Minggu, 27 September 2020

Alien Kecil dan Tuan Hantu

 

Jalan kota belum juga sepi walau beberapa kedai sudah tutup. Beberapa kendaraan masih lalu-lalang. Jalan raya bisa terlihat dari sebuah pohon besar, kira-kira lima belas meter dari trotoar. Pohon itu tinggi menjulang dan memiliki beberapa dahan yang kokoh. Alien kecil dan tuan hantu duduk di dahan tertinggi.

Belum lama ini mereka bertemu, tapi sepertinya alien kecil sangat menyukai tuan hantu. Setiap malam alien akan duduk di dahan yang sama dengan tuan hantu. Hanya duduk atau berbicang-bincang hingga pagi.

“Tuan hantu sedang lihat apa?” tanya alien kecil.

“Kau lihat pria yang duduk di bangku taman?” tuan hantu menunjuk pria itu hanya dengan tatapannya.

“Oh, yang itu. Yang bersama manusia berbaju merah bukan?”

Tuan hantu bergumam mengiyakan. Terlalu lama berada di pohon ini membuat tuan hantu mengenali manusia yang sering lewat. Tuan hantu memang tidak tau siapa nama mereka, pekerjaan, atau di mana mereka tinggal. Mereka yang sering melintas sering kali melekat di ingatan tuan hantu.

“Kemarin dia kemari dengan gadis lain.”

Alien kecil mencerna ucapan tuan hantu, sebelum merespon “Pria itu punya banyak teman?”

“Hmm, teman wanita.”

Alien kecil mengangguk-ngangguk, mencerna perkataan tuan hantu. Inilah mengapa dia sangat menyukai tuan hantu. Tuan hantu selalu punya hal-hal menarik yang tidak ia ketahui di planet asalnya.

“Itu wajar sekali bukan? Aku pernah membaca, manusia menyebut diri mereka makhluk sosial karena mereka tidak bisa hidup tanpa orang lain.” Alien memang punya rasa ingin tahu yang kuat sehingga ia belajar dengan giat mengenai bumi dan manusia.

“Kalau pria itu kurasa dia tidak bisa hidup tanpa berselingkuh. Kau benar, dia makhluk sosial. Yang brengsek.”

Ini informasi baru bagi alien kecil. Berselingkuh, itu sama dengan berkhianat bukan?

“Bagaimana tuan hantu bisa menyimpulkan pria itu penghianat?” Alien sama sekali tidak memojokkan tuan hantu, ia benar-benar ingin tahu penjelasan dari asumsi itu.

“Di bumi kau tidak menciumi bibir dan leher temanmu.”

Rupanya begitu aturan di bumi. Di planet asalnya, atau di planet lain yang pernah ia kunjungi, tidak ada aturan semacam itu. Padahal makhluk-makhluk itu juga bisa dikategorikan sebagai makhluk sosial. Mereka membuat markas dan pesawat angkasa bersama-sama.

“Kepada siapa pria itu berkhianat? Apa dia sudah memiliki kontrak kerja sama dengan manusia lain tapi malah membelot dan membantu rivalnya?”

Tuan hantu sebenarnya agak malas untuk menjelaskan, jadi dia hanya menjawab “Kira-kira begitu, tapi tidak sepenuhnya begitu juga.”

Alien kecil bingung dengan maksud tuan hantu.

“Di planetku sepertinya tidak pernah ada pengkhiatan, karena sistem kerja di sana sangat transparan dan tertata. Jika ada yang salah pasti akan ketahuan.”

“Itu bagus. Harusnya di bumi juga dibuat seperti itu. Manusia bumi perlu studi banding ke planetmu.”

Tuan hantu masih mengamati pria tadi bersama teman wanitanya. Mereka tertawa dan si pria mulai semakin mendekatkan pada si wanita. Tuan hantu melirik alien kecil yang masih fokus mengamati pasangan itu.

“Apa kau sudah cukup umur melihat adegan seperti itu alien kecil?”

Alien kecil menoleh pada tuan hantu dengan wajah kebingungan. “Aku memang masih cukup muda tuan hantu, aku tidak boleh melihat? Kenapa?”

Tuan hantu tidak menjawab dan malah bertanya lagi “Kau sudah berhari-hari di sini, apa ibumu tidak khawatir?”

 Tuan hantu pasti mengira planet alien kecil berasal tak jauh berbeda dengan bumi, kecuali pada bagian lebih tertata dan transparan. Mungkin karena tertata, maka kehidupan di sana menjadi lebih maju. Buktinya, pesawat angkasa si alien kecil bisa mengecil hingga sekecil buah apel.

“Tempatku berasa sangat berbeda dengan bumi, tuan hantu. Di sana tidak ada orang yang kami panggil ayah dan ibu.”

Tuan hantu tidak mengerti, “Jadi kau memanggil orang tuamu apa?”

Alien kembali menjelaskan dengan antusias. Jarang sekali tuan merasa ingin tahu karena si alien. “Kami tidak punya orang tua. Sama seperti manusia, kami juga dibuat oleh orang yang lebih tua dari kami. Hanya saja, pembuatan manusia itu tidak bisa dirancang sedangkan kami memang dibuat sesuai rancangan, di laboratorium.”

“Bukan di kamar tidur?!” tanya tuan hantu keheranan.

“Di kamar tidur tidak ada alat-alat operasi, tuan hantu. Jadi tentu saja bukan di kamar tidur. Kami dibuat sesuai dengan kebutuhan. Jika sedang kekurangan pasukan ekspedisi, maka alien ilmuan akan membuat alien ekspedisi supaya jumlahnya terpenuhi. Sekitar seribu tahun lalu, alien masih bereproduksi secara konvensional. Tapi untuk menghindari kecacatan lahir dan meningkatkan kemakmuran, alien akhirnya dibuat dengan rancangan tertentu.”

 Tuan hantu mengerutkan kening. Tidak habis pikir ternyata film-film yang dulu ia tonton sewaktu masih hidup ternyata terjadi di bagian semesta lain.

“Aku tidak paham dengan planetmu.”

“Aku juga masih belum terlalu paham dengan bumi. Di sini lumayan tertinggal dibanding planet lain.”

Tuan hantu dan alien hening sejenak. Pria dan wanita tadi berjalan meninggalkan bangku taman. Tuan hantu kembali berujar, “Sepertinya kehidupan di manapun sama saja. Sulit dimengeti.”

Sabtu, 26 September 2020

Hari Yang Baik

Langit biru beberapa jam lalu berubah kelabu. Hujan belum kunjung turun. Kantung mataku yang menghitam tak kunjung menghilang. Lagi-lagi malam-malam berat dan siang yang terasa melelahkan datang. Aku muak.

Aku lelah dengan cara yang tak mampu kujabarkan. Lelah dengan kelelahan yang tidak berujung dan tak jelas pula pangkalnya. Mendung di kepalaku tak kunjung pergi. Kadang hanya mendung, kadang hujan atau badai. Mendung yang setia, anehnya selalu berhasil membuatku sepi.

“Hari ini hari yang buruk ya?”

Tanpa kusadari seseorang sudah berdiri di sampingku. Ia sambil menyodorkan cangkir kertas berisi susu ketimbang kafein.

Aku meraihnya dan tersenyum. Sebuah ungkapan terima kasih tak lisan dan tak tertulis. Dia ikut tersenyum hingga matanya berubah menjadi garis lengkung. Sekarang pelangi sudah tidak lagi tujuh warna. Mendung di kepalaku tenang sejenak.

“Sekarang sudah tidak lagi. Ini hari yang baik.”

Selasa, 22 September 2020

Places We Won't Walk

Kepada siapa aku harus marah? Aku marah pada diriku dan diam-diam menyalahkan orang lain. Aku marah hingga meledak, hancur menjadi kepingan sekan tidak terselamatkan. Mereka bilang, aku bertanggung jawab atas aku. Jadi jika aku hancur, itu salahku bukan?

Lagi, di ujung jalan ini aku tak berbelok ke arah seharusnya. Atas dasar apa aku masih bisa menyebut ‘seharusnya’? Bukankah sewaktu-waktu semua bisa jadi sudah salah sejak awal?

Hari ini aku tidak bisa kembali. Tidak sanggup. Mata sebiru lautan dangkal itu adalah kelemahanku. Aku tak bisa marah dengan benar. Terlalu jatuh dalam hal bodoh yang selama ini aku yakini cinta. Apa aku yang terlalu memaksakan diri?

Jika ada noda kemerahan di kerah kemejanya, aku hanya akan melarikan diri. Tidak lama, hanya beberapa hari dengan harapan lukaku sembuh. Nyatanya, sakitku tidak membaik. Aku hanya menjadi lebih pandai membodohi diri.

Akan ada puluhan pesan dan panggilan telpon yang kuabaikan. Tentu saja aku akan terhibur dan berbangga diri, karena aku dicari dan diharapkan kembali. Bukankah itu artinya aku berharga?

Aku akan kembali setelah dadaku sesak menahan rindu. Di depan pintu aku akan tetap memasang wajah lelahku. Satu pelukan dan aku akan runtuh. Selalu begitu. Ketika berbaring di sisinya aku akan bertanya, “jadi kau masih mencintaiku kan?”

Tentu saja dia akan mengangguk dan memelukku lebih erat. Ada rasa cemas yang sekaut tenaga kuabaikan. Bukankah ini sudah cukup?

Selalu begitu. Aku akan selalu begitu, setiap dia melakukan hal yang sama.  

Kali ini terasa berbeda, lebih melelahkan dan memuakkan. Aku sudah sering merasa sakit dan tak pernah terbiasa. Aku butuh waktu, entah untuk apa. Bukankah aku terlalu takut untuk memikirkan kenyataan terburuk? Jadi, apakah aku sanggup memikirkan sebuah jalan keluar?

Kamar ini, sejak kapan sudah menjadi familiar? Apa aku sudah terlalu sering bersembunyi? Aku memejamkan mataku. Ada kejengkelan ketika wajahnya ada di pikiranku, lengkap dengan seseorang yang tidak aku harapkan. Itu menyakitkan dan aku akan segera mengalihkan pikiranku.

Kami beberapa kali pergi ke supermarket bersama. Aku berandai-andai, ketika kami menjadi tua, dia akan tetap memaksa untuk membawa seluruh barang belajaan walau dia akan mengeluh sakit pinggang setelahnya. Aku berandai-andai, di antara rak-rak tinggi itu aku akan selalu mengomelinya jika mengambil makanan manis terlalu banyak. Aku akan mengomelinya “kakek tua yang tak tau usia!”

Kami pernah kencan beberapa kali ke taman bermain. Di sana banyak anak kecil yang menggemaskan dan menjengkelkan. Beberapa bermain dengan tenang kemudian tertawa. Beberapa merengek, menangis dan memekik seolah tidak diberikan permen kapas sama dengan tidak diberi makan berhari-hari. Aku kembali berandai-andai, bagaimana dengan anak kami besok? Aku yakin jika dia menyebalkan aku pasti tetap tak akan bisa marah. Dia pasti akan mirip ayahnya, banyak ataupun sedikit.

Kami pernah melewati sebuah gereja tua di pinggir kota. Aku masih menatap gereja itu walau kami sudah lewatinya. Aku berandai-andai, akan seramai apa gereja itu ketika kami menikah. Kami akan menentukan hari di penghujung musim semi, seolah menyambut musim panas yang ceria. Bukankah menikah di bawah langit biru yang cerah itu sangat indah?

Air mataku jatuh. Sejak kapan membayangkan itu semua menjadi menyakitkan? Sejak kapan rasanya menjadi jauh dan utopis? Apa benar selama ini aku hanya terlalu memaksakan diri? Aku semakin cemas namun juga semakin berani. Aku kembali mengingat semuanya, dari awal hingga akhir. Apa selama ini aku terlalu memaksakan diri untuk percaya pada cinta?

Aku meraih ponselku dan melihat puluhan pesan serta panggilan telepon. Setelah beberapa minggu, akhirnya aku dapat memutuskan pesan apa yang harus kukirimkan padanya.

“Aku memerlukan waktu lebih banyak, kau tentu boleh tidak menungguku. Aku harus tau, apakah aku sedang mencintaimu atau hanya sedang menjadi orang bodoh yang memaksakan diri. Jangan tersiksa karena aku, kau pantas bahagia. Begitu pula aku.”

 

Terima kasih kepada lagu Places we won’t Walk-Bruno Major!


Minggu, 20 September 2020

Utopia

 

Hujan baru berhenti sekitar satu jam yang lalu. Langit masih kelabu, awan kelabu masih enggan berlalu. Ada kupu-kupu musim semi di perutku, tapi kenapa ya langit begitu sendu?

“Jangan senyum-senyum sendiri, itu mengerikan.” Dia menatapku seperti melihat orang gila yang sedang berulah. Kedua alisnya bergerak mendekat, sangat menyebalkan.

“Aku mimpi indah tadi pagi” Senyumku semakin mengembang dan mengeratkan genggaman pada tali ranselku.

Soji berdecih meremehkan, “Hujan uang? Kau kan loba soal uang. Mimpimu pasti tidak jauh-jauh dari uang.”

Aku menatapnya sinis, berpura-pura marah. Sesungguhnya aku tidak pernah bisa marah sungguhan pada Soji. Dia selalu menjengkelkan sampai aku ngeri jika dia menjadi remaja manis. Itu menggelikan. “Siapa yang tidak suka uang? Kau tidak suka ya? Mudah-mudahan kau jatuh miskin. Aku janji tidak akan meminjamkan uang sepeser pun ketika hidupmu melarat.”

“Pantas tidak ada yang mau denganmu”

“Ada kok!” Sahutku tidak terima. Aku dan Soji masih berjalan beriringan. Karena langkahnya yang besar ia berjalan dengan santai, sedangkan kaki pendekku harus berjalan lebih cepat.  

“Ah, kau mau mengarang cerita lagi.” Aku segera mencubit lengannya sekuat tenaga. Tidak terima dikatakan pembual, walau aku memang sering sedikit melebih-lebihkan cerita.  

Mengabaikan Soji yang merintih kesakitan sambil mengusap-usap lengannya, aku bercerita walau tanpa diminta. “Aku bertemu dengan seorang pria yang terasa sangat familiar. Dia pasti pria yang baik, aku sama sekali tidak merasa terancam di sampingnya.”

“Bagaimana pun kau terlalu cepat percaya pada pria asing.” Ujar Soji dengan enteng.

“Aku kan sudah bilang, dia terasa familiar. Dia benar-benar pria baik! Dia mengajakku berkeliling, menggandeng tanganku supaya aku tidak tersesat dan menunjukkanku berbagai hal yang tak pernah kulihat”

“Hal apa yang dia tunjukkan padamu?” Soji memasang wajah curiga. Kukira Soji sudah berfikir yang tidak-tidak.

“Simpan pikiran anehmu.” Aku menatapnya jengkel tapi kemudian kembali tersenyum. “Aku melihat pemandangan yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Kau tau kan aku tidak terlalu suka bepergian, tetapi dengannya entah kenapa aku merasa senang. Ada pohon yang sangat besar dan kau tau apa? Di dahannya yang paling besar ada rumah pohon! Kau tau kan betapa aku ingin memiliki rumah pohon?!”

“Ya, lalu kau langsung memanjatnya seperti monyet?” tanyanya asal-asalan dan kembali kulayangkan satu cubitan di lengannya. “Kau kan memang seperti monyet! senang sekali memanjat pohon!” serunya menggebu-gebu, lagi-lagi tak terima dengan cubitanku.

Aku tidak mempedulikannya dan melanjutkan ceritaku. “Dari atas sana aku melihat pemandangan yang sangat indah! Semak-semak dengan buah berbagai warna, bunga-bunga yang tak pernah kulihat sebelumnya, sungai yang besar dan jernih, pohon-pohon rindang yang batangnya besar dan kokoh! Ini jauh lebih indah dari bayanganmu, kau harus melihatnya sendiri agar percaya!”

“Terdengar seperti habitat yang pas untuk monyet betina”

“Mau kupukul kepalamu ya!” Aku memposisikan tangan siap memukul belakang kepalanya. Hanya menakut-nakuti, aku takut Soji semakin bodoh jika kepalanya dipukul.

“Aku merasa sangat nyaman seperti tidak akan ada hal buruk yang akan terjadi. Di sana sangat indah sampai terasa tidak nyata, kau tau kan hidupku sedikit menyebalkan karena ada kau? Apalagi ketika pemandangan itu terasa seperti pemandangan di negeri dongeng. Indah tapi jelas tidak nyata. Jadi aku bertanya pada si pria, di mana aku sebenarnya berada.”

Aku tersenyum lemah sambil memandang langkah kakiku sendiri. “Utopia, kata pria itu. Seketika aku sadar bahwa semuanya memang tidak nyata. Tidak ada pria sebaik itu di kehidupan nyata kecuali dia ingin mencuri dompetku. Kau tau kan aku tidak percaya dengan unicorn dan teman-temannya. Aku langsung terbangun setelah itu.”

Soji tertawa kemudian mengejekku, “Lihat, hanya di mimpi ada pria yang mau denganmu”

Aku tidak menanggapinya, biar saja dia tertawa seperti orang gila. “Aku terbangun dan bersyukur kau masih menggedor jendela kamarku walau itu menjengkelkan”

“Benar, kau harusnya bersyukur setiap pagi kubangunkan supaya sempat menyikat gigi sebelum ke sekolah!”

Aku tertawa sambil menepuk-nepuk lengannya. Itu memang benar, aku kesulitan tidur malam apalagi bangun pagi. Untungnya Soji selalu menggedor jendelaku seperti penagih utang.

“Aku bersyukur aku tidak terjebak dalam mimpi dan bahagia dengan kenyataan yang ada walau kadang tidak sesuai rencana.” Aku menatap Soji sambil tersenyum lemah, ini sungguh bukan gayaku tetapi ada hal yang harus kuutarakan dengan jelas. “Aku bersyukur di kehidupanku ada kau yang menyebalkan. Sekalipun Utopia sungguh ada, jika itu artinya harus meninggalkanmu maka aku tidak akan ke sana. Jadi, jika kau memang ingin masuk ke dalam hatiku, tolong dobrak lebih keras.”

Soji tak berani menatapku. Telinganya memerah dan aku yakin itu bukanlah karena cuaca yang dingin. Ya mungkin itu juga, tetapi kukira itu pasti karena ucapanku yang membuatnya malu dan salah tingkah.

“Kau ini bicara apa sih” katanya sambil membuang muka beberapa detik. Soji menoleh ke arahku, tidak ada kontak mata karena dia sibuk mencari telapak tanganku dan menggenggamnya erat.

“Kalau besok kau bangun pagi ayo kita kencan” sambungnya.




Tentu saja inspirasinya dari Euphoria-BTS, solonya anak bungsu.


Minggu, 13 September 2020

Kamu baik-baik saja?

 

“Apa kamu baik-baik saja?”

Sedikit dari mereka yang bertanya demikian kepadaku. Aku sedikit terharu ketika sebagian kecil itu bertanya demikian. Mereka mempedulikanku. Aku sungguh berterima kasih. Sayangnya, sering kali aku tak mampu mengungkapkan sakit-penyakit ini. Terlalu rumit, aku sangsi mereka akan paham atau tak menganggapku aneh. Jadi, aku memilih mengangguk dan tersenyum meyakinkan mereka. Tak baik membebani orang lain, pikirku.

Sejak kapan ya semuanya berawal? Aku tak benar-benar tahu, yang pasti sudah lama sekali. 

Sedari kecil kita diajarkan untuk bersyukur bukan? Walau dengan cara, “cari tahu apa yang orang lain tak miliki dan bandingkan dengan dirimu”. Kita harus bersyukur karena bisa makan hari ini karena sebagian orang di bumi kesulitan untuk mengisi perut. Kita harus bersyukur karena memiliki tempat tinggal yang layak, sebagian manusia bergulat dengan angin malam setiap harinya. Lalu bagaimana cara mereka yang tidak makan dan tidak berumah itu untuk bersyukur? Bagaimana mereka tau kekurangan dari seseorang yang hidupnya berkecukupan? Aku rasa seorang saudagar kaya tidak akan mengumbar tentang istri mereka yang gila harta, atau anak-anak mereka yang pembangkang. Dalam hal ini, tentu mereka yang hidup dalam kemelaratan sangat sulit untuk bersyukur.

Sedari kecil kita disuguhi dengan kejeniusan seorang Edison, bagaimana kayanya Bill Gates, dan itulah yang mereka sebut dengan sukses. Seorang kuli bangunan di dekat rumahku secara tersirat disebut sebagai orang-orang gagal. Tidak rajin di sekolah, tidak mau belajar, pemalas, itu yang mereka sebut sebagai penyebab.

Dengan rumus-rumus kehidupan itu, harunya tidak sulit bagiku untuk bersyukur. Kedua orang tuaku memiliki pekerjaan yang layak dan penghasilan yang stabil. Kami punya rumah yang nyaman dengan halam kecil sebagai temptku bermain. Aku bukan anak yang bodoh di kelas walau bukan yang terpandai. Bukankah harusnya akur bersyukur? Bukankah harusnya aku bahagia?

Kupikir juga harusnya begitu, tetapi nyatanya aku sering menangis atas hal-hal yang tidak membahagiakan. Saat kecil, anak-anak di sekolah tak begitu menyukaiku. Aku ketakutan dan tertekan. Aku ingin bermain, tertawa dan mengerjakan tugas kelompok bersama mereka. Aku berusaha untuk diterima di kelompok tersebut walau harus sedikit berubah. Atau mungkin banyak. Aku tak tau, aku hanya ingin memiliki teman. Ini ketakutanku yang pertama, tidak memiliki teman.

Awalnya aku bukan anak-anak rajin dan terlalu peduli dengan nilai ataupun peringkat. Aku tak tau sejak kapan, aku berubah. Aku mulai ketakutan ketika ujian. Aku kira aku hanya taku mendapatkan nilai jelek. Nyatanya aku bahkan takut pada ketakutanku sendiri. Aku takut jika aku akan menyesal jika tidak belajar dengan keras. Aku takut aku akan ketakutan ketika melihat nilaiku yang jelek. Aku takut aku akan menyesal berlarut-larut. Aku takut pada masa depan dan menyesali masa lalu. Aku takut akan membuat penyesalan lainnya. Aku takut jika suatu saat aku tak sanggup pada ketakutanku. Aku mulai curiga dengan ketakutanku yang berlebihan. Kukira aku cukup kuat, bukankah aku sudah andal menghadapi ketakutan selama bertahun-tahun? Maka aku yakin, ketakutan di tahun-tahun setelahnya pun pasti bisa kuhadapi. Aku hanya perlu berusaha seperti sebelum-sebelumnya bukan?

Aku mengenal seorang pria manis beberapa tahun lalu. Dia tak begitu polos dan lugu. Dia berapi-api dan cerah, sungguh seorang pria muda yang menarik. Waktu itu, dia menganggap aku menarik. Aku tersanjung, dan kupikir pria ini memiliki selera yang bagus. Aku punya predikat gadis yang pandai, walau bukan yang paling cantik tapi setidaknya aku cukup manis, aku juga cukup populer. Aku tak pernah membalas ungkapan cintanya. Aku membiarkannya pergi. Aku takut kehilangan pria manis itu, jadi aku memilih untuk tidak memilikinya sama sekali. Benar, lagi-lagi aku terlalu takut.

Aku kira keputusanku sudah benar dan aku tak akan menyesal. Nyatanya aku merasakan sakit yang teramat. Aku pikir itu wajar, karena aku kehilangan salah satu penggemarku yang tulus.

Aku sering menangis, sama seperti sebelum-sebelumnya. Aku mulai menangisi banyak hal dan ketakutanku tak kunjung membaik. Mereka datang dan pergi. Aku tak pernah siap dengan kedatangan mereka. Kadang kukira aku sudah kurang waras.

Aku kira aku cukup kuat, tapi nyatanya aku lemah. Ketakutan dan kesedihanku bercampur menjadi sakit. Aku mulai melarikan diri dari kenyataan. Awalnya satu pil cukup bagiku untuk terlelap, kemudian berangsur menjadi dua. Aku membiarkan diriku menjadi si pengecut yang menyedihkan. Hari ini botol putih di nakasku telah kosong. Aku perlu membeli obat tidur lagi.

Aku meminta sebotol obat tidur yang biasa kukonsumsi kepada seorang apoteker. Selagi si apoteker mencari obat yang kumaksud seorang pria bermantel coklat berdiri di sampingku. Dia menggunakan masker hitam, tetepi aku masih dapat mengenalinya. Dia si pria manis. Sesekali kami berpapasan dan saling menyapa sekedarnya. Berada di kampus yang sama cukup sulit untuk membuat kami saling menghindar. Terasa aneh sekali ketika seseorang yang dulunya selalu menanyakan tentang harimu berubah menjadi orang yang menganggap hal itu tak pernah terjadi. Si pria manis pasti sudah tidak menyukaiku.

Ketika pandangan kami bertemu, aku tersenyum. Aku mampu menangkap keterkejutannya lewat alis yang bergerak. Aku tidak tau apa yang membuatnya terkejut. Mungkin saja dia membenciku sekarang tapi malah bertemu secara tiba-tiba. Aku tak keberatan jika dia membenciku. Itu lebih baik dibandingkan tersiksa dengan cinta sepihak bukan?

Apoteker tadi datang dengan sebotol obat tidur di tangan kanannya. Aku segera meraih botol tersebut kemudian menepuk pundak pria manis di sampingku.

“Aku akan segera pulang kok, jangan malu untuk membeli kontrasepsi” ujarku sambil mengulum senyum. Pria itu melebarkan matanya. Aku tertawa kecil dan meninggalkannya. Setidaknya itu dapat mencairkan suasana canggung di antara kami. Aku tidak ingin memperlakukannya seperti orang asing. Dia pria baik dan aku tetap ingin berteman dengannya. Terdengar agak egois memang, tetapi aku yakin pria itu paham maksudku.

Aku adalah wanita konyol dengan mulut yang berucap sewenang-wenang, setidaknya itulah yang diketahui orang-orang. Atau, itulah yang membuat orang lain menyukaiku. Apa untungnya terlihat muram di depan orang lain selain terlihat jelek? Sekalipun kuceritakan segala hal buruk yang kualami mereka belum tentu mau tau, apalagi mengerti. Semua orang sudah memiliki bebannya masing-masing, jadi wajar mereka tak mau tau masalah orang lain. Terlebih aku benci ketika mereka menatapku seolah aku adalah orang aneh, meskipun memang benar.

Aku mendengar langkah kaki yang terburu-buru mendekat padaku. Kukira itu si pria manis, aku bisa merasaka aroma parfumnya di hidungku. Jika benar dia mengejarku bukankah harusnya senarusnya dia sudah berada tepat di belakangku atau memanggilku, atau menyentuh bahuku. Kudengar adalah suara langkah kaki yang yang teratur tak jauh di belakangku. Untuk beberapa detik, aku hanya terus berjalan menuju rumah.

Aku tak tahan untuk berbalik, dan benar saja. Si pria manis berdiri tak jauh di belakangku.

“Kau mau mau mengikutiku? Serindu itu ya?” ujarku dengan senyum pongah yang konyol.

Si pria manis itu menatapku jengkel. Ternyata aku rindu memancing emosinya. Dia terlihat seperti anak kecil yang tidak terima  permen coklatnya diambil orang. Manis sekali. Aku ingin punya anak seperti dia suatu saat nanti. Jika aku bisa.

“Apa kau sakit?” tanyanya tanpa melihat wajahku. Kedua tangannya dimasukkan kedalam saku celana. Lihat, bukankah dia seperti anak sekolah yang malu-malu mengajak teman wanitanya kencan? Berapa sebenarnya usia pria ini?

“Tidak kok” jawabku sambil tersenyum lebar. Seolah memberi bukti bahwa aku baik-baik saja, dan silahkan urusi perkara masing-masing.

“Kau terlihat pucat”

“Kulitku semakin putih, aku pakai krim pemutih wajah”

“Matamu menghitam”

“Aku begadang tadi malam, memangnya mahasiswa mana yang tidak pernah begadang?”

“Matamu bengkak”

“Lalu? Kau berharap aku baru saja menangisimu?”

Si pria manis berdecak jengkel. Dia menendang sebuah krikil kecil di dekat sepatunya.

“Terserah”. Dia berbalik dan melangkah dengan kesal. Kuamati keberadaannya yang kian menjauh, kemudian lanjut berjalan.

Tak lama setelah itu aku mendengar suara langkah kaki yang dihentak-hentak mendekat. Kukira itu suara langkah orang yang terburu-buru menuju halte, tetapi tiba-tiba sosok pria tinggi berada di sampingku dan menyamakan langkah kaki denganku.

“Kukira tujuanmu ke sana” aku menunjuk ke belakang.

“Kalau kau tidak mau menerimaku, setidaknya jangan buat aku khawatir.” Ucapnya dengan penuh kejengkelan yang diredam.

“Aku tidak berharap kau khawatir.” Jawabku tak kalah sengit.

“Aku juga berharap begitu.”

“Kalau begitu jangan khawatirkan aku.” sahutku ketus.

“Mana bisa.” Jawabnya samar tetapi masih dapat kudengar.

Aku membenci diriku sendiri. Pria di sampingku ini jelas sudah bukan pria yang menggodaku dengan kata-kata manis agar pesannya segera dibalas. Dia sudah menjadi ketus dan menyebalkan, tetapi kenapa malah terasa semakin menggemaskan? Apa penyakit kejiwaanku bertambah?

Setelah hening beberapa saat, tepat di tempat penyebrangan aku kembali membuka suara.

“Aku bisa pulang sendiri.”

“Aku tau.” Jawabnya asal.

“Kalau begitu pulanglah.”

“Aku tidak tenang sebelum melihatmu sampai di rumah.”

Aku merotasikan mataku seolah tengah jengkel. Aku mengambil langkah besar dan membiarkannya berjalan di belakangku. Dia tidak boleh melihat wajahku yang memerah. Dia harus menjauh dariku, dan menemukan orang lain yang lebih baik dariku.

*

Beberapa malam ini Soji, si pria manis terus menghubungiku. Jika aku tidak membalas pesannya maka ia akan meneleponku puluhan kali hingga aku menyerah, kemudian menjawabnya asal-asalan. Dia menanyakan berbagai hal tak penting seperti, ‘kenapa tidak membalas pesanku?’, ‘kenapa kama sekali mengangkat teleponku?’ ‘apa kau sudah tidur?’, ‘kenapa kau masih bangun?’. Sejujurnya perdebatan tak berarah itu sedikit mengusir kesepianku, mengingat ayah dan ibu lebih sering berada di kantor atau di luar kota di bandingkan di rumah. Bagaimanapun Soji berhak mendapat kebahagiaan bukan? Jadi hari ini aku sengajak mematikan ponselku.

Aku menyibukkan diri dengan beberapa tugas yang sudah menumpuk. Belakangan ini, aku merasa semakin buruk. Aku semakin sulit berkonsetrasi dan itu sungguh menghambatku untuk melakukan berbagai hal. Kecemasanku benar-benar menakutiku hingga rasanya aku hampir gila. Kesedihanku membuatku benar-benar terpuruk hingga rasanya aku ingin tak sadarkan diri saja. Kesepianku rasanya semakin menyesakkan hingga aku memukul-mukul dadaku akibat nyeri yang tak tertahankan. Aku tidak tau apa yang menyebabkanku tertidur: obat tidur atau terlalu lelah menangis.

Aku memandangi langit lewat jendela kamar. Sudah berapa ribu malam yang kulewati dengan perasaan mengerikan ini? Aku tidak bisa menyebut diriku lemah karena sudah bertahun-tahun bertahan dengan kesakitan ini. Aku pun tak bisa menyebut diriku kuat, karena aku selalu menangis dan melarikan diri. Aku tak tau sampai kapan aku mampu bertahan.

Beberapa kali aku memikirkan tentang mengakhiri hidup, tetapi itu hanya memindahkan beban kepada orang lain. Ketika aku hidup, akulah yang hampir gila. Ketika aku mati, mungkin ayah dan ibu yang akan  gila karena kehilangan anak tunggal mereka. Jika bukan kerena mereka, mungkin aku tidak akan bertahan. Aku pernah menemui psikolog beberapa kali, sayangnya mulut yang sewenang-wenang ini tak pandai mengungkapkan isi hatiku yang sesungguhnya. Mulutku hanya pandai mengutarakan kata-kata konyol, sungguh menjengkelkan. Aku berencana menyiapkan diri untuk menemui psikiater dalam waktu dekat ini. Kurasa itu jalan yang tepat untuk menyelamatkan hidupku.

Perutku terasa perih dan kepalaku sedikit pening. Aku belum menyentuh makanan hari ini. Mengapa aku begitu menyiksa diriku? Aku berjalan ke dapur dan membuka kulkas. Ada beberapa roti yang hanya perlu dipanaskan. Ketika aku mengambil sepotong roti, aku terkejut dengan suara bel yang ditekan berkali-kali. Tanganku menyenggol sebotol pewarna makanan yang ternyata tidak tertutup rapat. Ketika aku berusaha menangkap botol itu, isinya menumpahi tanganku.

Bunyi bel berganti menjadi ketukan kasar dan berganti menjadi dobrakan-dobrakan keras. Sejujurnya aku ketakutan tetapi aku tetap harus melihat siapa yang ada di depan sana. Aku harusnya bisa langsung memanggil petugas keamanan, namun karena terlalu panik aku malah menghampiri pintu dan mengintip siapa pelaku pendobrakan tersebut lewat intercom.

Aku terbelalak ketika melihat sosok yang berusaha mendobrak pintu apartemenku. Soji terlihat frustasi kemudian kembali menggedor dan mendobrak pintu. Ketika pintu itu terbuka, Soji langsung memelukku erat. Sangat erat hingga aku mampu merasakan detak jantungnya yang begitu keras. Itu adalah pelukan singkat lalu dengan tatapannya Soji menelusuri tubuhku dari ujung kepala dan berakhir di tanganku yang penuh dengan noda merah. Ia segera menggendongku dengan panik dan berlari menuju lift.

“Ada apa denganmu?!” pekikki kebingungan.

“Kumohon bertahanlah” pinta Soji frustasi.

“Kau ini kenapa sih?!” aku masih tidak paham apa yang dilakukan Soji.

“Kalau kau punya masalah bukan begini cara menyelesaikannya.”

Aku terdiam sejenak dan berfikir. Ah, pasti karena pewarna makanan berwarna merah tua ini.

“Soji, aku tidak apa-apa, ini hanya_”

“Diam. Kau tidak baik-baik saja, aku tau itu.”

“Soji_”

“Kau punya aku, ingat itu! Jangan menghadapi hal sulit seo-”

“Soji aku tidak bunuh diri! Ini pewarna makanan!” Aku memekik kesal. Beberapa orang di koridor menoleh dan mengamati kami. Aku malu, karena ini sangat dramatis dan menggelikan.

Lift berdenting dan pintunya terbuka. Soji masuk tetap masuk ke dalam dan buru-buru menutupnya. Ia meraih kedua tanganku, mengamatinya lekat-lekat, mencari kemungkinan-kemungkinan jika aku berbohong dan nyatanya memang tidak akan ia temukan. Ia mengusap-usap pergelangan tanganku dengan jaketnya hingga kulit pucatku kembali terlihat.

Dia mendesah panjang, aku tidak tau arti desahan itu. Ia kembali memelukku begitu begitu erat, menenggelamkan tubuhku dalam dekapannya. Aku bisa merasakan detak jantungnya yang mulai tenang. Aku merasa tenang dan nyaman mendengar detak jantungnya. Aku menjadi kecil, rapuh dan tak berdaya namun merasa sangat berharga secara bersamaan. Ajaib, pria ini seperti penyihir. Aku merasakan dagunya di atas kepalaku, menekannya dengan lembut.

Tidak ada yang berniat mengurai pelukan hingga pintu lift terbuka lebar dan kembali tertutup.

*

Soji membantuku membereskan kekacauan di dapur selagi aku memanaskan dua potong roti untuk kami. Laparku sempat hilang karena kejadian memalukan tadi dan saat ini sudah kembali terasa.

“Kau kira aku bunuh diri karena tidak membalas pesanmu?” aku melihat puluhan pesan di ponselku, semuanya berasal dari pahlawan kemalaman di hadapanku.

“Ponselmu mati, aku jadi berfikiran yang tidak-tidak”.

Aku mengulum senyum. Dia terlihat seperti anak kecil yang sedang merajuk.

“Harusnya kau menyalakan ponselmu, bagaimana jika ada panggilan darurat? Bagaimana jika ada berita penting? Kau itu hidup di jaman apa sih sehingga-”

“Kau pernah merasa ketakutan sampai rasanya hampir gila?” aku memotong ucapannya yang tidak kuketahui kapan akan berakhir. Aku menarik kursi sehingga kami duduk saling berhadapan.

“Pernah,” jawaabnya. “baru saja” sambungnya lemah. Aku tersenyum miris. Ada perasaan menyesal karena telah membuat panik pria baik di hadapanku.

“Sejak aku melihatmu membeli obat tidur, aku tidak tenang dan-”

“Oh, waktu kau membeli kondom itu ya?” Aku kembali memotong ucapannya. Aku tidak ingin suasanya di antara kami terlalu dramatis.

“A-aku tidak beli kondom!” jawabnya kikuk dengan telinga memerah.

“Iya juga tidak apa-apa, kau kan pria dewasa.” ujarku menggodanya. Lihat, wajahnya seperti remaja yang ketahuan sedang melihat film porno. Aku tidak tahan ingin tertawa.

“Aku tau kau sedang tidak baik-baik saja_”

“Itulah yang kurasakan setiap hari.” Kurasa memotong ucapannya adalah kegemaran baruku. Aku mengambil roti di hadapanku dan menggitnya sekali. “ketakutan sampai hampir gila.” lanjutku sambil mengunyah. Seolah hal yang baru saja kukatakan bukanlah hal besar.

Soji menatapku lekat-lekat. Tidak ada tatapan mengasihani di wajahnya. Ia tersenyum perih sebelum mengalihkan pandangannya ke bawah, menunduk.

“Kau itu menyebalkan sekali.” Ucapnya sambil terkekeh.

“kau juga” ucapku acuh tak acuh sambil kembali menggigit roti di genggamanku.

Dia menyantap roti yang ada di hadapannya dengan lahap. Aku melihat rambutnya yang berantakan dan sedikit lembab. Apa tadi dia berlari?

“Sepertinya akan memakan waktu lama untuk mendapatkanmu,” ucapnya sambil mengunyah.

“Telan dulu” sanggahku. Sambil memberikan segelas air ketika dia tersedak sambil memukul-mukul dadanya.

“tapi tidak apa-apa, kulihat tadi kau nyaman sekali memelukku. Itu artinya hatimu sudah terbuka untukku kan?” Soji mengatakannya dengan wajah pongah. Ia kembali menggigit rotinya dan berkata “tenang saja, kau bisa memelukku kapanpun yang kau mau. Tapi selama aku belum menyukai wanita lain ya! Maka dari itu kau harus cepat-cepat mengakui perasaanmu padaku.”

Aku menatapnya sinis sambil menggeleng-gelengkan kepala. Rupanya satu pelukan saja sudah membuatnya besar kepala.

“Aku sungguhh-sungguh, kau bisa mengandalkanku kapanpun. Jadi, tolong jangan menyerah.”

Aku tersentuh oleh pria manis ini. Aku terus menggigit rotiku yang sedikit lagi habis, bertingkah seolah-olah tak mendengar perkataannya barusan. Aku mengamati cara makan Soji, seperti anak kecil yang senang sekali dipuji jika makan dengan lahap. Di bawah cahaya lampu dapur yang temaram, pria besar ini masih terlihat menggemaskan.

“Aku bisa mendengarnya,” ujar Soji. Aku menatapnya keheranan. “aku sangat menggemaskan bukan? Kalau kau mau cium, aku juga tidak keberatan kok”

Jika hidup punya satu keindahan seperti Soji, maka bolehkah aku sedikit tamak dan berharap ada keindahan di hari esok?

 

 

 

 

 

 

Halo!

Jika sosok Soji tidak ada di kehidupanmu, maka jadilah Soji untuk dirimu sendiri.-Maya.

Jumat, 04 September 2020

Perempuan Bertangan Dingin

 

Penyakit ibu kambuh lagi, kali ini semakin parah. Mungkin membutuhkan waktu berminggu-minggu di rumah sakit. Penyakit ibu sering kambuh, aku sudah menganggap rumah sakit adalah rumahku juga. Ayah bekerja tak henti-henti. Ayah tidak sekarat seperti ibu, tetapi makin hari tulang wajahnya semakin timbul. Ayah bilang semuanya akan baik-baik saja. Aku tak pernah menanggapi. Dipikir bagaimanapun hanya keajaiban yang membuat semuanya baik-baik saja. Ibu bisa pergi kapan saja, aku tak bisa menyangkal itu.

Hari itu rasanya aku lelah sekali. Semalaman aku tidak bisa tidur. Takut ketika aku bangun, dada ibu tak lagi bergerak naik-turun. Dokter bilang ibu akan baik-baik saja. Nyatanya ibu tak pernah baik-baik saja. Ia selalu sakit atau sakit sekali. Aku kabur dari pelajaran olahraga saat anak-anak lain sedang berjalan menuju lapangan. Aku tidak peduli jika setelah ini aku akan menjadi buronan guru olahraga yang galak itu.

Ini bukan pertama kali aku tidak tidur, tapi kali ini rasanya berbeda. Jauh lebih melelahkan dan menyesakkan. Ketakutanku semakin menjadi-jadi sampai terkadang aku lupa bernafas nafas. Aku, ayah ataupun ibu sama-sama ketakutan walau tak satupun dari kamu yang pernah mengaku. Dari atap gedung sekolah, orang-orang terlihat kecil. Aku iri dengan mereka, kurasa mereka tidak menjalani hidup yang menakutkan sepertiku. Langit biru begitu cerah, tidak sesuai dengan suasana hatiku. Kusadari bahwa, aku benar-benar sendiri dan kesepian menanggung beban ini.

Lagi-lagi aku kesulitan bernafas, sesak. Air mataku menetes begitu saja. Belakangan aku menjadi cengeng, walau tak pernah menangis di depan siapapun. Aku cepat-cepat menghapus air mataku ketika menyadari ada keberadaan orang lain di sekitarku. Terlambat, ia melihat semuanya dan mulai menatapku dengan wajah kasihan. Awalnya kukira begitu, tetapi  bukan. Aku tidak mengerti ekspresi itu. Ia melangkahkan kakinya menjauh menuju pintu, tetapi langkahnya terhenti. Ia berbalik dan menghampiriku.

“keadaan sedang buruk sekali,ya?”

Iya. Tetapi aku menutup multku rapat-rapat.

Aku hanya diam memandangi wajahnya yang menyunggingkan senyum penuh afeksi. Mungkin hanya perasaanku, senyum itu juga terlihat rapuh.

“perlu pelukan?”  tanyanya lagi.

Aku diam beberapa detik, tapi tubuh kecil di depanku lebih dahulu memelukku dan menenggemkan wajahnya di dadaku.  

Aku runtuh seperti kastil pasir yang tersapu ombak. Aku menangis dan mendekapnya erat, tanpa tau bahwa tubuh kecil itu juga bergetar dan dingin.

Dua minggu setelahnya ibu benar-benar pergi. Hal yang kutakutkan benar-benar terjadi. Aku tidak tau mana yang lebih hancur: aku atau ayah. Ayah tak terlihat menangis setelah pemakaman, atau mungkin ia menangis tetapi tidak di depanku. Ayah mencoba menghiburku dengan mengatakan, setidaknya ibu tidak lagi merasa sakit. Masuk akal, tetapi itu tak banyak membantu. Kami kehilangan ibu, dan bagaimanapun kami hancur. Sesuatu yang tak mungkin kami sangkal.

Gadis itu menggenggam tanganku erat, seolah tau aku sedang tak baik-baik saja. Dia selalu tau. Tangan kecil itu sering kali terasa dingin, berkeringat dan bergetar. Aku tak begitu menghiraukan sebab aku terlalu tenggelam dalam kesedihanku. Tangan ringkih itu selalu membuatku merasa sedikit lebih baik.

Waktu nyatanya memanglah obat. Aku perlahan-lahan mampu menerima kepergian ibu. Gadis bertangan dingin itu bilang, aku boleh menggenggam tangannya dan memeluknya kapanpun. Hari ini aku ingin bertemu dan memeluknya. Aku merindukan ibu dan gadis kecil itu dalam satu waktu.

Hal pertama yang kulihat ketika pintu kamarnya terbuka adalah gadis kurus yang terkulai lemah di lantai. Aku segera meraih tubuh pucat itu. Satu sayatan dalam di masing-masing pergelangan tangan dan sayatan halus yang tak terhitung jumlahnya. Aku bisa melihat dadanya yang masih sedikit bergerak walau hanya sesekali. Itu mengingatkanku pada ibu.

Orang-orang di koridor rumah sakit mengamatiku. Akhirnya aku sadar bahwa celana dan jaketku memiliki noda darah yang menyita perhatian. Aroma parfumku bercampur dengan aroma amis besi berkarat.

Di depan ruang perawatannya aku bertemu dengan seorang wanita paruh baya yang menangis histeris. Aku merengkuhnya tanpa berkata apapun. Aku seolah menenangkannya, tetapi sesungguhnya akupun memerlukan itu untuk menenangkan diriku sendiri.

“lima kali” ujar wanita itu sesegukan. “dua kali dengan obat tidur, dua kali dengan racun, ini yang kelima. Aku ibu yang buruk, aku bahkan tak mampu mencegahnya mendekati kematian.”

Gadis itu bisa pergi kapan saja, sama seperti ibu waktu itu. Seandainya aku sedikit lebih menaruh perhatian pada tangan kecilnya yang gemetar dan dingin, mungkinkah aku sedang memeluknya sekarang? Bukankah aku terlalu sibuk dengan lukaku sendiri?

Gadis itu terbaring lemah di atas kasur rumah sakit. Nafasnya yang terlihat samar-samar menenangkanku. Aku bisa melihat tulang selangkanya yang menonjol dan lingkaran mata yang gelap. Dia terlihat sangat rapuh seolah-olah siap hancur kapan saja. Kedua pergelangan tangannya sudah terbalut perban. Aku kemudian teringat genangan darah di lantai kamarnya. Aku tak berani membayangkan jika aku datang terlambat.

Aku menemuinya setelah seorang psikiater keluar dari kamarnya. Aku memasang senyum terbaikku seolah tak ada hal besar yang terjadi beberapa hari lalu. Aku menyapanya. Dia membalas dengan tersenyum. Sekarang aku yakin bahwa senyum yang dulu kulihat benar-benar sarat akan kerapuhan.

“keadaan sedang buruk sekali,ya?”

Dia masih tersenyum dengan mata berkaca-kaca.

“butuh pelukan?”

Tanpa persetujuan, aku langsung memeluknya.

 

Tahun-tahun selanjutnya tidak begitu mudah. Ada kalanya tangan gadis itu kembali gemetar dengan keringat dingin yang mengalir deras. Dia tak pernah menyerah. Dia menjadi lebih terbuka dan menghambur ke pelukanku kapanpun 'waktu buruk' itu datang. Sering kali aku pun mengalami hari-hari sulit. Setiap hari itu datang, aku ingin segera pulang dan mendengar si gadis bertanya “butuh pelukan?”