Kamis, 20 Desember 2012

Secret Photographer 3

Ini pasti akan membuat Papa merasa galau. Tidak mungkin dia tidak merasakan yang namanya ‘galau’, aku saja yang memantau bisa galau di buatnya. Alice harus pindah tugas ke London. Dia harus dipindah karena hanya dia satu-satunya karyawan yang belum pernah dipindahtugaskan. Dia sudah bekerja di Sligo selama 5 tahun lebih. Kalau seperti ini, misi kami akan semakin sulit untuk di jalankan.
“Alice, apa kamu harus pindah tugas ke London? Apa kamu tidak bisa tetap bekerja di Sligo? Atau paling tidak tetap di Irlandia.”
“tidak bisa, Mark. Ini sudah perintah atasan dan aku sudah pernah menolak ini 3 kali. Dan sekarang aku harus pindah karena hanya aku karyawan yang belum dipindah tugaskan.”
“But... I Will miss you...” kata-kata itu terdengar sangat lemah dan penuh kesedihan.
“I Will miss you too,Mark. Tapi aku harus pergi. Aku janji aku akan sering pulang ke Sligo. Atau kalau kamu tidak sibuk kamu bisa liburan ke London kan?”
“iya, tapi tetap saja aku tidak bisa melihat senyummu lagi setiap hari...”
“aku juga berfikiran begitu, Mark. Bahkan aku sampai berfikir akan kehilanganmu.. bahkan..”
“Alice.. jika kamu berfikir seperti itu ingatlah janjiku.. aku pasti menunggumu kembali. Aku bukan pria hidung belang yang gampang tergoda oleh wanita. Percayalah, hanya kamu yang ada di hatiku dan selamanya akan begitu, nggak akan ada yang bisa merubahnya”
“Maaf Mark.. aku berbicara hal aneh lagi ya?” seketika raut wajah Alice berubah sedih. Air matanya jatuh membasahi pipinya. Papa yang melihat Alice menangis langsung memeluk Alice dan menenangkannya.
“Tidak, Alice.. tidak apa-apa kamu berfikiran gitu.. aku ngerti perasaan kamu. Sudah, jangan nangis lagi. . aku tau kamu bisa berfikiran seperti itu karena kamu sangat mencintaiku”
“Aku takut kehilangan kamu,Mark”
“itu tidak akan terjadi. Trust me!”
     Will dan aku langsung memotret kejadian itu. Kami mengintip dari depan kamar Alice yang pintunya dibiarkan terbuka. kami mendapatkan gambar yang bagus. Mungkin jika di dalam album nanti ada foto yang sedih akan menambah kesan tersendiri. Namanya juga sebuah hubungan, tidak mungkin akan selalu bahagia. Aku ingin album yang akan kami buat ini mengambarkan suka-duka yang mereka alami bersama-sama. Kalau hanya bagian senangnya saja,akan terlihat tidak berwarna.
     Will menggoyang-goyangkan tubuhku agar aku sadar dari lamunanku dan segera pergi dari tempat ini sebelum kami ketahuan. Aku sangat mengerti perasaan Alice. aku tau ketakutan yang ia rasakan. Papa adalah penyanyi yang banyak digilai para wanita. Kalau Papa mau mendapatkan wanita yang lebih baik dari pada Alice, tentu Papa bisa mendapatkannya dengan mudah. Hanya saja hati Papa sudah dimiliki oleh Alice seluruhnya.Aku yakin setelah ia mengingat janji dari Papa, ketakutan itu akan segera sirnah.
“Will..” panggilku dengan suara lemah.
“hmm?”
“Kasian ya, mereka harus berpisah.”
“mereka kan hanya berpisah untuk sementara bukan untuk selama-lamanya. Lagipula cinta mereka berdua begitu besar, mereka tidak akan saling menyakiti apalagi menghianati. “
“iya.. tapi pasti bakal kangen kan..”
“itu sudah pasti, kalau kangen kan Mark atau Alice dapat bertemu.”
“tidak segampang itu, Will.. Papa itu sibuk. Tidak mungkin dia setiap hari bertemu Alice.”
“mungkin mereka tidak bisa bertemu secara langsung. Tapi mereka bisa lihat di dalam hati mereka masing-masing. Karena di dalam hati Mark ada Alice. dan di dalam Hati Alice ada Mark. Begitulah cara mereka bertemu.”
     Kata-kata Will barusan memang sangat bermakna. Memang Alice tidak berada di samping Papa tapi Papa tetap dapat melihat Alice di dalam hatinya. Aku tidak nyangka ternyata Will sepaham itu tentang cinta. Mungkin karena aku belum pernah merasakan cinta jadi aku tidak terlalu paham soal cinta.
“Scar..”
“hmm?”
“mungkin mereka bakal ngadain acara perpisahan. Kamu dengerin terus ya percakapan telpon Mark dan Alice.”
“ok!”
***
     Aduh... di mana aku meletakkan Hand phoneku?? Ini adalah salah satu kebiasaan burukku, ‘Pelupa’ alias ‘Pikun’. Ku geledah seluruh kamarku tapi aku tetap tidak bertemu dengan Hand phoneku. Astaga.. aku baru ingat! tadi  aku meletakannya di atas meja di depan kamar Papa.
     Aku segara mengambil Hand Phoneku, namun langkahku terhenti saat melihat Papa termenung sendirian di kamar sambil menatap bulan di luar. Aku tau, pasti ini efek samping dari Virus ‘galau’ akibat harus berpisah dengan Alice. aku khawatir melihat Papa seperti itu.
“Papa..” panggilku dari luar kamar
“Scarlet?  Ada apa sayang?”
“tidak ada apa-apa.. tadi aku mengambil Hand Phoneku di atas meja, lalu tidak sengaja  aku meliat Papa. Papa kenapa sedih? Aku juga jadi ikut sedih.”
“Papa hanya sedih karena Alice akan pindah. Lama-lama Papa juga akan terbiasa.”
“Papa.. kalau Papa kangen tante Alice Papa tetap bisa lihat dia..”
“Maksudnya, sayang?”
“Papa tetap bisa lihat Tante Alice di dalam hati Papa. Karena di dalam hati Papa ada tante Alice. dan aku yakin di dalam hati tante Alice juga ada Papa.”
Cukup lama papa terdiam dengan ucapanku. Ok, sebenarnya itu bukan ucapanku, itu ucapan Will.
“kamu benar sayang. Dia memang selalu ada di hati Papa.”
“kalau gitu Papa jangan murung lagi dong.. smile!”
“iya iya.. smile!” ujar Papa sambil tersenyum.
“teng..tong..” bel berbunyi. Siapa ya yang malam-malam datang ke sini. Aku langsung turun ke bawah dan membukakan pintu.
“Tante Alice!” ujarku kaget
“kaget kan? Kejutan!”
“pasti kaget dong. Habis, siapa yang datang malam-malam seperti ini. Eh, masuk dulu tante.”
“tidak usah.. Papamu ada? Dia sudah tidur ya?”
“ada kok, dia belum tidur. Kayaknya dia tidak bisa tidur malam ini karena mikirin Tante.”
“ah, panggilin Papamu sana. Jangan bilang tante yang datang ya. Ini kejutan lho.”
“ok!”
     Aku langsung lari ke atas dan menyuruh Papa turun. Oh iya! Will.. pasti akan ada momen berharga malam ini... bagaimana ini? Apa aku harus melakukannya sendiri? Apa aku bisa memotret momen berharga itu dengan baik? Kesempatan ini hanya datang sekali.
“Papa, ada yang mau bertemu denagn Papa..”
“siapa?”
“Turun dan lihatlah di bawah.”
Papa segera turun ke bawah dan aku tetap di atas menghubungi Will.
“Will, cepet datang ke sini!”
“buka pintu belakang”
“maksudnya?”
“cepat buka pintu belakang.” Aku segera memutuskan percakapan dan menuju pintu belakang. Saat kubuka pintu belakang, ternyata Will sudah berada di sana. Huft.. syukurlah...
“Will, syukurlah kau di sini. Bagaimaa kau bisa di sini?”
“aku mengikuti Alice dari belakang. Aku sudah menduga kalau dia akan datang ke sini. Di mana mereka sekarang?”
“sepertinya mereka di luar. Ayo cari mereka.”
Dengan langkah yang pelan dan nyaris tak bersuara kami berjalan mencari mereka. Ternyata mereka berada taman samping. Sepertinya mereka berkeliling taman rumah. Rumah ini kan dikelilingi dengan taman. Oh my God! Mereka berjalan ke sini! Kami harus bersembuyi di mana?
“Will mereka kemari” bisikku pada Will. Will langsung menarik tanganku dan mengajakku untuk memanjat pohon yang berada di belakang rumah.
“Will, kalau di atas pohon nanti kita ketahuan!”
“sudah tidak ada waktu lagi, cepat naik.” Mau tidak mau aku harus naik.  Pohon ini lumayan tinggi, kira-kira 6 atau 7 meter. Untung kami sampai di dahan pohon sebelum mereka datang.
“mungkin ini pemberhentian terakhir dari tur kita.” Papa hanya tertawa kecil mendengarnya
“mungkin, ini sudah malam.” Sahut Papa
“tidak ada yang mau di ucapkan sebelum aku pegi ke London?”
“i don’t wanna say good bye.”
“jadi? Tidak ada yang perlu di ucapkan untukku?”
“mungkin, hanya..”
“hanya apa?”
“I love you..” Papa meraih wajah Alice dan mendekatkannya pada wajahnya. Papa mencium bibir Alice mesra.
“I Love you too.” Ujar Alice dengan suara yang nyaris tak terdengar dan balik mencium bibir Papa. Aku yang menganggap ini sangat romantis hanya bisa terdiam dibuatnya, seperti biasa. Sedikit demi sedikit aku jadi mengerti isi hati mereka.
            Sangkin asiknya bengong, tanpa sadar aku telah melepaskan peganganku pada dahan pohon. Tubuhku tidak seimbang, aku terjatuh dari pohon. Yang ada di fikiranku sekarang adalah, mati aku! Kami pasti ketahuan! Remuklah tulangku! Remuklah tulangku! Remuklah tulangku!
“bug” aku terjatuh dan sekarang sudah mendarat. Tapi rasanya aneh. Aku baru tau tanah di halaman ini tidak sekeras yang aku bayangkan. Tidak! Ini tidak seperti tanah. Apa ini!
“auh... Will?!” pekikku kaget. Ternyata aku terjatuh dan mendarat di atas tubuh Will. Pantas saja saat aku jatuh seperti ada sesuatu yang memelukku. Namun kukira itu hanya perasaanku saja. Karena saat jatuh aku tidak membuka mataku sedikitpun. Will hanya meringis setelah kejadian itu.
“Will?!” ujar Alice heran
“Scarlet?! Will?! Apa yang sedang kalian lakukan di sini?!” ujar Papa kaget
“Will kamu tidak apa-apa kan? Jawab dong!” setelah beberapa detik akhirnya Will mengeluarkan suaranya juga dan aku segera beranjak dari atas tubuhnya.
“Tidak ku sangka Scar, ternyata kamu berat juga.” Uh, sunggh jawaban yang tidak penting dan bukan jawaban yang aku inginkan.
“hey! Aku serius. Kamu  tidak kenapa-napa kan?! Jawab yang benar dong!” ujarku dengan sedikit keras.
“Tidak, aku tidak apa-apa. Tidak usah samapai membentakku begitu dong!”
“kamu sih, aku bertanya karena aku sangat khawatir kamu malah menjawab dengan pernyataan yang tidak penting!”
Will, yang teletang di tanah perlahan-lahan bangkit dan membersihkan tuhuhnya.
“Will kamu tidak apa-apa kan? Kenapa kamu bisa di sini? Di atas pohon pula.” Tanya Papa bertubi-tubi. Aku sendiri tidak tau harus menjawab apa.
“tadinya aku, ke sini karena ingin mengobrol bersama Scarlet sambil liat langit malam. Karena, Scarlet bilang langit malam dari atas pohon ini bagus sekali. Iya kan Scar?”
“iya,” jawabku bohong.
“tante curiga dengan kalian berdua?” aduh! Alice sudah curiga. Apa ini akhir dari misi kami? apa kami sudah ketauhan? Kalau mau ketahuan tolong jangan sekarang.Ketauannya nanti-nanti saja, tunggu misinya selesai terlebih dulu. Sungguh permintaan bodoh.
“tante jadi curiga, jangan-jangan kalian ini pacaran ya?”
“hah?!” aku dan Will serempak.
“tidak tante, kami tidak pacaran kok.. kami hanya teman” jawab Will mengelak.
“iya tante, kami hanya teman” aku meyakinkan.
“haha kalian berdua lucu ya. Kalau lebih dari teman juga tidak apa-apa kok. Kalian berdua cocok sih.” Lalu papa tertawa mendengar ucapannya sendiri
“Papa!” seruku dengan nada tinggi
“hahaha.. udah Will ajak masuk ke dalam. Obatin di dalam, sana!”
     Aku nenuntun Will masuk ke dalam rumah. Huft... untunglah mereka hanya mengira aku dan Will pacaran. Kalau kami ketauan memotret mereka itu bisa jadi bencana. Tapi, omongan mereka cukup ngelantur .. memangnya kami mirip seperti orang pacaran ya?
“Will, di mana kamu sembunyikan kameramu?”
“masih di atas pohon, semoga aja mereka tidak liat.”
     Aku segera mengambil obat-obatan untuk mengobati Will. Aku kan hanya jatuh sendiri, kenapa Will bisa ikut jatuh juga? Aku tidak menariknya! Atau dia ikut jatuh hanya untuk menyelamatkanku?
“Will, terimakasih sudah jadi matras saat aku jatuh.”
“iya, no problem. Aku kan cowok, jatuh dan tertindih babon bukan masalah.”
“jadi kamu bilang aku babon begitu?”
“hehe kamu berat sih..”
“huh..” gumamku kesal.
***
     Hari ini Alice harus berangkat ke London. Aku, Papa, dan Will mengantar Alice ke bandara. sepanjang jalan mereka berdua sangat lengket seperti magnet utara dan selatan. Dan tibalah saatnya Alice harus pergi.
“tante, Papa, kita foto bareng dulu dong sebelum Tante pergi.” Usulku
“hmm, ok.” Papa setuju.
“Will kamu yang foto kamu bertiga ya.” Pintaku
“iya” lalu Will memotret kami bertiga.
“nah sekarang giliran Will yang di foto.” Ujarku. Lalu aku memotret mereka.
“Scar, sekarang giliran Mark dan Alice yang di foto berdua.” Ujar Will
“iya ya. Setuju. Papa, tante pasang pose yang bagus ya. Sa..tu..du..a..ti..ga!”
    Haha Papa mencium pipi kanan Alice, sungguh foto yang sangat romantis, manis, sekaligus lucu. Aku hanya bisa berdoa menunggu momen ini datang kembali. Semoga saja momen ini tidak pergi lama-lama.

Secret Photoghrapher 2


“hmm, Alice.. weekend ini kamu sibuk?”
“kita mancing ke danau, mau?”
“kita berangkat pagi dan pulang malam, jadi kita makan malam di danau. Kalau kamu mau Will kamu ajak aja nanti aku ajak Scarlet.”
“aku tanya Scarlet dulu ya, nanti aku telpon lagi. I Love you”
     Begitulah percakapan telpon yang ku dengar saat aku lewat di depan kamar Papa. Jadi Papa mengajak Alice untuk mancing ya? Aku diajak? Ikut tidak ya? Kalau ikut, aku khawatir akan mengganggu.. tapi kalau aku ikut akan lebih msudah mengambil foto mereka. Ikut tidak ya?? Mungkin lebih baik jika aku ikut. Eh, itu suara langkah kaki Papa, aku harus segera pergi dari sini. kalau tidak, ssudah pasti aku ketahuan menguping.. dengan segera aku menjauh dari kamar Papa.
“Scarlet” panggil Papa
“iya,pa..”
“ke sini dulu sayang” akupun berjalan ke arah Papa. Sepertinya Papa tidak tau  bahwa aku baru saja dari kamarnya.
“kenapa, pa?
“weekend ini Papa tidak sibuk, kita mancing ke danau yuk! Tante Alice ikut Will juga.”
“hmm, kalau aku ikut aku takut ngganggu...”
“maksud kamu, sayang?”
“namanya juga orang pacaran ya berduaan masa berempat emang ngeronda? Lagi pula mana mungkin Papa sedang asik pacaran lalu aku mengamati kalian.”
“eh, ini bukan dalam rangka pacaran. Papa ajak kamu supaya kamu bisa lebih dekat dengan tante Alice.”
“Will di ajak juga kan pa? Ajak ya biar aku ada temen mainnya”
“di ajak juga kok.”
“ok, Aku ikut. Tapi tidak apa-apa kok pa kalau acara memancing ini jadi acara pacaran Papa hehe”
“Scarlet!”
“hehe peace pa..”
     Sekarang aku harus mengabari Will agar dia mau ikut kami weekend ini. Untung kemarin aku ssudah minta nomor telponnya. “Will, kalau tante Alice ngajakmu untuk weekend bersama, kamu terima aja ya”. Ok, sekarang tinggal di kirim.
***
     Akhirnya hari yang kutunggu-tunggu datang juga, apa lagi kalau bukan weekend. Hari memancing bersama Alicia, Papa, dan Will yang kami manfaatkan untuk menjalankan misi. Sekarang cek seluruh barang bawaan, sepertinya ssudah lengkap deh. Camera? Sudah. Handphone? Sudah. Peralatan memancing? Sudah. Jaket? Sudah. Obat-obat? sudah. Ok, sekarang sudah lengkap semua. Hmm, hari ini rambutku di ikat saja supaya tidak mudah berantakan seperti sarang tawon.
“Scarlet, sudah selesai belum sayang?” teriak Papa dari bawah
“Sebentar pa, nanti Scar langsung ke mobil kalau sudah selesai”
“Cepat ya, jangan sampai kita membuat mereka menunggu lama!”
     Setelah selesai mengikat rambutku,cepat-cepat aku naik ke mobil. Kamipun berangkat untuk menjemput Alice dan Will. Jarak rumahku dan Alice cukup jauh sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama. Meskipun membuktukan waktu yang cukup lama aku tidak merasa bosan karena, di sepanjang jalan aku melihat pemandangan yang cukup indah. Pohon pinus ada di sepanjang jalan, langit Sligo yang berwarna Biru lengkap dengan burung-burung yang terbang bersama rombongannya.
     Tiba-tiba aku teringat pada Will. Aku belum tau siapa Will itu, apa hubungan dia dan Alice. aku tidak menanyakannya saat ia datang ke rumahku. Apa dia anak adopsi sama sepertiku? Kalau anak adopsian sih tidak apa-apa tapi kalau ternyata dia....anak haram?? Ah, tidak mungkin!.. tante Alicia itu bukan wanita seperti itu. Kenapa aku jadi berfikir yang aneh-aneh tentang Will? Ah, daripada memikirkan hal-hal aneh, lebih baik nanti kutanyakan langsung pada Alice .
Tak lama setelah pikiran-pikiran aneh yang muncul tentang Will, kami sampai di Rumah Alice. aku langsung membuka pintu mobil dan mengajak Will duduk di tengah. Hehe agar Alice bisadi depan bersama Papa.
“Will, kita di tengah aja ya..”
“iya” jawab Will lalu masuk ke mobil.
      Di tengah-tengah perjalanan aku teringat dengan pertanyaanku. “Tante, Will itu sebenarnya siapa? Ada hubungan apa antara tante dan Will?” tanyaku pada tante Alicia langsung pada titiknya.
“loh, Will belum cerita ya.. padahal kan kalian sudah berkenalan. begini .. tante sudah lama menjadi tetangg Will, kira-kira 6 tahun lalu. Setelah ibu Will meninggal tante yang membantu Lisa,kakak Will buat untuk mengurus Will karena mereka tidak punya keluarga. saat tante ingin ngadopsi mereka Lisa tidak mau. Lisa berkata bahwa dia sudah mendapatkan pekerjaan jadi dia sudah bisa mengasuh Will sendiri. Tante tau, sebenarnya Lisa tidak  merepotkan tante, tapi yasudahlah. Lagi pula tante sudah menganggap mereka anak tante sendiri.”
“oh, begitu.. bagaimana dengan Ayah Will?”
“hmm, ayahnya sudah lama meninggal. Dia ssudah meninggal saat Will masih dalam kandungan.”
“ah, maaf Will” aku merasa tidak enak pada Will karena sudah mengungkin masa lalunya yang tidak terlalu baik.
“tidak apa-apa kok, itu sudah lama.” Jawab Will enteng.
     Maafkan aku Will, aku jadi mengungkit tentang kedua orang tuamu. Aku tidak tau kalau orang tuamu sudah meninggal. Bahkan aku sempat berfikiran yang tidak-tidak tentang kamu. Ternyata nasib kita sama ya.. kita sama-sama yatim piatu. Tapi ada orang yang sudah menganggap kita sebagai anaknya. Padahal mereka belum menikah. Nasib kita benar-benar sama.
     Setelah melakukan perjalanan selama 3 jam akhirnya kami sampai juga di danau. Papa dan Alice langsung bersiap-siap untuk memancing. Sedangkan aku dan Will hendak menyusun rencana untuk misi kami.
“Will, pemandangan di sana cukup bagus .. kita foto-foto di sana yuk!” ujarku sambil mengedip-ngedipkan mata sebagai isyarat ada sesuatu yang harus aku sampaikan.
“ayo”
     Hehe padahal bukan itu tujuan kami ke sana. Setelah cukup jauh dari mereka dan kami menyusun rencana untuk misi kami.
“Will, siapkan kameramu. Aku juga bawa kamera sendiri dari rumah, agar aku dapat belajar fotografi dari kamu.”
“kameraku sudah siap kok, pertama-tama matiin blitz dan soundnya.”
“sudah, lalu?”
“ya sekrang kita mulai.. ikuti aku ya.”
     aku mengikuti Will dari belakang dan masuk ke semak-semak. Kira-kira kami sekarang sudah mirip tentara yang berjaga di hutan saat perang dunia berlangsung. Dengan kamera sebagai senjata kami. sekarang kami berada di belakang Papa dan Alice. dari sini kami dapat melihat mereka dengan jelas. Bahkan kami dapat mendengar percakapan mereka dari sini.
“Mark..”
“hmm?”
“pemandangan di sini cantik ya..”
“iya, tapi pemandangan di sini tidak lebih cantik dari pada kamu” hahaha aku mau tertawa mendengar Papa menggombal! Karena ini adalah yang pertama aku mendengarnya. Aku tidak nyangka jika papaku ini bisa begitu.
“uh, mark.. “ ujar wanita cantik berambut hitam itu sambil mencubit lengan Papa.
“lho.. itu kan kenyataan..”
“iya kalau sekarang kamu bisa bilang aku lebih cantik dari pemandangan si sini tapi tidak kalau besok atau lusa. “
“maksudnya?”
“sekarang kamu beranggapan bahwa aku lebih cantik dari pemandangan di sini tapi jika kamu sudah mencintai  wanita lain kamu tidak akan nganggap aku lebih cantik dari pemandangan di sini lagi. Banyak sekali wanita yang tergila-gila padamu, kamu tinggal pilih. Banyak wanita yang lebih baik dari pada aku. Mungkin, kamu juga akan meninggalkan aku dan pergi bersama wa_”
“sttt.. stop. Jangan lanjutkan lagi. Mungkin banyak yang lebih baik dari kamu tapi hanya kamu yang ada di hati aku. Kamu tidak perlu berfikir yang macam-macam. Ini janjiku padamu..  i love you more than i love my self.. kalau aku harus mati demi kamu, aku siap. aku kuat bersamamu tapi aku lemah padamu. . aku tidak akan ninggalin kamu.. i’ll be loving you forever. Tak ada yang bisa merubah itu.”
“mark.... aku takut kehilangan kamu..”
“aku tidak akan kemana-mana. Aku akan tetap di sampingmu.. kamu tak pelu takut. Aku sudahber janji tidak akan meninggalkan kamu.” Papa meraih wajah Alice dengan lembut dan mendekatkannya ke wajahnya.. “Karena aku juga takut kehilangan kamu.” Suara Papa terdengar lirih namun sangat lembut. Papa mencium bibir Alice.
      Aku yang kagum dengan momen itu hanya bisa bengong dibuatnya. Ini sangat romantis bagiku. Karena pemandangan ini aku jadi lupa misi utamaku.
Aku menghadapkan wajahku pada Will, ternyata Will sedang fokus memotret momen itu. Kalau di lihat-lihat, saat sedang fokus seperti ini Will ganteng juga, Mirip seperti Zac Efron, hahaha. Kalau sudah besar mungkin akan mirip dengan Tom Cruise, dan kalau sudah tua mirip dengan James Bond. Ah,bodoh!
      Aku yang keasikan bahkan sampai bengong melihat wajah Will tidak sadar kalau Will sedang menatapku. “tok” Will menjentik jidatku. “auuh” gumamku dalam hati. Kenapa aku harus bodoh keterlaluan. bisa-bisanya melamun sampai tidak sadar bahwa Will sudah menatapku. Duh, malunya..
Will mengajakku untuk keluar dari tempat persembunyian ini. Setelah keluar dari tempat persembunyian, kakiku pegal-pegal akibat jongkok terlalu lama. Aku penasaran dengan hasil jepretan Will kali ini.
“Will, mana hasil Jepretan tadi? Aku mau liat.”
“nih” Will menunjukkan hasilnya padaku
“ya ampun.. gambarnya keren banget, sepertinya foto ini berceritakan keadaan di gambar ini. Mereka romantis sekali ya, sampai mau nangis aku melihatnya”
“siapa dulu fotografernya..”
“yee awas hidungmu mengembang!.. tapi, emang iya, ini karena  grafernya juga. Kita mancing yuk!  tidak enak kalau aku mengilang terlalu lama padahal tujuan Papa mengajakku ke sini untuk mendekatkan aku dengan tante Alice.”
“iya. Aku juga sudah lama tidak mancing jadi sekarang aku sangat bersemangat untuk mancing.”
     Kami bergabung bersama Papa dan Alice untuk mancing bersama. Papa mendapatkan ikan yang jumlahnya cukup banyak, sedangkan aku tidak dapat sama sekali. Sudah tidak dapat ikan aku malah tercebur ke danau karena terpeleset. Mereka semua menertawakanku. Sebagai balas dendam, aku menarik Will ke danau dan hasilnya dia ikut tercemplung ke danau. Selanjutnya kami menarik Alice. dia juga masuk ke danau. Target terakhir yang belum basah adalah Papa.  kami menarik Papa bersama-sama. Dan setelah usaha cukup keras akhirnya Papa masuk juga ke danau.
     Karena sudah terlanjur basah, yasudah, kami berfoto-foto di danau itu. Tanpa sadar Papa dan Alice berpelukan.. hehe tunggu apa lagi! langsung saja kami mengabadikan momen itu. Hahaha.. tapi ternyata saat aku kepeleset, Will juga mengabadikannya di dalam kameranya. Duh... sialnya.

Secret Photographer 1

  “scar! Bangun sayang.. ini sudah pagi” teriak Papa sambil mengetuk-ngetuk pintu kamarku. “iya, Papa..  aku bangun” jawabku asal-asalan sambil menguap lebar. Maklumlah, tadi malam aku tidur larut. Apa lagi yang membuatku tidur larut kalau bukan sibuk dengan lagu-lagu yang kurasa bagus. Aku suka sekali pada musik dan bagiku music is my life. Karena musik juga aku jadi seperti sekarang.
     Dulu, aku hanyalah anak panti asuhan ingusan yang tak punya sanak saudara. Menurut cerita dari suster di panti asuhan, seorang pria muda membawaku ke panti asuhan saat aku masih sangat kecil. Pria muda itu mengaku bahwa aku adalah korban yang selamat dalam sebuah kecelakaan maut. Hanya itu yang aku tau.
     Aku kadang iri melihat anak-anak yang melintas di jalan raya dengan menggandeng ayah dan ibu mereka. Di dalam hatiku bertanya-tanya ‘bagaimana rasanya punya orang tua?’. Bahkan aku pernah bertanya pada seorang anak yang melintas di depan panti asuhan bagaimana rasanya punya orang tua.

“hey kamu!” panggilku pada seorang anak yang tengah melintas di pinggir jalan
“aku?” tanya anak itu balik.
 “iya kamu.” Lalu anak itu berjalan mendekatiku
“kenapa kamu memanggilku”
“aku mau tanya, bagaimana rasanya punya orang tua?” tanyaku dengan wajah lugu.
“enak sekali, mereka selalu memberikan apa yang aku mau.”
“wah,, enaknya..”
“tentu saja. Memang kamu tidak punya orang tua?” tanya anak itu polos. Aku hanya menggeleng menjawab pertanyaannya.
“mike, ayo pulang. Ayah pasti sudah sampai di rumah” Panggil ibu dari anak itu. Anak itu langsung lari ke arah ibunya. Betapa  enaknya memiliki orang tua..

     Mungkin karena masih kecil sehingga aku belum mengerti kenapa aku tidak punya orang tua dan aku bertanya pada salah seorang suster, yaitu suster Maria.
“Suster, kenapa Scarlet tidak punya mama Papa?” terlukis tanda tanya besar di wajahku.
“mama Papanya Scarlet sudah di panggil Tuhan, sayang” jawab Suster itu singkat.
“maksudnya di panggil Tuhan apa suster?”
“Tuhan itu sayang pada mama dan Papa Scarlet, karena Tuhan sayang  pada Papa dan mama Scarlet jadi Tuhan memanggil mama dan Papa Scarlet untuk tinggal bersama dengan-Nya. Suatu saat nanti, kita juga akan di panggil Tuhan.” Suster Maria tersenyum seraya mengusap-ngusap rambutku.
“oh, Tuhan sayang sama mama Papanya Scarlet ya.. kalau nanti Scarlet juga di panggil Tuhan apa Scarlet bisa bertemu Papa dan mama?”
“mungkin iya, yang terpenting sekarang Scarlet harus rajin berdoa untuk mama dan Papa. Doakan mereka senang bersama Tuhan.”
“iya, suster.”
      Aku sungguh ingat percakapan itu. Pertanyaan-pertanyaan yang keluar dari mulutku begitu polos. Dan sekarang aku sudah mengerti maksud dari ucapan suster Maria. Dan semenjak percakapan itu aku merasa lebih baik karena aku tau mama dan Papa ada bersama Tuhan yang akan selalu menjaga mereka.
      Sampai pada suatu hari seorang pria datang ke panti asuhan. Siapa sangka pria itu adalah Mark feehily! Aku saja bingung mengapa pria ini ingin mengadopsi anak, padahal aku tau dia belum menikah.  Mungkin karena ia ingin punya anak seperti gosip-gosip yang beredar, pikirku.
      Memang cukup aneh. seorang yang belum menikah tapi ingin mempunyai seorang anak. Ah.. tapi begitulah manusia. Sulit ditebak!
      Ya Tuhan, apa mungkin dia akan mengadopsiku? Kalau di pikir-pikir sepertinya tidak. Karena ia pasti akan mengadopsi anak-anak yang berusia kira 5 tahun. Jika ia mengadopsi anak yang berusia 12 tahun sepertiku, aku tidak terlihat seperti anaknya melainkan seperti Adiknya! Setelah aku berfikiran seperti itu aku tak berani berharap lagi, karena itu seperti mustahil untukku.
      Untuk menghilangkan kesedihanku, seperti biasa ku nyanyikan lagu kesukaanku sekaligus lagu yang membuatku jatuh cinta pada Westlife.
“An empty street
And empty house
A hole inside my heart
I’m all alone
The rooms are getting smaller
I wonder how
I wonder why
I wonder where they are
The days we had
The songs we sang together
oh yeah
and oh my love
i’m holding on forever
reaching for a love that seems so far..”
      Tiba-tiba pria itu mendekatiku dan bertanya “kamu suka westlife ya?”. Spontan ku jawab “ya”. “kamu suka lagu itu?” tanyanya lagi. “iya”jawabku singkat sangkin groginya. “Kita nyanyikan bagian reffnya sama-sama yuk!” ajak pria itu. Ya ampun, aku gugup sekali! yang mengajakku bernyanyi bukan anak-anak panti asuhan ataupun suster melainkan bintang idolaku sejak kecil. Walaupun aku memang masih kecil. Karena aku merasa ‘rugi juga’ kalau di tolak aku menyetujui tawarannya dan kamipun bernyanyi bersama.
“so i say a little prayer
And hope my dreams Will take me there
Where the skies are blue to see you once again my love
Over seas from coast to coast
Find the place i love the most
Where the fields are green
To see you once again
my love”
“suaramu bagus lho..” pria itu memujiku. “terimakasih” balasku singkat. Senang sekali rasanya hatiku di puji sang bintang idola. Aku sadar bahwa sekarang pipiku sudah merah, tersipu malu.  “kamu manis sekali....” ujarnya sambil mencubit kedua pipiku. Aku hanya tersenyum dengan tingkahnya.
“kamu mau jadi anakku?”tanyanya. astaga! Apa aku sedang bermimpi?? Bintang idola yang sangat kukagumi memintaku untuk menjadi anaknya! Bagaimana aku bisa menolak!? Dengan mantap aku menjawab “iya, aku mau”. Dia tersenyum mendengar jawabanku.
     Dan begini lah aku sekarang, tinggal bersama Papa yang sebenarnya adalah idolaku. Aku sudah tinggal bersama Papa selama 2 tahun. Dan menurutku Papa adalah orang yang penyayang, pengertian, sabar dan baik hati. Aku senang sekali tinggal bersama Papa walaupun dia sibuk tapi dia tak lupa memberikan perhatian untukku. dan hal itu yang membuatku samakin sayang padanya.
     Akhir-akhir ini Papa sering bertanya padaku seperti apa mama yang aku inginkan. Aku hanya menjawab “Aku mau mama yang dapat membuat Papa bahagia.” Setelah mendengar jawaban itu ia hanya tersenyum. Kurasa Papa sedang dekat dengan seorang wanita saat ini. Aku
“Papa” panggilku
“iya, sayang?”
“Papa punya pacar ya?” tanyaku menyelidik tanpa basa-basi. Papa tersenyum dan tertawa mendengar pertanyaanku. Pipinya berubah merah dan berusaha menahan senyum.
“tuh kan Papa senyum! pasti punya kan.. ayo mengaku!” paksaku sambil mencubit lengan Papaku.
“hahaha.. kamu tau dari mana?” tanyanya dengan tawa campur ringis..
“Jelas aku tahu!.. itu sebabnya Papa sering bertanya  tentang calon mama... benar kan Papa punya Pacar?? Ayo ngaku! Kalau tidak mau ngaku,cubit makin keras lagi lho” ancamku dengan wajah sangar bin manis.
“iya! Papa memang sedang dekat dengan seorang wanita”
“sedang deket atau sudah jadian?” tanyaku menggoda
“duh.. anak kecil sepertimu pinter menebak ya.. iya, Papa sudah jadian dengan dia..”
“yippiii!!!!” aku melompat dan langsung memeluk Papaku yang imut ini.. “cieee Papa.. hahaha” godaku. “scarlet!” Papa berusaha membuatku berhenti menggodanya.
“kalau begitu, sebentar lagi rumah kita akan bertambah ramai dong.. lalu aku punya adik, ye!! Ada yang bisa ku ajak main.”
“waduh, kamu sudah berfikir sampai disitu? Kami kan masih pacaran. . Papa belum melamarnya sayang...”
“kalau gitu segera lamar dong Papa..”
“sayang,tidak segampang itu melamarnya.. Papa rasa dia belum siap untuk itu..”
“loh?? memang kenapa?”
“perasaan Papa berkata dia belum siap..”
“wah, kalau soal perasaan aku  memang tidak tahu apa-apa.. itu sih terserah Papa kapan Papa mau melamarnya. Tapi, Papa harus secepatnya memperkenalkan wanita itu padaku. Aku sudah penasaran sekali bagimana rupanya pacar Papaku yang satu ini.”
“haha... nanti Papa ajak main ke rumah deh..”
“janji ya?”
“iya, sayang”
“ye!!! Love you dad” ku cium pipi kanan Papa
“love you too, sweety”
***
      Sore yang cerah di Sligo, dengan matahari masih bersinar dengan terang sehingga membuatku ingin bersantai di halaman belakang. Kurebahkan diriku di atas ayunan gantung yang di pasang di antara 2 pohon rindang.  Sejuknya udara di sini membuatku hampir tertidur. Mendengar bunyi, bell aku segera beranjak dari ayunan dan segera berlari ke depan.
      Setelah membuka pintu, ternyata Papa yang pulang. “sesuai dengan janji Papa..” ujarnya. “makdusnya, pa?” tanyaku bingung. Ternyata Papa membawa pacarnya sesuai dengan janjinya.
“ini kenalin, tante Alicia Vinburg.” Papa memperkenalkan wanita itu padaku
“aku Scarlet, salma kenal” ujarku sambil mengulurkan tangan
“salam kenal juga. Mark, ini anakmu kan? Manis sekali ya..” ujar wanita itu.
“ya, dia memang manis.. oh iya Scarlet, ini Will.”
“hay, aku William handorn. Panggil aja Will.” Ujar lelaki di sebelah wanita itu sambil mengulurkan tangan.
“Scarlet,” ujarku sambil bersalaman dengannya
“Ayo masuk, kita ngobrol di dalam” ajak Papa
     Papa dan tante Alicia masuk bersama, sedangkan aku dan Will seakan sengaja masuk belakangan agar tidak mengganggu pasangan itu. “ayo masuk” ajakku setelah Papa masuk bersama Alicia (males nulis ‘tante’nya -_-). Papa dan Alicia duduk di sofa depan televisi. Karena tak mau mengganggu kemesraan mereka aku dan Will pergi ke belakang.Kami duduk di halaman belakang. Padahal niat papa adalah mengenalkan wanita itu padaku. Tapi... ya sudahlah.. apa yang lebih penting dari pada kebahagiaan papa??
     Will meletakan tasnya dengan sangat hati-hati, seakan isi di dalam tasnya itu adalah benda rapuh yang sangat berharga.
“Will, apa isi tasmu? sepertinya kamu sayang sekali dengan benda di dalamnya?”
“isinya kamera..”
“kamu sayang sekali dengan kamera itu?”
“iya, katena kakak susah payah membelikannya untukku. kakak membelikannya karena dia tau  hobiku yaitu jeprat-jepret. Dan tak jarang hasilnya lumayan bagus. Kadang aku iseng-iseng ikut lomba fotografi, dan belum pernah mendapat juara.”
“jangan menyerah, kekalahan itu kan kemenangan yang tertunda. Kamu hanya perlu belajar lagi.”
“iya, ngomong-ngomong hobimu apa?”
“tidak terlalu spesial kok.. membaca komik atau novel, bernyanyi, bermain gitar, dan piano”
“kamu suka musik?”
“iya, siapa yang tidak suka musik?”
“haha entahlah..  dan cita-citamu?”
“entahlah, penyanyi mungkin atau komposer atau seorang pencipta lagu.. aku tak tau pasti. Kamu?”
“fotografer”
“keren! sepertinya kurang enak kalau kita ngobrol tanpa cemilan. Oh iya dua lagi hobiku ngemil dan berhayal hehe.. aku ambil cemilan dulu ya”
      Aku masuk ke dalam dan mengambil beberapa cemilan dan minuman soda.  Aku berjalan menuju halaman belakang dan saat aku membuka pintu belakang sebuah cahaya menyorot wajahku. Ternyata Will yang sedang coba jeprat-jepret dengan aku sebagai modelnya. karena sedang tidak berpose tentu saja aku tidak percaya diri jika fotoku di simpan.
“Will, kamu apaan sih.. jeptret-jepret sembarangan.. pasti hasilnya jelek. Aku malu tau!”
“siapa bilang hasilnya jelek. Liat tuh, baguskan.. posenya natural, nggak di buat-buat, tanpa make up lagi” ujar Will sambil menunjukan hasil jepretannya.
“mukaku aneh tau kalau posenya seperti itu. Pokoknya hapus!”
“tidak mau ”
“hapus tidak?! Kalau tidak mau aku hapus sendiri gimanapun caranya.”
“iya iya, nanti ku hapus.”
“janji ya?”
“iya.” Mendengar Will telah berjanji akan menghapus foto itu aku merasa sedikit lega. Dan aku penasaran bagaimana dua sejoli itu di dalam.
“Will, Papa dan Alice di dalam gimana ya?”
“tidak tau, kamu penasaran?”
“iya..”
“aku juga, intip yuk!”
“eh, tidak boleh begitu.. itu namanya tidak sopan kalau ngintip. Tapi, yuk kita intipin”
“lah... tadi katanya tidak boleh, katanya tidak sopan tapi mau ngintip juga. memang cepet banget berubah pikirannya.”
“tidak apa-apa lah.. yuk! sudah penasaran nih”
     Aku berjalan di depan sedangkan Will mengekor. Kami berjalan dengan pelan dan tanpa menimbulkan suara persis seperti maling. Setelah sampai di dekat belakang sofa yang mereka duduki kamipun melaksanakan misi ‘mengintip’ kami. Mereka duduk sangat dekat dan kepala Alice berada di pundak Papa. Wah, mereka mesra sekali... momen seperti ini tidak boleh di ganggu. Saat sedang asik memandangi mereka aku teringat Will, lalu aku mihatnya yang sedang berada di belakangku. Siapa sangka ternyata dia sedang memotret kemesraan Papa dan Alice.
“Will, kamu ngapain sih...” tanyaku denangan suara kecil sekecil-kecilnya
“motret momen berharga ini”
“kamu sadar tidak sih kalau kamu bisa mengganggu momen berharga ini dengan blitz dan suara pada kameramu?”
“aku tidak sebodoh itu.. blitz dan suaranya udah aku matikan.”
“huft... untung deh.. aaaauu!” kepalaku terantuk lemari hias tempat persembunyian kami saat aku hendak melihat Papa dan Alice lagi. Tentu saja kegaduhan itu mengacaukan suasana mesra mereka. Aduh Scar... kenapa kamu bodoh sekali sampai bisa menabrak lemari di saat romantis ini berlangsung...
“Scarlet kamu kenapa sayang?” tanya Papa kawatir sekaligus kaget.
“tidak apa-apa kok.. tadi aku berjalan ke sini karena kurang hati-hati aku nambrak lemari pa..”
“kamu sih Scar.. kalau jalan hati-hati dong.. tadi kan sudah aku ingatin..” ujar Will untuk membantu usahaku berbohong. Makasih Will...
“iya deh.. lain kali aku lebih hati-hati. Aku ke atas dulu ya pa ngobatin bendol di kepalaku. Oh iya Will kamu ikut juga ya.. aku punya beberapa poster keren, mungkin kamu bisa memberi komentar dengan poster-poster itu.”
“iya.. “
     Aku langsung berlari ke atas dangan Will mengikutiku dari belakang. Kami langsung masuk ke kamarku. Segera kucari obat untuk bejol di kepalaku.
“hampir aja tadi kita ketauan ngintip.. untung kamu bantuin aku Will.. makasih ya”
“tidak perlu bilang makasih, soalnya ini kan ideku juga ngajak kamu ngintip.”
“ya sudah lah..”
“Scar..”
“apa?” jawabku sambil mengoleskan salep di kepalaku
“aku jadi punya rencana untuk mengenang masa-masa romantis Mark dan Alice..”
“bagimana caranya?”
“kita potret saja kemesraan mereka, udah pasti jumlah fotonya akan banyak. Lali kita kumpulkan foto-toto itu dalam satu album dan berurutan berdasarkan waktu kejadian. Kita buat itu sebagai hadiah pernikahan mereka. Dan kita berikan album itu pada pernikahan mereka.”
“boleh juga .. tapi, yang aku kawatirkan apa mereka akan menikah atau tidak.. kalau tidak, kan sia-sia.”
“iya sih.. tapi setauku Alice sayang sekali pada Papamu. karena dia pernah bercerita padaku tentang impiannya menikah dengar Papamu.”
“Jadi Alice juga ingin menikah dengan Papa?”
“maksudmu dengan ‘juga’ itu apa?”
“Papa pernah bilang kalau dia ingin melamar Alice tapi dia takut Alice belum siap. Dan ternyata keduanya mempunyai keinginan yang sama.”
“Alice bercerita ia ingin memasak setiap hari untuk Mark, membangunkan Mark setiap pagi, Mengasuh anak bersama Mark, pokoknya semua tentang Mark. Kalau sudah begini aku yakin jika mereka akan menikah, kalau menurutmu gimana Scar?”
“aku juga yakin begitu. Ok, aku setuju dengan misi ini!”
“bagus, sekarang ayo kita jalankan misi kita. Pertama-tama kita harus memotret kemesraan mereka saat ini. Kamar kamu berhadapan dengan sofa mereka kan?”
“iya, kalau mau memotret bisa dari sini, tapi kamu harus tiarap untung memotretnya jika tidak ingin ketahuan dengan Papa.”
“ok”
     Tanpa ragu Will merayap keluar kamar dan memotret mereka. Kami mendapatkan foto yang sangat bagus. Tangan kiri Papa berapa di pundak Alice dan kepala Alice berada di bahu Papa. Dengan wajah Papa sedang menatap Alice lembut.
“gimana hasilnya, Scar?”
“ya ampun, it’s so sweet. sampai iri liat mereka.”
“hahaha.. berarti kita baru mendapatkan 2 foto. Kita harus mendapatkan yang selanjutnya.”
“iya” jawabku sambil masih menatap hasil jepretan Will
    Inilah kami dengan misi mengabadikan kenangan indah Papa dan Alice. Meskipun terlihat aneh namun ini ide yang sangat briliant. Kami akan berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan jepretan-jepretan lainnya. We are secret Photographers!

Senin, 03 Desember 2012

Friendship and Alliance 25

By: Maya Theresia 






“Aku bisa menghancurkanmu. Jangan remehkan aku.” Katanya lagi.
“Kau sudah melukai hati ibu dan adik-adikku. Dan walaupun aku tidak bisa menghancurkan suamimu…aku tahu ia akan datang.”
 Cattleya mencabik wajah Elize.
 “Adikku.” Ucapnya. “Aku tahu Kian akan datang.”

Seketika itu pula cahaya kegelapan muncul di antara mereka. keduanya lenyap bagaikan ditelan bumi.

Kelima bocah pemberani, tanpa gentar berlari menuju kerajaan Eoghan. Hanya 1 tujuan mereka, menyelamatkan kerajaan tersebut. Semgat mereka tak bisa di patahkan walaupun mereka tau betapa kuatnya musuh yang akan mereka hadapi.

Memang keadaan Ztomfist Forest sudah pora-poranda dengan pohon-pohon hangus yang mengeluarkan bau gosong. Mereka terus berlari secepat mungkin dan tidak memperdulikan keadaan sekitar. Entah bagaimana, ada serumpun pohon yang masih berdiri kokoh dan rindang di tengah-tengah Ztomfist Forest. Mereke tidak menyadari keberadaan rumpun pohon tersebut, hingga akhirnya...
“srk..srk..srk” bunyi gesekan pada daun-daun diatas pohon. Kelima bocah pemberani itu langsung berhenti berlari mendongakkan kepalanya menuju pada sumber suara.
“Kalian dengar itu??” tanya pangeran Kian pada teman-teman kecilnya.
“ya, kami dengar!” sahut Nicky cepat.

Mereka terus mengamati pohon yang mereka anggap adalah sumber dari suara itu. Mereka merasa was-was. Mereka takut bahwa itu adalah seekor Sungeopolia yang mengawasi mereka. Dan tiba-tiba, seekor mahluk berbentuk burung keluar dari atas pohon itu. Seperti hantu malam yang keluar dari persembunyiannya. Kelima bocah tangguh itu kaget melihatnya.
“Ah! Cattleya!!” pekik mereka dengan sedikit kesal. Bagaimana mereka bisa tidak merasa kesal? Jantung mereka hampir saja lepas karena sangkin kagetnya.
“Sedang apa kalian di sini?” tanya Cattleya dengan nada dinginnya, seperti biasa.
“kau sendiri kenapa bisa ada di sini?” tanya Kian balik dingin.
“Hey! Aku kakakmu pangeran Kian! Dan ibumu adalah ibuku juga! Aku ingin melihat ibuku! Dan bukankah harusnya kau sedang menjaga ibu sekarang?”  tanya Cattleya dengan tatapan sedingin es.
“Tapi kami harus menyelamatkan Kerajaan Eoghan! Itu tugas kami!” kian menjawab secepat mungkin agar tidak membuang lebih banyak waktu.
“Kalian hanya lima bocah ingusan yang lemah! Kalian hanya dapat bermain perang-perangan! Bukan perang sungguhan! Percayalah, tugas itu terlalu berat untuk kalian!”

Kian dan empat temannya lagi tak tahu harus berkata apa. Jika ia mengaku bahwa ia ingin melawan kawanan Sungeopolia, pastilah Cattleya tidak memperbolehkannya. Cattleya akan menyuruh kelima prajurit ini untuk menjaga Ratu Patricia. Cattleya menganggap kelima bocah tangguh ini telalu lemah untuk ikut pertempuran. Begitulah dugaan Kian dan kawan-kawannya.

Dan sekaliun mereka menceritakan tentang ‘Prinzigle’, Cattleya tidak akan percaya. Mereka tau bagaimana kerasnya kepala Cattleya yang sama seperti Kian.  Ingin rasanya mereka menunjukkan senjata yang telah mereka miliki. Namun, cattleya pasti mengira mereka mencuri dari kerajaanFeehilian.

Dan soal ukiran nama pada pedang Kian dan panah Nicky? Cattleya pasti mengira mereka mengancam pandai besi di kerajaan Feehilian agar mengukir nama mera pada pedang dan panah itu. Mereka sangat tau betapa cerdas dan kerasnya otak cattleya. Ia hanya percaya pada apa yang ia lihat.
“Hey! Ayo jawab!” Cattleya mendesak bocah-bocah itu berbicara. Namun, bocah-bocah itu hanya mendengus sambil merundukkan kepala mereka. Cattleya hanya tersenyum melihat tingkah bocah kecil itu. Cattleya tersenyum? Padahal ia jarang sekali mengeluarkan senyumannya. Sedinginnya sifat Cattleya dan pandangan matanya, ia bisa mengeluarkan senyum yang begitu hangat.
“Aku tahu apa yang akan kalian lakukan, prajurit cilik. Aku salut dengan keberanian kalian yang begitu besar. Aku sudah menduga bahwa kalian akan nekat untuk ikut dalam pertempuran ini. Meskipun baru sebentar aku berkenalan dengan kalian, namun sifat keras kepala kalian langsung bisa kutebah ketika pertama kali aku bertemu kalian” Cattleya tersenyum pada lima sekawan itu.
“hey! Kau juga sama keras kepala dengan kami kak!” Sahut Kian tak terima.
“haha.. aku tahu. Itu sebabnya aku mengawasi kalian semalaman”
“bagaimana dengan kawanan Sungeopolia? Apa kau tak melawan mereka?” tanya Mark  terheran-heran.
“Kekurangan satu orang bukanlah hambatan bagi prajurit kerajaan Eoghan untuk melawan mereka”  lalu Cattleya tersenyum lagi pada mereka.
“kakak.. aku mohon izinkannlah kami ikut ke dalam pertempuran..” pinta Kian dengan sangat.
“iya... Magy yang akan menjaga Ratu Patricia.. dia juga dapat berubah wujud menjadi Fengarimulofia”  Nicky membantu kian.
“benar! Megy bukan gadis yang lemah.. ia pasti dapat_”
“hey.. hey..hey!” potong Cattleya langsung. “siapa yang bilang bahwa aku tidak akan mengizinkan kalian?” Kian, Mark, Shane, Nicky, dan Brian saing berpandangan, mereka kebingungan dengan apa yang baru saja keluar dari bibir pucat Cattleya.
“Aku tidak akan melarang kalian untuk ikut ke dalam pertempuran ini” sambung Cattleya.
“Hah?!” kelima bocah itu ternganga dengan ucapan Cattleya.
“Kalian boleh ikut dalam pertempuran ini!”
Kelima pria kecil itu melompat kegirangan dengan senyum-senyum manis mereka yang terukir di wajahnya. Cattleya yang tidak ingin membuang waktu dengan kegirangan pria kecil itu segera menghentikan mereka.
“Hey cukup! Lebih baik sekarang kita berpencar. Kian, Nicky dan aku akan masuk ke dalam istana dan melawan Elize! Mark, Shane, dan Brian membantu Gavin dan yang lainnya melawan Finnick.”
“siapa itu Elize?” tanya Mark heran.
“Istri dari Finnick. Ayo! Tak ada waktu lagi!”

Kelimanya langsung mengangguk pasti dan segera berpencar. Mereka tak peduli akan bahaya yang menimpa mereka. Cattleya tersenyum melihat semangat mereka.

Brian, shane, dan Mark langsung menuju medan tempur. Cattleya, Kian dan Nicky mengendap-endap masuk ke dalam istana. Mereka memutar-mutar mata mereka mengamati keadaan sekitar. Mereka sangat waspada, mungkin saja ada Sungeopolia yang menjaga istana itu.Anehnya tak satupun yang menjaga kastil itu. Tak ada tanda-tanda keberadaan Sungeopolia di dalam sana.

Cattleya menuntun kedua kesatria cilik itu ke bagaian atas kastil. Cattleya berhenti di depan sebuah pintu kayu yang belum pernah mereka masuki, karena ruangan di balik pintu itu selalu terkunci.

Perlahan-lahan Cattleya membuka pintu itu. jantung Kian dan Nicky seakan hendak meledak sangkin kencangnya berdenyut. hingga akhirnya pintu itu terbuka sepenuhnya.

Betapa kagetanya mereka karena ruangan itu hanyalah sebuah gudang yang gelap pada bagian pojoknya.
“Apa ini? Aku kira Elize berada di sini!” Kian kesal karena tidak mendapatkan Elize di ruangan itu.
“Dia mungkin saja bersembunyi di dalam sana” Cattleya sedikit berbisik seakan takut seseorang di dalam ruangan itu mendengar suara mereka.
“Ah, ini hanya gudang gelap. Siapa yang takut dengan ini” Kian segera masuk ke dalam ruangan itu disusul dengan Nicky. Cattleya masuk belakangan.

Setelah ketiganya masuk, Kian dan Nicky asik melihat sekeliling gudang itu. Namun perhatian mereka teralihan dengan suara pintu terukunci. Mereka segera melempar pandangan pada pintu masuk ke gudang tadi.

Dilihatnya Cattleya sedang mengunci pintu itu. Keduanya bingung dengan apa yang dilakukan oleh Cattleya.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Kian heran. Cattleya berbalik menghadap mereka. namun bukan sosok Cattleya yang mereka lihat! Sosok itu tersenyum bak iblis dari neraka, dengan mata hitam yang tidak dimiliki Cattleya! Jelas saja, tak ada anggota kerajaan Eoghan yang bermata hitam! Sekalipun Cattleya bukan anak kandung dari raja Kevin tapi Cattleya memiliki mata biru dari Ratu Patricia.
“Melancarkan misiku!” jawab sosok itu dengan suara yang belum pernah mereka dengar.
sosok itu berubah menjadi seorang perempuan dengan sepasang sayap pekat. Bibirnya merah, kulitnya putih pucat! Sebenarnya ia sangat cantik. Namun ketakutan 2 kesatria itu membuat sosok itu menjadi menyeramkan di mata mereka.
“Siapa kau?!” kian sedikit berteriak karena kaget.
“Aku adalah orang yang seharusnya kalian lawan. Aku lah Elize”

Mata kedua bocah itu membesar sangkin kagetnya. Mereka tidak menyadari bahwa sosok yang membawa mereka ke sini adalah musuh mereka sendiri. Pantas Kian agak merasa aneh dengan sifar Cattleya yang gampang tersenyum.

Dengan apa yang keluar dari kepakan sayap Elize, sebuah obor menyala di sudut ruangan tersebut. Kian dan Nicky yang takjum dengan api yang keluar itu mengikuti arah api itu hingga menuju obor.

Betapa kagetnya mereka setelah obor itu menyala. Sosok Cattleya sedang terbaring tak berdaya di sebuah peti kaca. Di samping peti itu terdapat sebuah kristal kecil, kristal itu terhubung dengan peti dengan cahaya putih yang menghubungkannya.
“Apa yang kau lakukan pada kakakku?!” emosi Kian memuncak, ia mengeluarkan pedang dari sarungnya.
“Cattleya adalah sosok yang begitu kuat, sayang sekali jika ia hanya mati sia-sia. Lebih baik aku mengambil kekuatannya dan setelah itu dia boleh mati. Setelah dia mati, maka selanjutnya giliran kalian” Elize tersenyum menang melihat reaksi Kian yang sangat marah.
“tidak akan!” Kian dan Nicky segera berlari menuju peti itu namun Elize seketika berada di depan mereka dan memukul mereka hingga tersungkur ke lantai.
“Sialan!” gumam Kian kesal.
“kalian kira bisa semudah itu menyelamatkannya? Langkahi dulu mayatku!” Elize melancarkan serangannya. Api yang menyembur dari kepakan sayapnya melesat menuju Nikcy dan Kian. Mereka segera berpindah dari tempat itu, dan untungnya mereka selamat.
“gesit juga gerakanmu bocah! Itu belum apa-apa! Terima ini” serangan Elize makin membabi buta. Ia terus menyemburkan api pada Kian dan Nicky. Namun mereka terus berusaha menghindar.

Mereka tahu bahwa mereka tidak bisa terus menerus menghindar. Keduanya berdoa agar menemukan cara untuk mengalahkan wanita gila itu.

Kian dan Nicky mulai kehabisan tenaga. Mereka sudah hampir tak kuat lagi menghindri serangan itu. Gerakan mereka melamban dan mereka nyaris beberapa kali jatuh.
‘Tolong beritahu aku cara mengalahkan wanita gila ini!!’ Kian berteriak dalam hati.
“Ingat akan pedangmu Kian..”
“Cattleya!” gumam Kian dalam hati.
“iya, ini aku. Tusuklah jantung Elize dengan pedangmu. Hanya pedang itu yang dapat membunuhnya. Setelah itu musnahkan kristal yang ada di sampingku. Kristal itu adalah nyawa keduanya”
“Kau tau soal pedang itu?”
“Aku tau semua yang terjadi padamu....”

Kian berlari sambil mengacungkan pedangnya ke arah elize, ia berniat untuk menikamnya. Namun sayang, Elize juga memiliki pedang dan ia berhasil menepis seranga kian.
“Usaha yang bagus bocah, tapi kau terlalu cepat 100 tahun untuk melakukannya” Elize tertawa bagaikan iblis.

Kian terus menyerang Elize tanpa kenal lelah. Peluh telah membasahi sekujur tubuhnya. Bukan hanya karena lelah bertarung, namun suhu di ruangan ini sangat panas akibat semburannya.

Nicky berusaha membantu Kian menyerang Elize dengan pedang pemberian ayahnya. Sayang, Nicky segera terjatuh dengan serangan pdang dari Elize. Kian masih terus menyerang Elize, walaupun tenaganya sudah hampir habis.

Entah dari mana asal kekuatan Kian. Elize terus mundur perlahan-lahan dengan serangan bertubi-tubi dari kian hingga akhirnya ia nyaris tersenderi di dinding. Namun sebagaimana yang kita tahu, Elize adalah sosok yang kuat, ia tidak lemah.

Ia berhasil menyayat lengan kian dan menendangnya hingga kian tersungkur ke lantai. Elize mengangkat pedangnya dan menukikkannya ke tubuh kian. Namun pedang di tangan Elize terlempar ke lantai.

Nicky berhasil memanah tangan Elize. Sekali lagi Nicky memanah sayap sebelah kanan Elize, dan sekarang sayap Elize terpaku di dinding. Kian segera bangkit berdiri dan menukikkan pedangnya di dada Elize, hingga akhirnya pedang itu tertancap di dadanya.

Cahaya hitam keluar dari tubuh Elize dan melesat menuju kristal di samping Cattleya.
“Prang...” suara benda pecah.

Nicky yang berada dekat dengan Cattleya berhasil memecahkan kristal itu sebelum cahaya hitam itu tiba.

Cahaya itu melesat keluar dari kastil itu, cahaya itu keluar melalui tembok, dan temboh memiliki lubang besar sekarang. Cahaya aneh itu tidak menembus tembok dengan cara menghancurkannya.

Cahaya itu semakin menjauh. Mereka cukup lega akhirnya dapat mengalahkan Elize. Mereka masih menatap keluar. Tak lama setelah cahaya itu menghilang, Finnick terbang meninggi di udara.

Sepertinya cahaya itu memanggil Finnick. Finnick menuju ke arah selatan. Mereka ingat! Arah selatan adalah arah menuju kerajaan Feehilian! Tidak salah lagi, Finnik menuju ke sana.
Di waktu yang sama, Kian mendengar bisikan.. ia kenal suara itu..
“My son... Kian...”

Friendship and Alliance 24

By: Malika Tazkia Byrne





Lima laki – laki kecil yang pemberani itu menyusuri hutan. Begitu asiknya mereka berjalan, sampai mereka tidak menyadari ada sepasang mata yang mengikuti perjalanan mereka. Sepasang mata itu milik sesosok makhluk yang bertengger diatas pohon. Sepasang mata yang selalu mengawasi gerak– gerik mereka.


       Kian menggerakkan tungkainya dengan pasti. Ia berjalan paling depan mendahului empat kawannya. Perasaan aneh menghantuinya. Perasaan yang belum ia rasakan selama menghadapi pertempuran besar ini. perasaan yang sangat aneh. Bukan perasaan takut, sedih, ataupun bahagia. Namun tergaris kuat pada benaknya.

       Langkah kakinya kemudian melambat. Ia berbalik badan dan menatap empat sosok didepannya dengan alis terangkat.

       “Apa kalian merasakan sesuatu?”tanyanya.

      “Ya.”Jawab Mark cepat.

       Kian menatap sepupunya dengan kedua iris azure yang melebar.

       “Aku…” Mark menatap Kian tajam. “Ngantuk.”

       Hening.

       “Bukan itu maksudku, Fatso!!” ujar Kian.“Aku sempat kaget. Kupikir kau merasakan perasaan yang sama denganku.”

       Secercah sinar putih dari ranting sebuah pohon mengambil alih fokus lima anak itu. Sinar itu aneh, terlihat kecil namun memiliki kekuatan menarik tatapan mereka. Bagaikan batu magnesian yang menarik benda logam. Kemudian sinar itu meredup, namun tetap berpendar indah. Bersamaan dengan redupnya sinar itu, suara isak tangis yang terdengar tipis menjelajah masuk kedalam tiap telinga mereka. Mereka menangkap sesosok tubuh kecil tengah berdiri di salah satu ranting pohon. Sosok itu terlihat familiar.

       “Aku tahu kalian pasti sudah melupakanku.” Bulir-bulir airmata tak hentinya menghujani wajah yang sangat kecil itu. “Tapi aku tidak bisa berhenti menangis jika mengingat apa yang terjadi pada kerajaan Eoghan…”

       Lima anak itu berusaha mengenali sosok itu.

       “Menyedihkan…” ucap sosok itu lagi.

       Ia tampak berpendar, indah, dan kecil. Seperti sesosok peri.

       Peri?

       “Kau…” Nicky memicingkan matanya, memastikan. “Prinzigle?”

       “Hah?! P…” Mark melebarkan iris kembarnya. “Peri di sampul buku itu? Kenapa kau bisa keluar dari sana? Bukankah kau penjaga buku itu?”

       “Ya, aku tidak bisa keluar dari sana.” Ucap Prinzigle. “Jika buku Mhantroufhucio tidak habis terbakar.”

       Kata-kata itu membuat lima anak itu terdiam dengan wajah pucat.

       “Terbakar?” gumam Brian.

       “Pangeran Kian, kerajaanmu telah dihancurkan seorang wanita jahat. Kemudian Mhantroufhucio habis terbakar. Aku baru sekali mengalami hal semengerikan itu.” Prinzigle mengepakkan sayapnya dan terbang turun dari ranting pohon. Ia berhenti didepan wajah Kian. “Tapi, Gryft Amaziqueto bukan penulis ataupun penyihir biasa. Dan aku juga bukan peri penjaga biasa. Jika buku itu lenyap, aku akan bebas. Bukan hanya itu. Walau buku itu lenyap, aku hafal semua isi buku itu.”

       “Kau bilang kerajaan Eoghan hancur?!”Kian tidak bisa menahan rasa yang menohok dadanya. Iris kebiruan itu menampakkan ketakutan dan kebencian yang luar biasa. “Bagaimana dengan adikku? Mariellendly… Nanny Mary? Dan yang lainnya…”

       “Adikmu baik-baik saja. Ia hanya ketakutan. Banyak yang terluka. Beberapa tewas.” Jawab Prinzigle jujur. “Aku bisa ada disini karena aku hafal semua isi Mhantroufhucio dan menerapkan segala sihir yang kubisa. Aku akan membantu kalian.”

       Prinzigle menatap Kian lekat-lekat.

       “Memoretinentia.”Ucapnya sambil mengangkat jemarinya mendekati kepala Kian. Kian melihat ada cahaya kebiruan yang memancar dari jemari mungil itu Prinzigle kemudian melebarkan matanya, terlihat terkejut.

       “Aku membaca pikiranmu.” Prinzigle bergerak menjauh dari Kian. “Aku sudah tahu semua yang terjadi. Menyedihkan…”

       Kian mengepalkan tinjunya. Sungguh ia tidak pernah merasa semuak itu. Kerajaan Eoghan tempatnya bertahta, tempat kelahirannya, tempat ia menghabiskan detik demi detik waktunya. Dengan mudah tangan jahat mengotori keindahan tempat itu. Sorot matanya menajam. Ia tidak rela ada yang menyakiti adiknya, teman-temannya, rakyat-rakyatnya…

       “Kita hancurkan mereka…” Desis Kian.

      “Hmmm…ternyata benar apa yang dikatakan tuan Gryft.” Prinzigle tersenyum. “Ia berkata suatu saat nanti, akan ada lima anak pemberani yang membuatku merinding. Tiga pangeran, dua orang biasa. Aku yakin itu adalah kalian.”

      Lagi-lagi Prinzigle melirik Kian dari sudut matanya.

       “Dan ada salah satu pangeran dari mereka yang memimpin pasukan.”

       Kian balas menatap peri kecil itu. Pangeran yang memimpin pasukan? Apakah kata-kata itu ditujukan padanya?

       “Protectoscutum.”Ucap Prinzigle pelan.

       Tiba-tiba saja cahaya warna-warni berdatangan dari segala penjuru. Iris kembar mereka melebar menyaksikan partikel-partikel warna yang menari-nari, berputar, saling menyapa satu sama lain, kemudian bersatu dalam pusaran yang terpecah menjadi pecahan cahaya yang mengelilingi lima sosok itu.

       “A, apa ini Prinzigle?” tanya Shane takjub. “Cahaya yang sungguh indah.”

       “Itu adalah kepingan perasaan dari setiap orang yang mencintai kalian. Hidup ataupun mati. Aku memanggil perasaan cinta itu untuk melindungi kalian. Mantra tadi adalah tameng. Dengan ini kalian tidak perlu takut.”

       Prinzigle terbang agak lebih tinggi, jemarinya mengarah kepada lima sosok didepannya. Ia tersenyum lembut, penuh dengan kepercayaan.

      “Ini yang terakhir.” Ucapnya. “Sclopetauirtute.

      Bersamaan dengan senyum Prinzigle yang melebar, lima cahaya turun kehadapan lima sosok itu. Nicky menatap sebuah bola perak yang muncul secara ajaib kehadapannya. Disentuhnya bola itu, kemudian bola itu berubah bentuk menjadi sebuah panah kokoh keperakan yang sangat indah. Di salah satu sisi panah itu terukir nama ‘Nicholas Bernardough Byrne’. Kedua iris Azurenya menatap takjub, senyumnya merekah.

       Sepertinya hal yang sama terjadi pada empat kawannya.

       Mark menggenggam erat sebuah tombak perak bertahtakan permata kebiruan pada sisi atasnya, Brian menatap lurus kearah Flail yang dilapisi perak dengan duri yang mencuat tajam berwarna kemerahan yang memancarkan cahaya terang, Shane mengambil kapak tajam bergagang panjang yang penuh dengan ukiran indah yang ujungnya mengkilap, menunjukkan cahaya berpendar pada setiap partikelnya.

       Kian perlahan menggerakkan jemarinya, meraih sebuah pedang perak besar yang sangat indah. Benda itu seakan seperti déjà vu yang pernah dilihatnya. Ia sentuh pegangannya, dan mendadak ia merasakan perasaan familiar, menjalar hingga ke nadi dan jantungnya, mengalir pada tiap tetes darah yang mengalir didalam tubuhnya. Ia bentuk sebuah senyum penuh keberanian seraya menatap salah satu sisi pedang itu.

       ‘Kianleaghly Eoghan

       Nama itu terukir indah disana. Seakan menghantarkan kepercayaan lewat cahaya yang terpantul pada ukiran nama itu. Ia masih tersenyum, kedua iris azure miliknya menatap yakin, ia gerakkan kepalanya, menatap orang-orang disekelilingnya. Kemudian ia arahkan sorot mata indah kebiruan itu pada sinar kecil berpendar diatasnya.

       Prinzigle tersenyum.

       “Pergilah…senjata itu muncul dari dalam hati kalian, dari aliran darah kalian, dari setiap detak jantung kalian, hati kalian. Kalian yang menciptakannya dari niat suci didalam tiap batin kalian. Kalian memilikinya.” Katanya lembut. “Pergilah, selamatkan semuanya.”

       Kian mengangguk, kemudian menatap empat kawannya.

       “Ayo, guys.” Senyumnya terukir jelas pada wajah rupawannya.


***

       Cattleya bersandar pada sebuah pohon besar yang sebagian dahannya telah hangus. Nafasnya tersengal, ia gerakkan sayapnya menyentuh luka-luka yang muncul akibat pertempuran ini. Ia meyakinkan dirinya bahwa ia adalah Fengarimulofia yang kuat. Ia bisa menghancurkan kejahatan yang menimpa keluarganya.

       Namun rasa letih tak bisa dibendungnya lagi. Ia melirik sosok-sosok yang bisa disebutnya adik. Para pangeran kerajaan Eoghan yang gagah berani. Tatapan mereka belum meredup, mereka berdiri kokoh, menggenggam pedang dan perisai mereka dengan erat. Mereka tidak menyerah. Tidak akan pernah menyerah. Bukan hanya mereka. Tapi seluruh pasukan mereka yang hadir disana.

       Para Sungeopelia masih menampakkan sayap-sayap mereka yang dimahkotai api. Sorot kejahatan tercermin begitu jelas pada iris mereka yang tajam. Seekor Sungeopelia menukik kearah Cattleya dengan yakin. Ia mendarat dengan suara berisik yang ditimbulkan cakarnya. Ia menatap Cattleya dengan paruh yang mengatup.

       “Gadis malang.” Ucapnya. “Kau ditinggalkan ibumu, kemudian akan mati mengenaskan disini. padahal kau sangat cantik dan berpotensi. Itu yang dikatakan suamiku, Finnick Odair.”

       “Diam kau.” Cattleya menatapnya dingin. “Kau yang akan mati.”

       “Hahahahahahaha!” Elize tertawa dengan paruhnya yang seakan menusuk langit, matanya penuh kobaran api memuakkan, ia tampak seperti wanita gila, walaupun didalam sosok Sungeopelianya. Ia mengangkat sayapnya, menuding Cattleya.

       “Kau bisa apa, sayang?” seringainya. “Coba katakan padaku apa yang bisa dilakukan gadis malang yang tinggal sendiri didalam Ztomfist Forest karena diasingkan ibunya sendiri?! Katakan padaku apa yang bisa kau lakukan dengan hati yang masih dipenuhi luka itu? Hatimu terluka kan sayang? Terluka dan tidak bisa mengering lagi…”

       “DIAM!!” Cattleya menerjang tubuh Elize dengan sorot mata yang menajam. Ia gerakkan cakarnya yang kuat dan ia benamkan pada wajah Elize. Jeritan penuh rasa sakit terlontar dari paruh Elize. Bahkan ia tidak bisa mengendalikan api yang bisa membakar dalam sekejap. “Kau tahu apa hah?! Kau tidak tahu apa-apa. Jadi tutup mulutmu!!”

       Elize mengepakkan sayapnya membabi buta. Cattleya tidak melepaskannya. Senyum simpul terlukis pada wajah cantiknya.

       “Aku bisa menghancurkanmu. Jangan remehkan aku.” Katanya lagi. “Kau sudah melukai hati ibu dan adik-adikku. Dan walaupun aku tidak bisa menghancurkan suamimu…aku tahu ia akan datang.”

       Cattleya mencabik wajah Elize.

       “Adikku.” Ucapnya. “Aku tahu Kian akan datang.”


***


       Kelopak mata Ratu Patricia perlahan terbuka.

       Pemandangan istana kerajaan Feehilian terlihat tidak familiar dimatanya. Namun ia menatap lembut pada tiap-tiap tembok kamar tempatnya tertidur. Barusan ia bermimpi. Mimpi yang tidak menyisakan rasa sesak. Mimpi yang mengukir sebuah senyuman diwajahnya. Mimpi yang tidak membuatnya terbangun dengan dipenuhi keringat.

       Mimpi indah.

       Ia memindahkan posisinya yang barusan terbaring dan duduk dengan perlahan. Senyum tak lepas darinya. Ia memejamkan matanya, merasakan dalam-dalam setiap makna dalam bunga tidurnya.

       “My Son…” bisiknya. “Kian…”

       Bisikan itu seakan diantarkan angin kepada Kian. Saat itu lima anak pemberani telah sampai pada ujung lubang kematian. Mereka menatap Ztomfist Forest yang porak-poranda, terlihat mengerikan pada setiap sudutnya. Mark tidak membiarkan tubuhnya gemetar lagi. ia kerahkan seluruh keberanian dari dalam hatinya. Lalu perlahan diraihnya jemari sepupunya, dan digenggamnya.

       “Kita bisa melakukannya.” Bisiknya, hampir tertelan suara yang ditimbulkan pertempuran. “Aku percaya padamu, aku percaya pada semuanya.”

       Kian tersenyum menatap sepupunya. Kemudian iris kembarnya menatap Nicky, Brian, dan yang terakhir, tatapannya terpaku pada Shane.

       Shane tersenyum menyambut sorot matanya.

       Kian berlari menerobos semak-semak, mengelilingi beberapa pohon yang tumbang. Diikuti keempat kawannya yang berlari kencang menuju beberapa para Sungeopelia yang menyadari kehadiran mereka.

       “MAJU!!!”

       Seruan lantang itu, seakan membelah langit, menggema dan menyusup halus pada tiap-tiap hati suci yang berpijak disana.

       Mereka berani.

       Itulah yang mereka pegang.


***
TBC