Kepada
siapa aku harus marah? Aku marah pada diriku dan diam-diam menyalahkan orang
lain. Aku marah hingga meledak, hancur menjadi kepingan sekan tidak
terselamatkan. Mereka bilang, aku bertanggung jawab atas aku. Jadi jika aku
hancur, itu salahku bukan?
Lagi,
di ujung jalan ini aku tak berbelok ke arah seharusnya. Atas dasar apa aku
masih bisa menyebut ‘seharusnya’? Bukankah sewaktu-waktu semua bisa jadi sudah
salah sejak awal?
Hari
ini aku tidak bisa kembali. Tidak sanggup. Mata sebiru lautan dangkal itu
adalah kelemahanku. Aku tak bisa marah dengan benar. Terlalu jatuh dalam hal
bodoh yang selama ini aku yakini cinta. Apa aku yang terlalu memaksakan diri?
Jika
ada noda kemerahan di kerah kemejanya, aku hanya akan melarikan diri. Tidak
lama, hanya beberapa hari dengan harapan lukaku sembuh. Nyatanya, sakitku tidak
membaik. Aku hanya menjadi lebih pandai membodohi diri.
Akan
ada puluhan pesan dan panggilan telpon yang kuabaikan. Tentu saja aku akan
terhibur dan berbangga diri, karena aku dicari dan diharapkan kembali. Bukankah
itu artinya aku berharga?
Aku
akan kembali setelah dadaku sesak menahan rindu. Di depan pintu aku akan tetap
memasang wajah lelahku. Satu pelukan dan aku akan runtuh. Selalu begitu. Ketika
berbaring di sisinya aku akan bertanya, “jadi kau masih mencintaiku kan?”
Tentu
saja dia akan mengangguk dan memelukku lebih erat. Ada rasa cemas yang sekaut
tenaga kuabaikan. Bukankah ini sudah cukup?
Selalu
begitu. Aku akan selalu begitu, setiap dia melakukan hal yang sama.
Kali
ini terasa berbeda, lebih melelahkan dan memuakkan. Aku sudah sering merasa
sakit dan tak pernah terbiasa. Aku butuh waktu, entah untuk apa. Bukankah aku
terlalu takut untuk memikirkan kenyataan terburuk? Jadi, apakah aku sanggup
memikirkan sebuah jalan keluar?
Kamar
ini, sejak kapan sudah menjadi familiar? Apa aku sudah terlalu sering
bersembunyi? Aku memejamkan mataku. Ada kejengkelan ketika wajahnya ada di
pikiranku, lengkap dengan seseorang yang tidak aku harapkan. Itu menyakitkan
dan aku akan segera mengalihkan pikiranku.
Kami
beberapa kali pergi ke supermarket bersama. Aku berandai-andai, ketika kami
menjadi tua, dia akan tetap memaksa untuk membawa seluruh barang belajaan walau
dia akan mengeluh sakit pinggang setelahnya. Aku berandai-andai, di antara
rak-rak tinggi itu aku akan selalu mengomelinya jika mengambil makanan manis
terlalu banyak. Aku akan mengomelinya “kakek tua yang tak tau usia!”
Kami
pernah kencan beberapa kali ke taman bermain. Di sana banyak anak kecil yang
menggemaskan dan menjengkelkan. Beberapa bermain dengan tenang kemudian
tertawa. Beberapa merengek, menangis dan memekik seolah tidak diberikan permen
kapas sama dengan tidak diberi makan berhari-hari. Aku kembali berandai-andai,
bagaimana dengan anak kami besok? Aku yakin jika dia menyebalkan aku pasti
tetap tak akan bisa marah. Dia pasti akan mirip ayahnya, banyak ataupun
sedikit.
Kami
pernah melewati sebuah gereja tua di pinggir kota. Aku masih menatap gereja itu
walau kami sudah lewatinya. Aku berandai-andai, akan seramai apa gereja itu
ketika kami menikah. Kami akan menentukan hari di penghujung musim semi, seolah
menyambut musim panas yang ceria. Bukankah menikah di bawah langit biru yang
cerah itu sangat indah?
Air
mataku jatuh. Sejak kapan membayangkan itu semua menjadi menyakitkan? Sejak
kapan rasanya menjadi jauh dan utopis? Apa benar selama ini aku hanya terlalu
memaksakan diri? Aku semakin cemas namun juga semakin berani. Aku kembali mengingat
semuanya, dari awal hingga akhir. Apa selama ini aku terlalu memaksakan diri
untuk percaya pada cinta?
Aku
meraih ponselku dan melihat puluhan pesan serta panggilan telepon. Setelah
beberapa minggu, akhirnya aku dapat memutuskan pesan apa yang harus kukirimkan
padanya.
“Aku memerlukan waktu lebih banyak,
kau tentu boleh tidak menungguku. Aku harus tau, apakah aku sedang mencintaimu
atau hanya sedang menjadi orang bodoh yang memaksakan diri. Jangan tersiksa
karena aku, kau pantas bahagia. Begitu pula aku.”
Terima
kasih kepada lagu Places we won’t Walk-Bruno Major!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar