Minggu, 20 September 2020

Utopia

 

Hujan baru berhenti sekitar satu jam yang lalu. Langit masih kelabu, awan kelabu masih enggan berlalu. Ada kupu-kupu musim semi di perutku, tapi kenapa ya langit begitu sendu?

“Jangan senyum-senyum sendiri, itu mengerikan.” Dia menatapku seperti melihat orang gila yang sedang berulah. Kedua alisnya bergerak mendekat, sangat menyebalkan.

“Aku mimpi indah tadi pagi” Senyumku semakin mengembang dan mengeratkan genggaman pada tali ranselku.

Soji berdecih meremehkan, “Hujan uang? Kau kan loba soal uang. Mimpimu pasti tidak jauh-jauh dari uang.”

Aku menatapnya sinis, berpura-pura marah. Sesungguhnya aku tidak pernah bisa marah sungguhan pada Soji. Dia selalu menjengkelkan sampai aku ngeri jika dia menjadi remaja manis. Itu menggelikan. “Siapa yang tidak suka uang? Kau tidak suka ya? Mudah-mudahan kau jatuh miskin. Aku janji tidak akan meminjamkan uang sepeser pun ketika hidupmu melarat.”

“Pantas tidak ada yang mau denganmu”

“Ada kok!” Sahutku tidak terima. Aku dan Soji masih berjalan beriringan. Karena langkahnya yang besar ia berjalan dengan santai, sedangkan kaki pendekku harus berjalan lebih cepat.  

“Ah, kau mau mengarang cerita lagi.” Aku segera mencubit lengannya sekuat tenaga. Tidak terima dikatakan pembual, walau aku memang sering sedikit melebih-lebihkan cerita.  

Mengabaikan Soji yang merintih kesakitan sambil mengusap-usap lengannya, aku bercerita walau tanpa diminta. “Aku bertemu dengan seorang pria yang terasa sangat familiar. Dia pasti pria yang baik, aku sama sekali tidak merasa terancam di sampingnya.”

“Bagaimana pun kau terlalu cepat percaya pada pria asing.” Ujar Soji dengan enteng.

“Aku kan sudah bilang, dia terasa familiar. Dia benar-benar pria baik! Dia mengajakku berkeliling, menggandeng tanganku supaya aku tidak tersesat dan menunjukkanku berbagai hal yang tak pernah kulihat”

“Hal apa yang dia tunjukkan padamu?” Soji memasang wajah curiga. Kukira Soji sudah berfikir yang tidak-tidak.

“Simpan pikiran anehmu.” Aku menatapnya jengkel tapi kemudian kembali tersenyum. “Aku melihat pemandangan yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Kau tau kan aku tidak terlalu suka bepergian, tetapi dengannya entah kenapa aku merasa senang. Ada pohon yang sangat besar dan kau tau apa? Di dahannya yang paling besar ada rumah pohon! Kau tau kan betapa aku ingin memiliki rumah pohon?!”

“Ya, lalu kau langsung memanjatnya seperti monyet?” tanyanya asal-asalan dan kembali kulayangkan satu cubitan di lengannya. “Kau kan memang seperti monyet! senang sekali memanjat pohon!” serunya menggebu-gebu, lagi-lagi tak terima dengan cubitanku.

Aku tidak mempedulikannya dan melanjutkan ceritaku. “Dari atas sana aku melihat pemandangan yang sangat indah! Semak-semak dengan buah berbagai warna, bunga-bunga yang tak pernah kulihat sebelumnya, sungai yang besar dan jernih, pohon-pohon rindang yang batangnya besar dan kokoh! Ini jauh lebih indah dari bayanganmu, kau harus melihatnya sendiri agar percaya!”

“Terdengar seperti habitat yang pas untuk monyet betina”

“Mau kupukul kepalamu ya!” Aku memposisikan tangan siap memukul belakang kepalanya. Hanya menakut-nakuti, aku takut Soji semakin bodoh jika kepalanya dipukul.

“Aku merasa sangat nyaman seperti tidak akan ada hal buruk yang akan terjadi. Di sana sangat indah sampai terasa tidak nyata, kau tau kan hidupku sedikit menyebalkan karena ada kau? Apalagi ketika pemandangan itu terasa seperti pemandangan di negeri dongeng. Indah tapi jelas tidak nyata. Jadi aku bertanya pada si pria, di mana aku sebenarnya berada.”

Aku tersenyum lemah sambil memandang langkah kakiku sendiri. “Utopia, kata pria itu. Seketika aku sadar bahwa semuanya memang tidak nyata. Tidak ada pria sebaik itu di kehidupan nyata kecuali dia ingin mencuri dompetku. Kau tau kan aku tidak percaya dengan unicorn dan teman-temannya. Aku langsung terbangun setelah itu.”

Soji tertawa kemudian mengejekku, “Lihat, hanya di mimpi ada pria yang mau denganmu”

Aku tidak menanggapinya, biar saja dia tertawa seperti orang gila. “Aku terbangun dan bersyukur kau masih menggedor jendela kamarku walau itu menjengkelkan”

“Benar, kau harusnya bersyukur setiap pagi kubangunkan supaya sempat menyikat gigi sebelum ke sekolah!”

Aku tertawa sambil menepuk-nepuk lengannya. Itu memang benar, aku kesulitan tidur malam apalagi bangun pagi. Untungnya Soji selalu menggedor jendelaku seperti penagih utang.

“Aku bersyukur aku tidak terjebak dalam mimpi dan bahagia dengan kenyataan yang ada walau kadang tidak sesuai rencana.” Aku menatap Soji sambil tersenyum lemah, ini sungguh bukan gayaku tetapi ada hal yang harus kuutarakan dengan jelas. “Aku bersyukur di kehidupanku ada kau yang menyebalkan. Sekalipun Utopia sungguh ada, jika itu artinya harus meninggalkanmu maka aku tidak akan ke sana. Jadi, jika kau memang ingin masuk ke dalam hatiku, tolong dobrak lebih keras.”

Soji tak berani menatapku. Telinganya memerah dan aku yakin itu bukanlah karena cuaca yang dingin. Ya mungkin itu juga, tetapi kukira itu pasti karena ucapanku yang membuatnya malu dan salah tingkah.

“Kau ini bicara apa sih” katanya sambil membuang muka beberapa detik. Soji menoleh ke arahku, tidak ada kontak mata karena dia sibuk mencari telapak tanganku dan menggenggamnya erat.

“Kalau besok kau bangun pagi ayo kita kencan” sambungnya.




Tentu saja inspirasinya dari Euphoria-BTS, solonya anak bungsu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar