengan aroma amis
besi berkarat.
Di depan ruang perawatannya
aku bertemu dengan seorang wanita paruh baya yang menangis histeris. Aku merengkuhnya
tanpa berkata apapun. Aku seolah menenangkannya, tetapi sesungguhnya akupun
memerlukan itu untuk menenangkan diriku sendiri.
“lima kali” ujar wanita
itu sesegukan. “dua kali dengan obat tidur, dua kali dengan racun, ini yang
kelima. Aku ibu yang buruk, aku bahkan tak mampu mencegahnya mendekati
kematian.”
Gadis itu bisa pergi
kapan saja, sama seperti ibu waktu itu. Seandainya aku sedikit lebih menaruh
perhatian pada tangan kecilnya yang gemetar dan dingin, mungkinkah aku sedang
memeluknya sekarang? Bukankah aku terlalu sibuk dengan lukaku sendiri?
Gadis itu terbaring lemah
di atas kasur rumah sakit. Nafasnya yang terlihat samar-samar menenangkanku. Aku
bisa melihat tulang selangkanya yang menonjol dan lingkaran mata yang gelap. Dia
terlihat sangat rapuh seolah-olah siap hancur kapan saja. Kedua pergelangan
tangannya sudah terbalut perban. Aku kemudian teringat genangan darah di lantai
kamarnya. Aku tak berani membayangkan jika aku datang terlambat.
Aku menemuinya setelah
seorang psikiater keluar dari kamarnya. Aku memasang senyum terbaikku seolah
tak ada hal besar yang terjadi beberapa hari lalu. Aku menyapanya. Dia membalas
dengan tersenyum. Sekarang aku yakin bahwa senyum yang dulu kulihat benar-benar
sarat akan kerapuhan.
“keadaan sedang buruk
sekali,ya?”
Dia masih tersenyum
dengan mata berkaca-kaca.
“butuh pelukan?”
Tanpa persetujuan, aku
langsung memeluknya.
Tahun-tahun selanjutnya
tidak begitu mudah. Ada kalanya tangan gadis itu kembali gemetar dengan
keringat dingin yang mengalir deras. Dia tak pernah menyerah. Dia menjadi lebih
terbuka dan menghambur ke pelukanku kapanpun 'waktu buruk' itu datang. Sering kali aku pun mengalami hari-hari
sulit. Setiap hari itu datang, aku ingin segera pulang dan mendengar si gadis
bertanya “butuh pelukan?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar