Minggu, 13 September 2020

Kamu baik-baik saja?

 

“Apa kamu baik-baik saja?”

Sedikit dari mereka yang bertanya demikian kepadaku. Aku sedikit terharu ketika sebagian kecil itu bertanya demikian. Mereka mempedulikanku. Aku sungguh berterima kasih. Sayangnya, sering kali aku tak mampu mengungkapkan sakit-penyakit ini. Terlalu rumit, aku sangsi mereka akan paham atau tak menganggapku aneh. Jadi, aku memilih mengangguk dan tersenyum meyakinkan mereka. Tak baik membebani orang lain, pikirku.

Sejak kapan ya semuanya berawal? Aku tak benar-benar tahu, yang pasti sudah lama sekali. 

Sedari kecil kita diajarkan untuk bersyukur bukan? Walau dengan cara, “cari tahu apa yang orang lain tak miliki dan bandingkan dengan dirimu”. Kita harus bersyukur karena bisa makan hari ini karena sebagian orang di bumi kesulitan untuk mengisi perut. Kita harus bersyukur karena memiliki tempat tinggal yang layak, sebagian manusia bergulat dengan angin malam setiap harinya. Lalu bagaimana cara mereka yang tidak makan dan tidak berumah itu untuk bersyukur? Bagaimana mereka tau kekurangan dari seseorang yang hidupnya berkecukupan? Aku rasa seorang saudagar kaya tidak akan mengumbar tentang istri mereka yang gila harta, atau anak-anak mereka yang pembangkang. Dalam hal ini, tentu mereka yang hidup dalam kemelaratan sangat sulit untuk bersyukur.

Sedari kecil kita disuguhi dengan kejeniusan seorang Edison, bagaimana kayanya Bill Gates, dan itulah yang mereka sebut dengan sukses. Seorang kuli bangunan di dekat rumahku secara tersirat disebut sebagai orang-orang gagal. Tidak rajin di sekolah, tidak mau belajar, pemalas, itu yang mereka sebut sebagai penyebab.

Dengan rumus-rumus kehidupan itu, harunya tidak sulit bagiku untuk bersyukur. Kedua orang tuaku memiliki pekerjaan yang layak dan penghasilan yang stabil. Kami punya rumah yang nyaman dengan halam kecil sebagai temptku bermain. Aku bukan anak yang bodoh di kelas walau bukan yang terpandai. Bukankah harusnya akur bersyukur? Bukankah harusnya aku bahagia?

Kupikir juga harusnya begitu, tetapi nyatanya aku sering menangis atas hal-hal yang tidak membahagiakan. Saat kecil, anak-anak di sekolah tak begitu menyukaiku. Aku ketakutan dan tertekan. Aku ingin bermain, tertawa dan mengerjakan tugas kelompok bersama mereka. Aku berusaha untuk diterima di kelompok tersebut walau harus sedikit berubah. Atau mungkin banyak. Aku tak tau, aku hanya ingin memiliki teman. Ini ketakutanku yang pertama, tidak memiliki teman.

Awalnya aku bukan anak-anak rajin dan terlalu peduli dengan nilai ataupun peringkat. Aku tak tau sejak kapan, aku berubah. Aku mulai ketakutan ketika ujian. Aku kira aku hanya taku mendapatkan nilai jelek. Nyatanya aku bahkan takut pada ketakutanku sendiri. Aku takut jika aku akan menyesal jika tidak belajar dengan keras. Aku takut aku akan ketakutan ketika melihat nilaiku yang jelek. Aku takut aku akan menyesal berlarut-larut. Aku takut pada masa depan dan menyesali masa lalu. Aku takut akan membuat penyesalan lainnya. Aku takut jika suatu saat aku tak sanggup pada ketakutanku. Aku mulai curiga dengan ketakutanku yang berlebihan. Kukira aku cukup kuat, bukankah aku sudah andal menghadapi ketakutan selama bertahun-tahun? Maka aku yakin, ketakutan di tahun-tahun setelahnya pun pasti bisa kuhadapi. Aku hanya perlu berusaha seperti sebelum-sebelumnya bukan?

Aku mengenal seorang pria manis beberapa tahun lalu. Dia tak begitu polos dan lugu. Dia berapi-api dan cerah, sungguh seorang pria muda yang menarik. Waktu itu, dia menganggap aku menarik. Aku tersanjung, dan kupikir pria ini memiliki selera yang bagus. Aku punya predikat gadis yang pandai, walau bukan yang paling cantik tapi setidaknya aku cukup manis, aku juga cukup populer. Aku tak pernah membalas ungkapan cintanya. Aku membiarkannya pergi. Aku takut kehilangan pria manis itu, jadi aku memilih untuk tidak memilikinya sama sekali. Benar, lagi-lagi aku terlalu takut.

Aku kira keputusanku sudah benar dan aku tak akan menyesal. Nyatanya aku merasakan sakit yang teramat. Aku pikir itu wajar, karena aku kehilangan salah satu penggemarku yang tulus.

Aku sering menangis, sama seperti sebelum-sebelumnya. Aku mulai menangisi banyak hal dan ketakutanku tak kunjung membaik. Mereka datang dan pergi. Aku tak pernah siap dengan kedatangan mereka. Kadang kukira aku sudah kurang waras.

Aku kira aku cukup kuat, tapi nyatanya aku lemah. Ketakutan dan kesedihanku bercampur menjadi sakit. Aku mulai melarikan diri dari kenyataan. Awalnya satu pil cukup bagiku untuk terlelap, kemudian berangsur menjadi dua. Aku membiarkan diriku menjadi si pengecut yang menyedihkan. Hari ini botol putih di nakasku telah kosong. Aku perlu membeli obat tidur lagi.

Aku meminta sebotol obat tidur yang biasa kukonsumsi kepada seorang apoteker. Selagi si apoteker mencari obat yang kumaksud seorang pria bermantel coklat berdiri di sampingku. Dia menggunakan masker hitam, tetepi aku masih dapat mengenalinya. Dia si pria manis. Sesekali kami berpapasan dan saling menyapa sekedarnya. Berada di kampus yang sama cukup sulit untuk membuat kami saling menghindar. Terasa aneh sekali ketika seseorang yang dulunya selalu menanyakan tentang harimu berubah menjadi orang yang menganggap hal itu tak pernah terjadi. Si pria manis pasti sudah tidak menyukaiku.

Ketika pandangan kami bertemu, aku tersenyum. Aku mampu menangkap keterkejutannya lewat alis yang bergerak. Aku tidak tau apa yang membuatnya terkejut. Mungkin saja dia membenciku sekarang tapi malah bertemu secara tiba-tiba. Aku tak keberatan jika dia membenciku. Itu lebih baik dibandingkan tersiksa dengan cinta sepihak bukan?

Apoteker tadi datang dengan sebotol obat tidur di tangan kanannya. Aku segera meraih botol tersebut kemudian menepuk pundak pria manis di sampingku.

“Aku akan segera pulang kok, jangan malu untuk membeli kontrasepsi” ujarku sambil mengulum senyum. Pria itu melebarkan matanya. Aku tertawa kecil dan meninggalkannya. Setidaknya itu dapat mencairkan suasana canggung di antara kami. Aku tidak ingin memperlakukannya seperti orang asing. Dia pria baik dan aku tetap ingin berteman dengannya. Terdengar agak egois memang, tetapi aku yakin pria itu paham maksudku.

Aku adalah wanita konyol dengan mulut yang berucap sewenang-wenang, setidaknya itulah yang diketahui orang-orang. Atau, itulah yang membuat orang lain menyukaiku. Apa untungnya terlihat muram di depan orang lain selain terlihat jelek? Sekalipun kuceritakan segala hal buruk yang kualami mereka belum tentu mau tau, apalagi mengerti. Semua orang sudah memiliki bebannya masing-masing, jadi wajar mereka tak mau tau masalah orang lain. Terlebih aku benci ketika mereka menatapku seolah aku adalah orang aneh, meskipun memang benar.

Aku mendengar langkah kaki yang terburu-buru mendekat padaku. Kukira itu si pria manis, aku bisa merasaka aroma parfumnya di hidungku. Jika benar dia mengejarku bukankah harusnya senarusnya dia sudah berada tepat di belakangku atau memanggilku, atau menyentuh bahuku. Kudengar adalah suara langkah kaki yang yang teratur tak jauh di belakangku. Untuk beberapa detik, aku hanya terus berjalan menuju rumah.

Aku tak tahan untuk berbalik, dan benar saja. Si pria manis berdiri tak jauh di belakangku.

“Kau mau mau mengikutiku? Serindu itu ya?” ujarku dengan senyum pongah yang konyol.

Si pria manis itu menatapku jengkel. Ternyata aku rindu memancing emosinya. Dia terlihat seperti anak kecil yang tidak terima  permen coklatnya diambil orang. Manis sekali. Aku ingin punya anak seperti dia suatu saat nanti. Jika aku bisa.

“Apa kau sakit?” tanyanya tanpa melihat wajahku. Kedua tangannya dimasukkan kedalam saku celana. Lihat, bukankah dia seperti anak sekolah yang malu-malu mengajak teman wanitanya kencan? Berapa sebenarnya usia pria ini?

“Tidak kok” jawabku sambil tersenyum lebar. Seolah memberi bukti bahwa aku baik-baik saja, dan silahkan urusi perkara masing-masing.

“Kau terlihat pucat”

“Kulitku semakin putih, aku pakai krim pemutih wajah”

“Matamu menghitam”

“Aku begadang tadi malam, memangnya mahasiswa mana yang tidak pernah begadang?”

“Matamu bengkak”

“Lalu? Kau berharap aku baru saja menangisimu?”

Si pria manis berdecak jengkel. Dia menendang sebuah krikil kecil di dekat sepatunya.

“Terserah”. Dia berbalik dan melangkah dengan kesal. Kuamati keberadaannya yang kian menjauh, kemudian lanjut berjalan.

Tak lama setelah itu aku mendengar suara langkah kaki yang dihentak-hentak mendekat. Kukira itu suara langkah orang yang terburu-buru menuju halte, tetapi tiba-tiba sosok pria tinggi berada di sampingku dan menyamakan langkah kaki denganku.

“Kukira tujuanmu ke sana” aku menunjuk ke belakang.

“Kalau kau tidak mau menerimaku, setidaknya jangan buat aku khawatir.” Ucapnya dengan penuh kejengkelan yang diredam.

“Aku tidak berharap kau khawatir.” Jawabku tak kalah sengit.

“Aku juga berharap begitu.”

“Kalau begitu jangan khawatirkan aku.” sahutku ketus.

“Mana bisa.” Jawabnya samar tetapi masih dapat kudengar.

Aku membenci diriku sendiri. Pria di sampingku ini jelas sudah bukan pria yang menggodaku dengan kata-kata manis agar pesannya segera dibalas. Dia sudah menjadi ketus dan menyebalkan, tetapi kenapa malah terasa semakin menggemaskan? Apa penyakit kejiwaanku bertambah?

Setelah hening beberapa saat, tepat di tempat penyebrangan aku kembali membuka suara.

“Aku bisa pulang sendiri.”

“Aku tau.” Jawabnya asal.

“Kalau begitu pulanglah.”

“Aku tidak tenang sebelum melihatmu sampai di rumah.”

Aku merotasikan mataku seolah tengah jengkel. Aku mengambil langkah besar dan membiarkannya berjalan di belakangku. Dia tidak boleh melihat wajahku yang memerah. Dia harus menjauh dariku, dan menemukan orang lain yang lebih baik dariku.

*

Beberapa malam ini Soji, si pria manis terus menghubungiku. Jika aku tidak membalas pesannya maka ia akan meneleponku puluhan kali hingga aku menyerah, kemudian menjawabnya asal-asalan. Dia menanyakan berbagai hal tak penting seperti, ‘kenapa tidak membalas pesanku?’, ‘kenapa kama sekali mengangkat teleponku?’ ‘apa kau sudah tidur?’, ‘kenapa kau masih bangun?’. Sejujurnya perdebatan tak berarah itu sedikit mengusir kesepianku, mengingat ayah dan ibu lebih sering berada di kantor atau di luar kota di bandingkan di rumah. Bagaimanapun Soji berhak mendapat kebahagiaan bukan? Jadi hari ini aku sengajak mematikan ponselku.

Aku menyibukkan diri dengan beberapa tugas yang sudah menumpuk. Belakangan ini, aku merasa semakin buruk. Aku semakin sulit berkonsetrasi dan itu sungguh menghambatku untuk melakukan berbagai hal. Kecemasanku benar-benar menakutiku hingga rasanya aku hampir gila. Kesedihanku membuatku benar-benar terpuruk hingga rasanya aku ingin tak sadarkan diri saja. Kesepianku rasanya semakin menyesakkan hingga aku memukul-mukul dadaku akibat nyeri yang tak tertahankan. Aku tidak tau apa yang menyebabkanku tertidur: obat tidur atau terlalu lelah menangis.

Aku memandangi langit lewat jendela kamar. Sudah berapa ribu malam yang kulewati dengan perasaan mengerikan ini? Aku tidak bisa menyebut diriku lemah karena sudah bertahun-tahun bertahan dengan kesakitan ini. Aku pun tak bisa menyebut diriku kuat, karena aku selalu menangis dan melarikan diri. Aku tak tau sampai kapan aku mampu bertahan.

Beberapa kali aku memikirkan tentang mengakhiri hidup, tetapi itu hanya memindahkan beban kepada orang lain. Ketika aku hidup, akulah yang hampir gila. Ketika aku mati, mungkin ayah dan ibu yang akan  gila karena kehilangan anak tunggal mereka. Jika bukan kerena mereka, mungkin aku tidak akan bertahan. Aku pernah menemui psikolog beberapa kali, sayangnya mulut yang sewenang-wenang ini tak pandai mengungkapkan isi hatiku yang sesungguhnya. Mulutku hanya pandai mengutarakan kata-kata konyol, sungguh menjengkelkan. Aku berencana menyiapkan diri untuk menemui psikiater dalam waktu dekat ini. Kurasa itu jalan yang tepat untuk menyelamatkan hidupku.

Perutku terasa perih dan kepalaku sedikit pening. Aku belum menyentuh makanan hari ini. Mengapa aku begitu menyiksa diriku? Aku berjalan ke dapur dan membuka kulkas. Ada beberapa roti yang hanya perlu dipanaskan. Ketika aku mengambil sepotong roti, aku terkejut dengan suara bel yang ditekan berkali-kali. Tanganku menyenggol sebotol pewarna makanan yang ternyata tidak tertutup rapat. Ketika aku berusaha menangkap botol itu, isinya menumpahi tanganku.

Bunyi bel berganti menjadi ketukan kasar dan berganti menjadi dobrakan-dobrakan keras. Sejujurnya aku ketakutan tetapi aku tetap harus melihat siapa yang ada di depan sana. Aku harusnya bisa langsung memanggil petugas keamanan, namun karena terlalu panik aku malah menghampiri pintu dan mengintip siapa pelaku pendobrakan tersebut lewat intercom.

Aku terbelalak ketika melihat sosok yang berusaha mendobrak pintu apartemenku. Soji terlihat frustasi kemudian kembali menggedor dan mendobrak pintu. Ketika pintu itu terbuka, Soji langsung memelukku erat. Sangat erat hingga aku mampu merasakan detak jantungnya yang begitu keras. Itu adalah pelukan singkat lalu dengan tatapannya Soji menelusuri tubuhku dari ujung kepala dan berakhir di tanganku yang penuh dengan noda merah. Ia segera menggendongku dengan panik dan berlari menuju lift.

“Ada apa denganmu?!” pekikki kebingungan.

“Kumohon bertahanlah” pinta Soji frustasi.

“Kau ini kenapa sih?!” aku masih tidak paham apa yang dilakukan Soji.

“Kalau kau punya masalah bukan begini cara menyelesaikannya.”

Aku terdiam sejenak dan berfikir. Ah, pasti karena pewarna makanan berwarna merah tua ini.

“Soji, aku tidak apa-apa, ini hanya_”

“Diam. Kau tidak baik-baik saja, aku tau itu.”

“Soji_”

“Kau punya aku, ingat itu! Jangan menghadapi hal sulit seo-”

“Soji aku tidak bunuh diri! Ini pewarna makanan!” Aku memekik kesal. Beberapa orang di koridor menoleh dan mengamati kami. Aku malu, karena ini sangat dramatis dan menggelikan.

Lift berdenting dan pintunya terbuka. Soji masuk tetap masuk ke dalam dan buru-buru menutupnya. Ia meraih kedua tanganku, mengamatinya lekat-lekat, mencari kemungkinan-kemungkinan jika aku berbohong dan nyatanya memang tidak akan ia temukan. Ia mengusap-usap pergelangan tanganku dengan jaketnya hingga kulit pucatku kembali terlihat.

Dia mendesah panjang, aku tidak tau arti desahan itu. Ia kembali memelukku begitu begitu erat, menenggelamkan tubuhku dalam dekapannya. Aku bisa merasakan detak jantungnya yang mulai tenang. Aku merasa tenang dan nyaman mendengar detak jantungnya. Aku menjadi kecil, rapuh dan tak berdaya namun merasa sangat berharga secara bersamaan. Ajaib, pria ini seperti penyihir. Aku merasakan dagunya di atas kepalaku, menekannya dengan lembut.

Tidak ada yang berniat mengurai pelukan hingga pintu lift terbuka lebar dan kembali tertutup.

*

Soji membantuku membereskan kekacauan di dapur selagi aku memanaskan dua potong roti untuk kami. Laparku sempat hilang karena kejadian memalukan tadi dan saat ini sudah kembali terasa.

“Kau kira aku bunuh diri karena tidak membalas pesanmu?” aku melihat puluhan pesan di ponselku, semuanya berasal dari pahlawan kemalaman di hadapanku.

“Ponselmu mati, aku jadi berfikiran yang tidak-tidak”.

Aku mengulum senyum. Dia terlihat seperti anak kecil yang sedang merajuk.

“Harusnya kau menyalakan ponselmu, bagaimana jika ada panggilan darurat? Bagaimana jika ada berita penting? Kau itu hidup di jaman apa sih sehingga-”

“Kau pernah merasa ketakutan sampai rasanya hampir gila?” aku memotong ucapannya yang tidak kuketahui kapan akan berakhir. Aku menarik kursi sehingga kami duduk saling berhadapan.

“Pernah,” jawaabnya. “baru saja” sambungnya lemah. Aku tersenyum miris. Ada perasaan menyesal karena telah membuat panik pria baik di hadapanku.

“Sejak aku melihatmu membeli obat tidur, aku tidak tenang dan-”

“Oh, waktu kau membeli kondom itu ya?” Aku kembali memotong ucapannya. Aku tidak ingin suasanya di antara kami terlalu dramatis.

“A-aku tidak beli kondom!” jawabnya kikuk dengan telinga memerah.

“Iya juga tidak apa-apa, kau kan pria dewasa.” ujarku menggodanya. Lihat, wajahnya seperti remaja yang ketahuan sedang melihat film porno. Aku tidak tahan ingin tertawa.

“Aku tau kau sedang tidak baik-baik saja_”

“Itulah yang kurasakan setiap hari.” Kurasa memotong ucapannya adalah kegemaran baruku. Aku mengambil roti di hadapanku dan menggitnya sekali. “ketakutan sampai hampir gila.” lanjutku sambil mengunyah. Seolah hal yang baru saja kukatakan bukanlah hal besar.

Soji menatapku lekat-lekat. Tidak ada tatapan mengasihani di wajahnya. Ia tersenyum perih sebelum mengalihkan pandangannya ke bawah, menunduk.

“Kau itu menyebalkan sekali.” Ucapnya sambil terkekeh.

“kau juga” ucapku acuh tak acuh sambil kembali menggigit roti di genggamanku.

Dia menyantap roti yang ada di hadapannya dengan lahap. Aku melihat rambutnya yang berantakan dan sedikit lembab. Apa tadi dia berlari?

“Sepertinya akan memakan waktu lama untuk mendapatkanmu,” ucapnya sambil mengunyah.

“Telan dulu” sanggahku. Sambil memberikan segelas air ketika dia tersedak sambil memukul-mukul dadanya.

“tapi tidak apa-apa, kulihat tadi kau nyaman sekali memelukku. Itu artinya hatimu sudah terbuka untukku kan?” Soji mengatakannya dengan wajah pongah. Ia kembali menggigit rotinya dan berkata “tenang saja, kau bisa memelukku kapanpun yang kau mau. Tapi selama aku belum menyukai wanita lain ya! Maka dari itu kau harus cepat-cepat mengakui perasaanmu padaku.”

Aku menatapnya sinis sambil menggeleng-gelengkan kepala. Rupanya satu pelukan saja sudah membuatnya besar kepala.

“Aku sungguhh-sungguh, kau bisa mengandalkanku kapanpun. Jadi, tolong jangan menyerah.”

Aku tersentuh oleh pria manis ini. Aku terus menggigit rotiku yang sedikit lagi habis, bertingkah seolah-olah tak mendengar perkataannya barusan. Aku mengamati cara makan Soji, seperti anak kecil yang senang sekali dipuji jika makan dengan lahap. Di bawah cahaya lampu dapur yang temaram, pria besar ini masih terlihat menggemaskan.

“Aku bisa mendengarnya,” ujar Soji. Aku menatapnya keheranan. “aku sangat menggemaskan bukan? Kalau kau mau cium, aku juga tidak keberatan kok”

Jika hidup punya satu keindahan seperti Soji, maka bolehkah aku sedikit tamak dan berharap ada keindahan di hari esok?

 

 

 

 

 

 

Halo!

Jika sosok Soji tidak ada di kehidupanmu, maka jadilah Soji untuk dirimu sendiri.-Maya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar