“Apa kamu baik-baik saja?”
Sedikit
dari mereka yang bertanya demikian kepadaku. Aku sedikit terharu ketika
sebagian kecil itu bertanya demikian. Mereka mempedulikanku. Aku sungguh
berterima kasih. Sayangnya, sering kali aku tak mampu mengungkapkan
sakit-penyakit ini. Terlalu rumit, aku sangsi mereka akan paham atau tak
menganggapku aneh. Jadi, aku memilih mengangguk dan tersenyum meyakinkan
mereka. Tak baik membebani orang lain, pikirku.
Sejak
kapan ya semuanya berawal? Aku tak benar-benar tahu, yang pasti sudah lama
sekali.
Sedari
kecil kita diajarkan untuk bersyukur bukan? Walau dengan cara, “cari tahu apa
yang orang lain tak miliki dan bandingkan dengan dirimu”. Kita harus bersyukur
karena bisa makan hari ini karena sebagian orang di bumi kesulitan untuk
mengisi perut. Kita harus bersyukur karena memiliki tempat tinggal yang layak,
sebagian manusia bergulat dengan angin malam setiap harinya. Lalu bagaimana
cara mereka yang tidak makan dan tidak berumah itu untuk bersyukur? Bagaimana
mereka tau kekurangan dari seseorang yang hidupnya berkecukupan? Aku rasa
seorang saudagar kaya tidak akan mengumbar tentang istri mereka yang gila
harta, atau anak-anak mereka yang pembangkang. Dalam hal ini, tentu mereka yang
hidup dalam kemelaratan sangat sulit untuk bersyukur.
Sedari
kecil kita disuguhi dengan kejeniusan seorang Edison, bagaimana kayanya Bill
Gates, dan itulah yang mereka sebut dengan sukses. Seorang kuli bangunan di
dekat rumahku secara tersirat disebut sebagai orang-orang gagal. Tidak rajin di
sekolah, tidak mau belajar, pemalas, itu yang mereka sebut sebagai penyebab.
Dengan
rumus-rumus kehidupan itu, harusnya tidak sulit bagiku untuk bersyukur. Kedua
orang tuaku memiliki pekerjaan yang layak dan penghasilan yang stabil. Kami
punya rumah yang nyaman dengan halaman kecil sebagai tempatku bermain. Aku
bukan anak yang bodoh di kelas walau bukan yang terpandai. Bukankah harusnya
akur bersyukur? Bukankah harusnya aku bahagia?
Kupikir
juga harusnya begitu, tetapi nyatanya aku sering menangis atas hal-hal yang
tidak membahagiakan. Saat kecil, anak-anak di sekolah tak begitu menyukaiku.
Aku ketakutan dan tertekan. Aku ingin bermain, tertawa dan mengerjakan tugas
kelompok bersama mereka. Aku berusaha untuk diterima di kelompok tersebut walau
harus sedikit berubah. Atau mungkin banyak. Aku tak tau, aku hanya ingin
memiliki teman. Ini ketakutanku yang pertama, tidak memiliki teman.
Awalnya
aku bukan anak-anak rajin dan terlalu peduli dengan nilai ataupun peringkat.
Aku tak tau sejak kapan, aku berubah. Aku mulai ketakutan ketika ujian. Aku
kira aku hanya takut mendapatkan nilai jelek. Nyatanya aku bahkan takut pada
ketakutanku sendiri. Aku takut jika aku akan menyesal jika tidak belajar dengan
keras. Aku takut aku akan ketakutan ketika melihat nilaiku yang jelek. Aku
takut aku akan menyesal berlarut-larut. Aku takut pada masa depan dan menyesali
masa lalu. Aku takut akan membuat penyesalan lainnya. Aku takut jika suatu saat
aku tak sanggup pada ketakutanku. Aku mulai curiga dengan ketakutanku yang
berlebihan. Kukira aku cukup kuat, bukankah aku sudah andal menghadapi
ketakutan selama bertahun-tahun? Maka aku yakin, ketakutan di tahun-tahun
setelahnya pun pasti bisa kuhadapi. Aku hanya perlu berusaha seperti sebelum-sebelumnya
bukan?
Aku
mengenal seorang pria manis beberapa tahun lalu. Dia tak begitu polos dan lugu.
Dia berapi-api dan cerah, sungguh seorang pria muda yang menarik. Waktu itu,
dia menganggap aku menarik. Aku tersanjung, dan kupikir pria ini memiliki
selera yang bagus. Aku punya predikat gadis yang pandai, walau bukan yang
paling cantik tapi setidaknya aku cukup manis, aku juga cukup populer. Aku tak
pernah membalas ungkapan cintanya. Aku membiarkannya pergi. Aku takut
kehilangan pria manis itu, jadi aku memilih untuk tidak memilikinya sama
sekali. Benar, lagi-lagi aku terlalu takut.
Aku
kira keputusanku sudah benar dan aku tak akan menyesal. Nyatanya aku merasakan
sakit yang teramat. Aku pikir itu wajar, karena aku kehilangan salah satu
penggemarku yang tulus.
Aku
sering menangis, sama seperti sebelum-sebelumnya. Aku mulai menangisi banyak
hal dan ketakutanku tak kunjung membaik. Mereka datang dan pergi. Aku tak
pernah siap dengan kedatangan mereka. Kadang kukira aku sudah kurang waras.
Aku
kira aku cukup kuat, tapi nyatanya aku lemah. Ketakutan dan kesedihanku bercampur
menjadi sakit. Aku mulai melarikan diri dari kenyataan. Awalnya satu pil cukup
bagiku untuk terlelap, kemudian berangsur menjadi dua. Aku membiarkan diriku
menjadi si pengecut yang menyedihkan. Hari ini botol putih di nakasku telah
kosong. Aku perlu membeli obat tidur lagi.
Aku
meminta sebotol obat tidur yang biasa kukonsumsi kepada seorang apoteker.
Selagi si apoteker mencari obat yang kumaksud seorang pria bermantel coklat
berdiri di sampingku. Dia menggunakan masker hitam, tetepi aku masih dapat
mengenalinya. Dia si pria manis. Sesekali kami berpapasan dan saling menyapa
sekedarnya. Berada di kampus yang sama cukup sulit untuk membuat kami saling
menghindar. Terasa aneh sekali ketika seseorang yang dulunya selalu menanyakan
tentang harimu berubah menjadi orang yang menganggap hal itu tak pernah
terjadi. Si pria manis pasti sudah tidak menyukaiku.
Ketika
pandangan kami bertemu, aku tersenyum. Aku mampu menangkap keterkejutannya
lewat alis yang bergerak. Aku tidak tau apa yang membuatnya terkejut. Mungkin
saja dia membenciku sekarang tapi malah bertemu secara tiba-tiba. Aku tak
keberatan jika dia membenciku. Itu lebih baik dibandingkan tersiksa dengan
cinta sepihak bukan?
Apoteker
tadi datang dengan sebotol obat tidur di tangan kanannya. Aku segera meraih
botol tersebut kemudian menepuk pundak pria manis di sampingku.
“Aku
akan segera pulang kok, jangan malu untuk membeli kontrasepsi” ujarku sambil
mengulum senyum. Pria itu melebarkan matanya. Aku tertawa kecil dan
meninggalkannya. Setidaknya itu dapat mencairkan suasana canggung di antara
kami. Aku tidak ingin memperlakukannya seperti orang asing. Dia pria baik dan
aku tetap ingin berteman dengannya. Terdengar agak egois memang, tetapi aku
yakin pria itu paham maksudku.
Aku
adalah wanita konyol dengan mulut yang berucap sewenang-wenang, setidaknya
itulah yang diketahui orang-orang. Atau, itulah yang membuat orang lain
menyukaiku. Apa untungnya terlihat muram di depan orang lain selain terlihat
jelek? Sekalipun kuceritakan segala hal buruk yang kualami mereka belum tentu
mau tau, apalagi mengerti. Semua orang sudah memiliki bebannya masing-masing,
jadi wajar mereka tak mau tau masalah orang lain. Terlebih aku benci ketika
mereka menatapku seolah aku adalah orang aneh, meskipun itu benar.
Aku
mendengar langkah kaki yang terburu-buru mendekat padaku. Kukira itu si pria
manis, aku bisa merasaka aroma parfumnya di hidungku. Jika benar dia mengejarku
bukankah harusnya senarusnya dia sudah berada tepat di belakangku atau
memanggilku, atau menyentuh bahuku. Kudengar adalah suara langkah kaki yang
yang teratur tak jauh di belakangku. Untuk beberapa detik, aku hanya terus
berjalan menuju rumah.
Aku
tak tahan untuk berbalik, dan benar saja. Si pria manis berdiri tak jauh di
belakangku.
“Kau
mau mau mengikutiku? Serindu itu ya?” ujarku dengan senyum pongah yang konyol.
Si
pria manis itu menatapku jengkel. Ternyata aku rindu memancing emosinya. Dia
terlihat seperti anak kecil yang tidak terima permen coklatnya diambil orang. Manis sekali.
Aku ingin punya anak seperti dia suatu saat nanti. Jika aku bisa.
“Apa
kau sakit?” tanyanya tanpa melihat wajahku. Kedua tangannya dimasukkan kedalam
saku celana. Lihat, bukankah dia seperti anak sekolah yang malu-malu mengajak
teman wanitanya kencan? Berapa sebenarnya usia pria ini?
“Tidak
kok” jawabku sambil tersenyum lebar.
Seolah memberi bukti bahwa aku baik-baik saja, dan silahkan urusi perkara
masing-masing.
“Kau
terlihat pucat”
“Kulitku
semakin putih, aku pakai krim pemutih wajah”
“Matamu
menghitam”
“Aku
begadang tadi malam, memangnya mahasiswa mana yang tidak pernah begadang?”
“Matamu
bengkak”
“Lalu?
Kau berharap aku baru saja menangisimu?”
Si
pria manis berdecak jengkel. Dia menendang sebuah krikil kecil di dekat
sepatunya.
“Terserah”.
Dia berbalik dan melangkah dengan kesal. Kuamati keberadaannya yang kian
menjauh, kemudian lanjut berjalan.
Tak
lama setelah itu aku mendengar suara langkah kaki yang dihentak-hentak
mendekat. Kukira itu suara langkah orang yang terburu-buru menuju halte, tetapi
tiba-tiba sosok pria tinggi berada di sampingku dan menyamakan langkah kaki
denganku.
“Kukira
tujuanmu ke sana” aku menunjuk ke belakang.
“Kalau
kau tidak mau menerimaku, setidaknya jangan buat aku khawatir.” Ucapnya dengan
penuh kejengkelan yang diredam.
“Aku
tidak berharap kau khawatir.” Jawabku tak kalah sengit.
“Aku
juga berharap begitu.”
“Kalau
begitu jangan khawatirkan aku.” sahutku ketus.
“Mana
bisa.” Jawabnya samar tetapi masih dapat kudengar.
Aku
membenci diriku sendiri. Pria di sampingku ini jelas sudah bukan pria yang menggodaku
dengan kata-kata manis agar pesannya segera dibalas. Dia sudah menjadi ketus
dan menyebalkan, tetapi kenapa malah terasa semakin menggemaskan? Apa penyakit
kejiwaanku bertambah?
Setelah
hening beberapa saat, tepat di tempat penyebrangan aku kembali membuka suara.
“Aku
bisa pulang sendiri.”
“Aku
tau.” Jawabnya asal.
“Kalau
begitu pulanglah.”
“Aku
tidak tenang sebelum melihatmu sampai di rumah.”
Aku
merotasikan mataku seolah tengah jengkel. Aku mengambil langkah besar dan
membiarkannya berjalan di belakangku. Dia tidak boleh melihat wajahku yang
memerah. Dia harus menjauh dariku, dan menemukan orang lain yang lebih baik dariku.
*
Beberapa
malam ini Soji, si pria manis terus menghubungiku. Jika aku tidak membalas
pesannya maka ia akan meneleponku puluhan kali hingga aku menyerah, kemudian
menjawabnya asal-asalan. Dia menanyakan berbagai hal tak penting seperti,
‘kenapa tidak membalas pesanku?’, ‘kenapa lama sekali mengangkat teleponku?’,
‘apa kau sudah tidur?’, ‘kenapa kau masih bangun?’. Sejujurnya perdebatan tak
berarah itu sedikit mengusir kesepianku, mengingat ayah dan ibu lebih sering
berada di kantor atau di luar kota di bandingkan di rumah. Bagaimanapun Soji
berhak mendapat kebahagiaan bukan? Jadi hari ini aku sengaja mematikan ponselku.
Aku
menyibukkan diri dengan beberapa tugas yang sudah menumpuk. Belakangan ini, aku
merasa semakin buruk. Aku semakin sulit berkonsetrasi dan itu sungguh
menghambatku untuk melakukan berbagai hal. Kecemasanku benar-benar menakutiku
hingga rasanya aku hampir gila. Kesedihanku membuatku benar-benar terpuruk
hingga rasanya aku ingin tak sadarkan diri saja. Kesepianku rasanya semakin
menyesakkan hingga aku memukul-mukul dadaku akibat nyeri yang tak tertahankan. Aku
tidak tau apa yang menyebabkanku tertidur: obat tidur atau terlalu lelah
menangis.
Aku
memandangi langit lewat jendela kamar. Sudah berapa ribu malam yang kulewati
dengan perasaan mengerikan ini? Aku tidak bisa menyebut diriku lemah karena sudah
bertahun-tahun bertahan dengan kesakitan ini. Aku pun tak bisa menyebut diriku
kuat, karena aku selalu menangis dan melarikan diri. Aku tak tau sampai kapan
aku mampu bertahan.
Beberapa
kali aku memikirkan tentang mengakhiri hidup, tetapi itu hanya memindahkan
beban kepada orang lain. Ketika aku hidup, akulah yang hampir gila. Ketika aku
mati, mungkin ayah dan ibu yang akan
gila karena kehilangan anak tunggal mereka. Jika bukan kerena mereka,
mungkin aku tidak akan bertahan. Aku pernah menemui psikolog beberapa kali,
sayangnya mulut yang sewenang-wenang ini tak pandai mengungkapkan isi hatiku
yang sesungguhnya. Mulutku hanya pandai mengutarakan kata-kata konyol, sungguh
menjengkelkan. Aku berencana menyiapkan diri untuk menemui psikiater dalam waktu
dekat ini. Kurasa itu jalan yang tepat untuk menyelamatkan hidupku.
Perutku
terasa perih dan kepalaku sedikit pening. Aku belum menyentuh makanan hari ini.
Mengapa aku begitu menyiksa diriku? Aku berjalan ke dapur dan membuka kulkas. Ada
beberapa roti yang hanya perlu dipanaskan. Ketika aku mengambil sepotong roti,
aku terkejut dengan suara bel yang ditekan berkali-kali. Tanganku menyenggol
sebotol pewarna makanan yang ternyata tidak tertutup rapat. Ketika aku berusaha
menangkap botol itu, isinya menumpahi tanganku.
Bunyi
bel berganti menjadi ketukan kasar dan berganti menjadi dobrakan-dobrakan
keras. Sejujurnya aku ketakutan tetapi aku tetap harus melihat siapa yang ada
di depan sana. Aku harusnya bisa langsung memanggil petugas keamanan, namun karena
terlalu panik aku malah menghampiri pintu dan mengintip siapa pelaku
pendobrakan tersebut lewat intercom.
Aku
terbelalak ketika melihat sosok yang berusaha mendobrak pintu apartemenku. Soji
terlihat frustasi kemudian kembali menggedor dan mendobrak pintu. Ketika pintu
itu terbuka, Soji langsung memelukku erat. Sangat erat hingga aku mampu
merasakan detak jantungnya yang begitu keras. Itu adalah pelukan singkat lalu
dengan tatapannya Soji menelusuri tubuhku dari ujung kepala dan berakhir di
tanganku yang penuh dengan noda merah. Ia segera menggendongku dengan panik dan
berlari menuju lift.
“Ada
apa denganmu?!” pekikku kebingungan.
“Kumohon
bertahanlah” pinta Soji frustasi.
“Kau
ini kenapa sih?!” aku masih tidak paham apa yang dilakukan Soji.
“Kalau
kau punya masalah bukan begini cara menyelesaikannya.”
Aku
terdiam sejenak dan berfikir. Ah, pasti karena pewarna makanan berwarna merah
tua ini.
“Soji,
aku tidak apa-apa, ini hanya_”
“Diam.
Kau tidak baik-baik saja, aku tau itu.”
“Soji_”
“Kau
punya aku, ingat itu! Jangan menghadapi hal sulit seo-”
“Soji
aku tidak bunuh diri! Ini pewarna makanan!” Aku memekik kesal. Beberapa orang
di koridor menoleh dan mengamati kami. Aku malu, karena ini sangat dramatis dan
menggelikan.
Lift
berdenting dan terbuka. Soji tetap masuk ke dalam dan buru-buru menutupnya. Ia
meraih kedua tanganku, mengamatinya lekat-lekat, mencari
kemungkinan-kemungkinan jika aku berbohong dan nyatanya memang tidak akan ia
temukan. Ia mengusap-usap pergelangan tanganku dengan jaketnya hingga kulit
pucatku kembali terlihat.
Dia
mendesah panjang, aku tidak tau arti desahan itu. Ia kembali memelukku begitu
begitu erat, menenggelamkan tubuhku dalam dekapannya. Aku bisa merasakan detak
jantungnya yang mulai tenang. Aku merasa tenang dan nyaman mendengar detak
jantungnya. Aku menjadi kecil, rapuh dan tak berdaya
namun merasa sangat berharga secara bersamaan. Ajaib, pria ini seperti
penyihir. Aku merasakan dagunya di atas kepalaku, menekannya dengan lembut.
Tidak
ada yang berniat mengurai pelukan hingga pintu lift terbuka lebar dan kembali
tertutup.
*
Soji
membantuku membereskan kekacauan di dapur selagi aku memanaskan dua potong roti
untuk kami. Laparku sempat hilang karena kejadian memalukan tadi dan saat ini
sudah kembali terasa.
“Kau
kira aku bunuh diri karena tidak membalas pesanmu?” aku melihat puluhan pesan
di ponselku, semuanya berasal dari pahlawan kemalaman di hadapanku.
“Ponselmu
mati, aku jadi berfikiran yang tidak-tidak”.
Aku
mengulum senyum. Dia terlihat seperti anak kecil yang sedang merajuk.
“Harusnya
kau menyalakan ponselmu, bagaimana jika ada panggilan darurat? Bagaimana jika
ada berita penting? Kau itu hidup di jaman apa sih sehingga-”
“Kau
pernah merasa ketakutan sampai rasanya hampir gila?” aku memotong ucapannya
yang tidak kuketahui kapan akan berakhir. Aku menarik kursi sehingga kami duduk
saling berhadapan.
“Pernah,”
jawaabnya. “baru saja” sambungnya lemah. Aku tersenyum miris. Ada perasaan
menyesal karena telah membuat panik pria baik di hadapanku.
“Sejak
aku melihatmu membeli obat tidur, aku tidak tenang dan-”
“Oh,
waktu kau membeli kondom itu ya?” Aku kembali memotong ucapannya. Aku tidak ingin
suasanya di antara kami terlalu dramatis.
“A-aku
tidak beli kondom!” jawabnya kikuk dengan telinga memerah.
“Iya
juga tidak apa-apa, kau kan pria dewasa.” ujarku menggodanya. Lihat, wajahnya
seperti remaja yang ketahuan sedang melihat film porno. Aku tidak tahan ingin
tertawa.
“Aku
tau kau sedang tidak baik-baik saja_”
“Itulah
yang kurasakan setiap hari.” Kurasa memotong ucapannya adalah kegemaran baruku.
Aku mengambil roti di hadapanku dan menggitnya sekali. “ketakutan sampai hampir
gila.” lanjutku sambil mengunyah. Seolah hal yang baru saja kukatakan bukanlah
hal besar.
Soji
menatapku lekat-lekat. Tidak ada tatapan mengasihani di wajahnya. Ia tersenyum
perih sebelum mengalihkan pandangannya ke bawah, menunduk.
“Kau
itu menyebalkan sekali.” Ucapnya sambil terkekeh.
“kau
juga” ucapku acuh tak acuh sambil kembali menggigit roti di genggamanku.
Dia
menyantap roti yang ada di hadapannya dengan lahap. Aku melihat rambutnya yang
berantakan dan sedikit lembab. Apa tadi dia berlari?
“Sepertinya
akan memakan waktu lama untuk mendapatkanmu,” ucapnya sambil mengunyah.
“Telan
dulu” sanggahku. Sambil memberikan segelas air ketika dia tersedak sambil
memukul-mukul dadanya.
“tapi
tidak apa-apa, kulihat tadi kau nyaman sekali memelukku. Itu artinya hatimu
sudah terbuka untukku kan?” Soji mengatakannya dengan wajah pongah. Ia kembali
menggigit rotinya dan berkata “tenang saja, kau bisa memelukku kapanpun yang
kau mau. Tapi selama aku belum menyukai wanita lain ya! Maka dari itu kau harus
cepat-cepat mengakui perasaanmu padaku.”
Aku
menatapnya sinis sambil menggeleng-gelengkan kepala. Rupanya satu pelukan saja
sudah membuatnya besar kepala.
“Aku
sungguh-sungguh, kau bisa mengandalkanku kapanpun. Jadi, tolong jangan
menyerah.”
Aku
tersentuh oleh pria manis ini. Aku terus menggigit rotiku yang sedikit lagi
habis, bertingkah seolah-olah tak mendengar perkataannya barusan. Aku mengamati
cara makan Soji, seperti anak kecil yang senang sekali dipuji jika makan dengan
lahap. Di bawah cahaya lampu dapur yang temaram, pria besar ini masih terlihat
menggemaskan.
“Aku
bisa mendengarnya,” ujar Soji. Aku menatapnya keheranan. “aku sangat
menggemaskan bukan? Kalau kau mau cium, aku juga tidak keberatan kok”
Jika
hidup punya satu keindahan seperti Soji, maka bolehkah aku sedikit tamak dan
berharap ada keindahan di hari esok?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar