Hujan baru berhenti sekitar satu jam yang lalu. Langit
masih kelabu, awan kelabu masih enggan berlalu. Ada kupu-kupu musim semi di
perutku, tapi kenapa ya langit begitu sendu?
“Jangan senyum-senyum sendiri, itu mengerikan.” Dia menatapku
seperti melihat orang gila yang sedang berulah. Kedua alisnya bergerak
mendekat, sangat menyebalkan.
“Aku mimpi indah tadi pagi” Senyumku semakin
mengembang dan mengeratkan genggaman pada tali ranselku.
Soji berdecih meremehkan, “Hujan uang? Kau kan loba
soal uang. Mimpimu pasti tidak jauh-jauh dari uang.”
Aku menatapnya sinis, berpura-pura marah. Sesungguhnya
aku tidak pernah bisa marah sungguhan pada Soji. Dia selalu menjengkelkan
sampai aku ngeri jika dia menjadi remaja manis. Itu menggelikan. “Siapa yang tidak
suka uang? Kau tidak suka ya? Mudah-mudahan kau jatuh miskin. Aku janji tidak
akan meminjamkan uang sepeser pun ketika hidupmu melarat.”
“Pantas tidak ada yang mau denganmu”
“Ada kok!” Sahutku tidak terima. Aku dan Soji masih
berjalan beriringan. Karena langkahnya yang besar ia berjalan dengan santai,
sedangkan kaki pendekku harus berjalan lebih cepat.
“Ah, kau mau mengarang cerita lagi.” Aku segera
mencubit lengannya sekuat tenaga. Tidak terima dikatakan pembual, walau aku
memang sering sedikit melebih-lebihkan cerita.
Mengabaikan Soji yang merintih kesakitan sambil
mengusap-usap lengannya, aku bercerita walau tanpa diminta. “Aku bertemu dengan
seorang pria yang terasa sangat familiar. Dia pasti pria yang baik, aku sama
sekali tidak merasa terancam di sampingnya.”
“Bagaimana pun kau terlalu cepat percaya pada pria
asing.” Ujar Soji dengan enteng.
“Aku kan sudah bilang, dia terasa familiar. Dia benar-benar
pria baik! Dia mengajakku berkeliling, menggandeng tanganku supaya aku tidak
tersesat dan menunjukkanku berbagai hal yang tak pernah kulihat”
“Hal apa yang dia tunjukkan padamu?” Soji memasang
wajah curiga. Kukira Soji sudah berfikir yang tidak-tidak.
“Simpan pikiran anehmu.” Aku menatapnya jengkel tapi kemudian
kembali tersenyum. “Aku melihat pemandangan yang tidak pernah kulihat sebelumnya.
Kau tau kan aku tidak terlalu suka bepergian, tetapi dengannya entah kenapa aku
merasa senang. Ada pohon yang sangat besar dan kau tau apa? Di dahannya yang
paling besar ada rumah pohon! Kau tau kan betapa aku ingin memiliki rumah
pohon?!”
“Ya, lalu kau langsung memanjatnya seperti monyet?” tanyanya
asal-asalan dan kembali kulayangkan satu cubitan di lengannya. “Kau kan memang
seperti monyet! senang sekali memanjat pohon!” serunya menggebu-gebu, lagi-lagi
tak terima dengan cubitanku.
Aku tidak mempedulikannya dan melanjutkan ceritaku. “Dari
atas sana aku melihat pemandangan yang sangat indah! Semak-semak dengan buah berbagai
warna, bunga-bunga yang tak pernah kulihat sebelumnya, sungai yang besar dan jernih,
pohon-pohon rindang yang batangnya besar dan kokoh! Ini jauh lebih indah dari
bayanganmu, kau harus melihatnya sendiri agar percaya!”
“Terdengar seperti habitat yang pas untuk monyet
betina”
“Mau kupukul kepalamu ya!” Aku memposisikan tangan
siap memukul belakang kepalanya. Hanya menakut-nakuti, aku takut Soji semakin
bodoh jika kepalanya dipukul.
“Aku merasa sangat nyaman seperti tidak akan ada hal
buruk yang akan terjadi. Di sana sangat indah sampai terasa tidak nyata, kau
tau kan hidupku sedikit menyebalkan karena ada kau? Apalagi ketika pemandangan
itu terasa seperti pemandangan di negeri dongeng. Indah tapi jelas tidak nyata.
Jadi aku bertanya pada si pria, di mana aku sebenarnya berada.”
Aku tersenyum lemah sambil memandang langkah kakiku
sendiri. “Utopia, kata pria itu. Seketika aku sadar bahwa semuanya memang tidak
nyata. Tidak ada pria sebaik itu di kehidupan nyata kecuali dia ingin mencuri
dompetku. Kau tau kan aku tidak percaya dengan unicorn dan teman-temannya. Aku
langsung terbangun setelah itu.”
Soji tertawa kemudian mengejekku, “Lihat, hanya di
mimpi ada pria yang mau denganmu”
Aku tidak menanggapinya, biar saja dia tertawa seperti
orang gila. “Aku terbangun dan bersyukur kau masih menggedor jendela kamarku
walau itu menjengkelkan”
“Benar, kau harusnya bersyukur setiap pagi kubangunkan
supaya sempat menyikat gigi sebelum ke sekolah!”
Aku tertawa sambil menepuk-nepuk lengannya. Itu memang
benar, aku kesulitan tidur malam apalagi bangun pagi. Untungnya Soji selalu
menggedor jendelaku seperti penagih utang.
“Aku bersyukur aku tidak terjebak dalam mimpi dan
bahagia dengan kenyataan yang ada walau kadang tidak sesuai rencana.” Aku
menatap Soji sambil tersenyum lemah, ini sungguh bukan gayaku tetapi ada hal
yang harus kuutarakan dengan jelas. “Aku bersyukur di kehidupanku ada kau yang
menyebalkan. Sekalipun Utopia sungguh ada, jika itu artinya harus
meninggalkanmu maka aku tidak akan ke sana. Jadi, jika kau memang ingin masuk
ke dalam hatiku, tolong dobrak lebih keras.”
Soji tak berani menatapku. Telinganya memerah dan aku
yakin itu bukanlah karena cuaca yang dingin. Ya mungkin itu juga, tetapi kukira
itu pasti karena ucapanku yang membuatnya malu dan salah tingkah.
“Kau ini bicara apa sih” katanya sambil membuang muka beberapa
detik. Soji menoleh ke arahku, tidak ada kontak mata karena dia sibuk mencari telapak
tanganku dan menggenggamnya erat.
“Kalau besok kau bangun pagi ayo kita kencan” sambungnya.
Tentu saja inspirasinya dari Euphoria-BTS, solonya anak bungsu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar