Selasa, 22 September 2020

Places We Won't Walk

Kepada siapa aku harus marah? Aku marah pada diriku dan diam-diam menyalahkan orang lain. Aku marah hingga meledak, hancur menjadi kepingan sekan tidak terselamatkan. Mereka bilang, aku bertanggung jawab atas aku. Jadi jika aku hancur, itu salahku bukan?

Lagi, di ujung jalan ini aku tak berbelok ke arah seharusnya. Atas dasar apa aku masih bisa menyebut ‘seharusnya’? Bukankah sewaktu-waktu semua bisa jadi sudah salah sejak awal?

Hari ini aku tidak bisa kembali. Tidak sanggup. Mata sebiru lautan dangkal itu adalah kelemahanku. Aku tak bisa marah dengan benar. Terlalu jatuh dalam hal bodoh yang selama ini aku yakini cinta. Apa aku yang terlalu memaksakan diri?

Jika ada noda kemerahan di kerah kemejanya, aku hanya akan melarikan diri. Tidak lama, hanya beberapa hari dengan harapan lukaku sembuh. Nyatanya, sakitku tidak membaik. Aku hanya menjadi lebih pandai membodohi diri.

Akan ada puluhan pesan dan panggilan telpon yang kuabaikan. Tentu saja aku akan terhibur dan berbangga diri, karena aku dicari dan diharapkan kembali. Bukankah itu artinya aku berharga?

Aku akan kembali setelah dadaku sesak menahan rindu. Di depan pintu aku akan tetap memasang wajah lelahku. Satu pelukan dan aku akan runtuh. Selalu begitu. Ketika berbaring di sisinya aku akan bertanya, “jadi kau masih mencintaiku kan?”

Tentu saja dia akan mengangguk dan memelukku lebih erat. Ada rasa cemas yang sekaut tenaga kuabaikan. Bukankah ini sudah cukup?

Selalu begitu. Aku akan selalu begitu, setiap dia melakukan hal yang sama.  

Kali ini terasa berbeda, lebih melelahkan dan memuakkan. Aku sudah sering merasa sakit dan tak pernah terbiasa. Aku butuh waktu, entah untuk apa. Bukankah aku terlalu takut untuk memikirkan kenyataan terburuk? Jadi, apakah aku sanggup memikirkan sebuah jalan keluar?

Kamar ini, sejak kapan sudah menjadi familiar? Apa aku sudah terlalu sering bersembunyi? Aku memejamkan mataku. Ada kejengkelan ketika wajahnya ada di pikiranku, lengkap dengan seseorang yang tidak aku harapkan. Itu menyakitkan dan aku akan segera mengalihkan pikiranku.

Kami beberapa kali pergi ke supermarket bersama. Aku berandai-andai, ketika kami menjadi tua, dia akan tetap memaksa untuk membawa seluruh barang belajaan walau dia akan mengeluh sakit pinggang setelahnya. Aku berandai-andai, di antara rak-rak tinggi itu aku akan selalu mengomelinya jika mengambil makanan manis terlalu banyak. Aku akan mengomelinya “kakek tua yang tak tau usia!”

Kami pernah kencan beberapa kali ke taman bermain. Di sana banyak anak kecil yang menggemaskan dan menjengkelkan. Beberapa bermain dengan tenang kemudian tertawa. Beberapa merengek, menangis dan memekik seolah tidak diberikan permen kapas sama dengan tidak diberi makan berhari-hari. Aku kembali berandai-andai, bagaimana dengan anak kami besok? Aku yakin jika dia menyebalkan aku pasti tetap tak akan bisa marah. Dia pasti akan mirip ayahnya, banyak ataupun sedikit.

Kami pernah melewati sebuah gereja tua di pinggir kota. Aku masih menatap gereja itu walau kami sudah lewatinya. Aku berandai-andai, akan seramai apa gereja itu ketika kami menikah. Kami akan menentukan hari di penghujung musim semi, seolah menyambut musim panas yang ceria. Bukankah menikah di bawah langit biru yang cerah itu sangat indah?

Air mataku jatuh. Sejak kapan membayangkan itu semua menjadi menyakitkan? Sejak kapan rasanya menjadi jauh dan utopis? Apa benar selama ini aku hanya terlalu memaksakan diri? Aku semakin cemas namun juga semakin berani. Aku kembali mengingat semuanya, dari awal hingga akhir. Apa selama ini aku terlalu memaksakan diri untuk percaya pada cinta?

Aku meraih ponselku dan melihat puluhan pesan serta panggilan telepon. Setelah beberapa minggu, akhirnya aku dapat memutuskan pesan apa yang harus kukirimkan padanya.

“Aku memerlukan waktu lebih banyak, kau tentu boleh tidak menungguku. Aku harus tau, apakah aku sedang mencintaimu atau hanya sedang menjadi orang bodoh yang memaksakan diri. Jangan tersiksa karena aku, kau pantas bahagia. Begitu pula aku.”

 

Terima kasih kepada lagu Places we won’t Walk-Bruno Major!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar